Laman

Jumat, 22 Februari 2019

SALAM KOPI SORE untuk SAHABAT SUFI.


Bacalah secara seksama dengan tenang untuk dapat menangkap pesan nya dari sebuah cerita ini..
Suatu hari Raja Muzaffar yang masih kanak-kanak bertanya kepada bundanya tentang ALLAH.
“Bunda.. Dimana ALLAH dan bolehkah ananda melihatNya?”
“Oh.. ALLAH itu di Arasy wahai ananda dan ananda tidak dapat melihatNya karena ALLAH berada nun jauh diatas 7 lapisan langit. Sedangkan langit kedua pun manusia tidak nampak bagaimana hal keadaan zatnya lantas bagaimana mungkin ananda akan dapat melihat ALLAH yang berada di Arasy yang terletak lebih atas dan jauh daripada 7 lapisan langit?”
“Oh begitu… Bagaimana dengan dalilnya bunda?”
“Dalilnya begini.. “

Allah SWT berfirman:
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِى خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْأَرْضَ فِى سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِ ۖ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ ۖ مَا مِنْ شَفِيعٍ إِلَّا مِنۢ بَعْدِ إِذْنِهِۦ ۚ ذٰلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ فَاعْبُدُوهُ ۚ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
inna robbakumullohullazii kholaqos-samaawaati wal-ardho fii sittati ayyaamin summastawaa 'alal-'arsyi yudabbirul-amr, maa min syafii'in illaa mim ba'di iznih, zaalikumullohu robbukum fa'buduuh, a fa laa tazakkaruun
"Sesungguhnya Tuhan kamu Dialah Allah yang menciptakan langit dan Bumi dalam enam masa kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy (singgasana) untuk mengatur segala urusan. Tidak ada yang dapat memberi syafaat kecuali setelah ada izin-Nya. Itulah Allah, Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Apakah kamu tidak mengambil pelajaran?"
(QS. Yunus 10: Ayat 3)

Maka giranglah hati Raja Muzaffar karena telah mendapat jawaban dari persoalan yang selama ini sentiasa dibenak difikirannya.
Masa pun berlalu.....hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun, maka telah remajalah Raja Muzaffar. Suatu hari Raja Muzaffar diperintahkan ayahandanya supaya belajar ilmu-ilmu agama dari Syeikh Abdullah selaku Mufti di negeri ayahandanya itu.
Maka tidak sabar-sabarnya lagi Raja Muzaffar mau berguru dengan Syeikh Abdullah sementara pelajaran agama adalah yang paling diminatinya.
Suatu hari sambil duduk-duduk santai dengan Syeikh Abdullah tiba-tiba Raja Muzaffar ditanyai Syeikh Abdullah dengan 2 persoalan yang tidak asing baginya.
“Wahai ananda Putera Raja..
Dimana ALLAH dan bolehkah ananda Putera
Raja melihatNya?”
Sambil tersenyum Raja Muzaffar menjawab sebagaimana yang telah diajarkan
bundanya dahulu.
“ALLAH itu di Arasy wahai Syeikh Guru dan aku tidak boleh melihatNya karena ALLAH berada nun jauh diatas 7 petala langit.”
Tersenyum kecil Syeikh Abdullah mendengar jawapan muridnya itu dan sejenak selepas menghela nafasnya Syeikh Abdullah lalu bersuara.....
“Begini ananda Putera Raja…...ALLAH itu bukannya makhluk seperti kita lantaran itu ALLAH tidak seperti kita. Apa saja hukum yang terjadi pada makhluk tidak berlaku seperti itu atas ALLAH. Oleh itu ALLAH tidak bertempat karena bertempat itu hukum bagi makhluk.”
“Lantas dimana ALLAH itu wahai Syeikh Guru?”
“ALLAH itu tidak bertempat karena Dia bersifat Qiammuhu Binafsihi yang bermaksud ALLAH tidak berhajat pada sesuatu zat lain untuk ditempati. Jika kita mengatakan ALLAH berhajat pada sesuatu zat lain untuk ditempati maka ketika itu kita telah menyerupakan ALLAH dengan keadaan makhluk.
Ketahuilah, ALLAH tidak serupa dengan makhluk berdasarkan kepada dalil dari
Allah SWT berfirman:
فَاطِرُ السَّمٰوٰتِ وَالْأَرْضِ ۚ جَعَلَ لَكُمْ مِّنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوٰجًا وَمِنَ الْأَنْعٰمِ أَزْوٰجًا ۖ يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ ۚ لَيْسَ كَمِثْلِهِۦ شَىْءٌ ۖ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
faathirus-samaawaati wal-ardh, ja'ala lakum min anfusikum azwaajaw wa minal-an'aami azwaajaa, yazro`ukum fiih, laisa kamislihii syaii`, wa huwas-samii'ul-bashiir
"(Allah) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri, dan dari jenis hewan ternak pasangan-pasangan (juga). Dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Melihat."
(QS. Asy-Syura 42: Ayat 11)
“Dia tidak menyerupai segala sesuatu.” ALLAH tidak berdiam di Arasy karena Arasy itu adalah makhluk.
Bagaimana mungkin makhluk dapat menanggung zat ALLAH sedang bukit dihadapan Nabi Musa pun hancur karena tidak dapat menanggung pentajalian ALLAH.”
Raja Muzaffar mengangguk-anggukkan kepalanya tanda faham. Kemudian Syeikh
Abdullah menambah....
“Berkenaan tentang ananda Putera Raja tidak boleh melihat ALLAH itu adalah betul namun bukanlah kerana ALLAH itu jauh maka ananda Putera Raja tidak boleh melihatNya.”
“Jika bukan begitu lantas bagaimana Syeikh Guru?” Tanya Raja Muzaffar berusaha ingin tahu.
“Sebenarnya kita tidak dapat melihat ALLAH bukanlah kerana faktor jarak tetapi karena keterbatasan kemampuan penglihatan mata manusia yang tidak mampu melihat zatNya. Ini bersesuai dengan
Allah SWT berfirman:
لَّا تُدْرِكُهُ الْأَبْصٰرُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصٰرَ ۖ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
laa tudrikuhul-abshooru wa huwa yudrikul-abshoor, wa huwal-lathiiful-khobiir
"Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus, Maha Mengetahui."
(QS. Al-An'am 6: Ayat 103)
Terdiam Raja Muzaffar mendengar hujah gurunya itu. Barulah beliau sadar bahwa apa yang menjadi pegangannya selama hari ini adalah salah. Pegangan yang mengatakan bahwa ALLAH itu di Arasy dan ALLAH tidak boleh dilihat karena faktor jarak adalah satu kesilapan.
Uraian daripada gurunya melalui ilmu Kalam membuat Raja Muzaffar begitu kagum dengan kekuasaan akal yang dapat menguraikan segala-galanya tentang Tuhan. Bermula dari hari itu Raja Muzaffar berpegang dengan hujah gurunya bahawa ALLAH itu tidak bertempat
dan manusia tidak boleh melihat ALLAH kerana keterbatasan kemampuan penglihatan mata manusia. Akhirnya dengan berkat ketekunan dan kesungguhan, Raja Muzaffar telah berhasil menguasai ilmu-ilmu ketuhanan menurut peraturan ilmu Kalam sebagaimana yang diajarkan oleh Syeikh Abdullah hingga mahir.

Masa terus berjalan dan kini Raja Muzaffar telah dewasa. Oleh karena begitu
minatnya yang mendalam tentang ilmu-ilmu ketuhanan maka beliau meminta izin
Kpd ayahandanya untuk menperdalamkan lagi ilmu pengetahuannya dengan belajar dari guru-guru yang berada diluar istana sementara Syeikh Abdullah telah meninggal dunia. Ayahandanya memberi izin lalu tanpa berlengah Raja Muzaffar menemui sahabat-sahabat sealiran almarhum Syeikh Gurunya untuk
melanjutkan pelajaran.

Raja Muzaffar mempunyai sikap yang pelik. Saban hari apabila beliau melalui pasar-pasar kecil untuk sampai ke rumah guru-gurunya, beliau akan bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya dengan soalan yang pernah ditanya

kepada bundanya yaitu dimana ALLAH dan bolehkah manusia melihatNya?.
Bagi sesiapa yang menjawab soal itu sebagaimana yang pernah dijawab oleh
bundanya maka beliau akan membetulkan kefahaman orang itu dengan hujah
almarhum gurunya Syeikh Abdullah.

Jika orang itu tidak mau tunduk dengan
hujahnya maka orang itu akan dipukulnya sebelum diusir dari negerinya itu.
Begitulah sikap Raja Muzaffar setiap hari sehingga pada suatu hari beliau bertemu dengan seorang tua yang sedang bertungkus-lumus menyediakan air minuman untuk diberi minum kepada orang yang lalu-lalang disebuah pasar tanpa mengambil upah. Melihat kelakuan orang tua itu lantas Raja Muzaffar mendekatinya.
“Hei orang tua.. mengapa kamu tidak mengambil upah atas usahamu itu?”
Tanya Raja Muzaffar tegas. Orang tua yang sedari tadi begitu khusyuk mengagih-agihkan minumannya itu terkejut dengan pertanyaan Raja Muzaffar lalu meminta Raja Muzaffar memperkenalkan dirinya.

“Siapakah tuan ini?” Tanya si Tua.
Aku adalah Putera Raja negeri ini!” Jawab Raja Muzaffar tegas.
“Oh kalau begitu tuan ini tentu Raja Muzaffar yang terkenal dengan ketinggian ilmu ketuhanan itu. Tapi sayang, tuan hanya tahu ilmu tentang ALLAH tetapi tuan sendiri belum mengenal ALLAH. Jika tuan telah mengenal

ALLAH sudah pasti tuan tidak akan bertanya kepada saya soal tuan tadi.”
Berkaca kaca mata Raja Muzaffar mendengar kata-kata si Tua itu. Hatinya terpesona dengan ungkapan ‘mengenal ALLAH’ yang diucapkan orang tua itu.
Lantas beliau bertanya kepada orang tua itu.
“Kemudian apa bedanya antara ‘TAHU’ dengan ‘KENAL’?”
Dengan tenang si Tua itu menjawab..

“Ibarat seseorang yang datang kepada tuan lantas menceritakan kepada tuan tentang ciri-ciri buah nangka tanpa menunjukkan zat buah nangka, maka ini martabat ‘tahu’ karena ia hanya sekadar maklumat dan orang yang berada pada martabat ini mungkin akan menyangka bahwa buah cempedak itu adalah
nangka karena ciri-cirinya seakan sama.

Berbanding seseorang yang datang kepada tuan lantas menghulurkan sebiji buah nangka, maka ini mertabat ‘kenal’ karena zatnya terus dapat ditangkap dengan penglihatan mata dan
orang yang berada pada martabat ini pasti dapat mengenal mana cempedak dan
mana nangka dengan tepat.”
Raja Muzaffar mendengar dengan teliti uraian si Tua itu. Diam-diam, hatinya membenarkan apa yang diperkatakan si Tua itu. Kemudian terlintas
dihatinya untuk bertanya soal yang lazim ditanyakan kepada orang lain.
“Kalau begitu wahai orang tua silakan jawab persoalanku ini....Dimana ALLAH dan bolehkah manusia melihatNya?”

“ALLAH berada dimana-mana saja dan manusia boleh melihatNya.” Jawab si Tua dengan tenang.
Tercengang Raja Muzaffar mendengar jawaban orang tua itu. Seketika kemudian terus saja orang tua itu dipukulnya sehingga jatuh tersungkur. Melihat orang tua itu tidak coba mengelak pukulannya bahkan langsung tidak

menunjukkan reaksi takut maka Raja Muzaffar pun lantas bertanya..
“Kenapa kamu tidak mengelak pukulanku wahai orang tua?”
“Bukankah tadi sudah saya bilang.. tuan ini hanya orang yang tahu tentang ALLAH tetapi bukannya orang yang benar-benar mengenal ALLAH.”
Terdiam Raja Muzaffar mendengar kata-kata si Tua itu. Kemudian beliau menenangkan dirinya lantas bersegera duduk diatas tanah dihadapan orang tua itu.
“Baiklah orang tua. Silakan uraikan jawabanmu tadi sebab aku berpegang bahwa ALLAH itu tidak bertempat dan manusia tidak boleh melihat ALLAH.”
“ALLAH itu tidak bertempat adalah menurut pandangan hukum akal saja sedang pada hakikatnya tidak begitu.”
Ujar orang tua itu sambil membersihkan bibirnya yang berdarah. Kemudian beliau menyambung....
“Bukankah ALLAH itu wujudNya esa?”
“Benar.” Jawab Raja Muzaffar.
“Jika ALLAH itu wujudNya esa maka sudah barang tentu tidak ada wujud sesuatu bersertaNya.”
“Benar.” Jawab Raja Muzaffar.

“Lantas bagaimanakah kedudukan wujud alam ini jika ALLAH itu diyakini wujud tanpa ada selain zat yang wujud bersertaNya dengan pandangan mata hati?”
Raja Muzaffar memejamkan matanya rapat-rapat lantas dikerahkan pandangan
mata hatinya untuk memahami persoalan yang ditanyai orang tua itu.
Tiba-tiba akalnya dapat menangkap dan memahami hakikat alam ini jika hanya
merujuk kepada ruang lingkup keesaan wujud ALLAH. Lantas beliau membuat satu kesimpulan..
“Jika dipandang dari sudut esanya wujud ALLAH maka alam ini tidak lain
melainkan diriNya sendiri… Tiba-tiba sahaja perkataan itu terpacul keluar dari bibirnya. Terkebil-kebil matanya apabila mendengar ucapannya sendiri. Maka lidahnya kelu dan akalnya lumpuh. Terkejut. Terpukai. Terbungkam.

“Jadi kalau begitu ketika tuan memandang alam ini, siapa yang tuan pandang pada hakikatnya?” pertanyaan kembali diajukan kepada Raja Muzaffar.
“Pada hakikatnya aku memandang ALLAH!”
“Nah kalau begitu bukankah ALLAH ada berfirman yang bermaksud :
Allah SWT berfirman:
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وٰسِعٌ عَلِيمٌ
wa lillaahil-masyriqu wal-maghribu fa ainamaa tuwalluu fa samma waj-hulloh, innalloha waasi'un 'aliim
"Dan milik Allah Timur dan Barat. Ke mana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah. Sungguh, Allah Maha Luas, Maha Mengetahui."
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 115)
Allah SWT berfirman:
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْأَاخِرُ وَالظّٰهِرُ وَالْبَاطِنُ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
huwal-awwalu wal-aakhiru wazh-zhoohiru wal-baathin, wa huwa bikulli syai`in 'aliim
"Dialah Yang Awal, Yang Akhir, Yang Zahir, dan Yang Batin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu."
(QS. Al-Hadid 57: Ayat 3)
Kemudian orang tua itu bertanya lagi..
“Dan sekarang dapat atau tidak tuan melihat ALLAH saat ini”
“Ya.. aku menyaksikan dengan ainul basyiroh.”
Perlahan-lahan bercucuran air mata dari mata Raja Muzaffar. Beliau menahan sebak karena sekarang beliau sudah faham kenapa orang tua itu tidak mengambil upah atas usahanya dan tidak mengelak ketika dipukul. Semuanya
karena yang dipandangnya adalah pentajallian ALLAH. Dalam hati perlahan-lahan beliau berkata.... “Memang benar sesungguhnya pada sudut ini, ALLAH berada dimana-mana saja dan manusia boleh melihat ALLAH.”

“Makanya wahai Putera Raja.... inilah yang dinamai sebagai Ilmu Hakikat.”
Semenjak hari itu, Raja Muzaffar terus mendampingi orang tua itu untuk mempelajari lebih dalam seluk-beluk ilmu hakikat hingga diangkat beliau oleh gurunya menduduki kedudukan Syeikh ilmu hakikat.
Demi mempraktikkan ilmu-ilmu hakikat yang halus, Raja Muzaffar telah menjadi seorang ahli
ibadah yang alim. Beliau tidak lagi berpegang dengan faham almarhum gurunya yaitu Syeikh Abdullah kerana baginya jalan yang boleh membuat seseorang itu dapat mengenal ALLAH dengan haqqul yaqin ialah dengan ilmu
hakikat.

Beliau telah menepikan duduk didalam peraturan hukum akal sama sekali dan mulai duduk didalam peraturan musyahadah. Bagi beliau, ilmu Kalam yang dituntutnya selama ini adalah semata-mata salah.

Setelah kemangkatan ayahandanya maka Raja Muzaffar diangkat menjadi sultan dinegerinya dan sekarang beliau menyandang gelar Sultan Muzaffar Syah pada usia 50 tahun. Beliau memerintah negerinya dengan adil dan
saksama namun sikap peliknya yang dahulu masih diteruskannya. Dimana saja beliau pergi beliau tetap akan bertanya soal yang lazim itu.
Jika orang yang ditanya tidak dapat menjawab maka akan diajarkan jawabannya menurut ilmu hakikat dan jika orang itu membangkang akan dihukum bunuh. Akhirnya kelaziman Sultan Muzaffar Syah ini membuat seluruh rakyat
jelatanya menganut faham hakikat. Justru itu rakyat jelata dinegerinya hidup aman dan makmur.
Suatu petang Sultan Muzaffar Syah yang terkenal sebagai Mursyid ilmu hakikat itu berjalan-jalan disebuah padang rumput yang luas dengan ditemani para pembesar istana. Pandangannya tertarik pada gelagat seorang pemuda pengembala kambing dalam lingkungan usia 30an yang sedang berusaha
menghalau seekor serigala yang coba memakan kambing gembalaannya.
Baginda mendatangi pemuda gembala itu. Kelihatan pemuda itu hanya memakai pakaian
Dari karung goni dan tidak mempunyai sandal sebagai alas kaki. Rambutnya kering berdebu, bibirnya kering dan badannya kurus.

“Wahai pemuda.. kenapa kamu menghalau serigala itu dari memakan kambing
itu, tidakkah kamu menyaksikan hakikat serigala itu? Maka biarkan saja ALLAH bertindak menurut kemauanNya.”

Mendengar kata-kata Sultan Muzaffar Syah itu sekonyong-konyong pemuda gembala itu menggenggam pasir lantas dilemparkannya pasir itu ke muka Sultan Muzaffar Syah. Kemudian pemuda gembala itu membongkok untuk mengambil segenggam pasir lagi lalu dilemparkan lagi ke muka Sultan Muzaffar Syah.
Sultan Muzaffar Syah hanya tercengang saja mungkin terkejut dengan tindakkan pemuda gembala itu. Pemuda gembala itu terus mau
mengambil segenggam pasir lagi dan melihat seorang pembesar istana yang berada disitu terus memukul pemuda gembala itu hingga pingsan.

Apabila sadar dari pingsan, pemuda gembala itu mendapati tangan dan lehernya telah dipasung dengan pasungan kayu didalam sebuah penjara. Tidak lama kemudian datang dua orang pengawal istana dengan kasar merenggut badannya dan membawanya ke suatu tempat yang amat asing baginya. Tidak lama berjalan akhirnya mereka sampai dihadapan singgahsana Sultan Muzaffar Syah.
“Mengapa kamu melempari mukaku dengan pasir?” Tenang saja pertanyaan Sultan Muzaffar Syah.
“Karena tuanku mengatakan bahwa serigala itu adalah ALLAH yakni Tuhan saya.”
“Bukankah hakikat serigala itu memangnya begitu?” Tanya Sultan Muzaffar Syah heran.
“Nampaknya dakwaan yang mengatakan bahwa tuanku ini adalah seorang yang mengenal ALLAH adalah bohong semata-mata.”
“Kenapa kamu berkata begitu?”

“Sebab orang yang sudah sempurna mengenal ALLAH pasti merindui untuk ‘menemui’ ALLAH.”
Setelah 30 tahun, baru hari ini hati Sultan Muzaffar Syah terpesona lagi mendengar ungkapan ‘menemui ALLAH’ yang diucapkan oleh pemuda gembala itu. Dahulu hatinya pernah terpesona dengan ungkapan ‘mengenal

ALLAH’. Sejurus itu juga Sultan Muzaffar Syah memerintahkan agar pasung kayu yang dikenakan pada pemuda gembala itu ditanggalkan.
“Lantas apa utamanya ‘bertemu’ berbanding ‘kenal’?”
Tanya Sutan Muzaffar Syah.
“Adakah tuanku mengenali sifat-sifat Rasulullah?”
Tanya pemuda gembala itu tiba-tiba..

“Ya, aku kenal akan sifat-sifat Rasulullah.”
“Lantas apa keinginan tuanku terhadap Rasulullah?”
“Semestinyalah aku mau dan rindu untuk menemuinya karena baginda adalah kekasih ALLAH!”
“Nah begitulah… Orang yang sempurna pengenalannya terhadap sesuatu pasti
terbit rasa ingin bertemu dengan sesuatu yang telah dikenalinya itu dan bukannya hanya sekedar berputar-putar didaerah ‘mengenal’ semata-mata.”
Tiba-tiba saja Sultan Muzaffar Syah berteriak kuat dengan menyebut perkataan ‘Allahu Akbar’ sekuat-kuat hatinya lalu baginda jatuh pingsan.
Tidak lama kemudian setelah wajahnya disapukan dengan air dingin maka
baginda kembali sadar. Sultan Muzaffar Syah terus menangis teresak-esak hingga jubahnya dibasahi dengan air matanya.

Baginda memuhassabah dirinya..
“Memang.. memang selama ini aku mengenali ALLAH melalui ilmu hakikat tetapi tidak pernah hadir walau sekelumit rasa untuk bertemu denganNya.
Rupa-rupanya ilmu hakikat yang aku pegangi selama ini juga salah seperti ilmu bunda dan ilmu Syeikh Abdullah”.. bisik hatinya. Kemudian
terlintas difikiran Sultan Muzaffar Syah untuk menanyakan soal lazimnya kepada pemuda gembala itu.
“Kalau begitu wahai orang muda, silahkan jawab persoalanku ini.... Dimana
ALLAH?”
Dengan tenang pemuda gembala itu menjawab..
“ALLAH berada dimana Dia berada sekarang.”
“Kalau begitu, dimana ALLAH sekarang?
“Sekarang ALLAH berada dimana Dia berada dahulu.”
“Dimana ALLAH berada dahulu dan sekarang?”
“Dahulu dan sekarang Dia berada ditempat yang hanya Dia saja yang mengetahui.”
“Dimana tempat itu?”

“Didalam pengetahuan ilmu ALLAH.”
Sultan Muzaffar Syah terdiam sebentar sambil keningnya berkerut memikirkan jawapan yang diberi pemuda gembala itu. Kemudian baginda meneruskan pertanyaannya lagi.
“Bolehkah manusia melihat ALLAH?”
“Kunhi zatNya tidak boleh dicapai dengan pandangan mata kepala dan pandangan hati.”
“Silakan perjelaskan lagi wahai anak muda.” Pinta Sultan Muzaffar Syah.

1. “Begini tuanku.. adapun jawapan yang diberikan oleh bunda tuanku itu diatas
soal lazim yang tuanku berikan itu adalah sebenarnya betul menurut tahapan akal tuanku yang ketika itu dinilai masih kanak-kanak.

2. Adapun jawapan yang diberikan oleh Syeikh Abdullah itu juga betul jika dinilai dari sudut hukum akal.

3. Adapun jawapan yang diberikan oleh Syeikh Tua itu juga betul jika dinilai dari sudut pengamalan musyahadah terhadap ilmu
Hakikat.

Begitu jugalah dengan jawapan yang saya berikan juga betul jika dinilai dari sudut ilmu Ma’rifat. Tiada yang salah cuma ilmu itu
bertahap-tahap dan tuanku pun telah melalui tahapan-tahapan itu.
Dari tahapan jahil (ilmu bunda) ke tahapan awam (ilmu Kalam) kemudian ke tahapan
khusus (ilmu Hakikat) dan akhir sekali ke tahap khawasul khawas (ilmu Ma’rifat).”
Kemudian pemuda gembala itu terus menyambung kata-katanya..
“Jika ilmu Hakikat itu jalan fana karena menuju kepada zat ALLAH maka ilmu Ma’rifat pula jalan baqo’ karena menuju terus kepada Kunhi zat ALLAH.
Maka jawapan bagi persoalan tuanku itu secara yang dapat saya simpulkan ialah :
Tiada yang tahu dimana ALLAH melainkan ALLAH dan tiada sesiapa yang dapat
melihat ALLAH melainkan diriNya sendiri.”
Sultan Muzaffar Syah mengangguk-anggukkan kepalanya tanda faham.
“Jadi bagaimana hendak sampai ke tahap mengenal ALLAH dengan sempurna
sehingga terbit rasa ingin untuk menemuiNya?”
“Jangan mengenal ALLAH dengan akal sebaliknya mengenal ALLAH dengan ALLAH.”
“Kemudian, apakah cara-caranya untuk dapat bertemu dengan ALLAH?”
“Sebagaimana firman ALLAH yang bermaksud
Allah SWT berfirman:
قُلْ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٌ مِّثْلُكُمْ يُوحٰىٓ إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلٰهُكُمْ إِلٰهٌ وٰحِدٌ ۖ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صٰلِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدًۢا
qul innamaaa ana basyarum mislukum yuuhaaa ilayya annamaaa ilaahukum ilaahuw waahid, fa mang kaana yarjuu liqooo`a robbihii falya'mal 'amalan shoolihaw wa laa yusyrik bi'ibaadati robbihiii ahadaa
"Katakanlah (Muhammad), Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka barang siapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia menyekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya."
(QS. Al-Kahf 18: Ayat 110)

Mendengar penjelasan daripada pemuda gembala itu hati Sultan Muzaffar Syah
menjadi tenang dan akhirnya baginda diterima menjadi murid si pemuda gembala itu. Karena kesungguhan yang luarbiasa dalam menuntut ilmu Ma’rifat maka baginda mahsyur terkenal sebagai seorang Sultan yang arifbillah lagi
zuhud dan wara'.

Kemudian rakyatnya dibiarkan bebas untuk berpegang pada mana-mana faham apapun asalkan ajarannya masih didalam ruang lingkup yang mengikuti pegangan Ahlussunnah wal Jamaah.
Dan sekarang pada usia 70 tahun barulah Sultan Muzaffar Syah sadar dan faham bahwa untuk memahami tentang ALLAH maka seseorang itu harus melalui tahapan-tahapan yang tertentu sebelum seseorang itu layak dinobatkan sebagai Arifbillah.
Baginya sama saja bahwa ilmu Kalam, ilmu Hakikat atau ilmu Ma’rifat maka kesemuanya adalah sama penting untuk dipelajari bagi mewujudkan kesempurnaan untuk mencapai
kedudukan Insan Kamil yang Ma’rifatullah.
Kini Sultan Muzaffar Syah sudah memahami bagaimana rasanya rindu kepada ALLAH dan bagaimana rasanya benar-benar tidak sabar untuk bertemu ALLAH.
Sejak semalam mulutnya tidak henti-henti asyik mengucapkan kalimah ALLAH..ALLAH..ALLAH dan kadang-kadang terlihat deruan air mata jernih mengalir perlahan dipipinya sewaktu dipembaringan.

Perlahan-lahan pemuda gembala menghampiri Sultan Muzaffar Syah yang sejak 20 tahun lalu tinggal bersama dengannya dirumah usangnya lantas meletakkan kepala muridnya itu diribaan silanya dengan linangan air mata. Kini nafasnya mulai tersekat-sekat dan melihat itu, pemuda gembala merapatkan bibirnya ke telinga Sultan Muzaffar Syah lantas mentalqinkan baginda dengan dua kalimah syahadah seraya diikuti baginda dengan senyuman.
Sejurus kemudian Sultan muzaffar Syah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Suasana hening… pemuda gembala menunduk saja dan sebentar kemudian dia berkata..
“Wahai alangkah beruntungnya.. sekarang tuanku benar-benar telah menemui ALLAH dan dapat mengenalNya dengan sebenar-benar kenal. Wahai ALLAH, masih belum layakkah untuk aku bertemu denganMu.. aku mencemburui Sultan Muzaffar Syah ini maka jemputlah aku menghadapMu Ya ALLAH…”.

Sebentar kemudian pemuda gembala itu pun turut rebah dan menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Dan Suasana kembali hening.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar