Laman

Sabtu, 04 Januari 2014

Hal-Hal Yang Menodai Tauhid

Hal-Hal Yang Menodai Tauhid
Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Utsaimin

Termasuk perbuatan dosa besar yang menodai tauhid seseorang adalah merasa aman dari siksa dan adzab Allah subhanahu wa ta'ala dan berputus asa dari rahmat-Nya. Haramnya merasa aman dari siksa/makar Allah berdasarkan firman-Nya,

أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللهِ فَلاَيَأْمَنُ مَكْرَ اللهِ إِلاَّ الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ {99}

“Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga) Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi”. (QS. Al-A’raf:99)

Ayat ini memberikan beberapa faidah di antaranya:

1.Waspada terhadap nikmat Allah yang diberikan oleh Allah kepada seseorang, supaya hal itu tidak menjadi istidraj (tipuan, maksudnya ditambahkan kepadanya nikmat oleh Allah tetapi agar orang tersebut semakin jauh dari Allah). Karena setiap nikmat yang diberikan oleh Allah maka ada kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu syukur atas terhadap nikmat tersebut. Syukur dengan cara beribadah dan mentaati Dzat yang memberi nikmat (Allah). Apabila tidak bersyukur atas banyaknya nikmat yang diterima maka ketahuilah bahwasanya itu adalah bentuk makar/tipu daya dari Allah subhanahu wa ta’ala.

2.Haramnya merasa aman dari makar/siksa Allah, hal ini karena dua hal, pertama: Kalimat dalam ayat ini berbentuk kalimat tanya yang menunjukkan makna pengingkaran dan ta’ajub/keheranan. Kedua: Firman Allah, “Tiadalah yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi”

Adapun dalil tentang haramnya berputus asa dari rahmat Allah subhanahu wa ta'ala adalah firman-Nya,

وَمَن يَقْنَطُ مِن رَّحْمَةِ رَبِّهِ إِلاَّ الضَّالُّونَ {56}

"Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabbnya, kecuali orang-orang yang sesat". (QS.al-hijr :56)

Adapun makna ayat adalah, ketika Nabi Ibrahim diberi kabar gembira oleh malaikat akan lahirnya seorang anak yang pandai dari keturunan beliau, beliau berkata kepada para Malaikat,

قَالَ أَبَشَّرْتُمُونِي عَلَى أَن مَّسَّنِيَ الْكِبَرُ فَبِمَ تُبَشِّرُونَ {54} قَالُوا بَشَّرْنَاكَ بِالْحَقِّ فَلاَ تَكُن مِّنَ الْقَانِطِينَ {55} قَالَ وَمَن يَقْنَطُ مِن رَّحْمَةِ رَبِّهِ إِلاَّ الضَّالُّونَ {56

“Berkata Ibrahim:"Apakah kamu memberi kabar gembira kepadaku padahal usiaku telah lanjut, maka dengan cara bagaimanakah (terlaksananya) berita gembira yang kamu kabarkan ini" Mereka menjawab:"Kami menyampaikan berita gembira kepadamu dengan benar, maka janganlah kamu termasuk orang-orang yang berputus asa". Ibrahim berkata:"Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Rabbnya, kecuali orang-orang yang sesat". (QS. Al-Hijr :54-56)

Berputus asa dari rahmat Allah haram, tidak diperbolehkan dan termasuk dosa besar, karena hal itu adalah bentuk buruk sangka/su’u dzon terhadap Allah subhanahu wa ta'ala, hal itu dilihat dari dua sisi:

1.Hal tersebut adalah bentuk celaan terhadap Qudrah/kemampuan Allah, Karena barang siapa yang mengetahui bahwa Allah Mahamampu terhadap segala sesuatu, tidak akan menganggap mustahil segala di atas Qudrah Allah.

2.Hal tersebut bentuk celaan terhadap rahmat/kasih sayang Allah, karena barang siapa yang mengetahui bahwa Allah Maha penyayang maka tidak akan menganggap mustahil kalau Allah akan merahmatinya. Oleh sebab itu orang yang putus asa dari rahmat Allah adalah orang yang sesat.

Maka tidak sepantsnya apabila seseorang berada dalam kesusahan dan kesulitan untuk menganggap mustahil datangnya apa-apa yang diinginkan dan hilangnya kesusahan. Betapa banyak manusia yang berada dalam kesulitan dan dia mengira bahwa dia tidak akan selamat darinya, ternyata Allah menyelamatkannya, bisa jadi karena amalannya yang terdahulu, sebagaimana yang terjadi pada Yunus 'alaihissalam sebagaimana firman Allah Ta'ala,

فَلَوْلآ أَنَّهُ كَانَ مِنَ الْمُسَبِّحِينَ {143} لَلَبِثَ فِي بَطْنِهِ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ {144}

“Maka kalau sekiranya dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah,niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit. (QS.Ash-Shaaffaat:143-144)

Atau bisa jadi karena amalannya yang akan datang/datang belakangan, sebagaimana do’a Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pada perang Badr, malam perang Ahzab, dan juga sebagaimana doa Ashabul Kahfi.

Dan juga haramnya merasa aman dari makar Allah dan berputus asa dari rahmat Allah berdasarkan hadits dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ditanya tentang dosa-dosa besar, beliau menjawab,“Menyekutukan Allah (syirik), putus asa dari rahmat Allah dan merasa aman dari makar/siksa Allah”(HR.al-Bazzar, Ibnu Abi Hatim dalam tafsir Ibnu Katsir, Thabrani)

Dan juga Ibnu Mas’ud berkata,”Sebesar-besar dosa besar adalah:” “Menyekutukan Allah (syirik), merasa aman dari makar/siksa Allah, putus asa putus asa dari rahmat Allah dan dari pertolongan-Nya”(HRAbdur Razzaq, Ibnu Jarir, ath-Thabrani)

ma@

Adab Menjelang Ajal


Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - berkata: Sebagaimana yang saya terima dari Abu Muhammad al-Harawi -rahimahullah - yang berkata: Saya sempat bermalam di rumah asy-Syibli sebelum

esok harinya la wafat. Sepanjang malam ia membaca dua bait syair:
Setiap rumah yang engkau singgahi,
tak lagi membutuhkan lentera.
Wajahmu yang menjadi
angan-anganku
cukup sebagai alasanku,di saat manusia datang membawa berbagai alasan.

Diceritakan dari Ibnu al-Faraji - rahimahullah - yang berkata "Saya melihat seratus dua puluh kaum Sufi yang ada di sekitar Abu Turab an-Nakhsyabi. Di antara mereka tidak ada yang mati dalam keadaan fakir kecuali dua orang.” Sebagian kaum mengatakan, bahwa dua orang tersebut adalah Ibnu al Jalla’ dan Abu Ubaid al-Busri.
Diceritakan dari al-Wajihi, ketika ada sesuatu yang datang menghampiri hati Ibnu Bunan al-Mishri, maka pergi tanpa tujuan. Kemudian sahabat-sahabatnya membuntutinya hingga di tengah-tengah daerah gurun pasir yang menyesatkan di wilayah Bani Israel. la membuka kedua matanya dan melihat sahabat-sahabat yang ada di sekitarnya sembari berkata, "Menggembalalah di sini sebab ini adalah tempat menggembala para kekasih.” Dengan mengakhiri ucapannya itu ia menemui ajalnya.

Saya mendengar al-Wajihi - rahimahullah - berkata: Saya mendengar Abu Ali ar-Rudzabari - rahimahullah-bercerita: saya masuk di Mesir, lalu saya melihat orang-orang sedang berkerumun. Mereka berkata, “Kami sedang mengepung jenazah seorang pemuda yang sebelum meninggal, la mendengar suara yang mengatakan:
Besar sekali hasrat seorang hamba,
la sangat berkeinginan
melihat-Mu.

Kemudian pemuda itu berteriak dan menghembuskan nafas terakhirnya.”
Saya mendengar dari sebagian sahabat kami yang berkata: Abu Zaid - rahimahullah - sebelum ajal menjemputnya sempat berkata, “Saya tidak pernah mengingat-Mu melainkan karena kelalaianku dan Engkau tidak akan mengambilku kembali kecuali dalam waktu sekejap.”

Dikisahkan dari al-Junaid
- rahimahullah - yang berkata: Saya pernah duduk di sisi guruku, Ibnu al-Kurraini - rahimahullah - menjelang la wafat. Ia melihat ke langit, lalu berkata, “terlalu jauh.” Kemudian saya menundukkan kepala ke tanah, lalu ia berkata, “Terlalu jauh.” Maksudnya sesungguhnya Dia lebih dekat denganmu daripada engkau melihat ke langit atau ke bumi Ia memberi isyarat akan semua itu.

Al-Jariri - rahimahullah - berkata: Saya sempat menyaksikan Abu al-Qasim al Junaid ketika menjelang wafat. Ia tetap dalam keadaan bersujud. Lalu saya berkata, “Wahai Abu al-Qasim, bukankah engkau telah mencapai posisi ini dan jerih payah yang telah engkau lakukan sebagaimana yang saya lihat. Bagaimana kalau sekarang engkau beristirahat?” Lalu la menjawab, “Wahai Abu Muhammad, waktu yang sangat saya butuhkan adalah waktu sekarang ini.” la tetap dalam kondisi sujud sampai la meninggal dunia, dan saya masih menunggu di sebelahnya.

Bakran ad-Dinawari - rahimahullah - pernah mengisahkan: Saya sempat mengunjungi asy-Syibli ketika menjelang wafatnya. Ia berkata padaku, “Hati saya selalu diliputi kecemasan karena dirham yang tidak jelas, dimana saya menyedekahkan di pasar atas nama yang punya dirham tersebut. Dan tidak ada yang lebih menyibukkan pikiran saya dari perkara ini.” Lalu ia berkata “Tolong wudhuilah saya untuk melakukan shalat.” Saya pun melakukannya, tetapi saya lupa menyela-nyela jenggotnya. Sementara itu lidahnya sudah tidak mampu berbicara. Lalu ia memegang tangan saya dan dimasukkan di sela-sela jenggotnya dan kemudian wafat.
Sementara itu sebab kematian Abu al-Husain an-Nuri adalah karena la mendengar bait syair di bawah ini:
Saya tetap berdiam dalam ruang cinta-Mu,
dimana orang tak mengerti kapan lahir cinta-Mu.

Akhirnya la merasakan cintanya begitu membara, dan pergi ke padang sahara dengan tanpa tujuan sebagaimana orang yang linglung, kemudian la terjatuh di semak-semak bambu yang habis dipotong dimana sisa-sisa potongannya tajam seperti pedang. Ia berjalan di atas potongan-potongan bambu itu yang kemudian kakinya mengalirkan darah.Kemudian la dibawa pulang dan baru sampai ke rumahnya pada waktu pagi. Sementara darah masih mengucur deras dari kedua kakinya lalu ia jatuh pingsan, sampai meninggal kedua kakinya masih kelihatan bengkak.

Saya mendengar ad-Duqqi mengatakan: Kami berada di sisi Abu Bakar az-Zaqqaq - rahimahullah - di pagi hari, lalu ia berkata, “Ya Allah, berapa lama Engkau menjadikan saya tetap disini?” Sementara la belum sampai pada kalimat pertama ia keburu meninggal.
Sementara sebab kematian Ibnu Atha' - rahimahullah - adalah ketika la datang ke istana seorang menteri, kemudian disambut dengan kata-kata yang kasar. Kemudian la menegurnya, "Sedikit sopan dan halus wahai laki-laki." Akhirnya si menteri memerintahkan anak buahnya untuk memukul kepalanya dengan sepatu, sehingga la meninggal.

Ibrahim al-Khawwash wafat di masjid Jami' ar-Rayyi setelah menderita sakit perut. Ketika la bangkit dari suatu majelis kemudian ia masuk ke dalam air untuk membersihkan tubuhnya. Sekali ia masuk ke dalam air, kemudian ajal menjemputnya dan dia masih diatas genangan air.
Abu Imran al-Ushthukhri - rahimahullah - berkata: Saya melihat Abu Turab an-Nakhsyabi - rahimahullah - wafat di tengah-tengah gurun pasir dengan berdiri tanpa disangga oleh apapun.

Saya mendengar Abu Abdillah Ahmad bin Atha' ar-Rudzabari berkata: Saya mendengar sebagian kaum fakir berkata: Ketika Yahya al-Ushthukhri menjelang wafat, kami duduk di sekitarnya. kemudian salah seorang di antara kami berkata kepadanya, "Ucapkan, Ashaddu alla Ilaa Ha Ila Allah
(Saya bersaksi, bahwa tidak ada Tuhan yang haq selain Allah)."

Kemudian al-Ushthukhri duduk dan memegang tangan salah seorang di antara kami sembari berkata, 'Ucapkan, Ashaddu alla Ilaa Ha Ila Allah
"Kemudian ia melepaskannya, kemudian memegang tangan yang lain yang ada di sebelahnya dan berkata, "Ucapkan Ashaddu alla Ilaa Ha Ila Allah

Kemudian melepaskannya dan memegang tangan seorang di sampingnya lagi dan berkata, Ucapkan, Ashaddu alla Ilaa Ha Ila Allah

"Demikian seterusnya sampai masing-masing di antara kami disuruh mengucapkan kalimat syahadat. kemudian dia berbaring kembali lalu menemui ajalnya.
Sebagaimana dikisahkan kepada al Junaid, bahwa Abu Said al-Kharraz seringkali cintanya kepada Tuhan sangat membara ketika "menjelang kematiannya. Maka al-Junaid berkata, "Tidak mengherankan bila ruhnya terbang kepada-Nya karena sangat merindukan-NYa.
Demikianlah apa yang bisa kami ringkas tentang adab mereka. Sentara yang belum saya sebutkan cukup banyak. Semoga Allah senantiasa memberi taufik kepada kita.


MS@

Perilaku Manusia Dalam Dzikir Tauhid


Ibnu Athaillah As Sakandary


Manusia terbagi menjadi tiga kelompok dalam bertauhid dan berdzikir :
Kelompok pertama, adalah kalangan umum, yaitu kalangan pemula. Maka tauhidnya adalah bersifat lisan (oratif) belaka, baik dalam ungkapan, wacana, akidahnya,
dan keikhlasan, melalui Cahaya Syahadat Tauhid, " Laa Ilaaha Illallah Muhamadur Rasululullah". Ini diklasifikasikan tahap Islam. Kelompok kedua, kalangan Khusus Menengah, yaitu Tauhid Qalbu, baik dalam apresiasi, kinerja qalbu maupun akidah, serta keikhlasannya. Inilah disebut tahap Iman. Khususul Khusus, yaitu Tauhidnya akal, baik melalui pandangan nyata, yaqin dan penyaksian (musyahadah) kepadaNya. Inilah Tahap Ihsan.Maqomat Dzikir
Dzikir mempunyai tiga tahap (maqomat) :

1. Dzikir melalui Lisan : Yaitu dzikir bagi umumnya makhluk.
2. Dzikir melalui Qalbu : Yaitu dzikir bagi kalangan khusus dari orang beriman.
3. Dzikir melalui Ruh: Yaitu dzikir bagai kalangan lebih khusus, yakni dzikirnya kaum 'arifin melalui fana'nya atas dzikirnya sendiri dan lebih menyaksikan pada Yang Maha Didzikiri serta anugerahnya apada mereka.

Perilaku Dzikir "Allah"
Bagi pendzikir Ismul Mufrad "Allah" ada tiga kondisi ruhani:
Pertama: Kondisi remuk redam dan fana'.
Kedua: Kondisi hidup dan baqo'.
Ketiga: Kondisi nikmat dan ridlo.

Kondisi pertama: Remuk redam dan fana'Yaitu dzikir orang yang membatasi pada dzikir "Allah" saja, bukan Asma-asma lain, yang secara khusus dilakukan pada awal mula penempuhan. Ismul Mufrod tersebut dijadikan sebagai munajatnya, lalu mengokohkan manifestasi "Haa' di dalamnya ketika berdzikir.

Siapa yang mendawamkan (melanggengkannya) maka nuansa lahiriyahnya terfana'kan dan batinnya terhanguskan. Secara lahiriyah ia seperti orang gila, akalnya terhanguskan dan remuk redam, tak satu pun diterima oleh orang. Manusia menghindarinya bahkan ia pun menghindar dari manusia, demi kokohnya remuk redam dirinya sebagai pakaian lahiriahnya. Rahasia Asma "Allah" inilah yang hanya disebut. Bila menyebutkan sifat Uluhiyah, maka tak satu pun manusia mampu menyifatinya. Ia tidak menetapi suatu tempat, yang bisa berhubungan dengan jiwa seseorang, walau di tengah khalayak publik, sebagaimana firman Allah swt :
"Tidak ada lagi pertalian nasab diantara mereka di hari itu dan tidak ada pula saling bertanya." (Al-Mu'minun: 101)

Sedangkan kondisi batinnya seperti mayat yang fana, karena dzat dan sifatnya diam belaka. Diam pula dari segala kecondongan dirinya maupun kebiasaan sehari-harinya, disamping anggota tubuhnya lunglai, hatinya yang tunduk dan khusyu'.

Sebagaimana firmanNya :
"Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat." (Al-Muzammil: 5)
"Dan kamu lihat bumi ini kering, dan apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah, dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumjbuhan yang indah." (Al-Hajj : 5)

Kondisi kedua: Dari kondisi hidup dan abadi (baqo'), yaitu manakala orang yang berdzikir dengan Ismul Mufrod "Allah" tadi mencapai hakikatnya, kokoh dan melunakkan dirinya, maka simbol-simbilnya dan sifat-sifatnya terhanguskan.
Allah meniupkan Ruh Ridlo setelah "kematian ikhtiar dan hasrat kehendaknya". Ia telah fana' dari hasrat kebiasaan diri dan syahwatnya, dan telah keluar dari sifat-sifat tercelanya, lalu berpindah (transformasi) dari kondisi remuk redam nan fana' menuju kondisi hidup dan baqo'. Kondisi tersebut menimbulkan nuansa kharismatik dan kehebatan dalam semesta, dimana segalanya takut, mengagungkan dan metrasa hina dihadapan hamba itu bahkan semesta meraih berkah kehadirannya.

Kondisi ketiga: Kondisi Nikmat dan Ridlo, maka bagi orang yang mendzikirkan "Allah" pada kondisi ini senantiasa mengagungkan apa pun perintah Allah swt, jiwanya dipenuhi rasa kasih sayang terhadap sesame makhluk Allah Ta'ala, tidak lagi sembunyi-sembunyi dalam mengajak manusia menuju agama Allah swt. Dari jiwanya terhampar luas bersama Allah swt, hanya bagi Allah swt.

Rahmat Allah swt meliputi keleluasaannya, dan tak satu pun makhluk mempengaruhinya, bahkan atak ada sesuatu yang tersisa kecuali melalui jalan izin Allah swt. Ia telah berpindah dari kondisi ruhani hidup dan baqo', menuju kondisi nikmat dan ridlo, hidup dengan kehidupan yang penuh limpahan nikmat selamanya, mulia, segar dan penuh ridloNya. Tak sedikit pun ada kekeruhan maupun perubahan. Selamat, lurus dan mandiri dalam kondisi ruhaninya, aman dan tenteram.
Sebegitu kokohnya, ia bagaikan hujan deras yang menyirami kegersangan makhluk, dimana pun ia berada, maka tumbuhlah dan suburlah jiwa-jiwa makhluk karenanya. Hingga ia raih kenikmatan dan ridlo bersama Allah Ta'ala, dan Allah pun meridloinya. Allah swt berfirman :
"Kemudian Kami bangkitkan dalam kehidupan makhluk (berbentuk) lain, maka Maha Berkah Allah sebagai Sebagus-bagus Pencipta" (Al-Mu'minun: 14)[pagebreak]

Suatu hari seorang Sufi sedang berada di tengah majlisnya Asy-Syibly, tiba-tiba berteriak, "Allah!"
Asy-Syibly menimpali, "Apa-apaan ini! Kalau kamu memang jujur, maka kamu masyhur (di langit), jika kamu dusta, kamu benar-benar hancur!".

Seorang lelaki juga berteriak di hadapan Abul Qasim al-Junayd ra, dan Al-Junayd berkomentar, "Saudaraku Bila yang anda sebut itu menyaksikanmu dan anda pun hadir bersamaNya, berarti engkau telah mengoyak tirai dan kehormatan, dan mendapatkan kecemburuan aroma pecinta yang diberikan. Namun jika anda mengingatNya, sedangkan anda ghaib dariNya, maka menyebut yang ghaib (tidak hadir) berarti menggunjing. Padahal menggunjing itu haram."
Dikisahkan dari Abul Hasan ats-Tasury ra, ketika beliau berada di rumahnya selama tujuh hari tidak makan dan tidak minum serta tidak tidur, ia tetap terus menerus menyebut Allah…Allah…

Kisah ini disampaikan kepada Al-Junayd atas tingkah lakunya itu.
"Apakah dia menjaga kewajiban waktunya?" Tanya al-Junayd.
"Dia tetap sholat tetap pada waktunya."
"Alhamdulillah, Allah yang menjagaNya, dan tidak memberikan jalan kepada syetan padanya." Kata al-Junayd.
Kemudian al-Junayd berkata kepada para santri-santrinya, "Ayo kalian semua berdiri dan mendatanginya, mungkin kita bias memberi manfaat padanya atau sebaliknya kita mengambil faedah darinya."

Ketika al-Junayd masuk di hadapannya, al-Junayd berkata, "Wahai Abul Hasan, apakah ucapanmu Allah..Allah..itu bersama Allah (Billah) atau bersama dirimu sendiri? Bila engkau mengucapkan bersama Allah, maka bukan andalah yang mengucapkannya. Karena Dialah yang berkalam melalui lisan hambaNya. Sang Pendzikir adalah diriNya bersama DiriNya. Namun bila yang menyebut tadi adalah dirimu bersama dirimu, sedangkan anda juga bersama dirimu sendiri, maka apalah artinya remuk redam."
"Engkaulah sebaik-baik sang pendidik wahai Ustadz," kata Ats-Tsaury. Dan rasa gelisah remuk redamnya tiba-tiba hilang.

Dan aku remuk redam bersamamu karena mengenangmu
Dan benar atas kebaikan yang melimpah dengan kenangnanmu
Dan fana bersasmamu penuh keasyikan.
Siapa yang tak pernah merindu pada cinta
Asmara yang mengalahkan akalnya
Demi umurku sungguh ia celaka.
Tak ada dzikir melainkan tenggelam sirna dengan dzikirnya dari merasa berdzikir
Hanya kepada Yang Diingatlah yang terkenang
Dalam fana dan pertemuan
Siapa yang masih ada akalnya, ia tak akan pernah berdzikir
Siapa yang hilang dari dzikir, maka benarlah ia telah membubung kepadaNya

Dzikir itu sendiri merupakan pembersihan dari kealpaan dan kelupaan, melalui pelanggengan hadirnya qalbu dan keikhlasan dzikir lisan, disertai memandangNya, dariNya. Sang Tuanlah yang mengalurkan ucapan dzikir melalui lisan hambaNya.
Dikatakan, Dzikir adalah keluar dari medan kealpaan menuju padang musyahadah (penyaksian kepadaNya).

Hakikat dzikir adalah mengkonsentrasikan Yang didzikir, dengan sirrnya si pendzikir dari dzikirnya, dan fananya si pendzikir dalam musayahadah dan kehadiran jiwa, sehingga ia tidak terhilangkan dirinya melalui musyahadah kepadaNya di dalam musyahadahnya. Maka si pendzikir menyaksikan Allah bersama Allah, sehingga Allahlah Yang Berdzikir dan Yang Didzikir.

Maka dari segi kemudahan dariNya untuk si hamba, dan keleluasaan untuk berdzikir melalui lisannya, maka Dialah Yang Berdzikir kepadahambaNya, lalu segala yang disebutnya adalah dariNya.
Dari segi intuisi awal yang dating dariNya, maka Dialah Yang Berdzikir pada DiriNya melalui lisan hambaNya. Sebagaimana riwayat hadits shahih disebutkan, bahwa Allah Ta'ala berfirman: "Akulah pendengaran yang dengannya ia mendengar, dan Akulah penghlihatan yang dengannya ia melihat, dan Akulah lisannya yang dengannya ia bicara."
Dalam riwayat lain juga disebutkan, "Maka Akulah pendengaran, penglihatan, lisan, tangan dan penguat baginya."


MS@















 

Minggu, 08 Desember 2013

Rahasia Do'a Pernikahan

 Bismillahir Rahmanir Rahim.

Assallamu allaikum wr. wb

Rahasia Do'a Pernikahan
Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara hukum agama, hukum negara, dan hukum adat

Karena begitu sakralnya upacara ini, maka ketika kita menghadiri suatu upacara pernikahan, entah itu pernikahan sahabat, rekan, handai tolan, sudah lazimnya kita memberikan ucapan atau do'a kepada mereka.

Dan mungkin di antara kita ada yang masih mengucapkan do'a "Selamat berbagia, semoga murah rizki dan banyak anak." Atau mungkin ucapan-ucapan selamat lainnya.

Tahukah kawan, hukum dari pengucapan ini adalah “makruh”. Hal ini diceritakan dalam sebuah hadist sebagai berikut : Dari Al-Hasan, pada waktu pernikahan ‘Aqil bin Abi Thalib nikah dengan seorang wanita dari Jasyam, para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan jahiliyah yaitu, "Birafa’ Wal Banin" (semoga mempelai murah rezeki dan banyak anak).

Kemudian Aqil bin Abi Thalib melarang mereka seraya berkata : “Janganlah kalian ucapkan demikian . Karena Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam melarang ucapan demikian”. Para tamu bertanya :”Lalu apa yang harus kami ucapkan?”. Aqil menjelaskan :
“Ucapkanlah : Barakallahu lakum wa Baraka ‘Alaiykum”. Demikianlah ucapan yang diperintahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. [Hadits Shahih Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Darimi 2:134, Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad 3:451, dan lain-lain].

Atau lebih lengkapnya seperti ini :
باَرَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ وَجَمَعَ بَيْنَكُمَا فِيْ خَيْرٍ

“Semoga Allah memberi berkah padamu, semoga Allah memberi berkah atasmu, dan semoga Ia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan” (HR. Abu Dawud (1819), Tirmidzi (1011), dan yang lainnya, dishohihkan oleh Albani)

Dalam hadits tersebut terdapat 2 preposisi yaitu للام dan على . Preposisi اللام /laam/ secara harfiyah artinya memang bisa diterjemahkan ‘pada’. Adapun على /’alaa/ dapat diterjemahkan ‘di atas’. Akan tetapi, jika kedua preposisi tersebut terdapat dalam satu kalimat secara bersamaan, makna preposisi tersebut tidak bisa lagi diterjemahkan secara harfiyah 'pada’ atau ‘di atas’ lagi.

Dari perbedaan ini, maka muncul berbagai versi terjemahan, antara lain :
• Terjemahan Pertama
“Semoga Allah memberikan berkah (yang bermanfaat) untukmu, semoga Dia (juga) memberikan berkah (yang turun) atasmu, dan semoga Dia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.

Menurut As-Sindi dalam kitab syarahnya untuk Sunan Ibnu Majah, ia mengatakan :
الْبَرَكَة لِكَوْنِهَا نَافِعَة تَتَعَدَّى بِاللَّامِ وَلِكَوْنِهَا نَازِلَة مِنْ السَّمَاء تَتَعَدَّى بِعَلَى فَجَاءَتْ فِي الْحَدِيث بِالْوَجْهَيْنِ لِلتَّأْكِيدِ وَالتَّفَنُّن وَالدُّعَاء مَحَلّ لِلتَّأْكِيدِ وَاَللَّه تَعَالَى اِعْلَمْ

“Berkah itu, karena bermanfaat (untuk hamba) maka dipakailah preposisi “Laam”, dan karena berkah (juga) turunnya dari langit, maka dipakailah preposisi “Alaa”.

Oleh karenanya dalam hadits ini dipakai dua-duanya untuk lebih memperkuat makna, dan lebih memvariasikan kata. (Yang demikian itu), karena doa itu momen (yang tepat) untuk memperkuat (makna), wallahu a’lam”. (lihat di syarah As-Sindi untuk Sunan Ibnu Majah, hadits no: 1895, lihat juga di Mirqotul Mafatih 8/377)

* Rahasia Do’a pertikahan Terjemahan Kedua.*
 “Semoga Allah memberkahimu (dalam urusan duniamu), semoga Dia (juga) memberkahimu (dalam urusan akhiratmu), dan semoga Dia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.
 Terjemahan ini didasarkan pada adanya beberapa nash yang menghubungkan manfaat duniawi dengan preposisi “Laam”, di sisi lain ada beberapa nash yang menghubungkan urusan akhirat dengan preposisi “Alaa”.

Adapun nash-nash tersebut antara lain :
Sabda Nabi -shollallahu alaihi wasallam-:

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِي بَيْعِهِمَا
Dua pelaku teransaksi itu masih dalam khiyar selama belum pisah, lalu jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya diberkahi dalam transaksinya. (HR. Bukhori:1937 dan Muslim: 2825).

* Rahasia Do’a pertikahan. Terjemahan Ketiga.*

“Semoga Allah memberkahimu (di saat rumah tanggamu harmonis), semoga Dia (tetap) memberkahimu (di saat rumah tanggamu lagi renggang), dan semoga Dia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”

Preposisi “Laam” dan “Alaa” disandingkan dalam doa ini, berarti keduanya memiliki arti yang berbeda, dan sesuai kaidah bahasa arab, biasanya preposisi “Laam” itu dipakai untuk menunjukkan makna yang baik, sedangkan preposisi “Alaa” digunakan untuk menunjukkan makna yang buruk.

Dan keadaan baik ketika berkeluarga adalah ketika terwujud suasana yang harmonis antara keduanya, sedang keadaan yang buruk dalam berkeluarga adalah ketika hubungan keduanya sedang renggang dan banyak masalah.

* Rahasia Do’a pertikahan. Terjemahan Keempat*
 “Semoga Allah memberkahi (istrimu) untukmu,
semoga Allah menurunkan berkah atasmu (dalam menafkahi dan memudahkan rizkinya), dan semoga Allah mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.

Makna “Alaa” itu identik untuk menerangkan sesuatu yang datang dari atas, maka ditentukanlah makna rizki dan nafkah dalam doa itu.

Allah berfirman: “Dan di langit itu, terdapat rizki dan apa yang dijanjikan untuk kalian” (Surat Adz-Dzariyat: 22).

Dan karena preposisi “Alaa” dipakai untuk menerangkan datangnya sesuatu dari atas yang berupa rizki dan nafkah, berarti preposisi “Laa” bermakna sebaliknya, yakni untuk menerangkan sesuatu yang dari sesama manusia, dan karena momen doa ini adalah ketika baru mendapat nikmat istri yang halal, maka ditentukanlah kata istri dalam memaknainya. (kitab Faidhul Qodir, karya Al-Munawi 1/406).

* Rahasia Do’a pertikahan. Terjemahan Kelima*
 “Semoga Allah memberkahi dirimu (dalam pernikahan ini), semoga Allah juga memberikan berkah atas (anak dan keturunan)-mu, dan semoga Allah mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.
 Karena keberkahan dari pernikahan itu bergantung dari masing-masing mempelai, maka dipakailah preposisi “Laam” yang menunjukkan makna kepemilikan.

Sedang alasan ditentukannya preposisi “Alaa” untuk makna “anak dan keturunan” adalah, karena tujuan utama pernikahan itu “berputar” pada anak dan keturunan. (Kitab Mirqotul Mafatih 8/377 dan Faidhul Qodir 1/176)

Penjelasan Rahasia Do’a pertikahan penutup. (akhir).

Begitu pula sabda beliau berikut ini:

*Rahasia Do’a pertikahan.Terjemahan Keenam.*

“Semoga Allah memberikan berkah pada (hak)-mu (dari pernikahan ini), semoga Allah juga memberikan berkah atas (kewajiban)-mu (karena pernikahan ini), dan semoga Allah mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”.

Karena biasanya dalam bahasa arab, preposisi “laam” itu digunakan untuk menyebutkan sesuatu yang menjadi hak dan kepunyaannya, sedang preposisi “alaa” digunakan untuk menyebutkan sesuatu yang menjadi kewajiban seseorang.

Dari berbagai versi terjemahan tersebut, maka makna do'a tersebut bisa dijabarkan sebagai berikut :

“Semoga Allah memberikan berkah (yang bermanfaat) untukmu”, baik berkah itu dalam urusan dunia maupun akhirat, baik berkah itu disaat rumah tanggamu sedang harmonis atau tidak, baik berkah itu pada rizki dan nafkah yang kau berikan kepada istri atau pada yang lainnya, baik berkah itu dari istrimu atau dari yang lain, baik berkah itu dalam hakmu atau kewajibanmu.

“Semoga Dia (juga) memberikan berkah (yang turun) atasmu”, baik berkah itu dalam urusan dunia maupun akhirat, baik berkah itu disaat rumah tanggamu sedang harmonis atau tidak, baik berkah itu pada rizki dan nafkah yang kau berikan kepada istri atau pada yang lainnya, dan baik berkah itu dari istrimu atau dari keturunanmu, atau dari yang lain, baik berkah itu dalam hakmu atau kewajibanmu.

“Dan semoga Dia mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan”
Cakupan do'a ini begitu luas dari sekedar "semoga berbagia, murah rizki dan banyak anak" yang biasa kita ucapkan pada suatu pernikahan. Inilah diantara mukjizat kenabian Beliau yang biasa disebut dengan mukjizat “Jawami’ul Kalim” (Kata yang singkat, tapi maknanya padat).

Dan dari do'a di atas, kalau kita cermati, semua kuncinya terletak pada kata "keberkahan".

Sebagaimana kita ketahui bahwa keberkahan sendiri berasal dari kata “Berkah” atau “al-barakah” yang secara bahasa bisa diartikan “berkembang, bertambah dan kebahagiaan.” (Al-Misbah al-Munir oleh al-Faiyyumy 1/45, al-Qamus al-Muhith oleh al-Fairuz Abadi 2/1236, dan Lisanul Arab oleh Ibnu Manzhur 10/395).

Sementara Imam an-Nawawi mengatakan “asal makna keberkahan ialah kebaikan yang banyak dan abadi.” (Syarah Shahih Muslim oleh an-Nawawi, 1/225).

Dengan do'a yang penuh keberkahan ini, diharapkan kebahagiaan, keharmonisan, limpahan rizki serta faktor penunjang keharmonisan suatu keluarga itu sendiri akan terus bertambah dan abadi. InsyaAllah . . . Aamiin.

* dari berbagai sumber
Demikianlah yang dapat aku haturkan semoga saja ada manfaatnya bagi kita semua Aamiin...Wassalam.






Jumat, 06 Desember 2013

BAHTERA DHUHA DISAMUDERA ALFATIHAH.


Dipagi hari nan sejuk
Bahtera Dhuha mengembang layar.
Disamudera akbar, damai AlFatihah.
Angin semilir mendorong bahtera ketenggah.
Tiada badai , gelombang dan karang.
Hening dalam khusu'
Dimigrabnya.
Dengan nama pengasih diatas para pengasih.
Penyayang diatas para penyanyang.

Bahtera Dhuha disamudera AlFatihah.
Setiap kata dalam hening dimigrabnya.
Segala puja pembina alam.
Pengasih diatas para pengasih.
Penyayang diatas para penyayang.
Penguasa diatas para penguasa.
Hari pembalasan.

Bahtera Dhuha disamudera AlFatihah.
Berulang dan teruskan berulang.
Tujuh ayat yang diulang dari subuh, zhohor , Ashar, Magrib, Isya dan kembali ke Dhuha.
Dalam hening khusu' dimigrabnya.
Diatas Shirat lurus , shirat kenikmatan bukan menyesatkan.

Bahtera Dhuha disamudera AlFatihah.
Ditunjuki bahtera ketenggah Samudera.
Metetes air mata menyesak dada.
Hening khusu" dalam migrabnya.
Tampa hijab tercurah nikmat.

disadur dari
naskah sahabatku;  Padanglua Manyusun Kaba


Sebuah Kisah Yang Patut Untuk Dijadikan Bahan Renungan.


Boleh Jadi Kamu Membenci Sesuatu Padahal Ia Amat Baik Bagimu

Dahulu, sebelum ada vaksinasi, cacar adalah salah satu penyakit yang tersebar di mana-mana, dan atas kehendak Allah Yang Maha Hidup dan Maha Mengurus segala sesuatu, sering kali (penyakit cacar itu) mengakibatkan kematian di kalangan masyarakat.

Syahdan, di antara mereka ada yang terjangkit bencana ini; seorang lelaki berumur 6 tahun dari sebuah dusun di utara kota Buraidah di wilayah Al-Qashim. Peristiwa ini terjadi di abad 14 H. Akibatnya, ia mengalami kebutaan total dan berwajah bopeng.

Anak ini tinggal di tengah saudara-saudaranya yang bekerja sebagai petani di sawah. Dia sering berlari-lari di belakang mereka, hendak mengejar mereka saat berjalan bersama.

Akan tetapi, tentu saja hal ini sering kali menyebabkannya tersandung dan terjerembab di mana-mana, lalu terluka. Namun, ia segera bangkit mengejar arah datangnya suara mereka, lalu ia menabrak pohon di mana-mana, sementara saudara-saudaranya hanya menertawainya ketika ia jatuh, bahkan (mereka) mengejeknya, “Buta …! Buta …!”

Mereka tidak peduli dan tidak menanyakan apabila dia tidak ada dan (mereka) bersikap acuh kalau dia ada di tengah mereka. Bahkan, di kala orang tuanya tidak ada dirumah, sering kali ia menjadi bulan-bulanan saudara-saudaranya, yaitu ketika dia disuruh berjalan lalu terantuk dan terjatuh, maka ia menjadi bahan tertawaan.

Meskipun demikian, dia termasuk anak yang lincah dan gerakannya ringan. Kemauannya keras dan mempunyai ketabahan, dan Allah telah mengaruniakan kepadanya kecerdasan dan kemauan yang keras. Dia selalu berupaya melakukan apa saja yang dia mau. Dia ingin mengerjakan lebih banyak daripada yang dilakukan orang normal.

Ayahnya adalah orang yang miskin. Dia memandang anaknya yang buta ini hanya menjadi beban saja, karena dia tidak mendapatkan manfaat dan keuntungan darinya sebagaimana saudara-saudaranya yang lain.


Suatu hari, salah seorang temannya datang ke rumah. Sudah beberapa tahun mereka tidak jumpa. Dia lalu mengadukan kepada temannya tersebut perihal anaknya yang buta bahwa anak itu tidak berguna, bahkan mereka sekeluarga selalu sibuk mengurus dan melayaninya, sehingga menghambat sebagian pekerjaan mereka.

Tamu tersebut menyarankan agar anak itu dikirim ke Riyadh agar mendapat jaminan makanan dari jamuan yang selalu diadakan oleh Ibnu Sa’ud (Setelah keamanan dalam negeri di seluruh Jazirah Arab terkendali di tangan Raja Abdul ‘Aziz rahimahullah, dia mengadakan jamuan khusus untuk memberi makan kaum fakir miskin dan orang orang terlantar.

Pada masa itu, jamuan tersebut sangat terkenal), sehingga (ia) akan selalu bertemu dengan orang orang yang mengasihinya setiap saat.

Ide tersebut diterima dengan baik oleh ayahnya. Ketika ada seorang tukang unta tampak sedang membuat kayu ke atas punggung untanya yang biasanya menjual barang dagangan di Riyadh, ayahnya menghampiri tukang unta dan berkata, “Aku hendak menitipkan anakku ini padamu.

Bawalah dia pergi ke Riyadh dan saya beri kamu dua riyal, dengan syarat: kamu taruh dia di masjid, dan kamu tunjukkan di mana letak jamuan makan dan sumur masjid agar dia bisa minum dan berwudhu, dan serahkan dia kepada orang yang mau berbuat kebajikan kepadanya.”

Berikut ini penuturan kisah sang anak setelah (ia) dewasa,
Aku dipanggil ayahku -rahimahullah-. Pada waktu iu, umurku baru mendekati 13 tahun. Beliau berkata, “Anakku, di Riyadh itu ada halaqah-halaqah ilmu, ada jamuan makan yang akan memberimu makan malam setiap hari, dan lain sebagainya.

Kamu akan betah disana, insya Allah. Kamu akan ayah titipkan pada orang ini. Dia akan memberitahu kamu apa saja yang kamu inginkan ….”
Tentu saja, aku menangis keras-keras dan mengatakan, “Benarkah orang sepertiku tidak memerlukan lagi keluarga?

Bagaimana mungkin aku berpisah dengan ibuku, saudara-saudara, dan orang orang yang aku sayangi? Bagaimana aku akan mengurus diriku di negeri yang sama sekali asing bagiku, sedangkan di tengah keluargaku saja aku mengalami kesulitan? Aku tidak mau!”

Aku dibentak oleh ayahku. Beliau berkata kasar kepadaku. Selanjutanya, beliau memberiku pakaian-pakaianku seraya berkata, “Tawakal kepada Allah dan pergilah …. Kalau tidak, kamu akan aku begini dan begini ….”

Suara tangisku makin keras, sementara saudara-saudaraku hanya diam saja di sekelilingku. Selanjutnya, aku dibimbing oleh si tukang unta sambil menjanjikan kepadaku hal-hal yang baik baik dan meyakinkan aku bahwa aku akan hidup enak di sana.

Aku pun berjalan sambil tetap menangis. Tukang unta itu menyuruh aku berpegangan pada ujung kayu di bagian kelakang unta. Dia berjalan di depan unta, sedangkan aku di belakangnya, sementara suara tangisku masih tetap meninggi. Aku menyesali perpisahanku dengan keluargaku.

Setelah lewat sembilan hari perjalanan, tibalah kami di tengah kota Riyadh. Tukang unta itu benar benar menaruh aku di masjid dan menunjukkan aku letak sumur dan jamuan makan. Akan tetapi aku masih tetap tidak menyukai semuanya dan masih merasa sedih. Aku menangis dari waktu ke waktu.

Dalam hati, aku berkata, “Bagaimana mungkin aku hidup di suatu negeri yang aku tidak mengetahui apa pun dan tidak mengenal siapa pun? Aku berangan-angan, andaikan aku bisa melihat, pastilah aku sudah berlari entah kemana … ke padang pasir barangkali.

Akan tetapi, atas rahmat Allah, ada beberapa orang yang menaruh perhatian kepadaku di masjid itu. Mereka menaruh belas kasihan kepadaku, lalu mereka membawaku kepada Syekh Abdurrahman Al-Qasim rahmahullah dan mereka katakan, “Ini orang asing, hidup sebatang kara.”

Syekh menghampiri aku, lalu menanyai siapa namaku dan nama julukanku, dan dari negeri mana. Kemudian, beliau menyuruh aku duduk di dekatnya, sementara aku menyeka air mataku. Beliau berkata, “Anakku, bagaimana ceritamu?” Kemudian, aku pun menceritakan kisahku kepada beliau.

“Kamu akan baik baik saja, insya Allah. Semoga Allah memberimu manfaat dan membuat kamu bermanfaat. Kamu adalah anak kami dan kami adalah keluargamu. Kamu akan melihat nanti hal-hal yang menggembirakanmu di sisi kami.

Kamu akan kami gabungkan dengan para pelajar yang sedang menuntut ilmu dan akan kami beri tempat tinggal dan makanan. Di sana ada saudara-saudara di jalan Allah yang akan selalu memperhatikan dirimu.”

Aku menjawab, “Semoga Allah memberi Tuan balasan yang terbaik, tetapi aku tidak menghendaki semua itu. Aku ingin Tuan berbaik hati kepadaku, kembalikan aku kepada keluargaku bersama salah satu kafilah yang menuju Al-Qashim.”

Syekh berkata, “Anakku, coba dulu kamu tinggal bersama kami, barangkali kamu akan merasa nyaman. Kalau tidak, kami akan mengirim kamu kembali kepada keluargamu, insya Allah.”

Selanjutnya, Syekh memanggil seseorang lalu berkata, “Gabungkan anak ini dengan Fulan dan Fulan, dan katakan kepada mereka, perlakukan dia dengan baik.”

Orang itu membimbing dan membawaku menemui dua orang teman yang baik hati. Keduanya menyambut kedatanganku dengan baik dan aku pun duduk di sisi mereka berdua, lalu aku ceritakan kepada mereka berdua keadaanku dan mengatakan bahwa aku tidak betah tinggal di situ karena harus berpisah dari keluargaku.

Tak ada yang dilakukan kedua temanku itu selain mengatakan kepadaku perkataan yang menghiburku. Keduanya menjanjikan kepadaku yang baik-baik dan bahwa kami akan sama sama mencari ilmu, sehingga aku sedikit merasa tenteram dan senang kepada mereka. Keduanya selalu bersikap baik padaku.

Semoga Allah memberi mereka dariku balasan yang terbaik. Akan tetapi, aku sendiri belum juga terlepas dari kesedihan dan keenggananku tinggal di sana. Aku masih tetap menangis dari waktu ke waktu atas perpisahanku dengan keluargaku.

Kedua temanku itu tinggal di sebuah kamar dekat masjid. Aku tinggal bersama mereka. Keseharianku selalu bersama mereka. Pagi-pagi benar, kami pergi shalat subuh, lalu duduk di masjid mengikuti pengajian Alquran sampai menjelang siang. Syekh menyuruh kami menghapal Alquran.

Sesudah itu, kami kembali ke kamar, istirahat beberapa saat, makan ala kadarnya, kemudian kembali lagi ke pengajian hingga tiba waktu zuhur. Barulah setelah itu, kami istirahat, yakni tidur siang (qailulah), dan sesudah shalat Ashar kami kembali lagi mengikuti pengajian.

Demikian yang kami lakukan setiap hari hingga akhirnya mulailah aku merasa betah sedikit demi sedikit, makin membaik dari hari ke hari, bahkan akhirnya Allah melapangkan dadaku untuk menghapal Al Quran, terutama setelah Syekh–rahimahullah–memberi dorongan dan perhatian khusus kepadaku.

Aku pun melihat diriku mengalami kemajuan dan menghapal hari demi hari. Sementara itu, Syekh selalu mempertajam minat para santrinya. Pernah suatu kali, beliau berkata, “Kenapa kalian tidak meniru si Hamud itu? Lihatlah bagaimana kesungguhan dan ketekunannya, padahal ia orang buta!”

Dengan kata-kata itu, aku semakin bersemangat, karena timbul persaingan antara aku dan teman temanku dalam kebaikan. Oleh karena itu, kurang dari satu setengah bulan, Allah ta’ala telah mengaruniai aku ketenteraman dan ketenangan hati, sehingga dapatlah aku menikmati hidup baru ini.

Syahdan, setelah tujuh bulan lamanya aku tinggal di sana, aku katakan dalam diriku, “Subhanallah, betapa banyak kebaikan yang terdapat dalam hal-hal yang tidak disukai hawa nafsu, sementara diri kita melalaikannya!

Kenapa aku harus sedih dan menangisi kehidupan yang serba kekurangan di tengah keluargaku, yang ada hanya kebodohan, kemiskinan, kepayahan ketidakpedulian, dan penghinaan, sedangkan aku merasa menjadi beban mereka?”

Demikianlah kehidupan yang aku jalani di Riyadh setiap harinya, sehingga kurang dari sepuluh bulan aku sudah dapat menghafal Alquran sepenuhnya, alhamdulillah. Kemudian, aku ajukan hapalanku itu kehadapan Syekh sebanyak dua kali.

Selanjutnya, Syekh mengajak aku pergi menemui para guru besar, yaitu Syekh Muhammad bin Ibrahim dan Syekh Abdul Latif bin Ibrahim. Aku diperkenalkan kepada mereka. Kemudian, guruku itu berkata, “Kamu akan ikut bergabung dalam halaqah-halaqah ilmu.

Adapun murajaah Alquran, dilakukan sehabis shalat subuh, kamu akan dipandu oleh Fulan. Sesudah magrib, kamu akan dipandu oleh Fulan.”

Sejak saat itu, mulailah aku menghadiri halaqah-halaqah dari para guru besar itu, yang bisa menimba ilmu dengan kesungguhan hati. Materi pelajaran yang diberikan meliputi Akidah, Tafsir, Fikih, Ushul Fikih, Hadits, Ulumul Hadits, dan Fara’idh. Seluruh materi diberikan secara teratur, masing-masing untuk materi tertentu.

Sementara itu, aku sendiri, hari demi hari semakin merasa betah, semakin senang, dan tenteram hidup di lingkungan itu. Aku benar benar merasa bahagia mendapat kesempatan mencari ilmu.

Sementara itu, agaknya orang tuaku di kampung selalu bertanya kepada orang-orang yang bepergian ke Riyadh, dan tanpa sepengetahuanku beliau mendapat berita-berita tentang perkembanganku.

Demikianlah, alhamdulillah, aku berkesempatan untuk terus mencari ilmu dan menikmati taman-taman ilmu. Setelah tiga tahun, aku meminta izin kepada guru-guruku untuk menjenguk keluargaku di kampung. Kemudian, mereka menyuruh orang untuk mengurus perjalananku bersama seorang tukang unta.

Dengan memuji Allah, aku pun berangkat hingga sampailah aku kepada keluargaku. Tentu saja, mereka sangat gembira dan kegirangan menyambut kedatanganku, terutama Ibuku–rahimahallah–. Mereka menanyakan kepadaku tentang keadaanku dan aku katakan, “Aku kira, tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang lebih bahagia selain aku ….”

Ya, kini mereka melihatku dengan senang dan santun. Demikian pula, aku melihat mereka menghargai dan menghormati aku, bahkan menyuruhku mengimami shalat mereka. Aku menceritakan kepada mereka pengalaman-pengalaman yang telah aku alami selama ini. Mereka senang mendengarnya dan memuji kepada Allah.

Setelah beberapa hari berada di lingkungan keluargaku, aku pun meminta izin untuk pergi meninggalkan mereka kembali. Mereka bersikeras memintaku untuk tetap tinggal, tapi aku segera mencium kepada ayah-bundaku.

Aku meminta pengertian dan izin kepada keduanya, dan alhamdulillah mereka mengizinkan. Akhirnya aku kembali ke Riyadh meneruskan pelajaranku. Aku makin bersemangat mencari ilmu.

Adapun dari teman-temannya yang seangkatan, ada di antaranya yang menceritakan, “Dia sangat rajin dan bersemangat dalam mencari ilmu, sehingga dikagumi guru-gurunya dan teman-teman seangkatannya. Sangat banyak ilmu yang dia peroleh.

Adapun hal yang sangat ia sukai adalah apabila ada seseorang yang duduk bersamanya dengan membacakan kepadanya sebuah kitab yang belum pernah ia dengar, atau ada orang yang berdiskusi dengannya mengenai berbagai masalah ilmu. Dia memiliki daya hapal yang sangat mengagumkan dan daya tangkap yang luar biasa.

Tatkala umunya mencapai 18 tahun, dia diperintahkan oleh guru didiknya dihadapan santri santri kecil dan agar menyuruh mereka menghapalkan beberapa matan kitab.

Ketika Fakultas Syariah Riyadh dibuka, beberapa orang gurunya menyarankan dia mengikuti kuliah. Dia mengikutinya, dan dengan demikian dia, termasuk angakatan pertama yang dihasilkan oleh fakultas tersebut pada tahun 1377 H. Kemudian, dia ditunjuk menjadi tenaga pengajar di Fakultas Syariah di kota itu.

Pada akhir hayatnya, dia pindah mengajar di fakultas yang sama di Al-Qashim, dan lewat tangannya muncullah sekian banyak mahasiswa yang kelak menjadi hakim, orator, guru, direktur, dan sebagainya.

Pada tiap musim haji, dia tergabung dalam rombongan pada mufti dan da’i, di samping kesibukannya sebagai pebisnis tanah dan rumah, sehingga dia bisa memberi nafkah kepada keluarganya dan saudara saudaranya, dan dapat pula membantu kerabat-kerabatnya yang lain.

Adapun saudara saudaranya yang dulu sering mengejeknya semasa kecil, kini mereka mendapatkan kebaikan yang melimpah darinya, karena sebagian mereka, ada yang kebetulan tidak pandai mencari uang.

Betapa banyak karunia dan nikmat yang terkandung pada hal-hal yang tidak disukai dari diri kita. Akan tetapi, firman Allah yang Maha Agung tentu lebih tepat,

عَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ (٢١٦)

“Boleh jadi, kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah yang paling mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah:216)
***

Disalin dari buku berjudul “Obat Penawar Hati yang Sedih“, karya Sulaiman bin Muhammad bin Abdullah Al-’Utsaimin. Penerbit: Darus Sunnah.

Demikianlah Saudaraku semoga saja sajian ini ada manfaatnya bagi kita semua Aamiin Wassalam.
— bersama ms@

* MENGAPA HATI MEMBATU..?


Assalamu Allaikum Wr.Wb.

Saudaraku...

Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan dalam kitabnya Bada’i al-Fawa’id [3/743], “Tatkala mata telah mengalami kekeringan disebabkan tidak pernah menangis karena takut kepada Allah ta’ala, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya keringnya mata itu adalah bersumber dari kerasnya hati.

Hati yang paling jauh dari Allah adalah hati yang keras.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdoa kepada Allah agar terlindung dari hati yang tidak khusyu’, sebagaimana terdapat dalam hadits,

“Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari hawa nafsu yang tidak pernah merasa kenyang, dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR. Muslim [2722]).

Diriwayatkan dari Uqbah bin Amir radhiyallahu’anhu, dia berkata,
“Wahai Rasulullah, apakah keselamatan itu? Apakah keselamatan itu?”.

Maka Nabi menjawab, “Tahanlah lisanmu, hendaknya rumah terasa luas untukmu, dan tangisilah kesalahan-kesalahanmu.” (HR. Tirmidzi [2406], dia mengatakan;
hadits hasan. Hadits ini disahihkan al-Albani dalam Shahih at-Targhib [2741]).

Abu Sulaiman ad-Darani rahimahullah mengatakan [al-Bidayah wa an-Nihayah, 10/256], “Segala sesuatu memiliki ciri, sedangkan ciri orang yang dibiarkan binasa adalah tidak bisa menangis karena takut kepada Allah.”

Dan diantara sebab kerasnya hati adalah :

* Berlebihan dalam berbicara
* Melakukan kemaksiatan atau tidak menunaikan kewajiban
* Terlalu banyak tertawa
* Terlalu banyak makan
* Banyak berbuat dosa
* Berteman dengan orang-orang yang jelek agamanya

Agar hati yang keras menjadi lembut
Disebutkan oleh Ibnu al-Qayyim di dalam al-Wabil as-Shayyib [hal.99] bahwa suatu ketika ada seorang lelaki yang berkata kepada Hasan al-Bashri, “Wahai Abu Sa’id! Aku mengadu kepadamu tentang kerasnya hatiku.” Maka Beliau menjawab, “Lembutkanlah hatimu dengan berdzikir.”

Sebab-sebab agar hati menjadi lembut dan mudah menangis karena Allah antara lain :

* Mengenal Allah melalui nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan-Nya
* Membaca al-Qur’an dan merenungi kandungan maknanya
* Banyak berdzikir kepada Allah
* Memperbanyak ketaatan
* Mengingat kematian, menyaksikan orang yang sedang di ambang kematian atau
melihat jenazah orang

* Mengkonsumsi makanan yang halal
* Menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat
* Sering mendengarkan nasehat
* Mengingat kengerian hari kiamat, sedikitnya bekal kita dan merasa takut kepada
Allah
* Meneteskan air mata ketika berziarah kubur
* Mengambil pelajaran dari kejadian di dunia seperti melihat api lalu teringat akan
neraka
* Berdoa
* Memaksa diri agar bisa menangis di kala sendiri

Tidak mengamalkan ilmu, sebab hati menjadi keras
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Disebabkan tindakan (ahli kitab) membatalkan ikatan perjanjian mereka, maka Kami pun melaknat mereka, dan Kami jadikan keras hati mereka. Mereka menyelewengkan kata-kata (ayat-ayat) dari tempat (makna) yang semestinya, dan mereka juga telah melupakan sebagian besar peringatan yang diberikan kepadanya.” (QS. Al-Maa’idah : 13).

Syaikh As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa kerasnya hati ini termasuk hukuman paling parah yang menimpa manusia (akibat dosanya). Ayat-ayat dan peringatan tidak lagi bermanfaat baginya. Dia tidak merasa takut melakukan kejelekan, dan tidak terpacu melakukan kebaikan, sehingga petunjuk (ilmu) yang sampai kepadanya bukannya menambah baik justru malah semakin menambah buruk keadaannya.

Untuk itu maka renungkanlah wahai Saudaraku semoga saja kita kan terbebas dari kekerasan hati yang hanya akan menjerumuskan diri kita pada ajab serta siksa-Nya nudzubillahimindzalik. sekian dan Wassalam moga saja ada manfaatnya buat kita semua Aamiin Wassalam.
ms@