Laman

Kamis, 07 Agustus 2014

Fungsi Wacana Para Sufi

“Wacana mereka kadang karena limpahan anugerah hakikat, atau karena untuk memberi petunjuk bagi para penempuh. Yang pertama, adalah perilaku jiwa para penempuh, dan yang kedua adalah kondisi jiwa orang yang meraih kemandirian dan hakikat.”
Hakikat-hakikat yang tiba pada sang penempuh (salik) haruslah dirahasiakan, karena dikawatirkan hakikat itu bertebaran, sebab hakikat itu rahasia Allah Azza wa-Jalla. Hakikat itu turun pada penempuh semata hanya untuk mewujudkan kekokohan ruhaninya (dalam pendidikan Ilahiyah), bukan untuk disebarkan. Hal demikian agar si murid dan salik benar-benar lepas dari perubahan-perubahan yang membuat hatinya ruwet.
Dalam syarah Al-Hikam, Syeikh Zarruq menegaskan, bahwa hal demikian, disebabkan sang murid masih terus menempuh berbagai ahwal (perilaku ruhani), dan ia memang belum meraih kekokohan sehingga memang tidak layak untuk menjadi panutan. Ia masih harus sibuk dengan dirinya, dengan hatinya, dengan pendidikan jiwanya, agar tetap tawajjuh (konsentrasi menghadap padaNya), sehingga belum bisa memberikan arahan pada yang lainnya.
Sedangkan bagi mereka yang sudah kokoh hakikatnya, justru bisa mengendalikan hakikat dan kondisi ruhaninya, sudah tuntas pendidikan jiwanya, sehingga ia bisa memberikan arahan dan petunjuk pada yang lainnya. Bisa bernilai sunnah ketika memberi petunjuk, dan bisa bernilai wajib. Tidak wajib, kecuali karena adanya perintah dariNya.
Mereka yang sudah Mutamakkin (Mandiri Hakikatnya) dalam kema’rifatan tentu tidak pernah terpengaruh oleh berbagai peristiwa, semata karena kemandirikan hakikat dalam hati, ruh dan sirr-nya. Lalu dalam proses memberikan arahan petunjuk hendaknya ia menjaga wacana atau ungkapan menurut hak dirinya atau sebagai pihak yang bicara, serta menjaga hak umumnya ahli thariqah dan yang lain menurut kapasitasnya.
Hak dirinya, adalah ia tidak mengungkapkannya kecuali atas apa yang telah kokoh hakikatnya pada dirinya.
Sedangkan hak sebagai penyampai, ia menyampaikannya menurut kadar situasi kondisi jiwa, rasa, pemahaman, dan pengetahuannya, tanpa harus membuat uraian melebar atau menyempit, agar benar-benar bermanfaat. Karena bisa saja uraian yang melebar atau menyempit malah sia-sia.
Untuk haknya bagi yang lain, hendaknya ia mengungkapkan menurut kapasitas kemampuan publik menerimanya, jangan sampai hal-hal spesifik disampaikan ke publik yang membuat salah faham yang menimbulkan kontradiktif.
Selanjutnya Ibnu Athaillah as-Sakandary menegaskan:
“Wacana-wacana itu adalah konsumsi bagi kebutuhan keluarga para penyimak, jadi tidak ada bagimu melainkan anda sendiri telah menjadi pengkonsumsi.”
Para penyimak hakikat ibarat para pengkonsumsi, yang menjadi keluarga orang yang menyampaikannya. Wacana itu adalah konsumsi mereka, agar makna-makna menguatkan jiwanya, sebagaimana konsumsi itu menguatkan badannya.
Karena itu bagi penyampai wacana hakikat, haruslah mengenal karakteristik yang berbeda-beda dari keluarganya, tentu mengharuskannya untuk menjaga, mendidik, sehingga hatinya mereka kenyang dan akal mereka sehat, jauh dari bahaya baik saat ini maupun masa depan. Karena itu wacana tidak boleh berbelit-belit dan sangat sulit difahami.
Orang yang bicara dan menyampaikan wacana hakikat haruslah ia sendiri telah mengkonsumsinya, jangan sampai ia belum pernah merasakannya lalu memberikan pada yang lainnya.
Yang disampaikan tentu yang juga layak untuk anda konsumsi, jangan sampai menyampaikan konsumsi yang sesungguhnya bagi anda sendiri masih asing.
Jangan sampai menyampaikannya kecuali yang pernah anda simak dan berpengaruh dalam hatimu, bukan yang berpengaruh pada orang lain.
Inilah yang disampaikan oleh Ibnu Athaillah as-Sakandary dalam kitab Lathaiful Minan:
Bahwa mengikuti sang guru, adalah guru yang menujukkanmu pada Allah Swt, dan mempersaksikanmu apa yang dititipkan berupa keistemewaan di hadapanNya.
Syeikhmu bukanlah orang yang anda mendegarkan darinya, tetapi syeikhmu adalah orang yang anda meraih anugerah darinya.
Syeikhmu bukanlah yang menghadirkan wacana padamu, tetapi syeikhmu adalah yang yang mencerahkan batinmu.
Syeikhmu bukanlah yang mengajakmu ke pintuNya, tetapi syeikhmu adalah yang membukakan hijab antara dirimu dengan Dirinya.
Syeikhmu bukanlah yang menjelaskan melalui ucapannya padamu, tetapi syeikhmu adalah yang kondisi ruhaninya membangkitkan jiwamu.
Syeikhmu adalah yang mengeluarkan dirimu dari penjara hawa nafsu dan memasukkan dirimu di hadapan Sang Maula (Tuhan).
Syeikhmu yang senantiasa menggosok cermin hatimu sehingga menjadi jelas pantulan cahaya Tuhanmu.
Syeikhmu yang membangkitkanmu menuju Allah lalu engkau bangkit padaNya, dan berjalan bersamamu hingga sampai kepadaNya. Dan terus membimbing langkahmu sampai engkau berada di hadapanNya, maka cemerlanglah dirimu di HadiratNya, dan sang Syeikh mengatakan, “Inilah dirimu dan Tuhanmu.”
Syeikh Abu Madyan ra, mengatakan:
Syaikh, adalah yang menghadirkan dirimu di hadapanNya dan bagaimana mengagungkanNya.
Syeikh adalah yang membersihkan akhlak dan adabmu melalui jalan-jalannya, dan mencerahkan batinmu melalui pencerahannya.
Syeikh adalah yang memadukanmu saat ia hadir, dan menjagamu saat ia pergi.

Allah Menampakan Anugrahnya


Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
'Apabila Allah swt, hendak menampakkan anugerah keutamaanNya padamu, maka Allah menciptakan amal bagimu, dan mengaitkan amal itu kepadamu."
Yakni, Allah menciptkan kemampuan
untukmu untuk beramal dan beribadah dan memberikan pertolongan agar dirimu menuju kepadaNya, bahkan mengembalikan amaliyah itu kepadamu. Allah swt, menciptakan ta’at, dan mengaitkan taat itu kepada kita, memberi pahala kepada kita, padahal seseungguhnya itu tidak layak bagi kita.
Anugerah luar biasa, bagaimana sampai Allah swt, memberikan anugerah itu, seakan-akan itu amal baik dan taat kita, padahal itu semua ciptaan Allah Ta’ala pada kita, bukan ciptaan kita, bukan kreasi dan ikhtiar kita.
Di sinilah Ibnu Athaillah as-Sakandary mengingatkan:
“Tak habis-habisnya engkau mencaci dirimu, manakala semua itu dikembalikan padamu. Dan tidak habis-habisnya pujianmu manakala Allah swt, itu menampakkan kemurahanNya kepadamu.”
Sebab, diri kita, ditinjau dari eksistensi kita yang asli, tak lebih dari wujud kekurangan, wujud keragu-raguan, wujud kehinaan dan wujud kefakiran. Sedangkan jika dipandang dari segi anugerahNya keada kita, maka segalanya adalah wujud kebajikan dan keutamaan.
Begitu pula kelak di akhirat, manakala yang muncul adalah diri kita, maka kita berada dalam timbangan KeadilanNya, lalu menjadi wajar kalau KeadilanNya yang tampak, justru kita semua masuk neraka, apa pun amal dan ibadah yang kita lakukan. Karena dosa itu, sebesar apa pun sesungguhnya bukan menjadi penyebab seseorang masuk neraka. Manusia masuk neraka karena keadilanNya. Dan jika KeadilanNya yang tampil, maka seluruh kebaikan kita tak berarti, karena sesungguhnya bila ditimbang dengan KeadilanNya, amal perbuatan kita, ternyata bukan dari diri kita, bukan produksi dan ciptaan kita, namun ciptaan Allah swt, kehendakNya dan KuasaNya.
Sebaliknya bila yang dimunculkan adalah Anugerah dan RahmatNya, maka seluruh amal kita yang tampak adalah enugerah Ilahi semua, dan di sanalah tiket ke syurga, karena anugerah dan rahmatNya pastilah menyertai perjalanan kita menuju Allah swt. Segala apa pun yang disadari karena bersamaNya, anugerah dan rahmatNya, akan menjadi mudah. Dan sebaliknya apa pun mudahnya kalau kita hanya bersama diri kita, mengandalkan diri dan amal perbuatan kita, pastilah gagal dan mengamali kesulitan luar biasa.

Tujuan Karomah Adalah Istiqomah


"Terkadang karomah diberikan kepada orang yang belum sempurna kemandirian istiqomahnya.”
Banyak peristiwa luar biasa muncul pada diri seseorang, lalu seseorang atau orang lain mengklaimnya itu adalah karomah. Dan lebih dari itu, jika seseorang muncul keistemewaannya, dianggap telah sempurna perjalanan istiqomahnya.
Apa sebenarnya karomah itu? Apa pula istiqomah?
Karomah adalah peristiwa luar biasa yang dimunculkan oleh Allah swt pada seorang hambaNya, tanpa menghilangkan keistiqomahannya. Munculnya tidak didahului oleh sebab akibat (semacam amalan-amalan tertentu, dll) atau persiapan dari sang hamba tadi.
Allah Swt menampakkannya karena ada sesuatu yang istemewa dari hambanya yang ahli tha’at kepadaNya baik ia masih dalam awal penempuhan atau sudah sampai di akhir perjalanan istiqomahnya.
Karomah itu hanya untuk menunjukkan kelebihan seseorang dari Allah Ta’ala, bukan menunjukkan keparipuraan istiqomahnya. Karomah tidak menunjukkan seseorang meraih maqom yang tinggi, kecuali jika orang tersebut memang sudah sempurna istiqomahnya.
Ukurannya adalah seseorang benar-benar serasi dalam mengikuti jejak kebenaran Ilahi lahir dan batin menurut cara yang dibenarkan, tanpa motif tertentu. Berarti pula ia terus menerus bertaubat tanpa berpoaling ke dosa, melakukan amaliyah tanpa sela, dan ikhlas tanpa berpaling dariNya, serta yaqin tanpa keraguan, tawakkal tanpa beban, dan hanya berdisiplin terus menerus dalam meraih wushul padaNya. Itulah karomah yang hakiki.
Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily Qs, mengatakan, “Ada dua karomah yang bepadu dan saling meliputi: (1) Karomah Iman, dengan bertambahnya rasa yaqin dan musyahadah secara jelas. (2) Karomah amal, dengan mengikuti jejak Sang Nabi saw, menghindari klaim-klaim dan pengingkaran. Siapa yang dianugerahi dua hal itu, lalu masih mengalihkan perhatiannya pada yang lain, ia adalah hamba yang berlebihan (kemoncolen, red) nan pendusta. Dirinya tertimpa tipu daya, dan punya kesalahan dalam ilmu maupun amal yang benar. Sebagaimana orang yang menghormati ketika melihat sang raja, disertai kerelaan jiwa, tiba-tiba ia berhasrat untuk mengalihkan perhatiannya pada cara mengendarai kendaraan dan melepaskan kerelaan hatinya.”
Beliau mengatakan pula:
”Sebuah karomah yang tidak disertai oleh ridho kepada Allah Swt, maka pemilik karomah itu tertipudaya, atau kurang akal, atau hancur berkeping-keping.”
Karena itu, kita jangan sering tertipu daya oleh karomah yang tidak disertai istiqomah yang hakiki. Banyak khalayak menilai keistemewaan dan keluhuran derajat seseorang dari keistemewaannya. Apalagi jika keistemewaannya itu direkayasa melalui industri media massa, atau kepentingan-kepentingan publikasi, jelas adalah bentuk tipudaya sampah yang membusukkan.
Masyarakat kita sering terjebak oleh keistemewaan yang tampak fenomenal, lalu diklaim sebagai karomah. Padahal tujuan Allah memberikan karomah itu agar seseorang bisa istiqomah. Oleh karena itu istiqomah, ditegaskan oleh para Sufi lebih utama dibanding beribu karomah. Karena hakikat karomah adalah istiqomah itu sendiri.

Di Balik Proses Wushul


"Seandainya saja anda tidak sampai (wushul) padaNya, kecuali harus melalui sirnanya keburukan-keburukan anda, dan terhapusnya klaim-klaim anda, maka anda pasti tidak akan pernah sampai kepadaNya selama-lamanya.
Namun, apabila Allah Ta'ala hendak mewushulkan dirimu padaNya, maka Allah menutupi sifatmu dengan SifatNya, dan menirai karaktermu dengan KarakterNya. Maka Wushul anda kepadaNya, adalah karena dari Dia kepadamu, bukan dari dirimu kepadaNya."

Wushul kepada Allah adalah mengenal Allah dan segala hal dirinya berada dalam liputan Ilahi. Namun bila Allah hendak mewushulkan anda, Allah Ta'ala menutupi dan menirai sifat-sifat anda, dengan Sifat-sifat Allah Ta'ala, dengan jalan Allah menfanakan anda dan mentajalikan Baqo' Nya, dan semua itu tidak akan terjadi manakala tidak ada kematian nafsu, pengkasan ego kepala, dan penyerahan ruh, dan menyerahkan segala hal yang bersifat duniawi.
Namun tidak satu pun bisa sempurna, tak satu pun mampu menmbersihkan dirinya secara total, bahkan seorang hamba tidak akan bisa membuang klaim-klaim alam ruhaninya, kecuali melalui pertolongan Allah Azza wa Jalla. Dan seluruh proses penfanaan itu adalah bukan perbuatan hamba atau upaya si hamba. Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily menegaskan, "Seorang wali tidak akan sampai kepada Allah Ta'ala manakala dalam dirinya masih ada syahwat, atau masih ada keinginan mengatur dan keinginan berupaya." Seseorang tidak bisa sampai kepada Allah Ta'ala dengan "aku"nya, dengan "diri"nya.
Semua karena fadhal dan rahmatnya Allah swt. Karena itu kita harus terus menerus bergantung dengan Allah swt, bergantung dengan Sifat-sifatNya dengan meleburkan diri, sirna dan fana kepadaNya, namun semua itu akan gagal manakala tidak mendapatkan pertolongan dari Allah Ta'ala. Maka, di masyarakat kita, banyak orang mengaku wushul, banyak orang merasa telah ma'rifat, banyak orang merasa telah sampai kepada Allah Ta'ala, padahal jangankan bisa sampai kepada Allah, untuk membuang klaim dirinya bisa begini dan begitu saja, manusia tidak mampu. Allah Ta'ala lah yang bisa menenggelamkan kefakiran anda dalam Maha CukupNya, menghapus kelemahan anda dalam Maha KuatNya, ketakberdayaan anda dalam Maha KuasaNya, rasa hina anda dalam Maha MulyaNya. Semua karena Allah Ta'ala jua. Bukan karena diri anda, amal anda, perjuangan anda, ikhtiar anda. Bukan itu semua.

Rabu, 06 Agustus 2014

Tanda-tanda Kalam Yang Diizinkan Allah Swt


”Setiap wacana yang terucap, maka padanya ada pakaian qalbu, yang muncul dari qalbu itu.”
Inilah tanda-tanda wacana yang didahului oleh pencerahan cahaya, sehingga memiliki pengaruh dalam qalbu dan menggetarkan ruh, dan membangunkan rindu rahasia ruh. Sehingga jika kalam itu didengar oleh orang yang alpa, ia langsung sadar. Ketika di dengar oleh orang yang maksiat, ia langsung berhenti. Ketika didengar oleh orang yang ahli ibadah, semakin bangkit semangatnya dan rindunya membumbung. Bahkan ketika didengar oleh orang yang sedang berjalan, sirna kelelahannya. Sedangkan ketika di sengar oleh orang yang sudah wushul, ia semakin kokoh kondisi ruhaninya.
Sebagian kaum arif menegaskan, ”Siapa yang qalbunya dilimpahi ruhani, maka kalamnya penuh makna yang memancar dari hatinya memenuhi atmosfirnya yang begitu luas. Tetapi sebaliknya, siapa yang bicaranya penuh dengan kepentingan nafsu, ucapannya hanyalah ucapan bibir belaka, dan ia pun tidak bicara kecuali hanya dal;am nuansa empirik (lahiriyah inderawiyah), sama sekali tidak ada kedalaman maknanya. Karena itu siapa yang yang hatinya terhijab dunia, ia tidak mendengar dan tidak bisa didengar.”
Menurut Syeikh Ibnu Ajibah al-Hasany dalam syarah al-Hikam, manusia itu ada yang pandai bicara tetapi bodoh hatinya; tandanya adalah lebih memprioritaskan bicara dunia dibanding akhirat, atau bicara yang bersifat lahiriyah dibanding maknawiyah. Anda harus waspada dengan model orang seperti ini, karena hatinya mati, dan semua ucapannya tak lebih dari mayat dan bangkai.
Nabi Saw., bersabda, ”Dunia adalah bangkai, pemburunya hanyalah anjing-anjing.”
Syeikh Zarruq ra, mengatakan, manusia dibagi tiga dalam konteks ini: Orang yang bicara yang didengar; orang yang bicara yang tertolak; orang yang bicara terpadu; yaitu yang petunjuk dan wacananya memberi sariguna manfaat.
Pakaian qalbu yang memancarkan wacana adalah simpul dari Izin Allah Swt. Jika tidak ada IzinNya, maka tidak ada pakaian qalbunya, seperti yang ditegaskan oleh Ibnu Athaillah berikutnya:
“Siapa yang diizinkan (oleh Allah Swt.) untuk mengungkapkan wacana, maka ucapannya difahami oleh telinga-hati orang lain, dan petunjukkanya begitu jelas di hati mereka.”
Tanda-tanda kalam seseorang yang mendapatkan izin dari Allah Swt., maka kalamnya diterima dan difahami oleh qalbu. Begitulah Kalam para Nabi –semoga salam melimpah pada mereka– tak seorang pun mengingkari dari segi substansinya, namun mereka ada yang mengingkari esensinya, dengan kontra terhadap para Nabi.
Karena itu orang-orang musyrik dan kaum munafik terus menentangnya dengan berbagai kalimat seperti: Inilah sihir yang nyata! Sihir yang berpengaruh! Sihir yang berjalan! dsb.
Syeikh Abul Abbas al-Mursy ra, mengatakan, ”Sang wali senantiasa dipenuhi pengetahuan, di hadapannya ada hakikat-hakikat yang disaksikan, sehingga ketika mengungkapkan kalam, seakan seperti langsung dari izin Allah Azza wa-Jalla padanya.”
Sebaliknya tanda kalam yang tidak mendapatkan izin, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Athaillah as-Sakandary:
”Kadang-kadang hakikat-hakikat itu tampak, namun redup cahayanya, karena itu menunjukkan padamu bahwa hakikat itu tidak diizinkan untuk ditampakkan.”
Hakikat itu muncul dari ilham yang berkait dengan perkara kema’rifatan dari dalam hati, dan ada gambaran dalam jiwa serta wacana yang keluar. Jika cahayanya sempurna maka akan tampak dalam batin dan lahir. Sedangkan ungkapan itu muncul dari cahayanya, yang mempersaksikan pada yang meraih hakikat untuk mewujudkan hakikat itu. Itulah kalam yang diizinkan untuk diungkapkan, dilapisi cahaya dan petunjuk matahati.
Jika tidak demikian, maka yang tampak hanyalah kegelapan, seakan seperti matahari yang terbit namun muncul dengan gerhanaya, sungguh tak bisa dilihat cahaya dan mataharinya.
Syeikh Abul Abbas al-Mursy ra, mengatakan, ”Kalam yang diizinkan akan mengeluarkan kemanisan hati, keindahan dan pakaian elok. Sedangkan kalam yang tidak diizinkan untuk keluar, adalah kalam yang tertedupkan cahayanya, hingga dua orang yang sedang bicara yang bicara dengan benar terhadap satu hal, yang satu menerima yang satu menolak.”

Hakekat Kaya


Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah dalam kitabnya " Madarijus Salikin " menjelaskan makna kaya .
Kaya atau berkecukupan adalah salah satu persinggahan suatu perjalanan " Iyyaka na'budu wa iyyaka nastain ". Kaya ada dua macam:
Pertama; Kecukupan karena dari Allah.
Kedua; Tidak membutuhkan selain dari Allah.
Kedua duanya merupakan hakikat kefakiran.

Kaya merupakan sebutan kepada pemilik secara sempurna. siapa yang memiliki di satu sisi tapi tidak memiliki di sisi lain, berarti dia bukan orang yang kaya.Maka sebutan kaya hanya layak diberikan kepada Allah semata, sedangkan selain Nya adalah fakir.
Menurut Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah, ada tiga tingkatan kaya, yaitu :
1. Kaya Hati.
Yaitu keselamatan dari sebab, kepasrahan kepada hukum, dan pembebasan dari permusuhan.
Hakikat kaya hati adalah hanya bergantung kepada Allah semata, sedangkan hakikat kefakiran adalah bergantung kepada selain Allah. Jika seorang hamba bergantung kepada Allah, maka dia memperoleh tiga hasil, yaitu keselamatan dari sebab, kepasrahan kepada hukum, dan terbebas dari permusuhan.
Selamat dari sebab artinya tidak bergantung kepada sebab. tapi tempat bergantungnya adalah kepada Pembuat sebab yaitu Allah.
Pasrah kepada hukum ada dua macam, pertama; pasrah kepada hukum agama yang bersifat perintah, yaitu menyesuaikan diri dan tidak menentangnya. Kedua; Pasrah kepada hukum alam yang berdasarkan taqdir, yang terjadi karena bukan pilihanya dan tidak kuasa untuk menolaknya .
2. Kaya Jiwa.
Yaitu istiqomah terhadap Allah, keselamatan dari bagian dan riya'.
Kaya jiwa lebih tinggi dari kaya hati.sebagaimana diketahui perkara hati lebih sempurna dan lebih kuat dari perkara jiwa. Namun di sini ada sentuhan lembut bahwa jiwa termasuk pasukan hati dan yang paling keras penentangnya. Dari jiwa inilah sesuatu bisa masuk. Dari jiwa kecukupan bisa masuk ke dalam hati, dan dari jiwa kefakiran bisa masuk ke dalam hati. Maka kekayaan jiwa ada tiga perkara, yaitu:
- Istiqomah terhadap Allah.
- Keselamatan jiwa dari bagian atau hal hal selain Allah dan tidak bergantung kepadanya.
- Keselamatan dari riya', yaitu kehendak yang ditujukan kepada selain Allah.
3. Kaya karena pertolongan dari Allah.
Dalam hal ini ada tiga tingkatan, yaitu:
- Pengingatan Allah terhadap diri hamba.
- Senantiasa memperhatikan ketetapan yang dibuat Allah.
- Keberuntungan mendapatkan Nya.
Dalam atsar Ilahy disebutkan;
Wahai anak Adam, carilah aku niscaya kamu akan mendapatkan Aku. Jika kamu sudah mendapatkan Aku, maka kamu akan mendapatkan segala sesuatu, dan jika Aku membuatmu tidak mendapatkan Aku, maka kamu tidak akan mendapatkan segala sesuatu. Aku adalah yang paling kamu cintai dari segala sesuatu.
Siapa yang tidak mengetahui makna keberadaanya karena Allah dan keberuntungan mendapatkan Allah, maka lebih baik baginya untuk menaburkan debu dikepalanya dan menagisi dirinya.

Rahasia Anugerah


Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary
“Allah swt mengetahui bahwa para hamba itu berhasrat kepada munculnya rahasia pertolongan, maka Allah Swt, berfirman: “Allah mengkhususkan RahmatNya kepada orang yang dikehendakiNya.” (Al-Baqarah: 105) Dan Dia Tahu, bila mereka dibiarkan (mengetahui rahasianya), maka mereka akan meninggalkan amal itu, karena mengandalkan pada ketentuan Azali. Maka Allah Swt, berfirman ”Sesungguhnya rahmat Allah itu teramat dekat dengan orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Al-A’raf: 56)
PARA hamba Allah swt sangat berhasrat mengetahui bagaimana masa depannya, apakah ia dalam kondisi bahagia atau celaka, sehingga para hamba itu ingin tahu rahasia Pertolongan Allah Swt. Lalu mereka berdoa, melakukan berbagai amaliah.
Para keinginan para hamba itu, menurut Syteikh Zarruq, didasari oleh tiga hal:
Ingin mengenal segala sesuatu sampai ke akar-akarnya, yang merupakan naluriyah jiwanya.
Ingin mengenal faktor-faktor penyebab yang menghantar pada keinginannya.
Di dalam nafsunya ada klaim-klaim yang kuat, yang mendorong dirinya untuk mengenal faktor sesuai yang kehendaki.
Disinilah Allah Swt, mengembalikan bahwa segalanya itu atas kehendakNya, bukan kehendak kita. KehendakNya tidak ada yang bisa memaksaNya. Dialah Sang Penimbul, Pemula dan Pembangkit segalanya. TindakanNya tidak dilatarbelakangi oleh faktor tertentu, sedangkan semua faktor penyebab yang ada ini adalah ciptaanNya pula.
Allah Swt juga Mengetahui, jika hambaNya dibiarkan mengetahui rahasia pertolonganNya, dipastikan mereka malah meninggalkan amaliyahnya, karena bersandar saja pada ketentuan Azali.
Mereka akan mengatakan, “Bila di zaman azali ada ketentuan bahwa saya ahli syurga, untuk apa saya beribadah, berdo’a dan berusaha?”
Maka Allah Swt pun berfirman, “Sesungguhnya rahmat Allah itu teramat dekat dengan orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Amaliyah yang sholeh hanyalah pertanda akan adanya ‘Inayah, walau pun tidak menjadi sebab wajib yang menentukan ‘Inayah itu harus demikian.
Ibnu Athaillah menegaskan berikutnya:
“Segala sesuatu tergantung KehendakNya, bukan KehendakNya bergantung pada segala sesuatu.”
Segala yang ada ini muncul karena kehendak AzaliNya. Doa, amal ibadah, dan usaha tidak memiliki pengaruh apa pun, pada munculnya kehendak para hamba. Semua bergantung pada hukum Azali.
Lalu aturan kehambaan kita, adalah aturan harus dilakukan, yaitu berusaha, beramal ibadah, taat dan patuh dan senantiasa butuh kepada Allah Swt, sebagai perwujudan kepatuhan hamba kepadaNya.
Al-Wasithy mengatakan, sesungguhnya Allah Swt tidak mendekati si fakir karena kefakirannya, juga tidak menjauhi si kayak arena kekayaannya. Seluruh makhluk ini tidak memiliki pengaruh, baik sukses maupun gagal, bahkan seandainya dunia adan akhirat anda serahkan sepenuhnya kepada Allah, anda tetap tidak akan sampai kepada Allah Swt, dengan dunia dan akhirat anda. Allah mendekatkan mereka kepadaNya, bukan karena sebab atau faktor tertentu, dan Allah mejauhkan mereka dariNya, juga bukan karena faktor-faktor tertentu. Allah Swt, berfirman: “Siapa yang tidak diberi cahaya oleh Allah baginya, maka ia tidak akan meraih cahaya itu.”
Namun, bila Allah Swt, menghendaki hambaNya untuk meraih anugerahNya, maka si hamba pun ditakdirkan untuk berikhtiar, patuh dan beramal sholeh serta ibadah yang benar, tetapi seluruh tindakan hamba itu tidak menjadi penyebab yang mengharuskan turunnya anugerah, namun amal ibadah dan kepatuhan itulah anugerah yang sesungguhnya.