Laman

Rabu, 04 Mei 2016

MAKAM PENELANJANGAN TUHAN


Makam ini disebut juga dengan makam ahlul akhirat, atau makam HAKIKAT SEMATA. Makam ini sangat dahsyat sekali. Ia diluar dari akal orang banyak. Dan ia tidak berpegang kepada kulit zahir daripada Nas dan dalil lagi. Ia telah menyeberang daripada
Nas dan dalil yang ada ini, ia tidak berpegang dengan kata- kata yang ada ini lagi, dan tidak bersandar kepada hukum-hukum lahir lagi. Ia berdiri sendiri menurut kata SIR-nya
Inilah yang menjadi hukum baginya Jadi yang beginilah yang hamba katakan sangat dahsyat sekali, dan sangat hebat sekali
TIDAK ADA TUHAN, MELAINKAN TUHAN
TIDAK ADA ENGKAU, MELAINKAN AKU
TIDAK ADA AKU, MELAINKAN ENGKAU
ENGKAU DAN AKU ADALAH ESA
ENGKAU LENYAP, AKU BERNYATA
AKU LENYAP ENGKAUPUN NYATA
NGAKU DAN AKU telah lenyap didalam kefanaannya,
kefanaan lenyap didalam ke-esaannya Tuhan.
Keesaan lenyap didalam kekidaman.
Kekidaman lenyap didalam kebaqaan.
Akhirnya fana dan baqa dalam keagungan.
Kini tiada kelihatan lagi makhluknya.
HAMBA dan TUHAN hanyalah asma.
HAMBA itu berarti ; AKU
TUHAN itu berarti ALLAH
HAMBA dan TUHAN adalah Satu
AKU dan ALLAH juga Satu
Kalau dihimpunkan menjadi : AKU ALLAH
Lenyap AKU, tinggallah ALLAH
FANA HURUF ALLAH, timbullah kosong
Kosong huruf, kosong asma, kosong suara, kosong segala-galanya, dan tidak apa-apa, tiada hingga. Ahirnya didalam kekosongan, Nampak jelas ujud membayang. Bayangan Allah adalah alam.
Terpandang kepada Allah Nampak jelas ujud yang sebenarnya. Kerana ia tiada boleh pisah walau ……….........
Jadi bagi orang yang berada pada makam penelanjangan TUHAN, berkata dengan sebarang kata, tapi jadi. Apa yang dikehendaki pasti jadi.
Hanya orang banyak tidak mengerti dan tidak paham dengan apa yang dimaksudkan. Contoh banyak sekali kepada wali-wali Allah yang terdahulu. Hamba pribadi telah banyak membuktikan apa-apa. Yang terjadi, diluar kemampuan orang umum/awam.
Siapa percaya boleh percaya, dan siapa yang tidak percaya boleh tinggalkan ajaran ini.
AKULAH YANG ERNAMA CINTA, AKULAH YANG BERNAMA si HAK, AKULAH YANG BERNAMA SURGA DAN NERAKA ITU. AKULAH YANG BERNAMA ZATULHAQQ, SIFATULHAQQ, ASMAULHAQQ, DAN AF’ALLUNHAQQ, HAQUQULHAQ adalah ; HAQQ, HAQQ TA’ALA itulah AKU.
TA’ALA itu namaku yang rahsia didalam Alam ini.
RUHULHAQ RAHSIA HAMBA, NAMAKU DISEBUT SETIAP SAAT.
Apabila orang menyebut TA’ALA didalam bacaannya, atau dalam hatinya atau dalam DIAMnya. Maka tersebut samaku didalamnya.
AKULAH TA’ALA ITU, DAN AKULAH RAHSIA ITU.
BERARTI HAMBA ALLAH. Yang memberi nama yang empunya nama.
HAMBA ALLAH berarti : AKU ALLAH
NAMA YANG DIHANTARKAN KEPADAKU NYATA DARI ALLAH
Tiap-tiap nama seseorang itu mengandung hikmah. Hikmah itu bertepatan dengan pemberian nama itu. AKULAH YANG HAMBA DAN AKULAH YANG TUHAN.
AKULAH YANG BERNAMA siHAQ ITU
DAN AKULAH YANG NYATA DAN YANG GOIB ITU
AKU JUA YANG LAHIR DAN AKU JUA YANG BATHIN
AKU HIDUP YANG TIADA MATI-MATI, dan apabila AKU tiada lagi dalam dunia fana ini, janganlah mencari Aku lagi.
Aku tetap ada setiap orang yag beriaman kepada ALLAH. Bila engkau hendak bertemu AKU, pandanglah dirimu itu AKU. Tidak ada AKU, melainkan AKU. Dalam keseluruhannya.
AKULAH yang bernama ala mini, dan AKULAH YANG bernama akhirat itu
Tidak aku lihat didalam sesuatu itu, melainkan AKU melihat AKU
AKU itu telah lenyap dalam KE AKUANKu, sehingga tidaklah AKU melihat kehambaanku lagi. Dan Aku telah bernyata didalam AKU, beraku ku. Sehingga hapuslah mulutku dan hatiku
mengata AKU. Kini Aku tidak berkata dengan lidah lagi, tidak dengan hati lagi, dan tidak dengan puad dan jantung lagi.
TA’ALA REDHA KASIH SAYANGKU
TA’ALA RAHMAD ITU SELIMUTKU
TA’ALA NIKMAT ITU RASAKU
TA’ALA HIKMAH ITU RACHMAN RACHIMKU
TA’ALA SUNNAH ITU ATURANKU
TA’ALA SHOLEH ITU ILMUKU
TA’ALA ADIL ITU KEKUASAANKU
TA’ALA ISFIAH ITU KEMAUANKU
TA’ALA DHOIM ITU RAHSIA PRIBADIKU
TA’ALA ALAIH ITU KALAMKU PASTI
T ‘ALA JALAL ITU KEMESRAANKU
TA’ALA JAMAL ITU KEELOKKANKU
TA’ALA KOHAR ITU KEKERASANKU
TA’ALA KAMAL ITU KESEMPURNAAN DAN KEMULIAANKU
TA’ALA KHIB ITU KESATUANKU BAGI SELURUH ALAM
Demikianlah sebagai penutup dari pembukaan
Rahsia yang terkandung pada kejadian DUNIA dan
Akhirat, dan amalan akhir kalamku sebagai harta atau
Pembendaharaan GHAIB yang kuwariskan dari Murshid AKU

Selasa, 03 Mei 2016

MENATAP WAJAH ALLAH


Kata Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah, “Ini merupakan puncak kerinduan pecinta surga dan bahan kompetisi mereka. Dan untuk hal ini seharusnya orang-orang bekerja keras untuk mendapatkannya.”
Nabi Musa pernah meminta hal ini. Dijawab oleh Allah swt. seperti yang tertera di ayat 143 surat Al-A’raf.
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa, “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau.” Tuhan berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku. Tapi lihatlah ke gunung itu, jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata, “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman.”
Ada tujuh pelajaran dari ayat di atas:
1. Tidak boleh menuduh kepada Nabi Musa bahwa ia meminta sesuatu yang tidak diperkenankan oleh Allah swt.
2. Allah tidak memungkiri permintaan Nabi Musa.
3. Allah menjawab dengan kalimat, “Kamu tidak akan sanggup melihat-Ku.” Bukan mengatakan, “Aku tidak bisa dilihat.”
4. Allah Mahakuasa untuk menjadikan gunung itu tetap kokoh di tempatnya, dan ini bukan hal mustahil bagi Allah, itu merupakan hal yang mungkin. Hanya saja dalam hal ini Allah juga mempersyaratkan adanya proses ru’yah (melihat). Jadi, seandainya hal itu merupakan sesuatu yang mustahil, sudah tentu Allah tidak akan mempersyaratkan hal itu.
5. Kalimat “tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luruh” adalah bukti bahwa bolehnya melihat Allah swt. Jika boleh bagi-Nya menampakkan diri kepada gunung, bagaimana terhalang untuk menampakan diri kepada para nabi, rasul, dan wali-Nya di kampung akhirat?
6. Di ayat itu Allah swt. memberitahu kepada Nabi Musa bahwa gunung saja tidak mampu melihat-Nya di dunia, apalagi manusia yang lebih lemah dari gunung.
7. Allah swt. telah berbicara dengan Nabi Musa. Nabi Musa juga telah mendengar perkataan Allah swt. tanpa perantara. Maka, melihat-Nya sudah pasti sangat bisa.
Dalil Bertemu Allah
1. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. (Al-Baqarah: 223)
Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
2. Penghormatan kepada mereka (orang-orang beriman) pada hari mereka menemui-Nya adalah salam. (Al-Ahzab: 44)
Salam penghormatan kepada mereka (orang-orang mukmin itu) pada hari mereka menemui-Nya ialah: Salam; dan dia menyediakan pahala yang mulia bagi mereka.
3. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih. (Al-Kahfi: 110)
Katakanlah: Sesungguhnya aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku, “Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa”. Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya”.
4. Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah. (Al-Baqarah: 249)
Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata, “Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. Dan barang siapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, Maka dia adalah pengikutku.” Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata, “Tak ada kesanggupan kami pada hari Ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.” Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Para ahli bahasa sepakat bahwa jika liqa’ itu dinisbahkan kepada yang hidup, yang selamat dari gangguan kebutaan dan penghalang lainnya. Maka, hal itu menuntut adanya penglihatan dengan mata.
Bagaimana Dengan Ayat 103 Surat Al-An’am?
Laa tudriku hu al-absharu wa huwa yudriku al-abshara wa huwa al-lathiifu al-khabiir.
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu.
Kata Ibnu Taimiyah, “Ayat ini lebih menunjukkan bahwa Allah bisa dilihat daripada menunjukkan tidak bisa dilihat. Allah menyebutkannya dalam konteks memberikan pujian. Sudah maklum bahwa pujian terhadap diri-NYa adalah sifat-sifat yang pasti dan melekat. Jika tidak ada, maka tidak sempurna, sehingga tidak layak dipuji.”
Ibnu Taimiyah menambahkan, “Hanya saja Allah itu dipuji dengan tidak adanya sesuatu bila sesuatu itu mengandung hal yang ada wujudnya, sebagaimana pujian terhadap diriNya dengan menafikan kantuk dan tidur yang mencakup kesempurnaan terus-menerusnya Allah mengurus makhluk-Nya; menafikan kematian yang berarti kesempurnaan hidup, serta menafikan capek dan letih yang mengandung kesempurnaan kekuasaan.”
Ibnu Taimiyah lalu menegaskan, “Oleh karena itu, Allah tidak memuji diri-Nya dengan ketiadaan yang mengandung sesuatu yang melekat. Sebab, sesuatu yang ditiadakan (ma’dum) itu menyertai yang disifati berkenaan dengan ketiadaan itu. Sesuatu Dzat Yang Sempurna tidak bisa disifati dengan hal yang layak bagi-Nya maupun sesuatu yang tiada. Jika saja yang dimaksud oleh firman Allah swt. laa tadrikuhu al-abshaaru adalah bahwa Dia tidak bisa dilihat dalam kondisi apa pun, maka dalam hal ini tidak ada pujian maupun kesempurnaan, karena yang tiada juga demikian. Sesuatu yang tiada jelas tidak bisa dilihat dan tidak bisa ditangkap dengan penglihatan, sedangkan Rabb jelas Mahatinggi untuk dipuji dengan sesuatu yang juga terdapat pada sesuatu yang jelas tidak ada. Dengan demikian, makna dari ayat di atas adalah bahwa Ia tetap bisa dilihat namun tidak bisa ditangkap sepenuhnya dan tidak bisa dimengerti hakikatnya.”
Maka, kata Ibnu Taimiyah, “Firman Allah laa tudrikuhu al-abshaaru menunjukkan puncak dari keagungan Allah. dan bahwa Dia lebih Besar dari segala sesuatu. Dan juga, karena keagunganNya, Dia tidak bisa ditangkap atau dimengerti oleh pandangan. Kata idraak adalah lebih dalam daripada ru’yah (melihat).”
Liqa’ullah Adalah Az-Ziyadah
Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada “pahala yang baik” (surga) dan “tambahannya”. Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya. (Yunus: 25-26)
Menurut Ibnu Qayyim, yang dimaksud dengan kata al-husna di ayat itu adalah al-jannah (surga), sedangkan yang dimaksud dengan az-ziyadah (tambahan) adalah memandang wajah Allah Yang Mulia. Ini adalah tafsir Rasulullah saw. atas ayat itu dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya.
Rasulullah membaca ayat lilladzina ahsanu al-husna wa ziyadah, lalu bersabda, “Jika ahli surga sudah masuk ke dalam surga, demikian juga ahli neraka sudah masuk ke dalam neraka, maka ada seorang malaikat yang menyeru: Wahai ahli surga, sesungguhnya kalian telah dijanjikan di sisi Allah, maka sekarang Allah hendak menunaikan janji itu kepada kalian. Mereka berkata: apakah janji itu? Bukankah Dia telah membuat berat timbangan kebaikan kami dan telah membuat putih (cerah) wajah kami, serta telah memasukkan kami ke dalam surga dan mengeluarkan kami dari neraka? Akhirnya, tabir pun dibuka lalu mereka bisa melihat kepada-Nya. Sungguh tidak ada sesuatu yang telah Dia berikan kepada ahli surga yang lebih mereka cintai daripada melihat kepada-Nya. Itulah yang dimaksud dengan ziyadah.”
Ali bin Abi Thalib dan Anas bin Malik berkata, “Yang dimaksud adalah melihat Wajah Allah swt.” saat menafsirkan ayat lahum maa yasyaa-una fiihaa wa ladainaa maziid, mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi kami ada tambahannya. (Qaf: 35).
Melihat Dengan Mata Kepala
Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Mereka melihat kepada RabbNya. (Al-Qiyamah: 22-23)
Ayat ini menegaskan dengan gamblang bahwa Allah akan dilihat dengan mata kepala secara langsung pada hari kiamat nanti. Tentang hal ini banyak hadits berderajat mutawatir.
Hadits Abu Hurairah dan Abu Sa’id dalam Shahihain menceritakan bahwa para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah kita akan melihat Rabb kita pada hari kiamat?” Rasulullah saw. menjawab, “Apakah kalian mendapatkan kesulitan melihat bulan pada saat purnama?” Mereka menjawab, “Tidak, ya Rasulullah.” Beliau bertanya lagi, “Apakah kalian mendapatkan kesulitan melihat matahari pada saat tidak ada awan?” Mereka menjawab, “Tidak.” Beliau kemudian bersabda, “Seperti itu juga kalian melihat Rabb kalian.”
Anas bin Malik berkata, “Manusia akan melihat Allah pada hari kiamat nanti dengan mata kepala mereka.”
Orang Kafir Tidak Akan Melihat Allah
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka. Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Rabb mereka. (Al-Muthaffifin: 14-15)
Dan salah satu bagian dari hukuman terbesar terhadap orang-orang kafir adalah mereka terhalang untuk melihat Allah dan terhalang dari mendengar perkataan-Nya.
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i menjelaskan tentang ayat itu, “Ketika mereka itu terhalang dari melihat Rabb mereka karena mereka dalah orang-orang yang dibenci atau dimurkai Allah, maka ini menjadi bukti bahwa wali Allah itu akan melihat Allah karena Allah meridhai mereka.”
Lalu Ar-Rabi’ bertanya, “Wahai Abu Abdillah, apakah benar engkau mengatakan demikian?” Ia menjawab, “Ya, benar! Karena itu pulalah aku menundukkan diri diri di hadapan Allah. Kalau saja Muhammad bin Idris tidak meyakini bahwa ia akan melihat Allah tentu ia tidak mau menghambakan diri kepada-Nya.”

KALAU SUDAH MAKRIFAT TIDAK SHOLAT ???


Dalam tradisi Tasawuf, semakin seseorang naik derajat ma’rifatnya semakin ketat dan disiplin syariatnya. Sebab semakin mengenal Allah, semakin mengenal rahasia syariat dan agungnya perintah Allah dibalik syariat.
Kalau ada yang ma’rifat lalu meninggalkan syariat, pasti keblinger, dan itu bukan sufi juga bukan ajaran Islam, apa pun namanya. Mereka biasanya berpandangan bahwa syariat adalah Jalan menuju Hakikat, kalau sudah sampai hakikat untuk apa bersyari’at? Nah, disinilah keblingernya. Syariat itu bukan Jalan menuju hakikat. Tetapi bersyariat itu adalah menjalankan perintah dari Yang Maha Hakiki, Allah Rabbul ‘Izzah. Jika ia ma’rifat lalu meninggalkan syariat, berarti ia tidak ma’rifat kepada Allah, tapi ma’rifat kepada jin dan syetan, serta hawa nafsunya sendiri, walaupun perilakunya kelihatan bagus dan lembut serta memiliki dimensi ghoib yang tinggi misalnya. Tapi tipudaya itu bisa kelihatan lembut dan bisa kasar, bisa hebat dan bisa membuat orang tersihir.
Mungkin saja dia beralasan, saya juga menjalankan perintah sholat tetapi sholat saya berbeda dengan sholatnya orang awam yang lima waktu itu. Sholat saya adalah sholat hakikat tidak perlu berbunyi dan bergerak dan berkata-kata.
Nah, ia tidak menyadari betapa lemah dirinya. Orang ma’rifat kok merasa bisa sholat, ini jadi janggal. Sejak zaman Nabi sampai besok kiamat, teknis dan tata cara sholat tetap sama. Selama manusia masih memiliki kesadaran ruang, waktu, dimensi, arah dan akalnya sehat, masih wajib sholat. Yang tidak wajib sholat orang gila, orang tidur, orang lupa, anak kecil yang belum baligh.
Puji dan syukur bagi Allah semata, yang telah menjadikan Sholat’ “Seutama-utama peribadatan, kunci ibadah, tiang agama, penggenap dan penentu diterimanya amal-amal shalih, serta menjadi cahaya bagi pelakunya di Hari Kiamat kelak.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, baginda Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassallam, juga kepada keluarga ahlul baitnya serta seluruh umat yang setia mengikuti risalah yang dibawa oleh beliau Shalallaahu Alaihi Wassallam sampai akhir jaman.
Sabda Rasulullah SAW, “Tiadalah seorang hamba memperoleh sesuatu dari shalatnya selain yang dilakukannya dengan kesadaran.”
Dalam sebuah hadits dikisahkan bahwa pada suatu hari, Jibril a.s..datang kepada Nabi Saw. Ia bertanya, “Ya, Rasulullah! Pernahkah Anda melihat malaikat di langit di atas dipan dengan dikelilingi tujuh puluh ribu malaikat lain yang berbaris? Mereka setia melayaninya. Dari setiap nafas yang dihirup malaikat itu, Allah menciptakan malaikat lain. Namun kini, aku melihat malaikat itu berada di atas gunung Qāf dan sayapnya hancur. Ketika ia melihatku, ia meminta tolong kepadaku. Aku bertanya ‘Apa kesalahanmu?’
Ia menjawab : 'Pada malam mikraj aku sedang berada di atas dipan. Lalu Muhammad Shalallaahu Alaihi Wassallam berlalu di hadapanku, tetapi aku tidak berdiri untuk mengormatinya. Allah lantas menghukumku dengan hukuman ini dan menempatkanku di tempat ini, sebagaimana yang engkau lihat.’
"Lalu aku menundukkan diri kepada Allah dan memohonkan syafa’at-Nya".
Allah SWT berfirman,
‘Wahai Jibrĩl, katakan kepadanya agar ia bershalawat kepada Muhammad.’
Ia kemudian bershalawat kepadamu. Lalu Allah SWT pun mengampuninya serta menumbuhkan lagi sayapnya.”
Diriwayatkan bahwa amalan hamba yang pertama kali di hisab pada Hari Kiamat adalah sholat.
Jika didapati sempurna, diterima darinya dan juga amalan-amalannya yang lain. Akan tetapi, jika didapati cacat, dikembalikan salat itu kepadanya dan juga amalan-amalan lainnya.
Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam bersabda:
“Perumpamaan sholat fardhu adalah seperti timbangan.
Barang siapa yang menyempurnakannya, berarti sempurnalah ia.”
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam bersabda,
“ Dua orang dari umatku mendirikan sholat. Rukuk dan sujud mereka sama. Apa yang ada di antara kedua sholat mereka itu seperti apa yang ada di antara langit dan bumi.” (Beliau menunjuk pada kekhusyukan satu atas lainnya).
Disebutkan dalam suatu hadits, “Pada Hari Kiamat Allah tidak memandang hamba yang tidak meluruskan tulang punggunya di antara rukuk dan sujud.”
Diriwayatkan bahwa Beliau SAW bersabda: “Barang siapa yang mendirikan sholat pada waktunya, membaguskan wudhu’nya; serta menyempurnakan rukuk, sujud dan kekhusyukannya, salat itu naik kelangit dalam rupa wajah putih bercahaya.
Ia berkata,
‘Semoga Allah memeliharamu sebagaimana engkau telah memeliharaku.”
Akan tetapi: “Barang siapa yang mendirikan sholat di luar waktunya; tidak membaguskan wudhu’nya; serta tidak menyempurnakan rukuk, sujud dan kekhusyukannya, salat itu naik kelangit dalam rupa wajah hitam kelam.
Ia berkata,
‘Semoga Allah menelantarkanmu sebagaimana engkau
telah menelantarkanku.”
Dengan kehendak Allah sholat itu dilipat sebagaimana pakaian manusia dilipat, lalu di pukulkan ke wajah orang itu.”
Beliau juga pernah bersabda, ”Sejelek-jelek manusia adalah yang mencuri dalam sholatnya.” Ibn Mas’ũd r.a. berkata, “Sholat itu adalah takaran.
Barangsiapa menyempurnakannya, sempurnalah ia. Akan tetapi, barangsiapa yang menguranginya, hendaklah ia tahu firman Allah SWT yang berbunyi:
ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴﻤِﻮَﻳْﻞٌ ﻟِّﻠْﻤُﻄَﻔِّﻔِﻴﻦَ
“Celakalah orang-orang yang mengurangi timbangan.”
(QS al-Muthaffifĩn [83]:1).
Sholatlah dengan sepenuh khusyuk dan kehadiran hati, karena barangsiapa yang hatinya tidak menyatu dengan hakikat, maka rusaklah sholatnya.
Dalam salah satu riwayat, Mu’awiyah bin Hakam as Sulami menceritakan bahwa ketika ia sedang sholat bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba ada orang yang bersin. Lalu ia mengucapkan “Yarhamukallah”. Tatkala Nabi Saw telah selesai sholat, Nabi SAW bersabda;
“... Sesungguhnya tidak pantas bercakap-cakap dalam sholat; karena sholat itu ialah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an.”
Firman Allah:
ﻭَﻗُﻮﻣُﻮﺍْ ﻟِﻠّﻪِ ﻗَﺎﻧِﺘِﻴﻦَ
“Sholatlah kamu karena Allah dengan khusyu’.”
(QS Al-Baqarah [2]:238)
Seorang ‘ulama mengatakan,
“Perumpaan orang yang sholat itu seperti pedagang yang tidak memperoleh laba sebelum habis modalnya. Demikian pula dengan sholat, tidak diterima sunnahnya sebelum ditunaikan fardhunya.”
Abũ Bakar r.a. berkata, ”Jika tiba waktu sholat, berdirilah di hadapan api (merka) Tuhanmu yang kalian nyalakan. Lalu padamkanlah.”
Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam bersabda;
“Sholat itu ketenangan dan kerendahan hati.”
Ditempat lain Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam bersabda,
” Barangsiapa yang sholatnya tidak mencegahnya dari perbuatan keji dan munkar, niscaya tidak bertambah dari selain bertambah jauh. Sholat orang yang lalai tidak dapat mencegah dari
perbuatan keji dan munkar.”
Sabda Nabi SAW: “Betapa banyak orang yang berdiri untuk sholat tetapi tidak memperoleh apapun selain letih dan lelah, dan tidak mendapatkan selain orang yang lalai.”
Sabda Rasulullah SAW, “ Tiadalah seorang hamba memperoleh sesuatu dari shalatnya selain yang dilakukannya dengan kesadaran.”
Ahli ma’rifat berkata,”Sholat itu ada empat hal, yaitu dimulai dengan ilmu, berdiri dengan rasa malu, ditegakkan dengan keagungan, dan keluar darinya dengan rasa takut.”
Sementara seorang guru sufi berkata,” Barangsiapa yang hatinya tidak menyatu dengan hakikat, rusaklah sholatnya.”
Dalam suatu hadits Rasulullah Shalallaahu Alaihi Wassallam bersabda;,
Di surga ada sebuah sungai bernama al-Afyah. Di situ terdapat bidadari-bidadari yang Allah ciptakan dari za’farān yang bermain dengan mutiara dan yakut. Mereka memuji Allah dengan tujuh puluh ribu bahasa. Suara mereka lebih indah daripada suara Dāwud a.s. Mereka mengatakan, ‘Kami adalah milik orang-orang yang mendirikan sholatnya dengan khusyuk dan kehadiran hati. Allah SWT lalu berfirman, ‘Pasti aku tempatkan ia di rumah-Ku dan menjadikan-nya berada di samping-Ku.”
Diriwayatkan bahwa Allah SWT mewahyukan kepada Nabi Saw.,
“Katakan kepada orang-orang yang durhaka di antara umatmu yang tidak mengingat-Ku,’Di mana saja engkau mengingat-Ku, berdzikirlah kepada-Ku sementara kamu menghentikan anggota badanmu (dari berbuat maksiat). ketika berdzikir pada-Ku, jadilah orang yang khusyuk dan tenang. Apabila kamu berdzikir kepada-Ku, jadikanlah lidahmu di belakang kalbumu. Jika kamu berdiri di hadapan-Ku, berdirilah seperti berdirinya hamba yang hina serta bermunajat dengan hati yang takut dan lisan yang benar.”
Wallahu A’lam Bis Shawab.
Akhirul kata, demikianlah kajian kita tentang “Khusyuk dalam Sholat" Bagian pertama yang dapat kami sajikan pada topik kita kali ini. dan Insya Allah, lanjutan topik ini akan dapat kami sajikan dalam waktu dekat. Semoga bermanfaat!
“ Ya Allah, berilah kami rezeki dapat berjumpa dengan-Mu di dunia dan akhirat. Lezatkan kami dengan dekat kepada-Mu dan melihat-Mu. Jadikan kami termasuk orang yang ridha kepada-Mu dari selain-Mu. Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari bersandar kepada asbab dan berdiri bersama nafsu, keinginan, dan adat kebiasaan, dan kami berlindung kepada-Mu dari segala keburukan dalam setiap keadaan. Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa neraka.
ﺇِﻥّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﻣَﻠَﺎﺋِﻜَﺘَﻪُ ﻳُﺼَﻠُّﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺻَﻠُّﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠِّﻤُﻮﺍ ﺗَﺴْﻠِﻲ ﻣﺎً
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, ber-Shalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah
Salam penghormatan kepadanya.”
(QS Al-Ahzab [33]:5)

PUNCAK TERTINGGI


Puncak tertinggi adalah mengenal Allah… Allah itu ADA. Untuk mencari yang ADA, seseorang salik itu perlu mati… “mati sebelum mati”… (jangan bunuh diri pula) … dengan itu tidaklah ia asyik dengan angan-angan kosong dan khayalan sahaja.
Salik dan dunia ini …hanya wujud dalam fikiran…. bagaimana pun ia tiada hakikatnya… kedua-suanya semata-mata …KOSONG. Sesuatu yang kosong tidak dapat menyampaikan kepada yang ADA.
Oleh itu… mencari yang ADA … daripada sesuatu yang tidak ada.. adalah sesuatu yang sia-sia… kerana yang tidak ada.. tidak berupaya menzahirkan yang ADA.
Sebaliknya …Yang ADA lah yang mewujudkan segala sesuatu “yang tidak ada”… KOSONG.. kepada yang ADA.
Dzat yang ghaib lagi ghaib itu… selama-lamanya tidak akan ada kenyataannya…. tetapi ada penzairan sifat-sifatnya.. terutamanya kepada salik yang mukmin.. salik yang mengenal NYA. Si salik hanya menjadi pernyataan … tajali… Dzat yang ghaibul ghaib.
Daripada AHDAH.. timbul pula …WAHDAH.. iaitu kenyataan kesempurnaan Sifat NYA.. inilah pintu untuk mengenal yang ADA…. yang tiada …KOSONG… tidak mungkin boleh bertukar menjadi Yang ADA…
DIA lah yang ADA, DIA lah Yang Zahir…Yang Batin…Yang Awal.. dan Yang Akhir…
Oleh yang demikian wujud NYA lebih terang dan nyata daripada wujud-wujud yang lain ..
DIA lah Yang Melihat dan Yang Di Lihat..
Wujud kamu…. hanya tidak ada…. KOSONG….semata-mata.
Mengenal Allah SWT.pada Zat-nya,pada Sifat-nya,pada Asma’nya dan pada Af’al-nya.
1. AWALUDIN MA’RIFATULLAH Artinya :
Awal agama mengenal Allah.
2. LAYASUL SHALAT ILLA BIN MA’RIFAT Artinya :
Tidak syah shalat tanpa mengenal Allah.
3. MAN ARAFA NAFSAHU FAKAT ARAFA RABBAHU Artinya :
Barang siapa mengenal dirinya dia akan mengenal Tuhannya.
4. ALASTUBIRAFBIKUM QOLU BALA SYAHIDENA Artinya :
Bukankah aku ini Tuhanmu ? Betul engkau Tuhan kami,kami menjadi saksi.(QS.AL-ARAF 172)
5. AL INSANNU SIRRI WA ANNA SIRRUHU Artinya :
Manusia itu rahasiaku dan akulah rahasianya.
6. WAFI AMFUSIKUM AFALA TUBSIRUUN Artinya :
Aku ada didalam Jiwamu mengapa kamu tidak melihat.
7. WANAHNU AKRABI MIN HABIL WARIZ Artinya :
Aku lebih dekat dari urat nadi lehermu.
8. LAA TAK BUDU RABBANA LAM YARAH Artinya :
Aku tidak akan menyembah Allah bila aku tidak melihatnya lebih dahulu.
Bismillahirrahmanirrahim.
HUBUNGAN MANUSIA DENGAN ALLAH
Pada malam Raibul Ruyub yaitu dalam keadaan antah-berantah pada zat,Semata-mata,pada belum ada awal dan belum ada akhir,belum ada Bulan dan belum ada Matahari,belum adbintang belum ada sesuatu.
Malahan belum ada Tuhan yang bernama Allah,maka dalam keadaan ini,diri yang punya zat tersebut ialah Mentajalikan diri-nya untuk memuji diri-nya.
Lantas Tajali-nyalah Nur Allah dan kemudian ditajali-nya pula Nur Muhammad Yaitu Insan Kamil, yang pada peringkat ini dinamakan Anta Ana,Ana Anta.
Maka yang punya zat bertannya kepada Nur Muhammad dan sekalian Roh untuk menentukan kedudukan dan taraf hamba.
Lantas ditanyakan kepada Nur Muhammad, aku ini Tuhanmu ? Maka jawablah Nur Muhammad yang mewakili seluruh Roh, Ya…Engkau Tuhanku.Persaksian ini dengan jelas diterangkan dalam Al-Qur’an surat Al-Araf 172.
ALASTUBIRABBIKUM,QOOLU BALA SYAHIDNA.
Artinya : Bukan aku ini tuhanmu ? Betul engkau Tuhan kami,Kami menjadi Saksi.
Selepas pengakuan atau persumpahan Roh ini dilaksankan,maka bermulalah Era barudi dalam perwujudan Allah SWT.seperti firman Allah dalam Hadits Qudsi yang artinya :
“Aku suka mengenal diriku, lalu aku jadikan mahkluk ini dan aku perkenalkan diriku.
Apa yang dimaksud dengan mahkluk ini ialah : Nur Muhammad sebab seluruh kejadian alam maya ini dijadikan daripada Nur Muhammad.tujuan yang punya zat mentajalikan Nur Muhammad adalah untuk memperkenalkan diri-nya sendiri dengan diri Rahasianya sendiri,Maka diri Rahasianya itu adalah ditanggung dan diakui Amanah ya oleh suatu kejadian yang bernama :
Insan yang bertubuh diri bathin (Roh) dan diri bathin itulah diri manusia,atau Rohani.
FIRMAN ALLAH DALAM HADITS QUDSI ;
AL-INSAANU SIRRI WA-ANA SIRRUHU
Artinya : Manusia itu Rahasiaku dan akulah yang menjadi Rahasianya.
Jadi yang dinamakan manusia itu ialah : karena IA MENGANDUNG RAHASIA.
Dengan perkataan lain manusia itu mengandung Rahasia Allah.
Karena manusia menanggung Rahasia Allah maka manusia harus berusaha mengenal dirinya,dan dengan mengenal dirinya manusia akan dapat mengenal tuhannya,sehingga lebih mudah kembali menyerahkan dirinya kepada yang punya diri pada waktu dipanggil oleh Allah SWT.yaitu tatkala berpisah Roh dengan jasad.
Firman Allah dalam surat An-nisa ayat 58 SBB:
INNALLAHA YAK MARUKUM ANTU ABDUL AMANATI ILAAHLIHA.
Artinya :Sesunggunya Allah memerintahkan kamu supaya memulangkan amanah kepada yang berhak menerimanya. (Allah).
Hal tersebut diatas dipertegas lagi oleh Allah dalam Hadits Qudsi :
MAN ARAFA NAFSAHU,FAQAT ARAFA RABAHU.
Artinya : Barang siapa mengenal dirinya maka ia akan mengenal tuhannya.
Dalam menawarkan tugas yang sangat berat ini,Pernah ditawarkan Rahasia-nya itu kepada Langit,Bumi dan Gunung-gunung tetapi semuanya tidak sanggup menerimanya.
Seperti firman Allah SWT. Dalam Al-Qur’an surat Al—Ahzab ayat 72.
INNA ‘ARAT NAL AMATA, ALAS SAMAWATI WAL ARDI WAL JIBAL FA ABAINA ANYAH MILNAHA WA AS FAKNA MINHA,WAHAMA LAHAL INSANNU.
Artinya : Sesungguhnya kami telah menawarkan suatu amanat kepada Langit,Bumi danGunung-gunung tetapi mereka enggan memikulnya dan merasa tidak akan sanggup, Lantas hanya manusia yang sanggup menerimanya.
Oleh karena amanat (Rahasia Allah) telah diterima,maka adalah menjadi tanggung jawab manusia untuk menunaikan janjinya.
Dengan kata lain tugas manusia adalah menjaga hubungannya dengan yang punya Rahasia.
Setelah amanat (Rahasia Allah) diterima oleh manusia (diri Bathin/Roh) untuk tujan inilah maka Adam dilahirkan untuk m,emperbanyak diri, diri penanggung Rahasia dan berkembang dari satu Dekade ke satu Dekade,diri satu generasi ke generasi yang lain sampai alam ini mengalami KIAMAT DAN RAHASIA DI KUMPUL KEMBALI.
INNA LILLAHI WA INNA ILAIHI RAAJIUN.
Artinya : Kita berasal dari Allah, kembali kepada Allah.

Ayat-ayat Ma'rifatullah 2


ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻻ ﺍﻟﻪ ﺍﻻ ﺍﻟﻠﻪ ﻭ ﺃﺷﻬﺪ ﺃﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa ketauhidan seseorang dalam asma dan shifat itu maksudnya adalah bahwa seseorang itu meng-esakan Allah subhanahu wa ta’ala dengan nama2 yang telah Allah sebutkan bagi diri-Nya sendiri, dan menyifati Allah dengan sifat2 yang telah Allah sifatkan bagi diri-Nya sendiri di dalam kitab-Nya, ataupun melalui lisan Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan kemudian ia menetapkan semua itu dengan tanpa merubahnya, tanpa menghilangkannya, tanpa menanyakan bagaimananya, dan tanpa menyerupakan dengan makhluk-Nya.
Pengertian yang semakna dengan pengertian di atas ini -kurang lebihnya- pernah dikemukakan oleh Syaikh Al-‘Utsaimin rahimahullah.
Atau dari sisi yang lainnya, penjelasan tentang asma dan shifat Allah ini insya Allah dapat pula kita pahami –diantaranya- berdasarkan apa yang telah diriwayatkan oleh ibnu Qudamah rahimahullah dari perkataannya al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah bahwa beliau berkata :
ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﺍﺳﻤﺎﺀ ﻭﺻﻔﺎﺕ ﺟﺎﺀ ﺑﻬﺎ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﻭﺍﺧﺒﺮ ﺑﻬﺎ ﻧﺒﻴﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻣﺘﻪ ﻻ ﻳﺴﻊ ﺍﺣﺪﺍ ﻣﻦ ﺧﻠﻖ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻗﺎﻣﺖ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﺤﺠﻪ ﺭﺩﻫﺎ ﻷﻥ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻧﺰﻝ ﺑﻬﺎ ﻭﺻﺢ ﻋﻦ ﺭﺳﻮﻝ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺍﻟﻘﻮﻝ ﺑﻬﺎ ﻓﻴﻤﺎ ﺭﻭﻯ ﻋﻨﻪ ﺍﻟﻌﺪﻝ ﻓﺈﻥ ﺧﺎﻟﻒ ﺫﻟﻚ ﺑﻌﺪ ﺛﺒﻮﺕ ﺍﻟﺤﺠﺔ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻬﻮ ﻛﺎﻓﺮ ﻓﺎﻣﺎ ﻗﺒﻞ ﺛﺒﻮﺕ ﺍﻟﺤﺠﺔ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻤﻌﺬﻭﺭ ﺑﺎﻟﺠﻬﻞ ﻷﻥ ﻋﻠﻢ ﺫﻟﻚ ﻻﻳﺪﺭﻙ ﺑﺎﻟﻌﻘﻞ ﻭﻻ ﺑﺎﻟﺮﻭﻳﺔ ﻭﺍﻟﻔﻜﺮ ﻭﻻ ﻳﻔﻜﺮ ﺑﺎﻟﺠﻬﻞ ﺑﻬﺎ ﺍﺣﺪ ﺍﻻ ﺑﻌﺪ ﺍﻧﺘﻬﺎﺀ ﺍﻟﺨﺒﺮ ﺍﻟﻴﻪ ﺑﻬﺎ ﻭﻧﺜﺒﺖ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺼﻔﺎﺕ ﻭﻧﻨﻔﻲ ﻋﻨﻬﺎ ﺍﻟﺘﺸﺒﻪ ﻛﻤﺎ ﻧﻔﻰ ﺍﻟﺘﺸﺒﻪ ﻋﻦ ﻧﻔﺴﻪ ﻓﻘﺎﻝ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻟﻴﺲ ﻛﻤﺜﻠﻪ ﺷﻲﺀ ﻭﻫﻮ ﺍﻟﺴﻤﻴﻊ ﺍﻟﺒﺼﻴﺮ
“Mengenai nama-nama dan sifat-sifat Allah ta'ala, maka semua itu telah datang kabar di dalam kitab-Nya dan telah dikabarkan pula oleh Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada umat beliau.
Maka, tidak ada seorang pun dari makhluk2 Allah ta'ala yang boleh menolaknya setelah hujjah ditegakan kepadanya, karena Al-Qur'an telah turun dengan membawa nama-nama dan sifat-sifat-Nya itu dan telah shahih sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh orang2 yang adil mengenai nama-nama dan sifat-sifat Allah tersebut.
Apabila ada seseorang yang menyelisihinya setelah tsabitnya hujjah kepadanya, maka ia kafir.
Adapun jika belum tsabit hujjah kepadanya, maka ia diberikan udzur disebabkan kejahilannya, sebab ilmu tentang hal ini tidaklah dapat dicapai melalui akal, bukan pula melalui perenungan, dan tidak pula melalui hati dan pemikiran. Dan kami tidaklah mengkafirkan seorangpun dalam masalah ini karena dia tidak tahu, kecuali jika setelah sampainya khabar kepadanya.
Dan kami tetapkan semua shifat Allah ini, sekaligus kami nafikan darinya penyerupaan sebagaimana Allah sendiri telah menafikan adanya penyerupaan dengan firman-Nya : “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.”
(Itsbat Shifat al-‘Uluw hal. 124)
Al-Quran surat Al-Isra ayat 30
Allah berfirman :
ﺇِﻥَّ ﺭَﺑَّﻚَ ﻳَﺒْﺴُﻂُ ﺍﻟﺮِّﺯْﻕَ ﻟِﻤَﻦ ﻳَﺸَﺂﺀُ ﻭَﻳَﻘْﺪِﺭُ ﺇِﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﺑِﻌِﺒَﺎﺩِﻩِ ﺧَﺒِﻴﺮًﺍ ﺑَﺼِﻴﺮًﺍ
“Sesungguhnya Rabb-mu melapangkan rejeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.”
Tentang firman Allah : “Sesungguhnya Rabb-mu melapangkan rejeki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya,"
Al-Hafizh ibnu Katsir rahimahullah mengatakan :
ﺇﺧﺒﺎﺭﺍً ﺃﻧﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻫﻮ ﺍﻟﺮﺯﺍﻕ ﺍﻟﻘﺎﺑﺾ ﺍﻟﺒﺎﺳﻂ ﺍﻟﻤﺘﺼﺮﻑ ﻓﻲ ﺧﻠﻘﻪ ﺑﻤﺎ ﻳﺸﺎﺀ , ﻓﻴﻐﻨﻲ ﻣﻦ ﻳﺸﺎﺀ , ﻭﻳﻔﻘﺮ ﻣﻦ ﻳﺸﺎﺀ ﻟﻤﺎ ﻟﻪ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﻜﻤﺔ
“Ayat ini mengabarkan bahwa Allah ta’ala, Dia-lah yang memberi rejeki, menggenggamnya, melapangkannya, dan mengaturnya untuk makhluk2-Nya sebagaimana yang Dia kehendaki.
Maka Dia jadikan kaya siapa yang Dia kehendaki, dan Dia jadikan faqir siapa yang Dia kehendaki yang pada hal itu terdapat hikmah.”
(Tafsir ibnu Katsir 5/66)
Adapun sebagian orang, mereka memandang bahwa kekayaan dan kemiskinan ini merupakan salah satu patokan bagi kehinaan dan kemuliaan seseorang.
Jika dia kaya, maka dia mulia, tapi jika dia miskin, berarti dia adalah orang yang hina.
Padahal masalahnya tidaklah seperti itu.
Kehinaan dan kemuliaan seseorang, sama sekali tidak ditentukan dari banyak atau sedikitnya harta yang Allah berikan kepadanya.
Bahkan telah tsabit dalam hadits yang shahih, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ﻗُﻤْﺖُ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﺎﺏِ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻓَﻜَﺎﻥَ ﻋَﺎﻣَّﺔَ ﻣَﻦْ ﺩَﺧَﻠَﻬَﺎ ﺍﻟْﻤَﺴَﺎﻛِﻴﻦُ
“Aku berdiri di pintu surga, dan ternyata kebanyakan yang memasukinya adalah orang2 miskin.”
(Shahih al-Bukhari 7/30 no.5196)
Atau sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang semisal :
ﻭﻗﺎﻟﺖ ﻫﺬﻩ ﻳﺪﺧﻠﻨﻲ ﺍﻟﻀﻌﻔﺎﺀ ﻭﺍﻟﻤﺴﺎﻛﻴﻦ
“Dan surga berkata : “Orang2 lemah dan orang2 miskin akan memasukiku.”
(Shahih Muslim 4/2186 no.2846)
Bukankah ini merupakan satu kemuliaan yang besar bagi orang2 miskin?
Maka sungguh kemiskinan bukanlah selalu berarti suatu kehinaan, dan begitupula kekayaan tidaklah selalu berarti kemuliaan.
Berkenaan dengan masalah ini, Ibnu Jarir rahimahullah mengatakan dalam tafsir atas surat Saba’ ayat 36 (1) :
ﻗﻞ ﻟﻬﻢ ﻳﺎ ﻣﺤﻤﺪ ( ﺇِﻥَّ ﺭَﺑِّﻲ ﻳَﺒْﺴُﻂُ ﺍﻟﺮِّﺯْﻕَ ) ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻌﺎﺵ ﻭﺍﻟﺮﻳﺎﺵ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ( ﻟِﻤَﻦْ ﻳَﺸَﺎﺀُ ) ﻣﻦ ﺧﻠﻘﻪ ( ﻭَﻳَﻘْﺪِﺭُ ) ﻓﻴﻀﻴﻖ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻳﺸﺎﺀ ﻻ ﻟﻤﺤﺒﺔ ﻓﻴﻤﻦ ﻳﺒﺴﻂ ﻟﻪ ﺫﻟﻚ ﻭﻻ ﺧﻴﺮ ﻓﻴﻪ ﻭﻻ ﺯﻟﻔﺔ ﻟﻪ ﺍﺳﺘﺤﻖ ﺑﻬﺎ ﻣﻨﻪ ، ﻭﻻ ﻟﺒﻐﺾ ﻣﻨﻪ ﻟﻤﻦ ﻗﺪﺭ ﻋﻠﻴﻪ ﺫﻟﻚ ﻭﻻ ﻣﻘﺖ ، ﻭﻟﻜﻨﻪ ﻳﻔﻌﻞ ﺫﻟﻚ ﻣﺤﻨﺔ ﻟﻌﺒﺎﺩﻩ ﻭﺍﺑﺘﻼﺀ ، ﻭﺃﻛﺜﺮ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻻ ﻳﻌﻠﻤﻮﻥ ﺃﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﻔﻌﻞ ﺫﻟﻚ ﺍﺧﺘﺒﺎﺭًﺍ ﻟﻌﺒﺎﺩﻩ ﻭﻟﻜﻨﻬﻢ ﻳﻈﻨﻮﻥ ﺃﻥ ﺫﻟﻚ ﻣﻨﻪ ﻣﺤﺒﺔ ﻟﻤﻦ ﺑﺴﻂ ﻟﻪ ﻭﻣﻘﺖ ﻟﻤﻦ ﻗﺪﺭ ﻋﻠﻴﻪ .
“(Allah berfirman) : “Wahai Muhammad, katakanlah kepada mereka : “Sesungguhnya Rabb-ku melapangkan rejeki “ dari hal penghidupan dan pakaian2 yang mewah bagi siapa yang dikehendaki-Nya diantara makhluk2-Nya. Dan Dia menyempitkan bagi siapa yang dikehendaki-Nya,
(Tapi) semua itu bukanlah karena kecintaan Allah kepada orang2 yang Dia lapangkan rejekinya dan tidak pula karena kebaikan di dalamnya……
Dan itu juga bukanlah karena kemarahan dan kebencian Allah kepada orang2 yang Dia sempitkan rejekinya. Akan tetapi Allah melakukan itu adalah sebagai ujian dan cobaan untuk hamba2-Nya.
Sebagian besar manusia tidak mengetahui bahwa Allah melakukan itu sebagai ujian untuk hamba2-Nya, dan mereka menyangka bahwa orang2 yang dilapangkan rejekinya merupakan tanda kecintaan Allah sedangkan bagi orang2 yang disempitkan rejekinya merupakan tanda kebencian Allah.”
(Jami’ul-Bayan 20/410)
Kemudian, Al-Hafizh ibnu Katsir rahimahullah di tempat lainnya menjelaskan dari sisi yang lebih prinsipil dalam masalah ini, yaitu bahwa pada kedua keadaan tersebut (yakni kelapangan dan kesempitan rejeki), maka sisi keta’atan kepada Allah-lah yang seharusnya menjadi hal yang diperhatikan oleh seorang hamba.
Beliau rahimahullah mengatakan :
ﻓﺈﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻳﻌﻄﻲ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﻣﻦ ﻳﺤﺐ ﻭﻣﻦ ﻻ ﻳﺤﺐ ﻭﻳﻀﻴﻖ ﻋﻠﻰ ﻣﻦ ﻳﺤﺐ ﻭﻣﻦ ﻻ ﻳﺤﺐ ﻭﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﻤﺪﺍﺭ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻋﻠﻰ ﻃﺎﻋﺔ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻲ ﻛﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺎﻟﻴﻦ ﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻏﻨﻴﺎ ﺑﺄﻥ ﻳﺸﻜﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ ﻭﺇﺫﺍ ﻛﺎﻥ ﻓﻘﻴﺮﺍ ﺑﺄﻥ ﻳﺼﺒﺮ
“Sesungguhnya Allah ta’ala memberikan harta kepada orang yang Dia cintai dan kepada orang yang tidak Dia cintai. Dan Dia menyempitkan rejeki kepada orang yang Dia cintai dan kepada orang yang tidak Dia cintai.
Acuan dalam masalah ini hanyalah berkenaan dalam ketaatan kepada Allâh dalam dua keadaan tersebut.
Apabila seseorang itu diberikan kekayaan, maka hendaknya ia bersyukur kepada Allâh atas hal itu, dan jika ia berada dalam kemiskinan, maka hendaknya ia bersabar.”
(Tafsir ibnu Katsir 8/388)
Apa yang dikemukakan oleh Al-Hafizh rahimahullah di atas, adalah sebagaimana sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam mengenai sifat seorang mu'min :
ﻋﺠﺒﺎ ﻷﻣﺮ ﺍﻟﻤﺆﻣﻦ ﺇﻥ ﺃﻣﺮﻩ ﻛﻠﻪ ﺧﻴﺮ ﻭﻟﻴﺲ ﺫﺍﻙ ﻷﺣﺪ ﺇﻻ ﻟﻠﻤﺆﻣﻦ ﺇﻥ ﺃﺻﺎﺑﺘﻪ ﺳﺮﺍﺀ ﺷﻜﺮ ﻓﻜﺎﻥ ﺧﻴﺮﺍ ﻟﻪ ﻭﺇﻥ ﺃﺻﺎﺑﺘﻪ ﺿﺮﺍﺀ ﺻﺒﺮ ﻓﻜﺎﻥ ﺧﻴﺮﺍ ﻟﻪ
"Sungguh mengagumkan urusan seorang mu'min. Sesungguhnya setiap urusannya adalah baik, dan tidaklah hal itu terjadi kecuali kepada diri seorang mu'min.
Apabila dia mendapatkan kesenangan, ia bersyukur. Dan bersyukur itu adalah baik baginya.
Apabila ia tertimpa kemudharatan, maka ia bersabar. Dan bersabar itu adalah baik baginya."
(Shahih Muslim 4/2295 no.2999)
Maka benarlah apa yang dikatakan oleh Al-Hafizh ibnu Katsir rahimahullah, bahwa bagi seorang muslim, kedua keadaan tersebut, yakni baik dalam kelapangan ataupun kesempitan rejeki atau dalam kondisi kaya ataupun miskin, maka hendaknya sisi keta’atan kepada Allah dalam kedua keadaan itulah yang seharusnya menjadi hal yang diperhatikan dan diutamakan olehnya.
Jika ia kaya, hendaknya ia menjadi seorang muslim yang bersyukur.
Dan jika ia miskin, hendaknya ia menjadi seorang muslim yang bersabar.
Kemudian....
Tentang firman Allah :
“sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya.”
Yakni bahwa Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat akan keadaan hamba2-Nya, dalam hal siapa yang berhak untuk menjadi kaya dan siapa yang berhak untuk menjadi miskin.
Al-Hafizh rahimahullah mengatakan :
ﺃﻱ ﺧﺒﻴﺮﺍً ﺑﺼﻴﺮﺍً ﺑﻤﻦ ﻳﺴﺘﺤﻖ ﺍﻟﻐﻨﻰ ﻭﻳﺴﺘﺤﻖ ﺍﻟﻔﻘﺮ
“Yaitu Allah Maha Mengetahui, dan Maha Melihat siapa2 yang berhak untuk kaya, dan siapa2 yang berhak untuk miskin.”
(Tafsir ibnu Katsir 5/66)
Terakhir.....satu yang perlu sekali diingat, yakni bahwa :
ﻭﻗﺪ ﻳﻜﻮﻥ ﺍﻟﻐﻨﻰ ﻓﻲ ﺣﻖ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺍﺳﺘﺪﺭﺍﺟﺎً , ﻭﺍﻟﻔﻘﺮ ﻋﻘﻮﺑﺔ , ﻋﻴﺎﺫﺍً ﺑﺎﻟﻠﻪ ﻣﻦ ﻫﺬﺍ ﻭﻫﺬﺍ
“Adakalanya kekayaan yang ada pada sebagian manusia itu merupakan satu istidraj (atau bisa dikatakan sebagai sesuatu yang pada akhirnya akan menuju kepada kebinasaan), sedangkan kemiskinan itu merupakan satu hukuman. (Maka) kita berlindung kepada Allah dari kedua hal tersebut.”
(Tafsir ibnu Katsir 5/66)
Note :
(1) Selengkapnya surat Saba’ dari ayat 34 sampai dengan 36 :
“Dan Kami tidak mengutus kepada suatu negeri seorang pemberi peringatanpun, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mengingkari apa yang kamu diutus untuk menyampaikannya.
Dan mereka berkata: "Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak- anak (daripada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan diazab.
Katakanlah: "Sesungguhnya Rabb-ku melapangkan rejeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan (bagi siapa yang dikehendaki-Nya). akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui".
(Q.S Saba’ ayat 34-36)

Untukmu Para Pemilik Kelembutan Hati


Tidaklah hati yang lembut kepada Allah Azza wa Jalla melainkan pemiliknya (adalah) seorang yang bersegara mengejar segala bentuk kebajikan dan sigap terhadap segala bentuk keta’atan dan keridhaan.
Tiada kelembutan dan keluluhan hati kepada Allah Azza wa Jalla melainkan anda akan mendapati pemiliknya sebagai orang yang paling menaruh perhatian penuh terhadap segala bentuk ketaatan dan kecintaan kepada Allah. Tiadalah ia diingatkan melainkan segera sadar, dan tiadalah ia diberitahukan melainkan segara mengerti.
Tidaklah kelembutan itu masuk ke dalam hati melainkan anda akan mendapati pemiliknya (senantiasa) berada dalam keadaan tentram dengan ber-dzikrullah (mengingat Allah), lidahnya (senantiasa) basah dengan (ucapan) syukur dan pujian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tiada hati yang lembut karena Allah Azza wa Jalla melainkan anda akan menemukan pemiliknya sebagai orang yang sangat jauh perilakunya dari segala bentuk kedurhakaan kepada Allah Azza wa Jalla.
Maka hati yang lembut merupakan hati yang (senantiasa) merasa hina di hadapan keagungan dan keperkasaan Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Tidaklah penyeru kesesatan dan hawa nafsu datang kepadanya, melainkan pemilik hati tersebut menggigil ketakutan dari ketakutan kepada Al-Malik (Maha Raja) Subhanahu wa Ta’ala.
Hati yang lembut, (mengindikasikan) pemiliknya adalah seorang yang jujur, di atas segala bentuk kredibilitas apa pun.
Hati yang lembut, itulah sejatinya kelembutan, dan sebaik-baiknya kelembutan.
Namun pertanyaannya, siapakah yang mengaruniakan kelembutan dan keluluhan hati?
Siapakah yang memperkenankan (rasa) kekhusyu'an dan kesadaran hati untuk kembali kepada Rabbnya?
Siapakah yang sekiranya Ia berkehendak membalikkan hati ini, sehingga menjadi yang paling lembut untuk mengingat Allah Azza wa Jalla, dan paling khusyu' saat mentadabburi ayat-ayat dan keagungan-Nya?
Siapakah Dia?
Maha suci Ia yang tiada Ilah Ilah (tuhan yang haq untuk disembah) melainkan Dia (semata). Seluruh hati manusia di antara dua jari dari jari-jari-Nya, Dialah yang membolak-balikan hati sebagaimana yang Ia kehendaki.
Maka (bisa jadi) anda akan mendapati seorang hamba yang sangat keras hatinya, namun Allah tidak menghendaki selain merahmati, menyayangi, mengkaruniai dan memuliakannya.
Sehingga datanglah sekelumit momentum yang menakjubkan, menghujamkan iman, mengoyak keterpurukan hatinya, setelah Allah berkenan memilih dan menetapkan pemilik hati tersebut sebagai orang yang layak mendapatkan rahmat-Nya.
Saudaraku yang kusayangi karena Allah...
Sesungguhnya ia adalah suatu kenikmatan yang tidak akan anda jumpai di atas permukaan bumi ini kenikmatan yang lebih besar dan agung daripadanya, (yaitu) kenikmatan berupa kelembutan hati dan kesadaran untuk kembali kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Sungguh Allah Azza wa Jalla telah memberitakan, bahwa tidaklah hati yang terhalang dari kenikmatan ini melainkan pemiliknya akan diancam dengan adzab Allah, Dia Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ﻓَﻮَﻳْﻞٌ ﻟِّﻠْﻘَﺎﺳِﻴَﺔِ ﻗُﻠُﻮﺑُﻬُﻢ ﻣِّﻦ ﺫِﻛْﺮِ ﺍﻟﻠَّﻪِ
"Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah." (Az-Zumar: 22).
Kecelekaan, siksaan dan bencana bagi hati-hati yang keras dari mengingat Allah.
Kenikmatan, rahmat dan kebahagiaan serta kesuksesan bagi hati yang luluh dan takut kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Karena itu -saudara-saudaraku seaqidah-, tiadalah seorang mukmin yang jujur dalam keimanannya melainkan ia SENANTIASA BERPIKIR untuk mencari jalan AGAR HATINYA DAPAT MENJADI LEMBUT . Berpikir, bagaimana supaya dapat memperoleh kenikmatan ini.
Maka para pemilik kelembutan hati adalah mereka yang bertekad:
"Saya harus menjadi kekasih Allah Azza wa Jalla, menjadi bagian dari para wali-wali-Nya. Yang tiada mengenal istirahat dan kesenangan melainkan mencintai dan menaati-Nya Subhanahu wa Ta’ala (saja)."
Karena ia menyadari bahwa tiada terhalang kenikmatan ini, melainkan akan terhalang pula dari segala kebaikan yang banyak.
Karenanya, berapa banyak orang-orang baik yang pada sebagian keadaan dan situasi yang menimpanya, mereka membutuhkan kepada orang yang dapat melembutkan hati-hati mereka. Maka perkara hati ini merupakan perkara yang menakjubkan, dan keadaannya asing (tidak dapat diterka).
Terkadang hati merespon kebaikan, dan saat keadaannya demikian ia sangat lembut terhadap Allah Azza wa Jalla dan menyeru-nyeru kepada Allah.
Seandainya (dalam keadaan tersebut) ia diminta untuk menginfakkan seluruh hartanya karena cinta kepada Allah, niscaya akan diberikannya.
Sekirannya diminta untuk menyerahkan jiwanya di jalan Allah, niscaya akan dikorbankannya.
Sesungguhnya ia merupakan sekelumit momentum saja, di mana Allah memenuhi hati-hati tersebut dengan rahmat (kasih sayang)-Nya.
Sebaliknya, terdapat pula sekelumit-sekelumit momentum (lainnya) yang dapat merubah keadaan orang yang beriman kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, (yaitu) sekelumit-sekelumit momentum yang mengeraskan (hati manusia).
Tidaklah seorang manusia sekiranya ia melewati situasi ini (sekali pun hanya) sebentar saja, niscaya hatinya akan mengeras dan merasa sakit di dalamnya, sampai-sampai begitu sangat kerasnya bagaikan batu. Wal ‘Iyadzu billah.
Ada beberapa faktor yang dapat melembutkan hati dan ada pula faktor-faktor yang dapat mengeraskan hati.
Allah Tabaraka wa Ta’ala telah mempersilahkan dan mengutamakan (pembahasan ini) dengan mengarahkan kepada penjelasan-penjelasan di dalam al-Qur`an.
Tidak ada upaya menghadirkan kelembutan hati dengan cara yang lebih agung dibanding dengan sebab iman kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Tiada seorang hamba yang telah mengenal Rabbnya dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya melainkan hatinya akan menjadi lembut terhadap Allah Azza wa Jalla, dan (dengan sendirinya) ia akan menegakkan batasan-batasan Allah.
Tiadalah ayat al-Qur`an dan hadits Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam yang datang kepadanya melainkan ia akan mengimplementasikan dengan bahasa, perangai, dan berkata:
ﺳَﻤِﻌْﻨَﺎ ﻭَﺃَﻃَﻌْﻨَﺎ ﻏُﻔْﺮَﺍﻧَﻚَ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﻭَﺇِﻟَﻴْﻚَ ﺍﻟْﻤَﺼِﻴﺮُ
"Kami dengar dan kami ta'at." (Mereka berdo'a): "Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkaulah tempat kembali." (Al-Baqarah: 285)
Maka tiadalah seorang hamba yang telah mengenal Allah dengan nama-nama-Nya yang baik dan telah mengenal Rabbnya -yang ditangan-Nya kekuasaan atas segala sesuatu, sementara Dialah yang melindungi, namun tiada yang dapat dilindungi dari (siksa)-Nya-, melainkan anda akan mendapatinya BERPACU kepada kebaikan, dan BERPALING dari keburukan.
Faktor terpenting yang menjadikan hati lembut terhadap Allah Azza wa Jalla dan luluhnya hati dari rasa ketakutan yang timbul karena mengenal Allah Tabaraka wa Ta’ala, di mana seorang hamba telah yang mengenal Rabbnya.
Faktor Pertama
Mengenal-Nya, bahwa tiadalah segala sesuatu di alam semesta ini melainkan hal itu mengingatkannya kepada Rabbnya.
Pagi dan petang mengingatkannya akan Rabb yang Maha agung.
Nikmat dan bencana mengingatkannya kepada yang Maha Penyantun dan Mulia.
Kebaikan dan keburukan mengingatkannya terhadap Yang dapat mendatangkan kebaikan dan menolak keburukan, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maka barangsiapa yang mengenal Allah, hatinya akan menjadi lembut karena takut akan keagungan-Nya Tabaraka wa Ta’ala.
Sebaliknya, tidaklah anda mendapati hati yang keras melainkan anda akan menjumpai pemiliknya sebagai seorang hamba yang paling bodoh mengenai Allah Azza wa Jalla, dan sangat jauh dari mengenal Allah mengenai keperkasaan dan siksaan-Nya, dan ia merupakan sepandir-pandir manusia mengenai nikmat dan rahmat Allah Azza wa Jalla.
Sehingga sungguh anda akan menjumpai sebagian dari orang-orang yang durhaka sudah sangat berputus asa dari kasih sayang Allah, dan merasa sangat pupus harapan dari rahmat-Nya. Kita berlindung kepada Allah terhadap situasi kebodohan mengenai Allah (al-jahl billah).
Lalu ketika ia jahil (bodoh) mengenai Allah, maka ia akan bersikap lancang terhadap batasan-batasan-Nya, lancang terhadap larangan-larangan-Nya, dan ia tidak mengenal melainkan pada malam dan siang harinya ia berbuat kefasikan dan kedurhakaan. Demikianlah yang diketahui dari kehidupannya, dan beginilah yang dapat diprediksi berkenaan dengan target keberadaan dan masa depannya.
Karena itu -saudaraku yang kucintai karena Allah-, mengenal Allah Azza wa Jalla merupakan suatu cara (efektif) untuk dapat melembutkan hati.
Oleh sebab itu, setiap orang yang anda temui memberikan pelajaran, mengekalkan tafakkur akan kekuasaan Allah, ketika anda mendapatkan di dalam hatinya ada kelembutan, di saat itu pula anda akan mendapati hatinya khusyu' dan luluh kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Faktor Kedua
Yang dapat meluluhkan dan melembutkan hati, dan menolong seorang hamba atas kelembutan hatinya dari rasa takut kepada Allah Azza wa Jalla, adalah memperhatikan ayat-ayat al-Qur'an.
Perhatian dalam hal ini merupakan jalan yang dapat mengantarkan kepada hidayah taufik dan kebenaran. Menaruh perhatian penuh terhadap al-Qur`an telah dideskripsikan Allah dalam firman-Nya:
ﻛِﺘَﺎﺏٌ ﺃُﺣْﻜِﻤَﺖْ ﺁﻳَﺎﺗُﻪُ ﺛُﻢَّ ﻓُﺼِّﻠَﺖْ ﻣِﻦ ﻟَّﺪُﻥْ ﺣَﻜِﻴﻢٍ ﺧَﺒِﻴﺮٍ
"(Inilah) Suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu." (Hud: 11)
Tidaklah seorang hamba membaca ayat-ayat al-Qu'an ketika membacanya dengan kehadiran hati, sambil memikirkan dan merenungkan melainkan matanya (menjadi) menangis, hatinya (menjadi) khusyu', jiwanya memancarkan iman dari kedalamnya, hendak berjalan menuju Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Sekiranya permukaan hati itu berbalik setelah (berinteraksi dengan) ayat-ayat al-Qur`an, menjadi lahan subur bagi kebaikan, kecintaan dan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla.
Tidaklah seorang hamba membaca al-Qur`an dan menyimak ayat-ayat Allah melainkan anda akan mendapati pasca pembacaan dan perenungan, sebuah kelembutan. Sungguh hati dan kulitnya akan bergetar karena takut akan keagungan Allah Tabaraka wa Ta’ala. Firman-Nya Ta’ala :
ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻧَﺰَّﻝَ ﺃَﺣْﺴَﻦَ ﺍﻟْﺤَﺪِﻳﺚِ ﻛِﺘَﺎﺑﺎً ﻣُّﺘَﺸَﺎﺑِﻬﺎً ﻣَّﺜَﺎﻧِﻲَ ﺗَﻘْﺸَﻌِﺮُّ ﻣِﻨْﻪُ ﺟُﻠُﻮﺩُ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﺨْﺸَﻮْﻥَ ﺭَﺑَّﻬُﻢْ ﺛُﻢَّ ﺗَﻠِﻴﻦُ ﺟُﻠُﻮﺩُﻫُﻢْ ﻭَﻗُﻠُﻮﺑُﻬُﻢْ ﺇِﻟَﻰ ﺫِﻛْﺮِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺫَﻟِﻚَ ﻫُﺪَﻯ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻳَﻬْﺪِﻱ ﺑِﻪِ ﻣَﻦْ ﻳَﺸَﺎﺀُ ﻭَﻣَﻦ ﻳُﻀْﻠِﻞْ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻓَﻤَﺎ ﻟَﻪُ ﻣِﻦْ ﻫَﺎﺩٍ
"Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Qur'an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorang pun pemberi petunjuk baginya." (Az-Zumar: 23)
Inilah al-Qur'an yang mengagumkan, sebagian sahabat dibacakan beberapa ayat-ayat al-Qur'an maka (langsung) berbalik dari paganisme kepada ketauhidan, dari menyekutukan Allah kepada menyembah Rabbnya Subhanahu wa Ta’ala (hanya) dengan beberapa ayat-ayat sederhana.
Al-Qur'an merupakan nasehat dari Rabb semesta alam, firman dari Tuhan umat-umat terdahulu maupun generasi-generasi selanjutnya, tiadalah seorang hamba membacanya melainkan dimudahkan baginya mendapatkan tuntunan (Ilahi) saat membacanya, karenanya Allah berfirman dalam Kitab-Nya:
ﻭَﻟَﻘَﺪْ ﻳَﺴَّﺮْﻧَﺎ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﻟِﻠﺬِّﻛْﺮِ ﻓَﻬَﻞْ ﻣِﻦ ﻣُّﺪَّﻛِﺮٍ
"Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur'an untuk pelajaran, maka ADAKAH ORANG YANG MENGAMBIL PELAJARAN? " (Al-Qamar: 17)
Apakah di sana ada orang yang hendak mengambil pelajaran?
Apakah di sana ada orang yang menginginkan (mendapatkan) pesan sempurna dan nasehat yang tinggi?
Karenanya -saudaraku yang kucintai karena Allah-, tiada hati yang merasa ketagihan, dan tidak pula seorang hamba yang ketagihan untuk membaca al-Qur`an, menjadikan al-Qur'an selalu bersamanya, yang sekiranya dia belum hapal maka ia dapat membacanya sepanjang malam dan siang hari, melainkan akan lembutlah hatinya karena rasa takut akan keagungan Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Faktor Ketiga
Di antara faktor-faktor yang membantu melembutkan hati dan menumbuhkan kesadaran untuk senantiasa kembali kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, adalah seorang hamba sadar bahwa ia akan kembali kepada Allah, senantiasa sadar bahwa setiap permulaan selalu ada akhirnya.
Bahwa tidaklah setelah kematian yang merupakan bagian perjalanan yang harus dilewati, dan tidak pula setelah (menjalani) kehidupan dunia, melainkan (kesudahannya) surga atau neraka.
Barangsiapa yang merenungi kubur, dan merenungi keadan-keadaan penduduknya, niscaya hatinya akan luluh, hatinya akan terbebas dari segala kebekuan dan hal-hal yang menipu. Kita mohon perlindungan kepada Allah dari hal-hal demikian itu.
Barangsiapa yang berdiri di atas liang kubur yang telah selesai digali, lalu ia memperkirakan dirinya, sekiranya ialah yang akan dimasukkan liang kubur tersebut. Dan tidaklah ia berdiri di hadapan liang kubur, melihat tubuhnya sedang diturunkan ke dalamnya, maka ia akan bertanya kepada dirinya sendiri:
- Apa yang terjadi setelah ditutup (kuburnya)?
- Siapakah (pribadi) yang ditutup kuburnya (ini)?
- Atas dasar apa ditutup (kuburnya)?
- Apakah (kuburnya) ditutup atas (dasar) ketaatan atau kemaksiatan(nya)?
- Apakah (kuburnya) ditutup atas siksa (kubur) atau atas kenikmatan (kubur)?
Tiada Ilah (tuhan yang haq untuk disembah) melainkan Dia, Yang Maha mengetahui keadaan-keadaan mereka yang sebenarnya, Dialah Yang Maha menetapkan hukum lagi Maha adil yang memisah-misahkan di antara mereka (sesuai dengan perbuatannya).
Tiada seorang hamba melihat pemandangan-pemandangan ini, dan tidak pula terkumpul dalam dirinya renungan-renungan ini, melainkan berguncang hatinya karena rasa takut dan kengerian terhadap keagungan Allah Tabaraka wa Ta’ala. Berserah kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala dengan penyerahan yang sejujurnya dan kembali serta tekun (dalam ketaatan kepada-Nya).
Saudaraku yang kucintai karena Allah...
Separah-parahnya penyakit yang menimpa hati adalah penyakit kebekuan hati, dan kita berlindung atas keadaan yang demikian itu.
Dan faktor terbesar yang menyebabkan kerasnya hati setelah kebodohan mengenai Allah Tabaraka wa Ta’ala adalah kecondongan kepada dunia dan bangga akan status keduniaannya, serta terlalu sibuk dengan ucapan-ucapan yang berlebihan.
Sesungguhnya ini merupakan bagian dari faktor penyebab terbesar yang mengeraskan hati, wal'iyadzu billah Tabaraka wa Ta’ala. Karena jika seorang hamba telah disibukkan dengan perkara mengambil dan menjual, dan disibukkan pula dengan berbagai fitnah yang membinasakan, hal ini hanya mempercepat proses pengerasan hatinya (saja). Karena semua perkara tersebut, jauh dari (hal-hal yang dapat) mengingatkan dirinya terhadap Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Karena itu, sudah seyogyanya bagi setiap orang yang hendak menerjuni (urusan-urusan) dunia ini, untuk menerjuninya dengan penuh kehalusan. Agama kita bukanlah agama para rahib (pendeta), dan tidak (boleh) mengharamkan yang telah dihalalkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan tidak pula membatasi kita dengan perkara-perkara yang baik.
Ketentuan-ketentuan takdir telah ditetapkan oleh pena-Nya, dan ketentuan-ketentuan rezeki (juga) telah ditetapkan. Manusia mengambilnya dengan sebab-sebab usahanya, tanpa adanya benturan dengan qadha` dan qadar.
Ia mengambil bagiannya dengan sikap yang lembut dan penuh keridhaan dari Allah Tabaraka wa Ta’ala sesuai dengan yang telah dimudahkan baginya, lalu mengucapkan pujian (hamdalah) dan bersyukur kepada Sang Penciptanya, sehingga mempercepat turunnya keberkahan padanya, dan mampu mencegah terjadinya bencana kebekuan (hati). Kami memohon kepada Allah keselamatan dari perkara tersebut.
Sebab itu, faktor terbesar yang menyebabkan terjadinya kekerasan hati adalah kecenderungan terhadap dunia .
Anda akan mendapati para pemilik hati yang keras kebanyakan mereka memiliki kesibukkan dengan perkara-perkara dunia, mereka mengorbankan segala sesuatu, mengorbankan waktu-waktu mereka, mengorbankan shalat-shalat mereka, mereka rela terjerambat ke dalam perbuatan-perbuatan senonoh dan membinasakan. Tetapi dunia ini (malah) yang menarik mereka, tidak mungkin seorang dari mereka berkorban (hanya) dengan satu dinar atau dirham saja (untuk mencapai kepentingan-kepentingan duniawi mereka), karenanya dunia ini telah merasuk ke dalam hatinya.
Dan dunia itu bercabang-cabang, dunia bercabang-cabang, sekiranya seorang hamba mengetahui hakikat percabangan ini, niscaya pagi-petang lisannya akan terengah-engah kepada Rabbnya.
Ya Rabbku, selamatkan aku dari fitnah dunia ini, sesungguhnya di dalam perkara dunia ini (memiliki) berbagai cabang-cabang, di mana tidaklah hati cenderung kepada salah satunya melainkan ia akan bernafsu kepada cabang berikutnya, kemudian yang berikutnya (lagi), hingga ia jauh dari (mengingat) Allah Azza wa Jalla. Kedudukannya menjadi merosot di sisi Allah, dan Allah tidak peduli akan kebinasaan dirinya (yang sedang terperangkap) di dalam satu lembah dari lembah-lembah dunia yang ada. Wal ‘iyadzu billah.
Di Antara Faktor Penyebab Kerasnya Hati
Termasuk faktor yang paling menyebabkan kerasnya hati, yaitu duduk bersama orang-orang durhaka, dan bergaul dengan orang yang tidak memiliki kebaikan dalam interaksinya.
Dengan demikian, tidaklah seorang manusia menjalin pertemanan yang tidak membawa kebaikan dalam pertemanannya itu melainkan hatinya menjadi keras dari mengingat Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Dan tidaklah ia mencari orang-orang yang baik, melainkan mereka (membantu) melembutkan hatinya kepada Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.
Dan tidaklah ia tamak terhadap majelis-mejelis mereka, melainkan kelembutan akan datang kepadanya, ia mau ataupun tidak. Datang kepadanya untuk meneguhkan kelemahan hatinya, selanjutnya mengeluarkannya sebagai seorang hamba shalih yang sukses, yang merasa akhirat berada dihadapannya.
Karenanya, sudah seyogyanya bagi setiap orang, sekiranya harus berinteraksi dengan orang-orang jahat (juga), agar bergaul dengan penuh kewaspadaan, dan jadikanlah interaksinya itu sebatas yang diperlukan, sehingga terselamatkan agamanya, dan pokok kekayaan dunia ini adalah agama.
Ya Allah, sesungguhnya kami memohon dengan nama-nama-Mu yang baik, dan sifat-sifat-Mu yang tinggi, agar berkenan mengaruniakan hati-hati yang lembut kepada kami agar senantiasa mengingat dan bersyukur kepada-Mu.
Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu hati-hati yang tenang untuk mengingat-Mu.
Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu lisan-lisan yang senantiasa basah menyebut-Mu.
Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu iman yang sempurna, keyakinan yang benar, hati yang khusyu', ilmu yang bermanfaat, amal shalih yang diterima di sisi-Mu, wahai Yang Maha Mulia.
Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari fitnah-fitnah yang tampak maupun yang tersembunyi.
Amin.

LEBIH JAUH TENTANG JOKO SAMUDRA ALIAS SUNAN GIRI


SELAMA 40 hari, Raden Paku bertafakur di sebuah gua. Ia bersimpuh, meminta petunjuk Allah SWT, ingin mendirikan pesantren. Di tengah hening malam, pesan ayahnya, Syekh Maulana Ishak, kembali terngiang: ''Kelak, bila tiba masanya, dirikanlah pesantren di Gresik.'' Pesan yang tak terlalu sulit, sebetulnya.
Tapi, ia diminta mencari tanah yang sama persis dengan tanah dalam sebuah bungkusan ini. Selesai bertafakur, Raden Paku berangkat mengembara. Di sebuah perbukitan di Desa Sidomukti, Kebomas, ia kemudian mendirikan Pesantren Giri. Sejak itu pula Raden Paku dikenal sebagai Sunan Giri. Dalam bahasa Sansekerta, ''giri'' berarti gunung.
Namun, tak ada peninggalan yang menunjukkan kebesaran Pesantren Giri --yang berkembang menjadi Kerajaan Giri Kedaton. Tak ada juga bekas-bekas istana. Kini, di daerah perbukitan itu hanya terlihat situs Kedaton, sekitar satu kilometer dari makam Sunan Giri. Di situs itu berdiri sebuah langgar berukuran 6 x 5 meter.
Di sanalah, konon, sempat berdiri sebuah masjid, tempat Sunan Giri mengajarkan agama Islam. Ada juga bekas tempat wudu berupa kolam berukuran 1 x 1 meter. Tempat ini tampak lengang pengunjung. ''Memang banyak orang yang tidak tahu situs ini,'' kata Muhammad Hasan, Sekretaris Yayasan Makam Sunan Giri, kepada GATRA.
Syahdan, Pesantren Giri terkenal ke seluruh penjuru Jawa, bahkan sampai ke Madura, Lombok, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Menurut Babad Tanah Jawi, murid Sunan Giri juga bertebaran sampai ke Cina, Mesir, Arab, dan Eropa. Pesantren Giri merupakan pusat ajaran tauhid dan fikih, karena Sunan Giri meletakkan ajaran Islam di atas Al-Quran dan sunah Rasul.
Ia tidak mau berkompromi dengan adat istiadat, yang dianggapnya merusak kemurnian Islam. Karena itu, Sunan Giri dianggap sebagai pemimpin kaum ''putihan'', aliran yang didukung Sunan Ampel dan Sunan Drajat. Tapi, Sunan Kalijaga menganggap cara berdakwah Sunan Giri kaku. Menurut Sunan Kalijaga, dakwah hendaklah pula menggunakan pendekatan kebudayaan.
Misalnya dengan wayang. Paham ini mendapat sokongan dari Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati. Perdebatan para wali ini sempat memuncak pada peresmian Masjid Demak. ''Aliran Tuban'' --Sunan Kalijaga cs-- ingin meramaikan peresmian itu dengan wayang. Tapi, menurut Sunan Giri, menonton wayang tetap haram, karena gambar wayang itu berbentuk manusia.
Akhirnya, Sunan Kalijaga mencari jalan tengah. Ia mengusulkan bentuk wayang diubah: menjadi tipis dan tidak menyerupai manusia. Sejak itulah wayang beber berubah menjadi wayang kulit. Ketika Sunan Ampel, ''ketua'' para wali, wafat pada 1478, Sunan Giri diangkat menjadi penggantinya. Atas usulan Sunan Kalijaga, ia diberi gelar Prabu Satmata.
Diriwayatkan, pemberian gelar itu jatuh pada 9 Maret 1487, yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Gresik. Di kalangan Wali nan Sembilan, Sunan Giri juga dikenal sebagai ahli politik dan ketatanegaraan. Ia pernah menyusun peraturan ketataprajaan dan pedoman tata cara di keraton. Pandangan politiknya pun dijadikan rujukan.
Menurut Dr. H.J. De Graaf, lahirnya berbagai kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan Mataram, tidak lepas dari peranan Sunan Giri. Pengaruhnya, kata sejarawan Jawa itu, melintas sampai ke luar Pulau Jawa, seperti Makassar, Hitu, dan Ternate. Konon, seorang raja barulah sah kerajaannya kalau sudah direstui Sunan Giri.
Pengaruh Sunan Giri ini tercatat dalam naskah sejarah Through Account of Ambon, serta berita orang Portugis dan Belanda di Kepulauan Maluku. Dalam naskah tersebut, kedudukan Sunan Giri disamakan dengan Paus bagi umat Katolik Roma, atau khalifah bagi umat Islam. Dalam Babad Demak pun, peran Sunan Giri tercatat.
Ketika Kerajaan Majapahit runtuh karena diserang Raja Girindrawardhana dari Kaling Kediri, pada 1478, Sunan Giri dinobatkan menjadi raja peralihan. Selama 40 hari, Sunan Giri memangku jabatan tersebut. Setelah itu, ia menyerahkannya kepada Raden Patah, putra Raja Majapahit, Brawijaya Kertabhumi.
Sejak itulah, Kerajaan Demak Bintoro berdiri dan dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa. Padahal, sebenarnya, Sunan Giri sudah menjadi raja di Giri Kedaton sejak 1470. Tapi, pemerintahan Giri lebih dikenal sebagai pemerintahan ulama dan pusat penyebaran Islam. Sebagai kerajaan, juga tidak jelas batas wilayahnya.
Tampaknya, Sunan Giri lebih memilih jejak langkah ayahnya, Syekh Maulana Ishak, seorang ulama dari Gujarat yang menetap di Pasai, kini Aceh. Ibunya Dewi Sekardadu, putri Raja Hindu Blambangan bernama Prabu Menak Sembuyu. Kisah Sunan Giri bermula ketika Maulana Ishak tertarik mengunjungi Jawa Timur, karena ingin menyebarkan agama Islam.
Setelah bertemu dengan Sunan Ampel, yang masih sepupunya, ia disarankan berdakwah di daerah Blambangan. Ketika itu, masyarakat Blambangan sedang tertimpa wabah penyakit. Bahkan putri Raja Blambangan, Dewi Sekardadu, ikut terjangkit. Semua tabib tersohor tidak berhasil mengobatinya.
Akhirnya raja mengumumkan sayembara: siapa yang berhasil mengobati sang Dewi, bila laki-laki akan dijodohkan dengannya, bila perempuan dijadikan saudara angkat sang dewi. Tapi, tak ada seorang pun yang sanggup memenangkan sayembara itu. Di tengah keputusasaan, sang prabu mengutus Patih Bajul Sengara mencari pertapa sakti.
Dalam pencarian itu, patih sempat bertemu dengan seorang pertapa sakti, Resi Kandayana namanya. Resi inilah yang memberi ''referensi'' tentang Syekh Maulana Ishak. Rupanya, Maulana Ishak mau mengobati Dewi Sekardadu, kalau Prabu Menak Sembuyu dan keluarganya bersedia masuk Islam. Setelah Dewi Sekardadu sembuh, syarat Maulana Ishak pun dipenuhi.
Seluruh keluarga raja memeluk agama Islam. Setelah itu, Dewa Sekardadu dinikahkan dengan Maulana Ishak. Sayangnya, Prabu Menak Sembuyu tidak sepenuh hati menjadi seorang muslim. Ia malah iri menyaksikan Maulana Ishak berhasil mengislamkan sebagian besar rakyatnya. Ia berusaha menghalangi syiar Islam, bahkan mengutus orang kepercayaannya untuk membunuh Maulana Ishak.
Merasa jiwanya terancam, Maulana Ishak akhirnya meninggalkan Blambangan, dan kembali ke Pasai. Sebelum berangkat, ia hanya berpesan kepada Dewi Sekardadu --yang sedang mengandung tujuh bulan-- agar anaknya diberi nama Raden Paku. Setelah bayi laki-laki itu lahir, Prabu Menak Sembuyu melampiaskan kebenciannya kepada anak Maulana Ishak dengan membuangnya ke laut dalam sebuah peti.
Alkisah, peti tersebut ditemukan oleh awak kapal dagang dari Gresik, yang sedang menuju Pulau Bali. Bayi itu lalu diserahkan kepada Nyai Ageng Pinatih, pemilik kapal tersebut. Sejak itu, bayi laki-laki yang kemudian dinamai Joko Samudro itu diasuh dan dibesarkannya. Menginjak usia tujuh tahun, Joko Samudro dititipkan di padepokan Sunan Ampel, untuk belajar agama Islam.
Karena kecerdasannya, anak itu diberi gelar ''Maulana `Ainul Yaqin''. Setelah bertahun-tahun belajar, Joko Samudro dan putranya, Raden Maulana Makhdum Ibrahim, diutus Sunan Ampel untuk menimba ilmu di Mekkah. Tapi, mereka harus singgah dulu di Pasai, untuk menemui Syekh Maulana Ishak.
Rupanya, Sunan Ampel ingin mempertemukan Raden Paku dengan ayah kandungnya. Setelah belajar selama tujuh tahun di Pasai, mereka kembali ke Jawa. Pada saat itulah Maulana Ishak membekali Raden Paku dengan segenggam tanah, lalu memintanya mendirikan pesantren di sebuah tempat yang warna dan bau tanahnya sama dengan yang diberikannya.
Kini, jejak bangunan Pesantren Giri hampir tiada. Tapi, jejak dakwah Sunan Giri masih membekas. Keteguhannya memurnikan agama Islam juga diikuti para penerusnya. Sunan Giri wafat pada 1506 Masehi, dalam usia 63 tahun. Ia dimakamkan di Desa Giri, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.