Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
Dipenghujung bulan suci Ramadhon 1442 H ini, seorang salik bertanya kepada yang lain : ‘Tulislah tentang muroqobah, agar kami dapat menarik pelajaran darinya.’
Percakapan ini sungguh dalam maknanya, karena pekerjaan muroqobah bukan
hal biasa, melainkan pekerjaan khusus bagi para mutashowif. Tentunya
yang ditanya adalah hasil dari muroqobah bukan cara melakukannya, karena
cara-caranya (kaifiat) tentu sama, namun pemahaman dari hasilnya yang
berbeda-beda. Untuk menjawab pertanyaan ini dibutuhkan perumpamaan,
sebagaimana Al Qur’an juga demikian dalam menjelaskan hal-hal yang
rumit. Karena sejak dahulu, banyak para salik yang bertanya tentang hal
yang sama : ‘Saya sudah wirid Malakandias tetapi tidak terjadi apa-apa.’ Ada juga yang berkata : ‘Aku sudah berdzikir lathif dengan menambahkan rasa-rasa, namun tidak merasakan sesuatu pun sebagaimana yang di ajarkan.’
Ternyata yang demikian itu, bukan saja terjadi dan dialami oleh para
salik, melainkan dialami dan dirasakan juga oleh ikan-ikan dilautan,
mereka selalu bertanya kepada pemimpinnya tentang lautan, tanpa
menyadarinya bahwa mereka telah berada didalamnya. Nah, sekarang kita
dapat memahami, mengapa Hadrat Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya)
pernah berkata bahwa : ‘Taswuf adalah
kesadaran, dan untuk membongkar keasadaran yang tersembunyi didalam diri
seseorang, maka ia harus terus menerus mendawamkan dzikir dan
ubudiyah.’
Tak henti-hentinya, sebagaimana hujan yang
turun dari langit. Kasih sayangnya bak seekor kucing yang selalu
menjilati anak-anaknya. Airmata kesedihannya sebanyak embun pagi yang
menetes dari ujung dedaunan, Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya)
melihat dengan jelas keadaan murid-muridnya, tanpa pandang bulu
diperlakukannya semua murid seperti seorang bayi. Diberinya minum susu
dari cawan kewalian, agar dikemudian hari menjadi siap meminum anggur
dari cawan yang suci. Begitulah kasih sayang seorang Syaikh didalam
mendidik murid-muridnya, agar disuatu kelak dapat memahami dan memasuki
rahasia-rahasia dzikir dan ‘muroqobah’. Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) berkata kepada seorang murid : ‘Jarang
sekali ada yang bertanya kepadaku tentang hal-hal yang berkenaan dengan
dzikir dan muroqobah, kecuali pertanyaan seputar kesempitan dada
didalam menghadapi kehidupan di dunia ini.’ Ironis memang, yang mulia Syaikhuna membimbing murid-muridnya cara-cara untuk mencapai puncak gunung, agar beroleh sebuah rasa ‘dekat’ dan dengan jelas dapat ‘memandang’
matahari, namun yang selalu ditanyakan hanya seputar masalah dunia
saja, yakni, rizki, jodoh dan problema rumah tangga. Sehingga
murid-murid yang dahaga akan anggur suci pengetahuan tasawuf, tidak
mendapat apa yang dicari, melainkan arak dunia yang memabukkan.
Sekitar
11 tahun yang lalu, ketika tradisi tasawuf masih bersinar terang,
hampir seluruh pembicaraannya berputar kepada pengetahuan kesufian,
riwayat para masyaikh yang menggugah hati, sehingga murid-murid mudah
mabuk akan suguhan anggur suci ini. Satu demi satu, sedikit demi
sedikit, dengan bahasa yang mudah dipahami, Yang Mulia Syaikhuna (semoga
Allah merahmatinya) menjelaskan rahasia-rahasia dzikir dan muroqobah,
malah terkadang menceritakan hasil dari pelaksanaannya. Saat itu,
murid-murid terkagum-kagum namun tidak dapat sepenuhnya memahami, karena
belum mengalami dan merasakannya. Peristiwa yang demikian ini adalah
jantung didalam mengarungi kehidupan bertasawuf, agar disuatu kelak
nanti, bilamana seorang murid yang pada gilirannya menjumpai dan
merasakan hal-hal yang demikian, tanpa keraguan apapun, ia akan meyakini
bahwa jalan yang dilaluinya adalah benar adanya. Oleh sebab itu, betapa
peristiwa 11 tahun yang lalu itu sangat mahal dan tinggi nilainya serta
sulit ditemukan dibelahan dunia manapun juga. Sajadah harapan yang
tinggi telah dihamparkan kepada Allah SWT kiranya memperjalankan sisa
umur ini selalu dalam keadaan mencari ilmu agama, dan menghindarkan dari
membicarakan masalah dunia dan perongkosan kehidupan kepada Yang Mulia
Syaikhuna. Semoga Allah SWT menghidupkan kembali tradisi jamuan anggur
suci itu, agar kita semua mabuk kembali, agar rasa-rasa itu berdatang
kembali, agar lentera yang telah padam ini dapat bersinar kembali
sebagai penerang dan penuntun didalam perjalanan pendakian gunung yang
tinggi itu. Semoga Allah SWT memasukkan kita semua kedalam benteng-Nya,
dan barang siapa berada didalam benteng itu, maka ia akan terhindar dari
himpitan dunia dan akhirat.
Agar para murid dapat memahami
masalah-masalah yang rumit, khususnya muroqobah (meditasi) tentang
kebersamaan Allah (Maiyah), maka diperintahkannya seluruh muridnya untuk
menghafal dan memahami makna dari Surat An Nuur ayat 35 : 'Allah
(Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah,
adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada
pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan
bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak
dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di
sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang
minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api.
cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada
cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat
perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala
sesuatu. (QS 24 : 35)'
Di alam dunia ini (alam syahadah),
yang mudah dipahami oleh indrawi adalah bahwa yang bersama-sama dengan
segala sesuatu adalah cahaya, karena tanpa kebersamaannya, benda-benda
tidak akan tampak. Maka sungguh sangat jelas bahwa kata ‘cahaya’ pada
ayat diatas adalah sebuah perumpamaan, dan hal ini akan lebih mudah
dipahami manakala cahaya tersebut adalah cahaya lahiriyah. Seseorang
bisa membayangkan ketika berada di kebun teh, maka akan disaksikan
olehnya bahwa yang dominan adalah warna hijau dari daun teh yang
menghampar dan warna biru dari langit yang luas, tanpa terpikirkan peran
cahaya yang begitu besar berada dibalik itu semua. Padahal cahaya yang
berasal dari matahari itulah yang membuat segala sesuatu tampak dan yang
menyinari warna itu. Ketika matahari terbenam, semua menjadi gelap,
barulah disadari betapa besar peran cahaya itu. Hanya karena bersatunya
cahaya dan warna itu begitu kuat dan jelas, maka membuat cahaya itu
sendiri tidak dapat dilihat.
Nah, itulah cahaya lahiriyah yang
bisa dipahami dan dirasakan oleh inderawi dan menjadi lebih jelas makna
cahaya itu. Jika dengan cahaya lahiriyah segala sesuatu terlihat oleh
mata, maka dengan ‘Allah’ segala sesuatu akan tampak oleh mata hati
(bashirah), sebab, Dia bersama dengan segala sesuatu (maiyah), tidak
pernah terpisah dengan-Nya, dan hanya dengan Dia-lah segala sesuatu
tampak. Cahaya lahiriyah akan lenyap bersamaan dengan terbenamnya
matahari, sedangkan cahaya Illahi selalu hadir dan menyinari segala
sesuatu dimana dan kapan saja, dan tak mungkin padam atau terbenam. Oleh
karena itu perumpamaan ‘cahaya’ pada ayat diatas dapat dipahami sebagai
cahaya yang dapat melihat dirinya sendiri dan menjadi penyebab yang
lain menjadi tampak.
Kelompok dzahiran terperosok oleh pemikiran bahwa ‘cahaya bersama dengan segala sesuatu’ disamakan secara mentah dengan ‘Allah bersama dengan segala sesuatu’.
Sehingga akan dapat menimbulkan pemahaman bahwa Allah menempati setiap
ruang dan waktu. Maha Tinggi dan Maha Suci Allah dari penisbatan yang
demikian. Maka dari itu, menjadi sangat penting bahwa pekerjaan
muroqobah wajib diawasi secara terus menerus oleh seorang mursyid.
Sungguh sangat beruntung bagi para salik yang memperoleh karunia dari
Allah untuk dapat merasakan dan memahami masalah ini, karena dengan
merasakan kebersamaan dengan Allah (maiyah), pada saat ‘muroqobah’, maka
akan diperoleh sebuah ‘rasa’ bahwa esensi dirinya sesungguhnya adalah
cahaya, yang hidup di alam ruhani atau alam spiritual, menerangi dirinya
sendiri, alam syahadah disekitarnya, sahabat-sahabatnya, tetangganya,
saudara-saudaranya, tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang atau
makhluk-makhluk lain, serta terjaga dari perbuatan-perbuatan yang tidak
bermanfaat, pandangannya dapat melihat segala sesuatu sesuai pada
tempatnya, ilmunya tiada tara tingginya. Keadaan ini sulit dilukiskan,
karena setiap tindakannya bukan miliknya, ia tidak mempunyai kesadaran,
inisiatif dan dirinya sendiri. Apabila seorang salik masih meronta dalam
air, atau apabila ia masih berseru, ‘aku tenggelam!’,
maka ia belum dapat dikatakan berada dalam keadaan bersama dengan Allah
(maiyah). Dalam keadaan ini perasaan ‘dualitas’ menjadi sirna,
munajatnya adalah ‘diam’ karena
dirinya sudah mengingkari adanya dua wujud, wujudnya sendiri dan wujud
Tuhan. Ia akan menyerahkan dirinya seraya berseru ‘Tiada wujud kecuali
wujud Tuhan’. Oleh karenanya tidak heran bilamana yang mulia Syaikhuna
(semoga Allah merahmatinya) pernah berkata bahwa : ‘Siapa-siapa
yang dapat mencapai muroqobah Ahadiyah dan Maiyah secara baik, maka ia
telah memasuki awal daripada kewalian sugro.’
Analoginya
demikian, yang mulia Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) pada masa
muda sering bepergian ke Cimahi melalui jalur Puncak, seluruh detail
dalam perjalanannya dirasakan dan dilihatnya, seperti jalan yang
berkelok, menanjak dan menurun, cuaca yang dingin, tumbuh-tumbuhan
disekitarnya, hambatan-hambatannya, tempat-tempat pemberhentian, dan
masih banyak lagi. Lalu pengetahuan dan pengalaman yang demikian itu
diberikan kepada sahabat-sahabatnya agar tidak tersesat bila bepergian
ke Cimahi melalui jalur Puncak, sebagaimana beliau sering menyampaikan
pengalaman dan rasa dari muroqobah. Nah jalur ke Cimahi melalui Puncak
inilah yang disebut dengan tarekat, meskipun jalan menuju ke Cimahi
lebih banyak dari detak jantung seluruh makhluk didunia ini. Maka wajar
saja bila bermunculan banyak kelompok tarekat di dunia ini, karena
pemimpinnya atau mursyidnya atau Syaikhnya telah ‘sampai’ kepada
Tuhannya melalui jalannya masing-masing, yang tentunya sesuai dengan
syariat Islam. Oleh sebab itu, bilamana seorang murid yang telah baiat
mengalami hal-hal yang niscaya pernah dialami oleh Syaikhnya, maka
seorang pembimbing mengerti betul, terapi apa yang mesti diberikan
kepada sang murid, agar cepat sampai kepada tujuannya. Oleh karenanya,
seorang Syaikh akan segera mengetahui bilamana muridnya berbohong
tentang pengalaman didalam perjalannya, bayangkan bilamana seorang murid
berkata : ‘Syaikh, saya melihat lautan didalam perjalanan ke Cimahi melalui Puncak.'
Padahal jelas-jelas jalur itu tidak ada lautan sama sekali. Bagi
murid-murid yang berdekat dengan Syaikh dan yang mau mencatat didalam
hatinya tentang perkataan-perkataannya dan pengalaman Syaikhnya, akan
segera mengetahui apakah pengalaman dan rasa yang diperoleh dalam
perjalan itu benar adanya. Sebagaimana Syaikh sering berbicara mengenai
Ahadiyah, Maiyah, Aqrobiyah dan perkejaan muroqobah lainnya, serta
dzikir jahr dan lathif, serta bercerita tentang rasa-rasa dalam
perjalanan, seperti syauq wa mahabbah, da’im, merasa diawasi, merasa
senang dengan af’al Allah, merasa bersatu dan melebur. Dan juga sering
menjelaskan tentang af’al dan sifat-sifat Allah SWT, Hakikat Asma
Ul-Husna, Hakikat Muhamamdiyah, Hakikat Ahmadiyah, Hakikat Al Qur’an,
Hakikat Ka’bah, Hakikat Cinta yang tulus, Hakikat bertapa hinanya
manusia, Hakikat Shalat, Hakikat kenabian dan perihal ini diulang-ulang
dalam setiap pertemuan, sebagaimana Al Qur’an juga mengulang-ngulang
ayat dan riwayat-riwayat. Maka yang dibicarakan oleh Yang Mulia
Syaikhuna (semoga Allah merahmatinya) ini adalah segala rahasia
sebagaimana perjalanan ke Cimahi melalui Puncak. Sehingga buah dari
melaksanakan dzikir dan muroqobah adalah bilamana seorang salik
merasakan dalam hatinya dan pemikirannya tetang hal-hal yang demikian
itu. Yaa Allah berikanlah kepada kami ... berikanlah dan ampunilah kami.
Hidup pastikan aman tenteram dunia wal akhirat kalau saja kita selalu bertafakur untuk mengingat Allah dan mengingat kehidupat akhirat, minimal 5 menit dalam sehari semalam
Minggu, 26 Maret 2023
MAIYAH
Zikir Wukuf, Muraqabah dan Tahlil
MAKNA Wukuf di dalam bahasa Arab adalah berhenti, sedangkan yang dimaksud di dalam tarekat adalah berhenti mengingat zat Allah dalam keadaan badan tetap dan hati tenang.
Kaifiahnya ada dua. Pertama, hadirkan lathaif-lathaif yang tujuh dari semua lathaif yang lalu. Kedua, hadirkan pula seluruh anggota badan pada menghadirkan Allah.
Apabila telah hadir dua macam tersebut, maka barulah dilakukan wukuf, yakni berhenti mengingat zat Allah, zat yang tidak ada misel (contoh) dan kaifiah dengan ingatan yang bulat, sehingga semua ingatan dan perasaan hanya tertuju pada zat Allah dan merasakan hadir di hadapan-Nya.
Maqam Muraqab
Pertama Muraqabah Itlak. Muraqabah ini disebut juga dengan Muraqabah
Ula, atau muraqabah pertama. Muraqabah ialah menghadap hamba kepada Zat
Allah SWT.
Adapun cara muraqabah ini adalah: pertama, kita merasa
di dalam hati bahwa Allah selalu melihat kita selaku hamba-Nya dahir dan
batin, tiada tersembunyi segala sesuatu bagi-Nya. Kedua, kita hendak
merasa malu jika kita seorang yang pernah melakukan maksiat. Inilah yang
dimaksud oleh ahli sufi akan istilah muraqabah itlak.
Kedua Muraqabah Wahdah. Af’al. Muraqabah ini disebut juga dengan
muraqabah tsaniyah (muraqabah kedua), sedangkan makna muraqabah wahdah
adalah mengumpulkan ingatan, perasaan kita dan makrifah kita semata-mata
kepada zat Allah SWT. Sebelum mengumpulkan ingatan itu, lebih dahulu
kita pandang, kita pikirkan dengan akal yang waras dan kita i’tikatkan
serta kita rasakan dengan panca indera secara perasaan yang sangat
mendalam, bahwa semua kejadian dan perbuatan dalam alam ini semuanya
perbuatan Allah dan datang dari pada-Nya.
Di dalam amalan suluk
Tarekat Naqsyabandiyah, wahdah af’al artinya pengakuan hati kita bahwa
Allah SWT itu Maha Esa pada segala perbuatan-Nya.
Ketiga Muraqabah Ma’iyah. Muraqabah ini juga sering disebut Muraqabah
Tsalisah (murakabah yang ketiga), yaitu mengumpulkan pikiran dan ingatan
kita dengan ingatan yang mendalam, bahwa Allah SWT selamanya menyertai
kita di mana saja kita berada. Kaifiyahnya adalah selalu kita yakini dan
kita rasakan bahwa Allah SWT tetap selamanya beserta kita, kemudian
kita selalu mengharapkan kasih sayang-Nya dan keampunan-Nya, tentulah
dengan demikian kita selamanya pula tidak akan melakukan kesalahan
sedikitpun kepada-Nya.
Maqam Zikir Tahlil
Maksud dengan zikir tahlil di sini adalah zikir “laa ilaaha illah’’. Zikir ini merupakan zikir yang terakhir dalam suluk.
Demikianlah metode zikir tahlil ini dikerjakan dengan sebaik-baiknya, zikir tahlil ini terbagi tujuh khatam zikir, tiap-tiap khatam akan dihadiahkan pahala dengan ketentuan, yaitu: khatam pertama dihadiahkan kepada Nabi Muhammad Saw, khatam kedua dihadiyahkan pahala untuk dirinya sendiri, khatam ketiga dihadiahkan pahala kepada ibu bapak.
Rabu, 22 Maret 2023
Pengertian Maqam Dan Martabat
Maqam ini terdiri dari beberapa tingkat atau tahapan seseorang dalam hasil ibadahnya yang di wujudkan dengan pelaksanaan dzikir pada tingkatan maqam tersebut, secara umum dalam thariqat naqsyabandi tingkatan maqam ini jumlahnya ada 7 (tujuh), yang di kenal juga dengan nama martabat tujuh, seseorang hamba yang menempuh perjalanan dzikir ini biasanya melalui bimbingan dari seseorang yang alim yang paham akan isi dari maqam ini setiap tingkatnya, seseorang hamba tidak di benarkan sembarangan menggunakan tahapan maqam ini sebelum menyelesaikan atau ada hasilnya pada riyadhah dzikir pada setiap maqam, ia harus ada mendapat hasil dari amalan pada maqam tersebut, jika memang layak berpindah kepada maqam selanjutnya menurut keterangan guru pembimbing tersebut, barulah ia boleh naik dzikirnya pada maqam yang selanjutnya atau di atasnya, begitu seterusnya.
Maqamat ini mempunyai arti dan makna yang sangat luas dan mengandung sesuatu yang serba rahasia, namun ia pada dasarnya adalah sebagai sarana pengobatan penyakit hati (sifat madzmumah atau buruk), agar seseorang hamba tersebut dapat mengerti akan beberapa sifat kebaikan yang di anjurkan oleh Al-Qur’an dan Hadist Rasulullah Saw, tingkatan maqam ini jika berhasil amalan dzikirnya dapat menjadikan seseorang hamba mempunyai sifat dan budi pekerti yang baik dan di ridhai oleh Allah, seperti ; taat, sabar, wara’, tawakkal, tawaddu’, ridha dan fanafillah, yang dapat pada akhirnya membuat seseorang ma’rifat dan mahabbah terhadap tuhannya.
Martabat tujuh atau maqam yang 7 (tujuh) harus di lalui oleh seseorang hamba yang ingin mendekatkan dirinya kepada tuhannya, beberapa aliran thariqat sufi memang berbeda dalam menuntun pelajaran amalan dzikir ini kepada para jama’ahnya, lain thariqat lain pula caranya, namun tujuan tetap satu, yaitu menuju kepada Allah dan hanya mengharapkan keridhaan-Nya semata, jika keseluruhan maqam ini berhasil di lalui oleh seseorang salik, maka salik tersebut akan mendapatkan perasaan khauf dan raja’, artinya timbul rasa takut dan timbul pengharapan kepada Allah, ini rentetannya adalah bisa mencapai kepada mukasyafah, musyahadah dan timbul haqqul yakin yang sebenarnya terhadap Allah.
Tingkat martabat seseorang hamba di hadapan Allah mesti melalui beberapa proses sebagai berikut :
- Taubat;
- Memelihara diri dari perbuatan yang makruh, syubhat dan apalagi yang haram;
- Merasa miskin diri dari segalanya;
- Meninggalkan akan kesenangan dunia yang dapat merintangi hati terhadap tuhan yang maha esa;
- Meningkatkan kesabaran terhadap takdirNya;
- Meningkatkan ketaqwaan dan tawakkal kepadaNya;
- Melazimkan muraqabah (mengawasi atau instropeksi diri);
- Melazimkan renungan terhadap kebesaran Allah;
- Meningkatkan hampir atau kedekatan diri terhadapNya dengan cara menetapkan ingatan kepadaNya;
- Mempunyai rasa takut, dan rasa takut ini hanya kepada Allah saja.
Dengan melalui latihan di atas melalui amalan dzikir pada maqamat, maka seseorang hamba akan muncul sifat berikut :
- Ketenangan jiwa;
- Harap kepada Allah;
- Selalu rindu kepadaNya dan suka meningkatkan ibadahnya;
- Muhibbah, cinta kepada Allah.
Untuk mendapatkan point di atas, seseorang hamba harus melalui beberapa tingkatan maqam di bawah ini, tetapi melaluinya adalah amalan dzikir pada maqam yang 7 (tujuh), adapun hasilnya akan dapat di uraikan dengan beberapa maqam sifat, yaitu :
- Taubat;
- Zuhud;
- Sabar;
- Syukur;
- Khauf (takut);
- Raja’ (harap);
- Tawakkal;
- Ridha;
- Muhibbah.
Uraian Ma’rifat
Mengenal akan dirinya secara awal dan akhir dari segala setiap perbuatan adalah di namakan dengan Ma’rifat, yang berarti juga secara singkat adalah kenal, wujud ma’rifat ini adalah ketetapan hati untuk mulai beribadah kepada-Nya, apabila seseorang hamba mau beribadah kepada Allah Swt dengan mengagungkan dan mensucikannya dari yang lain dan mengakui akan ke-ESA-an Allah, maka ini di namakan dengan ma’rifat atau kenal.Kami berpendapat bahwa ma’rifat adalah awal dari segala perjuangan seseorang hamba menuju kepada tuhannya, sebab dengan mengenal ketuhananlah makanya seseorang hamba mau beribadah kepada-Nya, jika seseorang hamba belum kenal akan tuhan walaupun hanya sebatas pengakuan saja maka sudah tentu ia tidak akan mau beribadah alias ingkar, oleh karena itu kami berpendapat bahwa ma’rifat awal dari seseorang hamba menuju tuhannya, sedangkan yang akhir adalah Hakikat yang artinya Mengerti akan hal yang sebenarnya segala sesuatu.
Pada dasarnya dalam hati setiap manusia terselip akan kebenaran Allah Swt atas alam ini, tetapi hal ini di tutup oleh segala penyakit bathin yang di tiupkan oleh iblis dan syaithan, makanya dalam menuju kepada Allah memerlukan perjuangan yang berat dalam melawan peperangan hawa, nafsu, syaithan dan dunia.
Setiap manusia jika mau beribadah sudah tentu nafsunya saat itu tenang, maka ini adalah termasuk kategori ma’rifat juga, sebab jika tiada ketenangan maka seseorang hamba tidak jua akan mau beribadah, oleh karena itu sudah sepatutnya seseorang hamba jika sudah ada berkeinginan untuk beribadah, maka sesungguhnya itu adalah hidayah dari-Nya, maka hendaklah di ambil kesempatan tersebut untuk berbuat taat yang kuat, agar dapat menyingkap kebenaran dari setiap kebesaran Allah, di karenakan dengan hasil riyadhah yang sungguh-sungguh hal ini dapat di ketahui.
Keadaan yang kosong saat memasuki hakikat akan di isi oleh Allah berupa ilmu pengetahuan yang tidak di sangka-sangkanya, ini merupakan tujuan akhir seseorang sufi bertasawuf untuk mengenal-Nya, dan atas segala sesuatu tersebut adalah karunia dan hidayah dari-Nya.
Uraian Taubat
Dasar amalan yang harus di lalui oleh seseorang dalam menuju tuhannya adalah sebagai awalnya yaitu maqam taubat, sebelum bertaubat secara sungguh-sungguh kepada Allah, tidak akan bisa seseorang naik kepada maqam berikutnya, karena ia masih banyak mempunyai dosa-dosa hasil maksiat baik di sengaja maupun tidak.Taubat menurut sufi adalah senantiasa tafakkur dan khalwat menyepikan diri untuk menyadari akan segala kesalahan yang di perbuat kepada Allah dan mohon ampun kepada-Nya. Menyadari bahwa maksiatnya banyak dan istighfar dengan sesungguhnya, taubat akan segala dosa, taubat akan segala tipu daya hawa dan nafsu dunia serta meningkatkan amal ibadah sebanyak-banyaknya guna menunjukkan bakti taubat yang sebenarnya. Jangan suka atau selalu berburuk sangka kepada Allah bahwa taubatnya tidak di terima, namun dengan keyakinan penuh harus yakin bahwa taubatnya di terima, karena Allah Maha Penerima taubat hamba-Nya yang sungguh-sungguh.
Uraian Zuhud
Zuhud ini ada 2 (dua) macam, yaitu :1. Zuhud Zhahir, yakni zuhud dari cara yang berlebih-lebihan pada dunia dan pada segala perhiasan dunia, apalagi pada yang haram, makruh dan mubah.
2. Zuhud Bathin, yakni zuhud dari segala kebutuhan bathin yang bersifat penampilan zahir pada dunia, seperti mengejar jadi pemimpin yang otomatis akan menghela kepada hawa, nafsu dan dunia, hal ini adalah pantangan yang sangat besar bagi seseorang sufi yang bertasawuf.
Zuhud ini dapat di timbulkan dengan melalui tafakkur dan merenung atau berpikir akan kebesaran Allah, jika ia benar-benar memikirkan hal ini, maka ia akan dapat kesimpulan bahwa dunia hanya tempat bagi manusia yang selain Allah tujuannya, dia menyadari bahwa dunia hanyalah sebagai persinggahan dan berupa ladang sebagai pencari bekal bagi akhirat yang kekal, tiada yang lain di dunia ini hanya berisikan kesedihan dan kekeruhan, serta terbuai akan tipu daya syaithan. Maqam zuhud tidak akan dapat di capai oleh seseorang jika di hatinya masih ada sifat keduniaan yang berlebihan, cintanya hanya pada kenikmatan dunia tanpa di sadari bahwa nikmat dunia itu hanyalah di berikan Allah sebagai sarana untuk ibadah kepada-Nya.
Seseorang hamba yang ingin menuju kepada Allah, harus bisa menafikan dunia dan isinya yang berlebihan itu hanya kepada Allah saja, jika tidak maka ia tidak akan dapat mengenal dirinya apalagi mengenal-Nya, sirnakanlah sifat keduniaan yang berlebihan agar dapat merasakan nikmatnya maqam zuhud ini dalam menuju Allah.
Uraian Sabar
Sabar terbagi 3 (tiga) menurut saya, yaitu :- Sabar akan kehidupan dunia dari yang haram, dan menahannya atas dari segala sifat berlebihan;
- Sabar dalam menjalankan kewajiban terhadap Allah berikut ujian dan cobaan-Nya;
- Sabar atas segala khayal dan angan-angan yang muncul saat menjalankan kewajiban taat tersebut.
Sabar ini sangat luas maknanya, namun yang paling penting adalah sabar akan ketetapan Allah terhadap kehidupan dunianya, jika ini dapat di atasi maka akan memperoleh kemenangan dunia dan akhirat, dalam menjalankan ibadah kepada-Nya juga di tuntut kesabaran yang penuh, karena tidak juga terlepas dari ujian dan cobaan-Nya dalam menguji hamba-Nya yang menuju kepada-Nya, hijrahlah dari sifat buruk kepada sifat yang baik, ini memerlukan perjuangan bathin yang berat, sebab syaithan senantiasa membuat tipu daya walaupun dengan berlindung dari ketaatan dengan cara menyelipkan syirik dalam beribadah. Bersabar terhadap yang haram, ini juga berat, sebab dalam kehidupan dunia, yang sifatnya haram adalah nikmat dan asyik, sementara pada beramal ibadah sangat terasa berat baginya, ini di tuntut kesabaran penuh juga, agar dapat menjalankan ibadah secara rutin tanpa ada gangguan yang bersifat ingkar kepada Allah, jika seseorang hamba dengan penuh perjuangan menempuh alam kesabaran ini, maka Allah akan menariknya kepada-Nya dengan menambah tingkat kesabaran hamba-Nya tersebut. Hati-hatilah dalam beribadah, karena saat menjalankan ibadah sangat banyak di temui khayal dan angan-angan yang merupakan selain-Nya, ini tidak lain adalah kerjaannya para iblis, jin dan syaithan, mintalah selalu perlindungan kepada Allah akan hal ini.
Uraian Syukur
Syukur juga terbagi 3 (tiga) bagian, yaitu :- Syukur secara lisan, maksudnya mengucapkan syukur terhadap Allah Swt secara langsung melalui ucapan;
- Syukur secara jasmani, maksudnya menyampaikan rasa syukur dengan bersifat ketaatan kepada Allah;
- Syukur secara khafi, maksudnya syukur dengan mengakui bahwa Allah maha pemberi nikmat atas segala makhluk ciptaan-Nya dan mengakui hanya daripada-Nya nikmat tersebut datang kepadanya, ini di buktikan dengan ketaatan dan pengakuan secara bathin.
Syukur ini berbentuk taat pada Allah bagi orang yang berilmu, ia semakin meningkatkan ketaatannya kepada Allah Swt dengan perbuatan dzahir dan bathin, syukur merupakan anugerah tuhan yang tak terhingga, ruang lingkupnya sangat luas, mulai dari keduniaan sampai pada amal ibadah, sadarilah bahwa sesungguhnya yang memberi kekuatan untuk beribadah kepada-Nya adalah Allah, bukanlah merupakan kekuatan dan kekuasaan diri sendiri akan perbuatan tersebut.
Manfaat Syukur ini sangat besar nilainya di sisi Allah, jika seseorang hamba dapat menunjukkan Syukur ini secara ikhlas maka Allah akan senantiasa menambah karunia-Nya terhadap hamba yang mau bersyukur. Kenikmatan pada hakikatnya adalah dari Allah, jangan sampai seseorang hamba melupakan akan hal ini, jika ia lupa maka ia tidak akan sampai pada tujuannya untuk menuju kepada-Nya, karena hal ini adalah salah satu syarat untuk sampai kepada Allah. Jika seseorang hamba dapat menunjukkan rasa syukur yang suci murni alias ikhlas kepada-Nya, maka Allah akan menambah kenikmatan berupa mengerti akan diri-Nya, ini adalah karunia terbesar bagi seseorang hamba yang mengaku bahwa tiada tuhan selain Allah.
Uraian Khauf
Seseorang hamba yang pada maqam bathinnya mulai bersih dari segala sifat yang buruk, maka akan menimbulkan rasa takut, dan rasa takut ini harus di tekankan adalah hanya takut pada Allah saja, bukan pada yang lainnya, takut ia akan tersalah, baik tersalah akan dunianya apalagi tersalah akan amal ibadah kepada Allah.
Uraian Ridha
Meningkatkan tawakkal kepada Allah adalah merupakan ibadah yang besar nilainya di sisi Allah, dengan perjuangan berat menetapkan ibadah dengan istiqamah akan menghasilkan pengertian ridha akan setiap Allah terhadap dirinya, Allah maha menentukan atas hamba-Nya, hamba yang sudah ikhlas amal ibadahnya akan menimbulkan sifat ridha, ini adalah karunia Allah terhadap hamba-Nya yang shaleh dan taat.Ia menyadari bahwa setiap segala sesuatu atas dunia dan pada dirinya adalah pada dasarnya merupakan kehendak Allah, ia ridha akan kehidupan dunianya, tabah atas segala ujian dan cobaan-Nya, pasrah akan perjalanan takdirnya tanpa memohon untuk merubahnya kepada Allah. Hamba yang sudah mencapai tahap maqam ridha ini akan selalu merasa bahwa Allah selalu bersamanya, segala gerak dan diamnya adalah merupakan kehendak dan karunia Allah, ia tidak akan merasa susah walaupun dunianya susah, ia lebih memerlukan kehidupan akhiratnya yang kekal, di sanalah setiap akhir dari segala sesuatu ciptaan-Nya.
Uraian Muhibbah
Perasaan tertinggi yang di karuniakan oleh Allah terhadap hamba-Nya adalah cinta (muhibbah), martabat ini muncul setelah segala tingkat sifat yang buruk sudah menjadi sifat yang baik dari hasil akhir mal ibadah dzikir pengibatan penyakit bathin oleh seseorang hamba. Segala sifat baik tersebut bisa menjelma menjadi sifat cinta hanya kepada Allah saja, setiap amal perbuatannya hanya berdasarkan cinta kepada Allah tanpa mengharapkan pamrih apapun juga, sebab segala sesuatu ibadah baginya adalah kebutuhan utamanya, sementara dunia baginya adalah sekedar sarana untuk beribadah semata, setiap rezeki telah di jamin secara nyata di dunia ini oleh Allah, segala gerak lakunya adalah ibadah, ini menunjukkan cinta yang tinggi terhadap khalik-Nya.Senantiasa menjaga yang haram atas zahirnya, baik mata, telinga, kaki, tangan dan lain sebagainya, bathinnya selalu berkekalan ingat dan dekat padaNya, penjagaan Allah atas seseorang hamba tingkat ini adalah merupakan suatu karunia tiada ternilai harganya bagi manusia di dunia. Jadikanlah ibadah merupakan makanan pokok di dunia, maka atas izin-Nya kita akan mendapatkan rasa cinta terhadap Allah ini dengan sebenarnya cinta tanpa ada campuran cinta dunia, sebab jika di hati seseorang hamba masih ada cinta dunia, maka belumlah dapat di katakan hamba tersebut pada tingkat maqam muhibbah.
Uraian Hakikat
Hakikat bisa di artikan dengan “yang sebenarnya atas sesuatu”, ini merupakan ciri-ciri seseorang hamba yang sudah mengerti akan dirinya yang sebenarnya dengan mata hatinya yang bersih dari kotoran dunia dan penyakit bathin, jika penyakit bathin masih melekat pada hatinya maka ia tidak akan mengerti pada dirinya apalagi terhadap tuhannya.Penyaksian dan pengertian atas segala sesuatu yang telah di tentukan dan di takdirkan Allah pada setiap sesuatu di alam semesta dan isinya berikut rahasia-rahasia-Nya adalah di namakan dengan hakikat, ini di dapatkan oleh seseorang hamba yang telah di berikan oleh Allah atas segala riyadhahnya dalam beramal ibadah kepada-Nya untuk meningkatkan keyakinan seseorang hamba terhadap khalik-Nya.
Mengerti akan hakikat ini di dasarkan dari hal sebagai berikut :
- Yakin akan segala ciptaanNya dan benar adalah Allah yang menciptakan alam beserta isinya, ini di namakan dengan ‘Ainul Yakin’.
- Yakin dengan dasar pemikiran yang jernih akan melihat kebesaran Allah pada alam beserta isinya, ini di namakan dengan Ilmul Yakin.
- Yakin dengan di dasari dengan hati yang bersih dari kotoran atas kebesaran Allah atas segala ciptaan-Nya, dan kebenaran ini di saksikan langsung oleh hatinya bersama keimanan yang teguh berdasarkan juga atas keputusan yang masuk akal, artinya zahir dan bathin yakin dengan sepenuhnya atas kebesaran Allah, ini di namakan dengan Haqqul Yakin.
Hal inilah tujuan daripada sufi dengan bertasawuf yang menghasilkan mata hati yang jernih akan kebesaran Allah atas segala af’al, sifat, asma, dzat dan tajallinya pada alam dan segala ciptaan-Nya dengan tingkat iman tertinggi dari seseorang hamba, ini merupakan karunia hidayah Allah terhadap hamba-Nya yang ridha akan segala ketentuan-Nya atas dirinya, atas pengalaman bathin ini maka akan dapat mempertahankan tingkat keimanan seseorang hamba.
Rangkuman Amalan Dzikir An-Naqsyabandi
Khattam Tawajjuh atau pemusatan perhatian sepenuhnya pada musyahadah yang menyaksikan keindahan kebesaran dan kemuliaan Allah terhadap Nur Dzat Ahdiyah, cahaya yang maha esa dengan tiada seumpama dengan apapun juga dan tanpa di sertai dengan kata-kata, hal ini dapat di capai oleh seorang hamba dalam menjalani ibadah cara suluk setelah dia mengalami fanafillah dan baqabillah yang baik.
Pelajaran dalam ajaran ini ada mempunyai beberapa tingkatan yang di sesuaikan dengan tahap kebersihan jiwa dan hasil daripada pengamalan dzikirnya terhadap Allah, dengan di bimbing oleh seorang guru mursyid tentunya pada pembelajaran ini, semakin dekat seorang hamba dengan khalik-Nya, maka semakin naik pulalah tahapan tingkatan kajiannya dalam memperdalam ajaran dzikir ini, tingkatan dari ajaran dzikir ini terdiri sebagai berikut :
1. LATIFATUL QALBIY
3. LATHIFATUL SIRRI
Berhubungan dengan limpa jasmani kira-kira dua jari di atas susu kanan, berdzikir pada maqam ini dalam sehari semalam sekurang-kurangnya 1000 kali, ini adalah wilayahnya Nabi Isa As dengan bercahayakan hitam dan berasal dari air. Ini adalah tempatnya sifat madzmumah pada manusia, seperti busuk hati, munafik, pendusta, mungkir janji, penghianat dan tidak dapat di percaya, nah jika ikhlas dzikir pada tempat ini maka hilanglah sifat yang demikian dan berganti dengan sifat yang terpuji, seperti ridha dan syukur, madzmumahnya lathifatul khafi ini di katakan dengan sifat syaithan yang menimbulkan was-was, cemburu, dusta dan sebagainya yang sejenis, dan mahmudahnya adalah sifat syukur dan ridha serta sabar dan tawakkal, ini di katakan dengan sunahnya Nabi Isa As. Puncaknya adalah fana fissifatis salbiyah dan mati hissi, mati hissi artinya segala sifat keinsanan yang baharu menjadi lenyap atau fana dan yang tinggal hanyalah sifat tuhan yang qadim azali, ada tingkat ini tanjakan bathin seorang yang berdzikir telah mencapai tingkat tertinggi, yaitu tingkat ma’rifat, pada tingkat ini orang yang berdzikir telah mengalami keadaan yang tidak pernah di lihat oleh mata dzahir, tidak opernah di dengar telinga zahir dan tidak pernah terlintas dalam hati sanubari manusia dan tidak mungkin pula bisa di sifati oleh sifat manusia kecuali yang telah di karuniakan oleh Allah dengan seperti pada jalan tersebut di atas.
6. LATHIFATUL NAFSUN NATIKAH
WUKUF QALBIY
- Wukuf Samani;
- Wukuf ‘Adadi;
- Wukuf Qalby;
“Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang).” Al-Qur’an Surah Asy-Syu’ara Ayat 218.
“Dan (melihat pula) perubahan gerak badanmu di antara orang - orang yang sujud.” Al-Qur’an Surah Asy-Syu’ara Ayat 219.
“Sesungguhnya bagi Allah tidak ada satupun yang tersembunyi di bumi dan tidak (pula) di langit.” Al-Qur’an Surah Ali Imran Ayat 5.
“Dan adalah Allah Maha mengawasi segala sesuatu.” Al-Qur’an Surah Al-Ahzab Ayat 52.
“Apakah Tuhan yang menjaga Setiap diri terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian sifatnya)?”. Al-Qur’an Surah Ar-Ra’d Ayat 33.
“Tidaklah Dia mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?”. Al-Qur’an Surah Al-‘Alaq Ayat 14.
“Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu”. Al-Qur’an Surah An-Nisa’ Ayat 1.
“Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya”. Al-Qur’an Surah Al-Bayyinah Ayat 8.
Rasulullah Saw bersabda : “Hendaklah engkau menyembah kepada Allah seolah engkau melihat Allah dan jika engkau tidak dapat melihat melihat Allah, maka sesungguhnya Allah melihat akan kamu”. Hadist riwayat Muslim.
Dari Abu Ya'la yaitu Syaddad bin Aus Ra, dari Nabi Saw, sabdanya : "Orang yang cerdik -berakal ialah orang yang memperhitungkan keadaan dirinya dan suka beramal untuk mencari bekal sesudah matinya, sedangkan orang yang lemah ialah orang yang dirinya selalu mengikuti hawa nafsunya dan mengharap-harapkan kemurahan atas Allah, yakni mengharap-harapkan kebahagiaan dan pengampunan di akhirat, tanpa beramal shalih." Di riwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi.
Dari Anas Ra katanya : "Sesungguhnya engkau semua pasti melakukan berbagai amalan -yang di remehkannya sebab di anggap dosa kecil-kecil saja, yang amalan-amalan itu adalah lebih halus dan lebih kecil menurut pandangan matamu daripada sehelai rambut, tetapi kita semua di zaman Rasulullah menganggapnya termasuk golongan dosa-dosa yang merusakkan, menyebabkan kecelakaan dan kesengsaraan." Di riwayatkan oleh Imam Bukhari.
Dari ayat dan hadist tersebut di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa markobah berarti mawas diri seorang hamba terhadap khaliknya bahwasanya Allah mengawasi, mengintai dan memperhatikan setiap niat dan amalan hambanya, sebaliknya seorang hamba harus mawas diri terhadap hati, niat dan amal yang dia kerjakan untuk melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya.
Seorang hamba harus melaksanakan perhitungan terhadap dirinya sendiri tentang apa yang telah di laksanakannya di masa yang telah lalu atau lampau dan karena itu harus bertekad merumuskan yang baik dan meningkatkannya di masa mendatang semata-mata karena Allah serta mengharapkan ridha Allah.
Muraqabah juga adalah sarana mengevaluasi diri sehabis beramal, guna memperbaiki dan meningkatkan amalan-amalan yang akan datang, yang menyangkut dalam pelaksanaan istighfar dan taubat serta terhadap dosa-dosa yang telah terlanjur di laksanakan pada masa lampau dengan perasaan menyesal dan takut terulang lagi, begitu juga orang yang belum mengukuhkan rasa takutnya kepada Allah.
Mawas dirinya terhadap Allah dapat membukakan atau mencapai kasyaf (terbuka tabir antara hamba dengan tuhannya) dan syahadah (menyaksikan) akan keutamaan dan hikmah, muraqabah dari seseorang hamba terlihat bahwa dia selalu dalam keadaan ridha dan ingin meningkatkan amal-amal shalihnya. Bentuk pelaksanaan Dzikir muraqabah di rangkaikan dengan akan selesainya atau ada hasil daripada dzikir sebelumnya, seperti dzikir lathaif dan napi istbat.
6. DZIKIR MURAQABATUZZ ZALISH SHARFI WAL BAHTI
Dalam kehidupan kita sehari-hari di luar kegiatan suluk, kajian ini sangat penting di terapkan untuk menjaga daripada nur (cahaya) keimanan hati kita kepada Allah, agar senantiasa mendapatkan ketetapan (istiqamah) dalam menetapkan ingat kepada Allah, hal ini terdiri dari 8 (delapan) perkara, yaitu :
Hati yang telah di bersihkan melalui dzikir terus menerus, akan menjadi cermin untuk penglihatan mata hati, maka dengan itulah kita di perintahkan untuk merendahkan pandangannya agar supaya tidak di serbu oleh anak panah syaithan. Merendahkan dan menafikan pandangan juga merupakan tanda kerendahan hati, orang yang bangga dan sombong, tidak akan pernah melihat akan tujuan mereka, tetapi bila selalu melihat ke arah perjalanannya dengan fokus dan mantap hanya kepada Allah, maka gerak menuju arah tujuannya akan tercapai dengan kehendak-Nya insya Allah. Jika ini sudah tercapai, maka kita secara otomatis tidak akan melihat kemana-mana kecuali hanya kepada Tuhan, laksana seseorang yang ingin sampai ke tujuannya dengan cepat, demikian juga seseorang yang menuju Allah bergerak dengan cepat, tidak melihat ke kanan atau ke kirinya, tidak berbilang-bilang dalam beribadah, tetapi selalu dan selalu terus menerus, tidak juga mudah terkagum-kagum akan apa yang di jumpainya, tidak melihat kepada keinginan duniawi, tetapi hanya melihat kepada Allah.
Pandangan mendahului langkah dan langkah mengikuti pandangan....Ingatlah!!!!!!!!!!, untuk perjalanan yang meningkat keatas (mi’raj) ini, atau ke maqam yang lebih tinggi, di mulai dengan pandangan yang satu, di ikuti dengan langkah, apabila langkah mencapai level tinggi dari pandangan, maka pandangan akan naik lagi ke tingkat berikutnya, atas itulah langkah juga mengikuti secara bergilir. Pandangan akan di angkat ke tempat yang lebih tinggi lagi dan langkah akan mengikutinya secara bergilir, dan begitu seterusnya sampai pandangan mencapai tingkat kesempurnaan, ke arah itulah langkah akan di tarik dan di lakukan. Pahamilah..."Bila langkah mengikuti pandangan, maka kita telah mencapai tingkat kesiapan dalam mendekati langkah yang lurus dan benar, maka langkah yang lurus dan benar itu di sebut juga sebagai awal atau pertama dari semua langkah lainnya".
Kita melakukan dzikir macam ini, agar supaya menerangkan hati akan rahasia yang maha satu (Al-Ahad), dan untuk membuka diri kepada kenyataan (tajalli) Allah, bagi salik yang pemula, tidak boleh meninggalkan dzikir ini bila dia tidak mendapatkan hasil atau kekuatan itu muncul dalam hatinya, harus tetap melaksanakan dzikir ini, karena Rasulullah Saw telah mengatakan : "Barang siapa meniru suatu golongan orang, dan akan menjadi bagian dari golongan itu".
- Pikiran egois;
- Pikiran jahat;
- Pikiran malaikat, sambil mempertahankan dan membenarkan, kita justru hanya boleh membentuk pikiran keempat, yaitu;
- Pikiran kebenaran, artinya suatu keyakinan, hal ini akan membimbing kita menuju ketingkat tinggi dari kesempurnaan, dengan membuang semua khayalan dan hanya mengambil kebenaran, bahwa yang benar adalah Esa-nya Allah.
MAQAM MUKASYAFAH
MAQAM MUKAFAHAH
MAQAM FANAFILLAH
MAQAM BAQABILLAH