Laman

Jumat, 18 Oktober 2013

Istri-Istri Rasulullah SAW

Berikut ini adalah kisah perjalanan hidup Rasulullah saw bersama Istri-istrinya yang disarikan dari berbagai literatur buku dan kitab-kitab hadits yang dapat dipercaya ke sahihan nya. ini adalah jawaban untuk para pemfitnah Islam yang selalu berusaha mencari dan menggunakan sumber fitnah dari perjalanan hidup beliau bersama Istri-istrinya dan telah melencengkan perjalanan sejarah dari yang sebenarnya hanya untuk menjatuhkan Nabiullah muhammad salallahu alaihi wasalam dan melemahkan hati orang-orang mukmin dimasa kini.

1. Khadijah R.ha.
Ia adalah seorang janda yang dinikahi oleh Rasulullah saw. ketika beliau berusia 25 tahun dan Khadijah r.ha. berusia 40 tahun. Semua keturunan Nabi saw. berasal dari Khadijah r.ha. kecuali Ibrahim.
Pada mulanya, pernikahan Khadijah r.ha. sudah direncanakan oleh Waraqah bin Naufal namun pernikahan tersebut belum dapat ter…laksana. Sebelumnya, Khadijah r.ha. sudah pernah menikah dengan dua orang laki-laki. Terdapat perbedaan pendapat di antara para ahli sejarah mengenai pernikahannya ini, yakni siapakah di antara keduanya yang lebih dahulu menikah dengannya. Pendapat yang terbanyak menyebutkan bahwa suami pertamanya adalah Atik bin ‘Aidz yang menghasilkan seorang anak perempuan bernama Hindun. Setelah dewasa, Hindun r.ha. masuk Islam dan beranak banyak. Sebagian lagi menulis bahwa dari Atik bin ‘Aidz juga mendapat seorang anak laki-laki bernama Abdullah atau Abdi Manaf. Kemudian Khadijah r.ha. menikah dengan Abu Halah. Diriwayatkan bahwa dari pernikahan tersebut, ia mendapatkan dua orang anak yang bernama Hindun dan Halah. kebanyakan riwayat menyebutkan bahwa keduanya adalah laki-laki. Sebagian lagi menulis bahwa Hindun adalah laki-laki dan Halah adalah perempuan. Hindun masih hidup sampai zaman kekhalifahan Ali r.a..
Setelah Abu Halah meninggal dunia, Khadijah r.ha. menikah dengan Rasulullah saw.. Ketika itu, Khadijah r.ha. berusia 40 tahun. Beliau menjalani pernikahan bersama Rasulullah saw. selama 25 tahun. Dan pada bulan Ramadhan tahun ke-10 hijrah, Khadijah r.ha. wafat dalam usia 65 tahun. Rasulullah saw. sangat mencintai Khadijah r.ha. Pada masa hidupnya, beliau tidak pernah menikah dengan wanita lain. Gelar Khadijah r.ha. sejak sebelum Islam adalah Thahira (wanita suci). Oleh sebab itulah, anak-anaknya dari suami2 sebelumnya juga disebut Banu Thahira. Keutamaan dirinya telah banyak ditulis dalam kitab2 hadits. Ketika Khadijah r.ha. wafat, Rasulullah saw. sendiri yang turun ke makam dan menguburnya. Pada waktu itu, shalat jenazah belum disyariatkan.
2. Saudah R.ha.
Setelah meninggalnya Khadijah r.ha. pada bulan Syawal tahun yang sama, Rasulullah saw. Menikahi Aisyah dan Saudah r.huma.. dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat, siapakah yang lebih dulu dinikahi oleh Rasulullah saw.? Sebagian ahli tarikh mengatakan bahwa yang pertama dihikahi oleh Nabi saw. setelah Khadijah r.ha. adalah Saudah r.ha., kemudian Aisyah r.ha.. Sebagian lagi berpendapat sebelum Saudah r.ha, Aisyah r.ha. lebih dahulu dinikahi.
Saudah r.ha. adalah seorang janda. Ayahnya bernama Zam’ah bin Qais. Sebelumnya, Saudah r.ha. telah menikah dengan sepupunya yang bernama Sakran bin Ammar r.a.. Keduanya telah masuk Islam dan ikut serta dalam hijrah ke Habasyah dan Sakran r.a. meninggal dunia di sana. Sebagian ahli sejarah menulis bahwa Sakran r.a. wafat setelah ia kembali ke Makkah. Beberapa hari setelah Sakran r.a. meninggal dunia, Khadijah r.ha. pun meninggal dunia pada tahun ke-10 kenabian. Dan beberapa hari setelah itu, Saudah r.ha. dinikahi oleh Rasulullah saw.. Semua ahli tarikh sepakat bahwa Saudah r.ha. lebih dahulu digauli oleh Rasulullah saw. daripada Aisyah r.ha..
Salah satu kebiasaan suci Rasulullah saw. adalah menyibukkan diri dalam shalat dan Saudah r.ha. sering ikut shalat di belakang Rasulullah saw.. Pada suatu saat, Saudah r.ha. bertanya kepada Rasulullah saw., “Mengapa engkau tadi malam shalat dengan ruku’ yang sangat panjang sehingga keluar darah (mimisan) dari hidungku (mungkin karena badannya yang gemuk sehingga terasa berat baginya)?” Pernah Rasulullah saw. berniat menceraikannya namun Saudah r.ha. berkata, “Ya Rasulullah, aku tidak berkeinginan mempunyai suami tetapi aku berharap agar di surga nanti aku termasuk dalam golongan istri-istrimu. Untuk itu, jangan ceraikan aku, aku merelakan giliran hariku diberikan kepada Aisyah r.ha.. Saudah r.ha. wafat pada akhir masa kekhalifahan Umar r.a..
Selain itu, ada seorang wanita lagi bernama Saudah r.ha. yang berasal dari Quraisy. Rasulullah saw. pernah berniat untuk meniakhinya namun Saudah r.ha. menyatakan, “Ya Rasulullah, orang yang paling aku cintai di dunia ini adalah engkau. Namun aku mempunyai lima atau enam orang anak. Aku khawatir mereka akan mengganggumu dengan tangisan mereka.” Rasulullah saw. sangat senang dengan jawaban tersebut. Beliau memujinya dan akhirnya mengurungkan niatnya untuk menikahinya.
3. Aisyah R.ha.
Pernikahan Rasulullah saw. dengan Aisyah r.ha. juga terjadi di Makkah, yaitu sebelum hijrah pada bulan Syawal tahun ke-10 kenabian. Ketika itu Aisyah r.ha. masih berumur enam tahun. Di antara istri-istri Nabi saw. yang dinikahi oleh beliau, hanya Aisyah r.ha. yang masih dalam keadaan perawan sedangkan yang lainnya dinikahi Rasulullah saw. dalam keadaan janda. Aisyah r.ha. lahir pada tahun ke-4 kenabian. Setelah hijrah, ketika usia Aisyah r.ha. sembilan tahun, barulah ia digauli oleh Nabi saw.. Ketika usianya 18 tahun, Rasulullah saw. wafat pada usia 66 tahun, malam Selasa, tangal 17 Ramadahan 57 Hijriyah.
Dalam budaya Arab, sangat dikenal bahwa pernikahan pada bulan Syawal adalah pernikahan yang tidak diberkahi. Aisyah r.ha. berkata, “Pernikahanku terjadi pada bulan Syawal dan aku tidur pertama kali dengan Rasulullah saw. juga pada bulan Syawal. Dan siapakah istri Rasulullah saw. yang paling beruntung dan yang paling dicintai oleh beliau?”
Setelah Khadijah r.ha. wafat, Khaulah binti Hakim r.ha. datang kepada Rasulullah saw. dan bertanya, “Ya Rasulullah, tidakkah engkau ingin menikah lagi?” Beliau balik bertanya, “Dengan siapa?” Khaulah r.ha. bertanya lagi, “Yang perawan ada, yang janda juga ada, yang mana saja engkau sukai.” Lanjutnya, “Apabila engkau menginginkan perawan, maka anak sahabat dekatmu sendiri, yaitu putri Abu Bakar Shiddiq, Aisyah. Dan jika engkau menghendaki janda, maka Saudah binti Zam’ah.” Jawab Nabi saw., “Baik, bicarakanlah dengannya, nanti aku lihat.” Selanjutnya, Khaulah r.ha. pergi ke rumah Abu Bakar r.a. dan berkata kepada Ummu Ruman r.ha., ibu Aisyah r.ha., “Aku ke sini membawa keberkahan dan kebaikan yang besar.” “Mengenai apa?” Tanya Ummu Ruman r.ha.. Jawab Khaulah r.ha., “Rasulullah saw. mengirimku untuk meminang Aisyah r.ha..” Sahut Ummu Ruman r.ha., “Dia kan masih keponakannya, bagaimana mungkin dinikahi? Namun baiklah, kita tunggu Abu Bakar r.a..”
Saat itu Abu Bakar r.a. sedang tidak ada di rumah. Ketika ia datang, berita tersebut disampaikan kepadanya dan jawaban Abu Bakar r.a. juga sama seperti jawaban Ummu Ruman r.ha., bahwa Aisyah r.ha. adalah keponakannya sendiri, bagaimana dapat dinikahi? Kemudian Khaulah r.ha. kembali menemui Nabi saw. dan menceritakan semuanya. Jawab Nabi saw., “Ia hanya anak saudara seislam. Putrinya boleh dinikahi olehku.” Lalu Khaulah r.ha. kembali ke rumah Abu Bakar r.a. dan memberitahukan jawaban Rasulullah saw.. Beberapa saat kemudian, Abu Bakar r.a. memberi jawaban agar Rasulullah saw. datang sendiri. Selanjutnya, Rasulullah saw. pun hadir lalu menikahlah keduanya.
Selang beberapa bulan setelah hijrah, Abu Bakar r.a. bertanya kepada Rasulullah saw., “Mengapa istrimu masih belum engkau ajak?” Rasulullah saw. menyatakan belum mempersiapkan barang-barangnya. Maka Abu Bakar r.a. memberikan beberapa bekal dan persiapan untuk Rasulullah saw.. Setelah semuanya siap, pada waktu Dhuha, bulan Syawal tahun1 atau 2 Hijriyah, Abu Bakar r.a. mengirimkan putrinya ke rumah Rasulullah saw. untuk tidur bersama beliau. Inilah ketiga pernikahan rasulullah saw. sebelum hijrah. Setelah itu, semua pernikahan-pernikahan beliau dilakukan setelah hijrah.
4. Hafshah R.ha.
Setelah menikah dengan Aisyah r.ha., Rasulullah saw. menikahi Hafshah binti Umar r,huma. Hafshah r.ha. dilahirkan di Makkah lima tahun sebelum kenabian. Sebelumnya Hafshah r.ha. telah menikah dengan Khunais bin Khudzafah r.a. di Makkah. Khunais r.a. termasuk sahabat yang memeluk Islam pada masa awal dan ikut berhijrah ke Habasyah kemudian ikut berhijrah ke Madinah dan menyertai perang Badar.
Dalam perang Badar atau dalam perang Uhud, ia terluka parah dengan luka yang sulit disembuhkan. Pada tahun ke-2 atau ke-3 Hijriyah, Khunais r.a. wafat. Pada waktu itu, Hafshah r.ha. ikut berhijrah dengan suaminya ke Madinah. Setelah ia menjanda, pada mulanya Umar r.a. menawarkan Hafshah r.ha. kepada Abu Bakar. r.a., ia berkata, “Aku ingin menikahkan Hafshah r.a. denganmu.” Namun Abu Bakar r.a. diam saja. Ketika Ruqayyah r.ha., istri Utsman r.a., yaitu putri Rasulullah saw. wafat, Hafshah r.ha. pun ditawarkan oleh Umar r.a. kepada Utsman r.a.. Jawaban Utsman r.a., “Saat ini aku belum berniat untuk menikah.” Kemudian Umar r.a. mengadukan semua ini kepada Rasulullah saw.. Beliau bersabda, “Akuk akan menunjukkan kepada Hafshah suami yang lebih baik daripada Utsman dan untuk Utsman istri yang lebih baik daripa Hafshah.” Akhirnya, pada tahun ke-2 atau ke-3 Hijriah, rasulullah saw. sendiri yang menikahi Hafshah r.ha. dan Utsman r.a. dinikahkan dengan Ummu Kultsum r.ha., putrid Rasulullah saw..
Tentang syahidnya suami Ummi Kultsum r.ha., para ahli sejarah berbeda pendapat, apakah ia syahid disebabkan lukanya pada perang Badar atau pada perang Uhud. Perang Badar pada tahun ke-2 Hijriyah dan perang Uhud pada tahun ke-3 Hijriyah. Karena perbedaan pendapat itulah maka ada perbedaan pendapat mengenai pernikahannya. Selanjutnya, Abu Bakar r.a. berkata kepada Umar r.a., “Ketika engkau menawarkan Hafshah kepadaku dan aku diam saja, tentu engkau sangat kecewa bahkan mungkin tersinggung. Hal itu aku lakukan karena sebelumnya Rasulullah saw. sudah menyatakan kepadaku hasrat beliau untuk menikahi Hafshah. Oleh sebab itu, aku tidak bisa menerimanya dan aku tidak berhak membuka rahasia Rasulullah saw., maka aku diam saja. Jika Rasulullah saw. tidak menyatakan niatnya, tentu akan aku terima tawaranmu itu.” Umar r.a. berkata “Sebenarnya diamnya Abu Bakar lebih aku sedihkan daripada penolakan Utsman.”
Hafshah r.ha. adalah seorang ahli ibadah dan ahli zuhud. Ia sering tidak tidur malam dan pada siang harinya ia selalu berpuasa. Suatu ketika ia pernah ditalak satu oleh Rasulullah saw.. Umar r.a. sangat bersedih hati dengan kejadian tersebut. Peristiwa itu memang sangat menyedihkan. Kemudian datanglah Jibril a.s. dan berkata, “Allah memerintahkan agar rujuk kembali dengan Hafshah.” Selain karena Hafshah r.ha. adalah seorang ahli ibadah, juga karena mengkhawatirkan kesedihan Umar r.a., akhirnya Rasulullah saw. rujuk kembali dengan Hafshah r.ha..
Hafshah r.ha. meninggal dunia di Madinah pada Jumadil-‘Ula tahun 45 Hijriyah dalam usia kurang lebih 63 tahun. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa ia wafat pada tahun 41 Hijriyah dalam usia 60 tahun.
5. Zainab binti Khuzaimah R.ha.
Setelah menikah dengan Hafshah r.ha., Rasulullah saw. menikah dengan Zainab binti Khuzaimah r.ha.. Ia adalah seorang janda. Terdapat perselisihan mengenai pernikahannya yang pertama. Sebagian menulis bahwa suami pertamanya adalah Abdullah bin Jahsy r.a. yang mati syahid dalam perang Uhud. Setelah Abdullah r.a. meninggal dunia, Rasulullah saw. pun menikahinya.
Sebagian riwayat menulis bahwa Zainab r.ha. pertama kali menikah dengan Thufail bin Harits r.a.. Setelah dicerai oleh Thufail r.a., ia dinikahi oleh saudaranya, Ubaidah bin Harits r.a. yang mati syahid dalam perang Badar. Setelah itu, ia dinikahi Rasulullah saw. 31 bulan setelah hijrah, bertepatan pada bulan Ramadhan tahun ke-3 Hijriyah. Ia menjalani 8 bulan bersama Rasulullah saw.. Pada bulan Rabi’ul Awal tahun ke-4 Hijriyah, zainab r.ha. meninggal dunia. Khadijah r.ha. dan Zainab r.ha. adalah dua istri Nabi saw. yang wafat ketika Nabi saw. masih hidup sedangkan sembilan istri beliau lainnya wafat setelah Rasulullah saw. meninggal dunia.
Zainab r.ha. adalah orang yang sangat dermawan sehingga sebelum Islam ia sudah bergelar Ummul-Masaakin, ibunya orang-orang miskin.
6. Ummul Salamah R.ha.
Setelah itu, Rasulullah saw. menikah dengan Ummu Salamah r.ha.. Ummu Salamah r.ha. adalah anak perempuan Abu Umayyah r.a. yang sebelumnya telah menikah dengan sepupunya sendiri, yaitu Abu Salamah r.a. yang nama aslinya adalah Abdullah bin Abdul Asad r.a.. Suami istri ini telah masuk Islam pada masa awal. Karena tidak tahan dengan gangguan orang-orang kafir, mereka hijrah ke Habasyah. Di Habasyah, lahirlah anak perempuan mereka yang bernama Salamah. Sekembalinya dari Habasyah, mereka meneruskan hijrah ke Madinah. Setibanya di Madinah, lahir pula anak laki-laki mereka yang kedua, yakni Umar r.a. dan menyusul dua anak perempuan yang bernama Durrah dan Zainab r.huma..
Abu salamah r.a. masuk Islam setelah orang yang kesepuluh. Ia mengikuti perang Badar dan perang Uhud. Dalam perang Uhud, ia menderita luka yang sangat parah dan pada bulan Shafar tahun ke-4 Hijriyah, ia ikut berperang kembali sehingga lukanya kambuh dan pada Jumadil-Ukhra tahun ke-4 Hijriyah, Abu Salamah r.a. meninggal dunia sebagai syahid. Ketika itu, Ummu Salamah r.ha. sedang mengandung Zainab r.ha.. Begitu anaknya lahir maka selesailah masa iddahnya.
Sebelumnya, Abu Bakar r.a. pernah menyatakan keinginannya untuk menikahi Ummu Salamah r.ha., tetapi Ummu Salamah r.ha. menolaknya. Kemudian Rasulullah saw. melamarnya dan Ummu Salamah r.ha. menjawab, “Anakku banyak, sifatku pencemburu dan aku tidak mempunyai wali.” Rasulullah saw. bersabda, “Yang menjaga anak-anak adalah Allah dan sifat cemburu itu insya Allah akan hilang. Siapa pun walinya, Rasulullah tidak akan membencinya.”
Akhirnya, Ummu Salamah r.ha. berkata kepada anaknya, Salamah r.a., “Nikahkanlah aku dengan Rasulullah saw..” Ia menikah dengan Rasulullah saw. pada akhir bulan Sywal tahun ke-4 Hijriyah. Sebagian riwayat mengatakan pada tahun ke-3 atau ke-2 Hijriyah. Ummu Salamah r.ha. berkata, “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa mendapat musibah lalu membaca do’a :
“Ya Allah, berilah pahala musibah yang telah menimpa hamba dan gantilah dengan yang lebih baik.” (H.R. Ahmad)
Maka Allah akan menggantikan baginya dengan yang lebih baik. Setelah meninggalnya Abu salamah r.a., aku senantiasa membaca do’a ini. Namun aku berfikir, siapakah orang yang lebih baik daripada Abu Salamah r.a.? Ternyata Allah menjodohkanku dengan Rasulullah saw..
Aisyah r.ha. berkata, “Ummu Salamah sangat terkenal dengan kecantikannya. Setelah pernikahannya, dengan diam-diam aku ingin melihatnya, ternyata ia lebih cantik daripada yang aku dengar. Kemudian aku pergi ke rumah Hafshah r.ha. dan menyatakan hal tersebut. Hafshah r.ha. berkata, “Ia lebih cantik daripada yang dikatakan orang-orang.” Diantara Ummahatul Mukminin, yang paling lama meninggal adalah Ummu Salamah r.ha., yaitu pada tahun ke-59 atau ytahun ke-62 Hijriyah pada usia 84 tahun. Ia lahir kurang lebih sembilan tahun sebelum kenabian.
Setelah Zainab binti Khuzainah r.ha. meninggal dunia dan Rasulullah saw. menikahi Ummu Salamah r.ha., mereka menempati bekas tempat tinggal Zainab r.ha.. Di rumah itu ia mendapat tempat untuk menaruh biji-bijian dan satu kisaran gandum serta kuali untuk memasak. Ia sendiri yang menggiling bji-bijian tadi ditambah lemak untuk dijadikan kue-kue halus.
Pada hari pernikahannya, pertama kali Rasulullah saw. dberi makanan kue halus (melid) yang dimasak sendiri olehnya.
7. Zainab binti Jahsy R.ha.
Setelah menikah dengan Ummu Salamah r.ha., Rasulullah saw. menikah dengan Zanab binti Jahsy r.ha.. Zainab r.ha. adalah sepupu Rasulullah saw.. Sebelumnya Zainab r.ha. telah menikah dengan Zaid bin Harts r.a. anak angkat Rasulullah saw.. Setelah dicerai oleh Zaid r.a., Allah menikahkannya dengan Rasulullah saw. yang kisahnya terdapat dalam surat Al-Ahzab. Pada saat itu ia berusia 35 tahun. Menurut riwayat yang terkenal, ia menikah dengan Rasulullah saw. pada bulan Dzulhijjah tahun ke-5 Hijriyah. Sebagian riwayat menyatakan pada tahun ke-3 Hijriyah. Yang benar adalah pada tahun ke-5 Hijriyah. Jadi menurut tahun kenabian, kelahirannya adalah 17 tahun sebelum kenabian.
Zainab r.ha. sangat bangga bahwa semua istri Rasulullah saw. dinikahkan oleh walinya masing-masing sedangkan ia dinikahkan oleh Allah swt.. Setelah Zaid r.a. menceraikannya dan masa iddahnya sudah selesai, Rasulullah saw. mengirim lamarannya kepada Zainab r.ha.. Zainab r.ha. menjawab, “Aku tidak bisa memutuskannya sebelum bermusyawarah dengan Allah.” Setelah berkata demikian, ia berwudhu, shalat dan berdo’a kepada Allah swt.. “Ya Allah, Rasulullah telah mengutus utusannya untuk meminangku, seandainya aku ini pantas untuk beliau, maka nikahkanlah aku dengan beliau.”
Akhirnya turunlah firman Allah swt :
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan ni’mat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi ni’mat kepadanya: “Tahanlah terus isterimu dan bertakwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak untuk kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mu’min untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya. Dan adalah ketetapan Allah itu pasti terjadi.”
( Q.s. Al-Ahzab : 37 )
Ayat ini memberi kabar gembira kepada Rasulullah saw.. Karena gembiranya, Zainab r.ha. jatuh bersujud. Kemudian Rasulullah saw. merayakan walimah pernikahannya ini agak besar-besaran, yaitu dengan menyembelih kambing. Tamu-tamunya dijamu dengan daging dan roti. Jika satu rombongan selesai makan maka dipanggil masuk rombongan yang lain untuk makan sehingga semua orang dapat makan dengan puas.
Zainab r.ha. sangat dermawan dan rajin bekerja. Hasil kerjanya biasa ia sedekahkan. Dialah yang telah disabdakan oleh Rasulullah saw., “Yang pertama kali akan bertemu denganku setelah aku mati adalah yang paling panjang tangannya.” Istri-istri Rasulullah saw. ketika itu memahami panjang tangan secara harfia. Maka mereka mengambil sebatang kayu lalu mereka mengukur tangan mereka masing-masing. Dan yang terpanjang tangannya adalah Saudah rha. Namun ketika Zainab r.ha. meninggal dunia setelah Rasulullah saw. wafat, mereka baru memahami bahwa tangan panjang itu ternyata orang yang paling banyak bersedekah.
Zainab r.ha. dikenal sering berpuasa. Ia meninggal dunia pada tahun ke-20 Hijriyah pada usia 50 tahun dan yang mengimami shalat jenazahnya adalah Umar r.a..
8. Juwairiyah binti Harits R.ha.
Selanjutnya, Rasulullah saw. menikah dengan Juwairiyah binti Harits bin Dhirar r.ha.. Pada mulanya, ia adalah seorang tawanan perang Muryasi’. Juwairiyah r.ha. adalah bagian ghanimah milik Tsabit bin Qais r.a.. Sebelum ditawan, Juwairiyah r.ha. sudah dinikahi oleh Musafi bin Shafwan. Tsabit r.a. telah menghargakannya dengan tebusan 9 uqiyah emas. Maksud tebusan di sini adalah seorang budak yang dihargakan untuk dilunasi. Jika lunas, maka hamba tai akan bebas. Sekeping (uqiyah) emas sama dengan 40 dirham.
Suatu ketika, ia datang ke majelis Rasulullah saw. dan berkata, “Ya Rasulullah, aku adalah Juwairiyah anak perempuan Harits ketua kaum kami. Engkau tentu sudah mengetahui musibah yang menimpaku. Sekarang sebagai tebusan untuk kebebaskanku, Tsabit telah menentukan harga tebusan yang begitu banyak dan ini di luar kemampuanku. Untuk itu aku datang berharap kepadamu.” Rasulullah saw. bersabda, “Aku akan memberimu jalan keluar yang lebih baik dari itu semua. Aku akan menebus dan membebaskanmu. Setelah itu, aku akan menikahimu. Adakah jalan keluar yang lebih baik daripada itu?” Dengan senang hati, usul itu diterima oleh Juwairiyah r.ha.. Kemudian dalam riwayat yang termahsyur, mereka menikah pada tahun ke-5 Hijriyah, sebagian riwayat menyebutkan pada tahun ke-6 Hijriyah. Ketika para sahabat r.hum mendengar Rasulullah saw. telah berbesanan dengan Banu Musthaliq, maka mereka segera membebaskan semua hamba sahaya tawanan dari Banu Musthaliq sebagai penghormatan atas perjodohan tersebut. Diceritakan dalam sebagian tarikh bahwa karena Juwairiyah r.ha. dinikahi oleh Rasulullah saw., maka seratus keluarga Banu Musthaliq telah dibebaskan, berarti kurang lebih berjumlah tujuh ratus orang tawanan. Ini merupakan salah satu kebaikan yang terjadi akibat dari sejumlah pernikahan Rasulullah saw..
Juwairiyah r.ha. adalah wanita yang sangat cantik, wajahnya berseri-seri. Dikatakan bahwa jika terpandang wajahnya maka akan sulit berpaling. Juwairiyah r.ha. berkata bahwa tiga hari sebelum terjadi peperangan, ia bermimpi melhat bulan dating dari arah Yatsrib (Madinah) dan masuk ke pangkuannya. Ketika itu ia berusia 20 tahun. Ia meninggal dunia di Madinah pada bulan Rabiul-Awal tahun ke-50 Hijriyah pada usia 65 tahun. Sebagian riwayat mengatakan bahwa ia wafat pada tahun 56 Hijriyah, jadi pada usia 70 tahun.
9. Ummu Habibah R.ha.
Ummul Mukminin Ummu Habibah r.ha. adalah anak perempuan Abu Sufyan r.a.. Terdapat perselisihan tentang nama aslinya. Kebanyakan menyebutnya Marmalah, sebagian lagi menyebutkan Hindun. Ia menikah pertama kali dengan Ubaidullah bin Jahsy di Makkah, keduanya masuk Islam pada masa permulaan. Karena orang-orang kafir banyak yang menggangu mereka maka mereka terpaksa meninggalkan Makkah dan berhijrah ke Habasyah. Setibanya di sana, suaminya masuk agama Kristen sedangkan Ummu Habibah r.ha. sendiri teguh memeluk Islam.
Suatu ketika, ia melihat suamnya dalam mimpinya dalam bentuk yang sangat buruk. Keesokan paginya, ternyata suaminya telah masuk agama Kristen. Dalam keadaan demikian, ia merasa cemas dan Allah lah yang Maha Tahu. Namun kemudian Allah swt. mengganti kenikmatan baginya, yaitu ia dinikahi oleh Rasulullah saw.. Rasulullah saw. mengirim utusan kepada raja Habasyah, Najasyi, agar ia berkenan menikahkan diri beliau dengan Ummu Habibah r.ha.. Kemudian Najasyi mengirim seorang utusan wanita bernama Abraha kepada Ummu Habibah r.ha. untuk menyampaikan kabar tersebut. Betapa gembira Ummu Habibah r.ha. mendengar berita tersebut sehingga ia melepaskan perhiasan di tangannya juga perhiasan kaki dan benda-benda lain lalu ia menghadiahkannya kepada pembawa berita tersebut.
Raja Najasyi sendiri yang menikahkannya dan ia mengirim uang mahar sebanyak 400 dinar emas ditambah hadiah-hadiah lainnya dan orang-orang yang dating ke pernikahan itu juga dihadiahi dinar dan diberi makan. Terdapat perbedaan dalam hal ini, apakah pernikahan tersebut terjadi tahun ke-7 Hijriyah? (Inilah riwayat yang terkenal) atau pada tahun ke-6 Hijriyah? Penyusun kitab tarikh Khamis telah menulis bahwa pernikahannya terjadi tahun ke-6 Hijriyah dan baru (berkumpul) dengan Rasulullah saw. pada tahun ke-7 Hijriyah. Itulah yang benar.
Mengenai kapan tahun wafatnya Ummu Habibah r.ha., ada perbedaan riwayat. Kebanyakan riwayat menulis pada tahun 44 Hijriyah, ada juga yang menyatakan bahwa ia wafat pada tahun 42 Hijriyah, 55 Hijriyah atau 50 Hijriyah.
10. Shafiyah R.ha.
Ummul Mukminin Shafiyah R.ha. adalah anak perempuan Huyay yang masih satu keturunan dengan Nabi Musa a.s. dan Nabi Harun a.s.. Sebelumnya ia telah menikah dengan Salam bin Masykam, kemudian ia dinikahi oleh Kinanah bin Abi Hukaik pada awal perang Khaibar. Dan suaminya terbunuh dalam peran tersebut. Kemudian seorang sahabat bernama Dihyah Al-Kalbi r.a. meminta kepada Rasulullah saw. agar diberi hamba sahaya wanita. Rasulullah saw. pun memberinya Shafiyah r.ha. namun karena Shafiyah r.ha. adalah putri salah seorang pemimpin dua kabilah besar, yaitu Banu Quraidhah dan Banu Nadhir di Madinah maka orang-orang kurang menyukai jika Shafiyah r.ha. menjadi hamba sahaya Dihyah Al-Kalbi r.a. tetapi jika Shafiyah r.ha. dinikahi Rasulullah saw., tentu mereka akan merasa bangga.
Akhirnya, Rasulullah saw. mengambil Shafiyah r.ha. dari Dhiyah Al-Kalbi r.a. dan memerdekakannya lalu beliau menikahinya. Dan berkumpul di sebuah tempat dalam perjalanan pulang dari Khaibar. Pada pagi harinya, Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa yang memiliki makanan, hendaknya dibawa ke sini.” Para sahabat r.hum. segera mengumpulkan makanan yang ada seperti : kurma, manisan, buah pir, minyak dan sebagainya. Makanan-makanan tersebut diletakkan di atas alas makan kulit dan mereka makan bersama-sama. Itulah walimahnya.
Dalam sebagian riwayat ditulis bahwa Rasulullah saw. memberi kebebasan kepada Shafiyah r.a., “Jika kamu ingin tinggal bersama kaummu maka kamu boleh pergi. Atau jika kamu bersedia menjadi istri Nabi saw., maka tinggallah di sini.” Shafiyah r.ha. berkata, “Ya Rasulullah, ketika aku masih musyrik, aku bercita-cita ingin menjadi istrimu, aku akan melepas begitu saja cita-citaku?”
Maksudnya ialah, sebelum memeluk Islam, ia telah bermimpi ada pecahan bulan yang jatuh di pangkuannya. Setelah mimpi itu diceritakan kepada suaminya, Kinanah, ia ditampar oleh Kinanah sehingga terluka di dekat matanya dan luka itu berbekas lama di wajahnya. Suaminya berkata, “Apakah kamu ingin menikah dengan Raja Yatsrib?” Pada saat yang lain, ia kembali bermimpi bahwa matahari terletak di dadanya lalu ia ingin menceritakan mimpi itu kepada suaminya. Suaminya berkata, “Kamu ingin menikah dengan Raja Yatsrib?” Pada saat lain, ia bermimpi lagi bahwa bulan terletak di pangkuannya. Setelah diceritakan mimpi itu kepada ayahnya, ayahnya menamparnya dan berkata, “Apakah perhatianmu kepada Raja Yatsrib?”
Mungkin mimpi melihat bulan tadi hanya satu kali. Selain diceriyakan kepada suaminya, juga diceritakan kepada ayahnya. Atau memang ia bermimpi dua kali melhat bulan dan satu kali bermimpi melihat matahari.
Menurut sebuah riwayat yang disepakati kebenarannya, ia meninggal dunia pada bulan Ramadhan tahun 50 Hijriyah pada usia kurang lebih 60 tahun. Ia sendiri berkata, “Ketika aku dinikahi oleh Rasulullah saw., aku belum genap berumur 17 tahun.”
11. Maimunah R.ha.
Ummul Mukminin Maimunah r.ha. adalah anak Harits bin Hazn yang nama aslinya adalah Barah. Rasulullah saw. telah mengganti namanya dengan Maimunah r.ha..
Sekembalinya dari umrah, Rasulullah saw. berniat akan menggauli Maimunah r.ha. di Makkah namun orang-orang Makkah tidak mengizinkan beliau saw. tinggal di Makkah. Akhirnya Maimunah r.ha. digauli di Sarif dalam satu kemah khusus. Dan di Sarif, di tempat kemah khusus itu pulalah menurut pendapat shahih yang disepakati. Maimunah r.ha. meninggal dunia pada tahun ke-51 Hijriyah. Riwayat lain menyebutkan pada tahun ke-61 Hijriyah, yaitu pada usia 81 tahun.
Sarif merupakan tempat yang istimewa dalam perjalanan sejarah. Ia menikah di tempat itu dan meninggal dunia di tempat itu juga.
Aisyah r.ha. berkata, “Maimunah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kami dan paling menjaga silaturahmi.” Yazid bin Asham r.a., berkata, “Setiap saat Maimunah hanya shalat atau sibuk dengan pekerjaan rumah tangga. Apabila selesai dari keduanya, ia senantasa sibuk dengan bersiwak.”
Para ahli hadits dan tarikh telah sepakat bahwa pernikahan Maimunah r.ha. dengan Rasulullah saw. adalah pernikahan Rasulullah saw. yang terakhir (bersepakat bahwa ia adalah istri yang terakhir). Selain dari pernikahan-pernikahan ini, ada riwayat yang menuliskan pernikahan beliau yang lainnya yang telah diperdebatkan oleh para ahli hadits maupun sejarah. Untuk itu, kisah-kisah ini adalah mengenal istri-istri Rasulullah saw. yang telah disepakati oleh semua ahli hadits dan tarikh.
KITAB-KITAB RUJUKAN
1. Ahkamul Qur’an ( Abu Bakar Ahmad bin Ali Razi Al Jashshosh )
2. Aini Syarah Bukhari ( Badruddin Abu Muhammad bin Ahmad ‘Aini )
3. Al Kamil ( Izudin Ali bin Muhammad Ibnu Atsir Jazuri )
4. Al Qaulil Badi’ Fis Shalati ‘Alal Habibi ( Syamsuddin Muhammad As Sakhowi ‘Alal Habibi )
5. Az Zawajir ( Imam Ibnu Hajar Al Haitami )
6. Al Ishobah ( Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqolani Asy Syafi’i )
7. Al Muwaththa’ ( Abu Abdullah Maliki bin Anas bin Maliki )
8. Asyhur Masyahir Islam ( Rafiq Baki Al Azhim )
9. Asy-Syifa ( Qadhi ‘Iyadh bin Musa Al Husaini )
10. At Targhib Wat Tarhib (Abdul Azhim bin Abdul Qawiy Al Mundziri )
11. Ath-Thobaqot ( Muhammad bin Sa’id Katibi Al Waqidi )
12. ‘Aunul Ma’bud ( Abu Abdurrahman Syarif )
13. Awjazul Masaliki ( Maulana Muhammad Zakariyya )
14. Baihaqi ( Abu Bakar bin Husain bin Ali Al Baihaqi )
15. Bayanul Qur’an ( Maulana Asyraf Ali Tsanwi )
16. Badzlul Majhud ( Maulana Kholil Ahmad Mujahir Madni )
17. Bukhari Syarif ( Abu Abdullah Muhammad bin Ismail )
18. Diroyah ( Hafidz Ibnu Hajar Alaihir Rahmah )
19. Durrul Mantsur ( Allamah Jalaluddin Suyuti )
20. Fatawa Alamghiri ( Ulama Hindustan, Hadzrat Alamghiri )
21. Fathul Bari ( Abu Fadhl Ahmad bin Ali bin Hajar Asqolani )
22. Harzuts Tsamin Fii Mubasyiratin Nabiyyil Amiin ( Syah Waliyullah Dahlawi )
23. Hishni Hashin ( Syamsuddin bin Muhammad Al Jazuri )
24. Hilyatul Aulia’ ( Abu Nu’aim Ahmad bin Abdullah Asbahani )
25. Hujjatullah Al Balighah ( Syah Waliyullah )
26. Ibnu Hibban ( Muhammad bin Hibban bin Ahmad )
27. Ihya’ Ulumiddin ( Imam Ghozali )
28. Iqomatul Hujjah ( Maulana bin Hibban bin Ahmad )
29. Irwahi Tsalatsah ( Tartib, Maulana Zhuhri Al Hasan )
30. Isti’ab ( Hafidz Ibnu Abdul Bar Maliki )
31. Ithaf Sadatul ( Muhammad bin Muhammad bin Az Zubaidi )
32. Jam’ul Fawaid ( Muhammad bin Muhammad Sulaiman )
33. Jamal ( Syeikh Sulaiman Al Jamal )
34. Jami’ush Shoghir ( Abdurrahman Jalaluddin Suyuti )
35. Kanzul ‘Ummal ( Allamah Ali Burhan Puri )
36. Kaukabud Durri ( Syeikh Zadu Majdah )
37. Khoshoish Kubra ( Allamah Suyuti )
38. Kitabul Amwal ( Imam Abu Abid Al Qosim bin Salam )
39. Kitabul Ummah Was Siyasat ( Abdullah bin Muslim )
40. Majma’uz Zawaid ( Hafizh Nuruddin Al Haitsami )
41. Maqosid Hasanah ( Syamsuddin Muhammad bin Abdurrahman )
42. Masyirul ‘Azam ( Jamaluddin Abdur Rahman bin Al Jauzi )
43. Mazhahirul Haq ( Nawab Qatbuddin Khan Bahadur )
44. Mirqatu Syarah Misykat ( Nuruddin Abi bin Sulthan Muhammad Harwi )
45. Misykat Syarif ( Waliyuddin Muhammad bin Abdullah )
46. Musamirat ( Syeikh Akbar Ibnu Arabi )
47. Mushonnif ( Abdullah bin Muhammad Ibnu Abi Syaibah )
48. Musnad Abu Awanah ( Ya’kub bin Ishaq bin Ibrahim Naisaburi )
49. Musnad Abu Ya’la ( Ahmad bin Ali bin AL Natsna Al Muwashol )
50. Musnad Ahmad ( Ahmad bin Muhammad bin Hanbal )
51. Musnad Al Firdaus ( Abu Mansur Ad Dailami )
52. Musnad Bazzar ( Abu Bakar Ahmad bin Umar Al Bazari )
53. Musnad Hakim ( Muhammad bin Abdullah bin Muhammad )
54. Musnad Ibnu Khuzaimah ( Muhammad bin Ishaq Ibnu Khuzaimah )
55. Mustadrak Hakim ( Muhammad bin Abdullah Naisaburi )
56. Nazhatul Basatin ( Abdullah bin As’ad Yamini Yafi’i )
57. Qashoidu Qasimi ( Maulana Muhammad Qasim Nanatwi )
58. Qiyamul Lail ( Muhammad bin Ahmad bin Ali Marwazi )
59. Qurratul ‘Uyun ( Syaikh Syu’aib Al Harifaisyi )
60. Rahmatul Muhtadah ( Abul Khoiri Nurul Hasan Wal Husaini )
61. Raudhul Faiq ( Syaikh Syuaib Al Harifaisyi )
62. Raudhul Riyahin ( Abdullah bin As’ad Yamani Yafi’i )
63. Shahih Muslim ( Abul Hasan Musim bin Al Hajjaj )
64. Sunan Abu Dawud ( Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats Sujastani )
65. Sunan Daromi ( Abdullah bin Abdurrahman Daromi )
66. Sunan Daroquthni ( Abdul Hasan Ali bin Umar bin Ahmad )
67. Sunan Ibnu Majah ( Muhammad bin Yazid Al Qardini )
68. Sunan Nasai ( Ahmad bin Syu’aib bin Ali )
69. Sunan Thabrani ( Abdul Qasim Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub )
70. Sunan Tirmidzi ( Muhammad bin Isa bin Surah At Tarmidzi )
71. Syamail Tirmidzi ( Muhammad bin Isa bin Surah At Tarmidzi )
72. Syarhus Sunnah ( Husain bin Mas’ud Al Farail )
73. Tadzikratul Hufazh ( Syamduddin Muhammad bin Ahmad Zaibi )
74. Tafsir Kabir ( Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir )
75. Tafsir Khozin ( Alauddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim )
76. Tafsir ‘Azizi ( Syah Abdul Aziz Dahlawi )
77. Tahdzibul Mustadzib ( Ahmad bin Ali bin Hajar Asqolani )
78. Talqihu Fuhumil Atsir ( Jamaluddin, Abdur Rahman bin Al Jawazi )
79. Tanbihul Ghofilin ( Syaikh Abu Laits Samarqandi )
80. Tarikh Khomis ( Syaikh Husain Muhammad Ibnu Al Hasan )
81. Tarikhul Khulafa (Allamah Jalaluddin Abdul Rahman Suyuthi )
82. Usudul Ghobah ( Allamah Ibnu Atsir Jazuri )
83. Yusuf Zulaikha ( Maulana Abdur Rahman Jami’ )
84. Zadus Sa’id Fi Dzikrin Nabiyyil Habib ( Hadzrat Aqdas Tsanwi )
Asta Priatama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar