Laman

Jumat, 18 Oktober 2013

Mujahadah (Melawan sisi negatif jiwa manusia)

"Dan orang orang yang berjihad untuk (mencari) keridhaan Kami, benar benar akan Kami tunjukkan kepada merekajalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar benar beserta orang-orang yang berbuat baik."
(Q.s. Al Ankabut: 69)
Diriwayatkan dari Abu Sa'id al Khudry, bahwa ketika Rasulullah saw. ditanya mengenai jihad terbaik, beliau menjawab, "Adalah perkataan yang adil yang disampaikan kepada seorang penguasa yang zallm."
(H.r. Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Maka air mata berlinang dari kedua mata Abu Sa'id ketika mendengar hal ini.
Syeikh Abu Ali ad Daqqaq r.a. berkata, "Barangsiapa menghiasi lahiriahnya dengan mujahadah, Allah akan memperindah rahasia batinnya melalui musyahadah. Siapa yang permulaannya tidak memiliki mujahadah dalam tharikah ini, ia tidak akan menemui cahaya yang memancar darinya."
Abu Utsman al Maghriby mengatakan, "Adalah kesalahan besar bagi seseorang membayangkan bahwa dirinya akan mencapai sesuatu di Jalan Nya atau bahwa sesuatu di Jalan Nya akan tersingkap baginya, tanpa bermujahadah."
Syeikh Abu Ali ad Daqqaq r.a. menegaskan, "Orang yang tidak berdiri dengan mantap di awal perjalanan spiritualnya tidak akan diizinkan beristirahat pada akhir perjalanannya." Dikatakannya pula, "Gerak adalah suatu berkat." Dan katanya kemudian, "Gerakan-gerakan dzahir akan melahirkan barakah barakah batin."
Hadhrat Maulana Syaikh Sari as Saqathi berkata, "Wahai kaum muda, tekunlah kalian, sebelum kamu sekalian menginjak usia seperti diriku, sehingga kalian lemah dan lengah seperti diriku. " Padahal pada saat itu tidak seorang pun di antara para pemuda yang mampu menyejajari langkah as Sari dalam bidang ibadat.
Saya mendengar al Hasan al Qazzaz berkata, "Jangan makan kecuali amat lapar, jangan tidur kecuali amat kantuk, jangan bicara kecuali dalam keadaan darurat.”
Ibrahim bin Adham mengatakan, "Seseorang baru akan mencapai deraiat kesalehan, sesudah melakukan enam hal:
Menutup pintu bersenang senang dan membuka pintu penderitaan;
Menutup pintu keangkuhan dan membuka pintu kerendahan hati;
Menutup pintu istirahat dan membuka pintu perjuangan;
Menutup pintu tidur dan membuka pintu jaga;
Menutup pintu kemewahan dan membuka pintu kemiskinan;
Menutup pintu harapan duniawi dan membuka pintu persiapan menghadapi kernatian."
Abu Amr bin Nujayd berkata, "Barangsiapa menghargai hawa nafsunya berarti meremehkan agamanya dan pendengarannya."
Abu Ali ar Rudzbary mengatakan,"Apabila seorang Sufi - sesudah lima hari kelaparan berkata, 'Aku lapar,' kirimlah ia ke pasar untuk mencari nafkah. Prinsip mujahadah pada dasarnya adalah mencegah jiwa dari kebiasaan kebiasaannya dan memaksanya menentang hawa nafsunya separijang waktu. "Jiwa mempunyai dua sifat yang menghalanginya dalam mencapai kebaikan: keberlarutan dalam memuja hawa nafsu dan penolakan pada tindak kepatuhan.
Manakala jiwa menunggang nafsu, maka Anda harus mengendalikannya dengan kendali takawa.
Manakala jiwa bersikukuh menolak untuk selaras dengan kehendak Tuhan, maka Anda harus mengendalikannya agar menolak hawa nafsunya.
Manakala jiwa bangkit memberontak, maka Anda harus mengendalikan keadaan ini.
Tiada satu hal pun yang berakibat lebih utama selain sesuatu yang muncul menggantikan kemarahan yang kekuatannya telah dihancurkan dan yang nyalanya telah dipadamkan oleh akhlak mulia.
Manakala jiwa menemukan kemanisan dalam anggur kecongkakan, niscaya ia akan merana bila tidak sanggup menunjukkan kemampuannya dan menghiasi perbuatan- perbuatannya kepada siapa pun yang melihatnya.
Orang harus memutuskannya dari kecenderungan seperti ini dan menyerahkannya pada hukuman kehinaan yang akan datang tatkala diingatkan akan harga dirinya yang rendah, asal usulnya yang hina dan amal amalnya yang menjijikkan.
Perjuangan kaum awam berupa pelaksanaan tindakan tindakan; tujuan kaum khawash adalah menyucikan keadaan spiritual mereka. Bertahan dalam lapar dan jaga, adalah sesuatu yang mudah. Sedangkan membina akhlak dan membersihkan semua hal negatif yang melekat padanya sangatlah sulit.
Satu dari sekian sifat jiwa yang merugikan dan paling sulit dilihat adalah ketergantungannya pada pujian manusia. Orang yang bermental seperti ini berarti menyangga beban langit dan bumi dengan satu alisnya. Satu pertanda yang mengisyaratkan mental seperti ini adalah bahwa apabila pujian orang tidak diberikan kepadanya, niscaya la menjadi pasif dan pengecut.
Dikabarkan bahwa Abu Muhammad al Murta'isy berkata, "Aku berangkat haji berkali kali seorang diri. Pada suatu ketika aku menyadari bahwa segenap upayaku terkotori oleh kegembiraanku dalam melakukannya. Hal ini kusadari saat ibu memintaku menarikkan seguci air untuknya. Jiwaku merasakan hal ini sebagai beban yang berat. Saat itulah aku mengetahui bahwa apa yang kusangka merupakan kepatuhan kepada Allah swt. dalam hajiku selama ini tidak lain hanyalah kesenanganku semata, yang datang dari kelemahan dalam jiwa, karena apabila nafsuku sirna, niscaya tidak akan mendapati tugas kewajibanku sebagai sesuatu yang memberatkan dalam hukurn syariat."
Pada suatu ketika seorang wanita lanjut usia ditanya mengenai keadaan ruhaninya. la menjawab, "Semasa muda, aku berpikir bahwa keadaan keadaan ruhani itu berasal dari kekuatan dan semangat yang tak kujumpal saat ini, ketika sudah tua, semua itu sirna sudah."
Dzun Nuun al Mishry berkata, "Penghormatan yang Allah berkenan memberikannya kepada seorang hamba, maka Allah menunjukkan kehinaan dirinya; penghinaan yang Allah berkenan menimpakannya kepada seorang hamba, maka Allah menyembunylkan kehinaan dirinya dari pengetahuan akan kehinaan itu sendiri.
Ibrahim al Khawwas menegaskan, "Aku tidak menghadapi seluruh ketakutanku, kecuali secara langsung menghadapinya dengan menunggangnya."
Muhammad bin Fadhl mengatakan, "Istirahat total adalah kebebasan dari keinginan hawa nafsu."
Saya mendengar Abu Ali ar Rudzbary berkata, "Bahaya yang menimpa manusia datang dari tiga hal: Kelemahan watak, keterpakuan pada kebiasaan, dan mempertahankan teman yang merusak." Saya bertanya kepadanya, "Apakah kelemahan watak itu?" la menjawab, "Mengonsumsi hal hal yang haram." Lalu saya tanyakan, "Apakah keterpakuan pada kebiasaan itu?" la berkata, "Memandang dan mendengarkan segala sesuatu yang haram dan melibatkan diri dalam fitnah." Saya bertanya, "Apakah mempertahankan teman yang merusak itu?" Dijawabnya, "Itu terjadi ketika Anda menuruti hasrat nafsu dalam diri, lalu diri Anda mengikutinya."
An Nashr Abadzy mengatakan, "Penjara adalah jiwa Anda. Apabila Anda melepaskan diri darinya, niscaya akan sampai pada kedamaian." la juga berkata, "
Aku mendengar Muhammad al Farra' berkisah, bahwa Abul Husain al Warraq mengatakan, 'Ketika kami mulai menempuh jalan Nya lewat tasawuf di Masjid Abu Utsman al Hiry, praktik terbaik yang kami lakukan adalah bahwa kami memprioritaskan kemudahan bagi orang lain; kami tidak pernah tidur dengan menyimpan sesuatu tanpa disedekahkan; kami tidak pernah menuntut balas kepada seseorang yang menyinggung hati kami, bahkan kami selalu memaafkan tindakannya dan bersikap rendah hati kepadanya; dan jika kami memandang hina seseorang dalam hati kami, maka kami akan mewajibkan diri kami untuk melayaninya sampai perasaan memandang hina itu lenyap'."
Abu ja'far berkata, "Nafsu, seluruhnya gelap gulita. Pelitanya adalah batinnya. Cahaya pelita ini adalah taufiq. Orang yang tidak disertai taufik dari Tuhannya, maka kegelapan akan menyelimutinya." Ketika mengatakan, "Pelitanya adalah batinnya," dimaksudkan adalah rahasia antara dirinya dan Allah swt, yakni tempat keikhlasannya. Dengannya si hamba tersebut mengetahui bahwa semua peristiwa adalah karya Tuhan; peristiwa peristiwa bukanlah ciptaan dirinya, tidak pula berasal darinya. Bila mengetahui hal ini, la akan bebas dalam setiap keadaannya, dari kekuatan dan kekuasaannya sendirl dalam melestarikan manfaat waktunya. Orang yang tidak disertai taufik tidak akan memperoleh manfaat dari pengetahuan tentang jiwanya atau tentang Tuhannya. Itulah sebabnya mengapa para syeikh mengatakan, "Orang yang tidak mempunyai sirr akan terus bersikeras menuruti hawa nafsunya."
Abu Utsman berkata, "Selama orang melihat setiap sesuatu baik dalam jiwanya, la tidak akan mampu melihat kelemahan-kelemahannya. Hanya orang yang berani mendakwa dirinya terusmenerus selalu berbuat salahlah yang akan sanggup melihat kesalahannya itu."Abu Hafs mengatakan, "Tidak ada jalan yang lebih cepat ke arah kerusakan, kecuali jalan orang yang tidak mengetahui kekurangan diriya, karena kemaksiatan kepada Tuhan adalah jalan cepat menuju kekafiran."
Abu Sulaiman berkata, "Aku tahu bahwa tidak sedikit pun kebaikan dapat ditemukan dalam suatu perbuatan yang kulakukan sendiri, aku berharap diberi pahala karenanya."
Syaikh Sari as Saqathi berkomentar, "Waspadalah terhadap orang yang suka bertetangga dengan orang kaya, pembaca pembaca Qur'an yang sering mengunjungi pasar, dan ulama ulama yang mendekati penguasa."
Dzun Nuun al Mishry mengatakan, "Kerusakan merasuki diri manusia dikarenakan enam hal:
Mereka memiliki niat yang lemah dalam melakukan amal untuk akhirat;
Tubuh mereka diperbudak oleh nafsu;
Mereka tidak henti hentinya mengharapkan perolehan duniawi, bahkan menjelang ajal;
Mereka lebih suka menyenangkan makhluk, mengalahkan ridha Sang Pencipta;
Mereka memperturutkan hawa nafsunya, dan tidak menaruh perhatian yang cukup kepada Sunnah Nabi Saww.;
Mereka membela diri dengan menyebutkan beberapa kesalahan orang lain, dan mengubur prestasi pendahulunya. "
(Diambil dari kitab "Risalatul Qusyairiyyah" karya Syaikh Abul Qasim al Qusyairi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar