Laman

Senin, 17 Februari 2014

Bersuci dan najis

Bismillaah...
Jika pada suatu tempat dari badan yang bersuci terdapat najis yang tidak dimaafkan, haram atasnya menyentuh Mushaf dengan tempat yang bernajis itu tanpa ada perselisihan dan tidak haram dengan lainnya menurut madzhab yang sahih dan yang masyhur yang dikatakan oleh sebagian besar sahabat kami dan para ulama lainnya.

Abdul Qasim Ash-Shaimari salah seorang sahabat kami berkata, haram.

Al-Qadhi Abui Thayyib berkata, pendapat ini tertolak menurut ijmak.

Kemudian menurut pendapat yang masyhur, sebagian sahabat kami mengatakan makruh. Pendapat yang terpilih adalah tidak makruh.

Barangsiapa tidak menemukan air, kemudian bertayamum sebagaimana dia dibenarkan melakukan tayamum, maka dia bisa menyentuh Mushaf, sama saja tayamum itu untuk sembahyang atau untuk keperluan lain yang mengharuskan tayamum.

Sementara siapa yang tidak menemukan air ataupun tanah, maka dia bisa sembahyang saja dan tidak bisa menyentuh Mushaf karena dia berhadas.

Kami bisakan baginya sembahyang karena darurat.

Sekiranya ada bersamanya Mushaf dan tidak menemukan orang yang bisa diamanahkannya sedang dia tidak dapat berwudhu, duharuskan baginya membawanya karena darurat.

Al-Qadhi Abu Thayyib berkata, tidak wajib baginya bertayamum. Kalau dia membimbangkan Mushaf terbakar atau tenggelam atau jatuh dalam najis atau jatuh ke tangan orang kafir, maka dia bisa mengambilnya karena darurat, meskipun dia berhadas..


Jika orang yang berhadas atau junub atau perempuan haid menyentuh atau membawa sebuah kitab fiqh atau kitab ilmu lain yang berisi ayat-ayat Al-Qur’an atau bersulam ayat Al-Qur’an atau yang uang dirham atau uang dinar berukiran ayat Al-Qur’an atau membawa barang-barang yang di antaranya terdapat Mushaf atau menyentuh dinding atau makanan kuil atau roti yang berukiran Al-Qur’an, maka madzhab yang sahih adalah bisa melakukan semua ini karena ia bukan Mushaf.

Terdapat satu pendapat yang mengatakan haram. Qadhi besar Abu Hasan Al-Mawardi dalam kitabnya AlHaawi berkata, bisa menyentuh baju yang bersulam Al-Qur’an dan tidak bisa memakainya tanpa ada perselisihan karena tujuan memakainya adalah tabarruk (mengambil berkat) dengan Al-Qur’an.

Pendapat yang disebutkan atau dikatakannya ini adalah lemah dan tidak seorang pun yang berpendapat seperti itu menurut pengetahuan saya. Bahkan Asy-Syeikh Abu Muhammad Al-Juwaini dan lainnya menegaskan keharusan memakainya.
Inilah pendapat yang benar. Wallahua’lam.

Manakala Kitab tafsir Al-Qur’an, apabila Al-Qur’an yang terdapat di dalamnya lebih banyak dari lainnya, haram menyentuh dan membawanya.
Kalau lainnya lebih banyak sebagaimana pada umumnya, maka ada tiga pendapat. Pedapat yang lebih shahih tidak haram.

Pendapat kedua, haram.

Pendapat ketiga, kalau Al-Qur’an di tulis dengan huruf yang kelas karena tebal atau dengan huruf merah atau lainnya, maka haram.

Jika tulisannya tidak jelas, maka tidak haram Saya katakan: Dan haram menyentuhnya apabila sama antara keduanya.
Sahabat kami penulis kitab At-Titimmah berkata, apabila kami katakan, tidak haram, maka hukumnya makruh. Sementara menulis hadits Rasulullah saw jika tidak terdapat ayat-ayat Al-Qur’an di dalamnya, tidaklah haram menyentuhnya.

Pendapat yang lebih utama adalah tidak disentuh, kecuali dalam keadaan suci.

Kalau terdapat ayat-ayat dari Al-Qur’an, tidaklah haram menurut madzhab kami, tetapi makruh. Dalam hal ini ada satu pendapat bahwa hal itu haram, yaitu yang terdapat dalam kitab-kitab Fiqh. Sedangkan ayat yang dinasakh tilawahnya seperti rejam dan selain itu, maka tidak haram menyentuh ataupun membawanya.
Para sahabat kami berkata, demikian jugalah Taurat dan Injil

Tidak ada komentar:

Posting Komentar