Laman

Senin, 10 Februari 2014

KEBAHAGIAAN ITU APA ?


“We all want to be happy but the problem has always been that you can’t measure happiness.” (Amasufi, 2009)

“Berzikirlah kamu kepada Allah yang banyak, supaya kamu bahagia” (QS 8:45)

Dalam perjalanan kehidupanku sudah lama saya memikirkan persoalan kebahagiaan, saya tidak tahu kapan, sampai seorang sahabatku mengajakku mendiskusikan sebuah buku “Secrets of Happiness”, cara meraih kebahagiaan. Saya ingin belajar dan mengetahui tentang kebahagiaan serta akhirnya ingin menyebarkan resep-resep kebahagiaan ini pada saudara saya lain, sekalian buat pelatihannya (hehehehe), bukankah Imam Ali pernah berkata, “Sesuatu yang jika dibagikan akan bertambah, itulah kebahagiaan!”

Nasrin

Saya lebih menyukai jika tulisan sederhana ini dimulai dengan pembicaraan tentang kebahagiaan dari pandangan para filsuf, pemikir kehidupan. Aristoteles, murid Plato yang murid Socrates. Aristoteles, filsuf besar “inteleknya Akademi Plato” menyebutkan syarat-syarat yang diperlukan untuk memperoleh kebahagiaan yang berlangsung lama:good birth, good health, good look, good luck, good reputation, good friend, good money dan goodness.

Bersama para filsuf lainnya Aristoteles ingin menjawab pertanyaan: Apa yang membuat hidup manusia itu layak kita jalani? Apa yang harus kita lakukan supaya kita bukan hanya sekedar hidup tetapi hidup yang baik?

Hidup yang baik kata Aristoteles, adalah hidup yang bahagia. Jadi baik adalah bahagia! Para muridnya kemudian menafsirkan “baik” dalam beragam ke”baik”an. Ada banyak baik di dunia ini, keturunan baik, kesehatan baik, wajah baik, kekayaan . “Tidak ada orang yang berwajah buruk hidup bahagia” katanya. Ketika ditanya mana yang lebih baik menjadi bijak (seperti filsuf) atau orang kaya. “Orang kaya, karena kita melihat orang bijak menghabiskan waktunya di depan pintu orang kaya!” Ehem… hehehe.

Menurut Aristoteles hidup yang bahagia adalah hidup yang sempurna karena memiliki semua hal yang baik seperti kesehatan, kekayaan, persahabatan, pengetahuaan, kebajikan dan kemuliaan. Hal-hal yang baik itu adalah komponen kebahagiaan. Semuanya kita cari untuk mencapai kebahagiaan .

Kalau Anda ditanya. Mengapa ingin sehat? Anda mungkin menjawab: Aku ingin bekerja dengan baik. Mengapa Anda ingin bekerja dengan baik? Karena aku ingin memperoleh penghasilan yang baik. Mengapa ingin penghasilan yang baik? Karena aku ingin punya rumah dan keluarga baik. Kenapa ingin punya rumah dan keluarga yang baik? Karena Aku ingin bahagia. Kenapa Anda ingin bahagia? Karena aku….. ingin bahagia.!

Itu berarti kebahagiaan adalah keinginan kita terakhir. Kebaikan lainnya kita kejar demi meraih kebahagiaan. Masih menurut Aristoteles, kebahagiaan harus kita raih seumur hidup.

Kalau anda ditanya apakah anda bahagia? Anda mungkin akan menjawab tidak selalu, bergantung kepada situasi dan kondisi kita. Ketika kita sedang kita merasa bahagia, ketika sedang mendapat musibah, bagaimana mungkin kita merasa bahagia?

Aristoteles juga mengecam orang yang mengambil pilihan pada kesenangan jasmaniah yang mengorbankan kebahagiaan. Kesenangan jasmaniah sebentar tetapi penderitaan yang diakibatkannya bisa berkepanjangan. Kebahagiaan datang hanya kalau jiwa ini dinikmati dalam mencari kebenaran. Tapi, bukankah kesenangan jiwa terlalu abstrak? kata kaum hedonis.

Dipinggir jalan di Athena, pada suatu hari Antisthenes yang mendengar fatwa gurunya dengan sepenuh hati dengan keyakinan kita hanya bisa hidup bahagia dengan hidup sederhana. Kita harus meninggalkan kesenangan jasmaniah. Pernah suatu ketika ia datang ke majelis Socrates dengan pakaian compang-camping. Seperti mengkritik orang yang sok sufi, Socrates menyindir Antisthenes:”Aku dapat melihat kesombongannmu, Antisthenes ,… lewat lubang-lubang bajumu..” Kelak ia mencoba mencapai kebahagiaan dengan membebaskan jiwa dari keterikatan pada “daging”. Ia mengajar tanpa meminta upah dan lebih suka memilih muridnya dari kalangan miskin. Ia berkata, “Aku tidak memiliki agar aku tidak dimiliki.” Inilah kata kunci dari filsafat Cynis, Sinisme.

“Aku memiliki, tetapi aku tidak dimiliki,” kata Aristippus, murid Socrates yang lain. Kalau memiliki sesuatu dapat mendatangkan kesenangan, mengapa harus merendahkannya? Tetapi kesenangan harus kita kendalikan secara rasional. Kita tidak boleh menjadi budak kesenangan. Kita bisa hidup mewah pada situasi yang relevan; tetapi bisa juga menerima kemiskinan pada situasi yang lain. Kebahagiaan kita tidak boleh ditentukan oleh pemilikan kekayaan. Ia punya wanita simpanan yang dibayarnya sangat mahal, namanya Lais. Ia menyimpulkan filsafatnya dengan kalimat,”Lais kepunyaanku, tetapi aku bukan kepunyaan Lais.” Aristippus kemudian mendirikan mazhab filsafat yang menyatakan bahwa kebahagiaan adalah tujuan akhir dan universal dari segala perbuatan manusia. Kebahagiaan dapat dicapai dengan menghasilkan perasaan senang dan menghindari penderitaan. Manusia baik ialah manusia yang memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan penderitaan.

ONELima belas tahun setelah kematian Aristippus, di bagian Yunani yang lain, Samos, lahir Epicurus, orang yang ditakdirkan Tuhan melanjutkan dan menyempurnakan hedonismenya Aristippus. Tujuan hidup kata Epicurus ialah kebahagiaan personal yang berupa kesenangan jasmaniah semata. Kesenangan itulah yang bisa dicapai dalam kehidupan kita. Pada pintu ke Taman Epicurus, ada tulisan yang menarik: “Para tamu, Anda akan bahagia disini, karena hanya disini kebahagiaan dianggap sebagai kebaikan tertinggi “. Tidak mungkin hidup senang tanpa menjalankan kehidupan yang bijaksana, mulia dan adil, serta tidak mungkin hidup bijaksana, mulia dan adil tanpa hidup senang.

Lalu bagaimana pendapat murid Socrates yang lain? Apa pandangan agama-agama tentang kebahagiaan dan bagaimana kitab suci menggambarkan tentang hidup bahagia? Apakah para Nabi juga berbicara dan memilih menjalani kehidupan bahagia? Apakah hidup bahagia bisa dipilih? Bagaimana cara mengukur kebahagiaan, apa yang menghalangi dan menghancurkan kebahagiaan Anda? Adakah jebakan-jebakan kebahagiaan? Bagaimana membahagiakan diri dan keluarga Anda!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar