Laman

Senin, 10 Februari 2014

Sufi: Raja Sejati


DzikirSalah seorang “bintang” sufi terbesar dalam sejarah bernama Abu Ali Al-Fudhail bin ‘Iyadh. Ia lebih terkenal dengan nama Fudhail . Fudhail semula adalah seorang perampok yang merampas harta orang-orang di pertengahan jalan. Ia seorang highway man yang merampok pejalan yang sedang berdagang antara Merf dan Baward. Yang menarik dari Fudhail ialah bahwa di tengah kejahatan yang ia lakukan, ia lebih memilih untuk merampas harta benda orang yang kaya. Ia tak pernah mengambil harta benda orang yang miskin. Ia juga sering membagikan kekayaan yang dirampoknya untuk membantu orang miskin. Fudhail bin ‘Iyadh adalah sejenis Robin Hood di masa lalu.

Pada suatu saat, Fudhail mencegat satu rombongan orang. Salah seorang yang dihadangnya kebetulan seorang pembaca Al-Quran dan ia sedang membaca ayat: Apa belum datang masanya bagi orang yang beriman agar hati mereka takut kepada Tuhan? (QS. ) Hati Fudhail menjadi lembut. Dia tinggalkan pekerjaan yang selama ini ia geluti. Ia kembalikan barang-barang yang pernah dirampoknya kepada orang-orang yang masih dia kenali. Kemudian Fudhail berguru kepada Imam Abu Hanifah untuk belajar hadis, ulumul Quran, dan fiqih. Kelak, dia pun dikenal sebagai salah seorang perawi hadis di dalam Shahih Bukhari. Dalam fiqih, dia mengikuti mazhab Abu Hanifah. Dan dalam tasawuf, dia mengikuti tradisi para sufi sebelumnya.

Yang akan saya ceritakan pada tulisan ini adalah pertemuan Fudhail dengan penguasa saat itu, Harun Al-Rasyid. Fadhl bin Rabi’ mengisahkannya untuk kita: Aku menyertai Harun Al-Rasyid ke Mekkah. Setelah kami melaksanakan ibadah haji, Harun berkata kepadaku, “Ya Fadhl, apakah di sini ada hamba Allah yang bisa aku kunjungi?” Aku menjawab, “Ya. Namanya Abdul Razak Al-Shan’ani.” Kami pergi ke rumahnya dan berbincang sebentar lalu kami pamit. Harun menyuruhku bertanya kepadanya apakah ia punya utang-utang. Ia menjawab, “Ya.” Dan Harun memerintahkan agar utang-utang itu dibayar. Setelah berada di luar, Harun, sang khalifah, berkata kepadaku, “Fadhl, aku masih ingin bertemu orang yang lebih besar daripada orang ini.” Lalu ia mengajakku menemui Sufyan bin Uyainah. Pertemuannya berakhir sama seperti peristiwa sebelumnya.

Harun berkata, “Aku ingat bahwa Fudhail bin ‘Iyadh ada di sini. Marilah kita pergi menemuinya.” Kami pun menjumpainya di kamar atas sedang membaca ayat suci Al-Quran. Ketika kami mengetuk pintunya, dia bertanya, “Siapakah itu?” Aku menjawab, “Amîrul Mukminîn.” Fudhail kembali bertanya, “Apa hubungannya aku dengan Amîrul Mukminîn?” Aku berkata, “Bukankah ada hadis Rasulullah saw yang mengatakan bahwa orang tak boleh menghinakan dirinya dengan ibadah kepada Tuhan?” Fudhail menjawab, “Tetapi kepasrahan kepada kehendak Tuhan adalah kemuliaan abadi dalam pandangan kaum sufi. Engkau melihat kerendahan diriku namun aku meihat kemuliaanku.”

Kemudian dia turun dan membuka pintu sambil mematikan lampu. Dia berdiri di sebuah sudut. Harun Al-Rasyid, sang khalifah, masuk dan berusaha mencari Fudhail bin ‘Iyadh di kegelapan. Tangan mereka saling bersentuhan. Fudhail berteriak seperti tangannya terbakar api, “Aduh, tak pernah kurasakan tangan sehalus ini! Alangkah baiknya jika tangan ini selamat dari azab Tuhan.” Harun mulai meneteskan air mata. Ia menangis terisak-isak. Ketika sudah tenang kembali, Harun berkata, “Wahai Fudhail , berilah aku nasihat.” Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Ya Amîral Mukminîn, datukmu Abbas adalah paman Nabi Muhammad saw. Dahulu Abbas datang kepada Nabi meminta agar diberi kekuasaan atas umat manusia. Nabi menjawab, “Wahai pamanku, aku akan memberimu kekuasaan selama satu masa atas dirimu sendiri. Yaitu pada masa ketaatanmu kepada Tuhan. Masa ketaatanmu kepada Tuhan lebih baik daripada seribu tahun ketaatan orang kepadamu. Karena kekuasaan itu akan membawa penyesalan di hari kiamat.”

Harun Al-Rasyid berkata, “Nasihati aku lagi.” Fudhail meneruskan, “Ketika Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi khalifah, dia memanggil Salim bin ‘Abdillah, Raja’ bin Hayadh, dan Muhammad bin Ka’ab Al-Kurazi. Umar berkata kepada mereka, ‘Kekhalifahan ini sebuah kesulitan. Apa yang harus kulakukan dalam kesulitan ini?’ Salah satu di antara mereka menjawab, ‘Jika engkau hendak diselamatkan kelak dari hukuman Tuhan, ketika engkau memegang kekuasaan, pandanglah orang muslim yang lebih tua darimu sebagai ayahmu; pemudanya sebagai saudaramu; dan anak-anaknya sebagai anak-anakmu juga. Seluruh kawasan Islam ini jadikan sebagai rumahmu dan seluruh penduduknya sebagai keluargamu. Kunjungilah bapakmu, hormati saudaramu, serta sayangi anak-anakmu.’” Lalu Fudhail berkata, “Wahai Amîral Mukminîn, aku khawatir kalau wajahmu yang tampan ini akan membawamu ke dalam api neraka. Bertakwalah kepada Tuhan dan laksanakan kewajiban-kewajibanmu kepada-Nya lebih baik dari ini.”

Harun Al-Rasyid bertanya kepada Fudhail apakah dia mempunyai utang. Fudhail menjawab, “Iya. Utang kepada Tuhan. Celakalah aku karena seringkali dia memanggilku untuk mempertanggungjawabkannya.” Harun berkata, “Fudhail, aku berbicara tentang utang-utang kepada manusia.” Fudhail berkata, “Segala puji bagi Allah. Kemurahan-Nya kepadaku sungguh besar dan aku tidak punya alasan untuk mengeluhkan tentang kesulitan hidupku kepada hamba-hamba-Nya.”

Harun menghadiahkan kepadanya sekantong uang sejumlah seribu dinar seraya berkata, “Gunakanlah uang ini untuk keperluanmu.” Fudhail menjawab, “YaAmîral Mukminîn, nasihatku ternyata tidak memberikan kebaikan kepadamu. Di sini engkau bertindak salah dan tidak adil.” “Mengapa demikian?” tanya Harun. “Aku inginkan engkau selamat. Namun kau campakkan aku ke dalam siksa neraka,” jawab Fudhail , “bukankah ini tidak adil?”

Lalu kami meninggalkannya dengan linangan air mata dan Harun berkata kepadaku, “Wahai Fadhl, Fudhail adalah seorang raja yang sejati…”

Kisah ini mengajarkan kepada kita bagaimana seorang sufi memberikan nasihat kepada para penguasa sekaligus menghapuskan gambaran bahwa seorang sufi adalah seseorang yang meninggalkan segala kegiatan dan menyembunyikan dirinya di sudut masjid atau gua di tengah hutan. Seorang sufi adalah seorang yang terus menerus berjuang menegakkan keadilan, amar ma’ruf nahi munkar.

Yang membedakan seorang sufi dari seorang moralis yang lain adalah: dia menyampaikan seluruh nasihat kepada penguasa dengan ketulusan hatinya; dengan keinginan untuk menyelamatkan sang penguasa itu dari bencana, baik di dunia maupun di hari akhirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar