Laman

Senin, 08 September 2014

Pandangan Ulama Tentang Pentingnya Bermursyid.


Abdul Qadir Isa dalam bukunya Hakaikut Tasawuf hlm. 36 menyebutkan, ulama-ulama tasawuf yang memandang pentingnya berguru di hadapan mursyid yang wali antara lain :
a. Abu Hamid al Ghazali
Abu Hamid al Ghazali berkata, “Bergabung dengan kalangan sufi adalah fardhu ‘ain. Sebab tidak seorang pun terbebas dari aib atau kesalahan kecuali para nabi.” Selanjutnya ia menuturkan pengalamannya, sebab-sebab ia berguru:
“Pada awalnya aku adalah orang mengingkari kondisi spiritual orang-orang saleh dan derajat-derajat yang dicapai oleh para ahli makrifat. Hal itu terus berlanjut sampai akhirnya aku bergaul dengan mursyid-ku, Yusuf an Nasaj. Dia terus mendorongku untuk melakukan mujahadah, hingga akhirnya aku memperoleh karunia-karunia ilahiyah. Aku dapat melihat Allah di dalam mimpi. Dia berkata kepadaku, “Wahai Abu Hamid, tinggalkanlah segala kesibukanmu. Bergaullah dengan orang-orang yang telah Aku jadikan sebagai tempat pandangan-Ku di bumi-Ku. Mereka adalah orang-orang yang menggadaikan dunia dan akhirat karena mencintai Aku.” Aku berkata, “Demi kemuliaan-Mu, aku tidak akan melakukannya kecuali jika Engkau membuatku dapat merasakan sejuknya berbaik sangka terhadap mereka.” Allah berfirman, “Sungguh Aku telah melakukannya. Yang memutuskan hubungan antara engkau dan mereka adalah kesibukanmu mencintai dunia. Maka keluarlah dari kesibukanmu mencintai dunia dengan suka rela sebelum engkau keluar dari dunia dengan penuh kehinaan. Aku telah melimpahkan kepadamu cahaya-cahaya dari sisi-Ku Yang Maha Suci.” Aku bangun dengan penuh gembira. Lalu aku mendatangi Syaikh-ku, Yusuf an Nasaj, dan menceritakan tentang mimpiku itu. Dia tersenyum sambil berkata, “Wahai Abu Hamid, itu hanyalah lembaran-lembaran yang pernah kami peroleh di fase awal perjalanan kami. Jika engkau tetap bergaul denganku, maka mata hatiku akan semakin tajam.”
Abu Hamid al Ghazali juga berkata, “Di antara hal yang wajib bagi para salik yang menempuh jalan kebenaran adalah bahwa dia harus mempunyai seorang mursyid dan pendidik spiritual yang dapat memberinya petunjuk dalam perjalanannya, serta melenyapkan akhlak-akhlak yang tercela dan menggantinya dengan akhlak-akhlak yang terpuji. Yang dimaksud dengan pendidikan di sini, hendaknya seorang pendidik spiritual menjadi seperti petani yang merawat tanamannya. Setiap kali dia melihat batu atau tumbuhan yang membahayakan tanamannya, maka dia langsung mencabut dan membuangnya. Dia juga selalu menyirami tanamannya agar dapat tumbuh dengan baik dan terawat, sehingga menjadi lebih baik dari tanaman lainnya. Apabila engkau telah mengetahui bahwa tanaman membutuhkan perawat, maka engkau akan mengetahui bahwa seorang salik harus mempunyai seorang mursyid. Sebab Allah mengutus para Rasul kepada umat manusia untuk membimbing mereka ke jalan yang lurus. Dan sebelum Rasulullah Saw wafat, Beliau telah menetapkan para khalifah sebagai wakil Beliau untuk menunjukkan manusia ke jalan Allah. Begitulah seterusnya, sampai hari kiamat. Oleh karena itu, seorang salik mutlak membutuhkan seorang mursyid.”
Di antara yang pernah dikatakan oleh al Ghazali adalah, “Murid membutuhkan seorang mursyid atau guru yang dapat diikutinya, agar dia menunjukkannya ke jalan yang lurus. Jalan agama sangatlah samar dan jalan-jalan Syetan sangat banyak dan jelas. Oleh karena itu, jika seseorang yang tidak mempunyai Syaikh yang membimbingnya, maka pasti Syetan akan menggiringnya menuju jalannya. Barang siapa berjalan di jalan yang berbahaya tanpa petunjuk, maka dia telah menjerumuskan dan membinasakan dirinya. Masa depannya ibarat pohon yang tumbuh sendiri. Pohon itu akan menjadi kering dalam waktu singkat. Apabila dia dapat bertahan hidup dan berdaun, dia tidak akan berubah. Yang menjadi pegangan seorang murid adalah Syaikhnya. Maka hendaklah dia berpegang teguh kepadanya.”
Di samping itu, Abu Hamid al Ghazali juga pernah menyatakan, “Apabila Allah menghendaki kebaikan kepada hamba-Nya, maka Dia akan memperlihatkan kepadanya penyakit-penyakit yang ada di dalam jiwanya. Barang siapa mata hatinya terbuka, niscaya dia akan dapat melihat segala penyakit. Apabila dia mengetahui penyakit itu dengan baik, maka dia dapat mengobatinya. Namun mayoritas manusia tidak dapat mengetahui penyakit-penyakit jiwa mereka sendiri. Seorang di antara mereka dapat melihat kotoran di mata saudaranya. Tapi dia tidak dapat melihat kotoran di matanya sendiri. Barang siapa ingin mengetahui penyakit-penyakit dirinya, maka dia harus menempuh empat cara. Pertama, dia harus duduk di hadapan seorang mursyid yang dapat mengetahui penyakit-penyakit jiwa dan menyingkap aib-aib yang tersembunyi. Dia harus mengendalikan hawa nafsunya dan mengikuti petunjuk mursyidnya itu dalam melakukan mujahadah. Inilah sikap seorang murid terhadap mursyidnya atau sikap seorang pelajar terhadap gurunya. Dengan demikian, mursyid atau gurunya akan dapat mengenalkannya tentang penyakit-penyakit yang ada dalam jiwanya dan cara mengobatinya.”

b. Abdul Qadir al Jazairi
Dalam al Muwaqif, Abdul Qadir al Jazairi mengatakan bahwa Allah mengisahkan ucapan Musa as. kepada Khidir as, “Bolehkah aku mengikutimu, supaya engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. al Kahfi : 66)
Ketahuilah bahwa seorang murid tidak akan dapat mengambil manfaat dari ilmu dan kondisi spiritual Syaikhnya, kecuali jika dia tunduk secara sempurna kepadanya, melakukan apa saja yang diperintahkannya dan menjauhi apa-apa yang dilarangnya. Di samping itu, dia juga harus meyakini kemuliaan dan kesempurnaan yang dimiliki oleh Syaikhnya. Dia membutuhkan kedua hal itu. Sebagian orang meyakini kesempurnaan Syaikhnya, lalu menyangka bahwa itu sudah cukup untuk meraih apa yang dituju dan dicarinya, sehingga dia tidak melakukan apa yang diperintahkan oleh Syaikhnya dan tidak menjauhi apa yang dilarangnya.
Lihatlah Musa as. yang dengan kedudukannya yang mulia masih memohon untuk bertemu dengan Khidir as. dan menanyakan kepada beliau tentang jalan untuk bertemu dengan Tuhannya. Musa telah menanggung kesusahan dan keletihan dalam perjalanan, sebagaimana terekam dalam firman Allah, “Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini” (QS. al Kahfi : 62) Namun demikian, ketika Musa tidak mematuhi satu larangan saja, “Janganlah engkau bertanya kepadaku tentang apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu” (QS. al Kahfi : 70) Musa tidak dapat mengambil manfaat sedikit pun dari ilmu-ilmu Khidir. Padahal Musa merasa yakin bahwa Khidir lebih mengetahui tentang Allah dari padanya. Hal ini terekam dalam firman Allah saat Musa berkata, “Aku tidak mengetahui ada seseorang yang lebih berilmu dariku.” Allah berfirman, “Ada, yakni hambaku, Khidir.” Di sini Musa tidak mengkhususkan sebagian ilmu atas sebagian yang lain, tapi menyebutnya secara umum.
Pada awalnya, Musa tidak mengetahui bahwa potensinya tidak cukup untuk menerima sesuatu dari ilmu-ilmu Khidir. Sementara Khidir sudah mengetahui itu sejak awal perjumpaan mereka. Dia berkata, “Sesungguhnya engkau tidak akan sabar bersama denganku” (QS. al Kahfi : 67). Ini merupakan salah satu bukti pengetahuan Khidir.
Setiap orang yang berakal hendaknya memperhatikan akhlak kedua orang yang mulia ini. Musa berkata, “Bolehkah aku mengikutimu, agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. al Kahfi : 66). Artinya : Apakah engkau mengizinkanku mengikutimu, agar aku dapat belajar kepadamu? Di dalam kalimat yang diungkapkan Musa ini terdapat kemanisan akhlak yang dapat dirasakan oleh setiap orang yang memiliki perasaan yang sehat.
Kemudian Khidir menjawab, “Jika engkau mengikutiku, maka jangan bertanya kepadaku tentang apapun, sampai aku sendiri menerangkan kepadamu.” (QS. al Kahfi:70). Khidir tidak menjawab dengan, “Jangan bertanya kepadaku”, lalu diam, hingga Musa menjadi bingung. Tapi dia berjanji akan menerangkan kepada Musa tentang ilmu atau hikmah dari apa yang dilakukannya. Dengan demikian, kesempurnaan Syaikh dalam ilmu yang dicari dan dituju tidak akan berguna apabila murid tidak menaati perintahnya dan tidak menjauhi larangannya.
Yang dapat diambil dari kesempurnaan Syaikh hanyalah petunjuknya yang dapat mengantarkan kepada apa yang dituju. Selebihnya Syaikh tidak dapat memberikan kepada muridnya kecuali apa yang diberikan oleh potensinya. Dan potensi seorang murid terletak pada diri dan perbuatannya. Ibarat seorang dokter ahli yang mendatangi seorang pasien dan menyuruhnya untuk meminum obat tertentu, tapi si pasien tidak meminumnya. Apakah si pasien dapat memanfaatkan sesuatu dari kepintaran dokter? Ketidakpatuhan pasien adalah bukti bahwa Allah tidak menghendaki kesembuhannya dari penyakit yang dideritanya. Sebab, apabila Allah menghendaki suatu perkara, maka Dia akan menyediakan sebab-sebabnya. Hanya saja, seorang murid diharuskan untuk mencari seorang Syaikh yang paling sempurna dan mulia. Sebab, dikhawatirkan dia akan dituntun oleh seorang yang tidak mengetahui jalan untuk sampai kepada maksud yang dituju, sehingga hal itu menjadi penyebab terjerumusnya dirinya ke dalam jurang kebinasaan.
c. Ibnu Athaillah as Sakandari
Ibnu Athaillah as Sakandari berkata, “Seseorang yang bertekad untuk meraih petunjuk dan meniti jalan kebenaran hendaklah mencari seorang Syaikh dari ahli thareqat, yang meninggalkan hawa nafsunya dan teguh mengabdi kepada Tuhannya. Apabila dia menemukan seorang Syaikh yang seperti itu, maka hendaklah dia menaati apa yang diperintahkannya dan menjauhi apa saja yang dilarangnya.”
Ibnu Athaillah juga berkata, “Syaikhmu bukanlah orang yang kau perhatikan perkataannya, tapi Syaikhmu adalah orang yang dari engkau mengambil sesuatu yang positif. Syaikhmu bukanlah orang yang ungkapan-ungkapannya menebakmu, tapi Syaikhmu adalah orang yang petunjuk-petunjuknya mengalir dalam dirimu. Syaikhmu bukanlah orang yang mengajakmu menuju pintu, tapi Syaikhmu adalah orang yang menghilangkan tabir antara dirimu dan dirinya. Syaikhmu bukanlah orang yang menuntunnya dengan ucapannya, tapi Syaikhmu adalah orang yang membangkitkanmu dengan kondisi spiritualnya. Syaikhmu adalah orang yang mengeluarkan dari penjara hawa nafsu dan memasukkanmu ke hadapan Tuhan Yang Maha Mulia. Syaikhmu adalah orang yang senantiasa membersihkan cermin hatimu, sehingga tampak jelas padanya cahaya-cahaya Tuhanmu. Syaikhmu adalah orang yang membangkitkanmu untuk menuju Allah, lalu engkau bangkit menuju-Nya. Dan dia terus mendampingimu hingga engkau berada di hadapan-Nya. Lalu dia menuntunmu menuju cahaya ilahiyah sambil berkata kepadamu, “Inilah engkau dan Tuhanmu.”
Ibnu Athaillah juga berkata, “Jangan engkau bergaul dengan Syaikh yang tidak dapat membangkitkanmu dengan kondisi spiritualnya dan tidak dapat menunjukkanmu menuju Allah dengan ucapan-ucapannya.”

d. Abdul Qadir al Jailani
Dalam Futuh al Ghaib, Abdul Qadir al Jailani menulis bait syair berikut,
Jika takdir membantumu atau kala menuntunmu
kepada Syaikh yang jujur dan ahli hakikat
maka bergurulah dengan rela dan ikutilah kehendaknya
Tinggalkanlah apa yang sebelumnya engkau lakukan
Sebab menentang berarti melawan
Dalam kisah Khidir yang mulia terdapat kecukupan
Dengan membunuh seorang anak dan Musa mendebatnya
Tatkala cahaya subuh telah menyingkap kegelapan malam
dan seseorang dapat menghunus pedangnya
Maka Musa pun meminta maaf
Demikian keindahan di dalam ilmu kaum (sufi)

e. Abdul Wahab Asy Sya’rani
Asy Sya’rani berkata, “Kami pernah di baiat atas nama Rasulullah Saw agar kami melaksanakan shalat dua rakaat setiap kali selesai wudhu’, dengan syarat kami tidak boleh berbicara di dalam hati kami tentang sesuatu dari urusan dunia atau sesuatu yang tidak disyari’atkan di dalam shalat. Setiap orang yang hendak melakukan amal ini membutuhkan seorang Syaikh yang berjalan bersamanya, sehingga dia dapat melenyapkan segala keinginan yang membuatnya lupa akan perintah Allah.”
Lalu dia berkata, “Wahai saudaraku, berjalanlah engkau di bawah bimbingan seorang Syaikh yang selalu memberimu nasihat dan dapat membuatmu sibuk dengan Allah. sehingga dia dapat menghilangkan pembicaraan hatimu di kala engkau shalat, seperti ucapanmu, “Aku akan pergi ke sana”, “Aku akan melakukan ini dan itu”, “Aku akan mengatakan ini kepada fulan” dan sebagainya. Jika tidak, maka engkau akan selalu berbicara di dalam hati di setiap shalatmu. Dan tidak satu pun shalatmu yang dapat engkau bebaskan dari pembicaraan tersebut, baik shalat wajib maupun sunah. Ketahuilah hal itu! Engkau tidak akan dapat mencapai semua itu tanpa bimbingan seorang Syaikh. Ibarat orang-orang yang mendebat tanpa ilmu. Sikap seperti ini tidak baik bagimu.”
Asy Sya’rani juga berkata, “Apabila jalan kaum sufi dapat dicapai dengan pemahaman tanpa bimbingan seorang Syaikh, niscaya orang seperti al Ghazali dan Syaikh Izzuddin ibn Abdussalam tidak perlu berguru kepada seorang Syaikh. Sebelum memasuki dunia tasawuf, keduanya pernah mengatakan, “Setiap orang yang mengatakan bahwa ada jalan memperoleh ilmu selain apa yang ada pada kami, maka dia telah membuat kebohongan kepada Allah.” akan tetapi, setelah memasuki dunia tasawuf keduanya berkata, “Sungguh kami telah menyia-nyiakan umur kami dalam kesia-siaan dan hijab (tabir penghalang antara hamba dan Tuhan).” Akhirnya, keduanya mengakui jalan tasawuf dan bahkan memujinya.”
Asy Sya’rani melanjutkan, “Cukuplah kemuliaan bagi ahli thareqat perkataan Musa kepada Khidir, ” Bolehkah aku mengikutimu, agar engkau mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?” (QS. al Kahfi : 66). Juga pengakuan Ahmad ibn Hanbal bahwa Abu Hamzah al Baghdadi lebih utama darinya dan pengakuan Ahmad ibn Suraij bahwa Abu Qasim Junaid lebih utama darinya. al Ghazali juga mencari seorang Syaikh yang dapat menunjukkannya ke jalan tasawuf, padahal dia adalah Hujjatul Islam. Begitu juga, Syaikh Izzuddin ibn Abdussalam berkata, “Aku tidak mengetahui Islam sempurna kecuali setelah aku bergabung dengan Syaikh Abu Hasan asy Syadzili.” Apabila kedua ulama besar ini, yakni al Ghazali dan Syaikh Izzuddin ibn Abdussalam, membutuhkan seorang Syaikh, padahal keduanya adalah orang yang memiliki pengetahuan luas tentang ilmu syari’at, maka orang selain mereka berdua lebih membutuhkannya lagi.”

f. Abu Ali ats Tsaqafi
Abu Ali ats Tsaqafi berkata, “Seandainya seseorang mempelajari semua jenis ilmu dan berguru kepada banyak ulama, maka dia tidak akan sampai ke tingkat para sufi kecuali dengan melakukan latihan-latihan spiritual bersama seorang Syaikh yang memiliki akhlak yang luhur dan dapat memberinya nasihat-nasihat. Dan barang siapa tidak mengambil akhlaknya dari seorang Syaikh yang memerintah dan melarangnya, serta memperlihatkan cacat-cacat dalam amalnya dan penyakit-penyakit dalam jiwanya, maka dia tidak boleh diikuti dalam memperbaiki muamalah.”
g. Abu Madyan
Abu Madyan berkata, “Barang siapa tidak mengambil akhlaknya dari para Syaikh yang berakhlak mulia, maka dia akan merusak para pengikutnya.”

h. Ahmad Zaruq
Dalam Qawa’id at Tashawwuf, Syaikh Ahmad Zaruq berkata, “Mengambil ilmu dan amalan dari para Syaikh adalah lebih baik dibanding mengambilnya dari selain mereka.” Sebenarnya al Qur’an itu adalah ayat-ayat yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu. (QS. al Ankabut : 49). Dan ikutilah jalan orang yang telah kembali kepada-Ku. (QS. Lukman : 15)
Dengan demikian, mengangkat seorang Syaikh adalah suatu keharusan. Para sahabat sendiri mengambil ilmu dan amalan mereka dari Rasulullah. Rasulullah mengambil ilmu dan amalannya dari Jibril. Dan para tabi’in mengambil ilmu dan amalan dari para sahabat.
Setiap sahabat mempunyai para pengikut yang khusus. Ibnu Sirin, Ibnu Musayyab dan al A’raj, misalnya, adalah pengikut Abu Hurairah. Sementara Thawus, Wahhab dan Mujahid, adalah pengikut Ibnu Abbas. Demikian seterusnya. Pengambilan ilmu dan amalan ini sangat jelas, sebagaimana disebutkan dalam riwayat-riwayat mereka. Sedangkan pemanfaatan himmah (kemauan) dan kondisi spiritual ditunjukkan oleh Anas, “Belum lagi kami menghilangkan debu dari tangan kami setelah mengubur Rasulullah, tapi telah kami mencela hati kami.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmidzi)
Anas menjelaskan bahwa melihat pribadi Rasul yang mulia adalah bermanfaat bagi hati para sahabat. Oleh sebab itu, Beliau memerintahkan untuk bergaul dengan orang-orang saleh dan melarang bergaul dengan orang-orang fasik.

i. Ali al Khawas
Ali al Khawas berkata dalam syairnya,
Jangan menempuh jalan yang tidak engkau kenal
tanpa penunjuk jalan, sehingga engkau terjerumus ke dalam jurang-jurangnya

Penunjuk jalan dan mursyid akan dapat mengantarkan seorang salik sampai ke pantai yang aman dan menjauhkannya dari gangguan-gangguan selama di perjalanan. Sebab, penunjuk jalan dan mursyid sebelumnya telah melewati jalan itu di bawah bimbingan seseorang yang telah mengetahui seluk beluk jalan tersebut, mengetahui tempat-tempat berbahaya dan tempat-tempat yang aman dan terus menemaninya sampai akhirnya dia sampai di tempat yang dituju. Kemudian orang tersebut memberinya izin untuk membimbing orang lain. Ibnu al Banna menjelaskan ini di dalam syairnya,
Kaum sufi tidak lain sedang melakukan perjalanan
Ke hadirat Tuhan Yang Maha Benar
Maka mereka membutuhkan penunjuk jalan
yang benar-benar mengenal seluk beluk jalan itu
Dia telah melalui jalan itu, lalu dia kembali
untuk mengabarkan apa yang telah didapat

j. Syaikh Muhammad al Hasyimi
Syaikh Muhammad al Hasyimi berkata, “Wahai saudaraku, berjalanlah engkau di bawah bimbingan seorang Syaikh yang bermakrifat kepada Allah, tulus, selalu memberimu nasihat serta memiliki ilmu yang benar, niat yang luhur dan kondisi spiritual yang diridlai. Sebelumnya Syaikh itu telah menempuh thareqat di bawah bimbingan para mursyid, mengambil akhlaknya dari akhlak mereka dan mengetahui seluk beluk jalan menuju Allah. Jika demikian, maka dia akan dapat menyelamatkanmu dari jalan-jalan yang membinasakan, mengarahkanmu untuk bergabung dengan Allah dan mengajarimu untuk menjauh dari selain Allah. Dia akan berjalan bersamamu, hingga engkau sampai kepada Allah. Dia akan membebaskanmu dari penyakit-penyakit jiwamu dan memperkenalkanmu dengan kebaikan Allah kepadamu. Apabila engkau telah mengenal-Nya, maka engkau akan mencintainya. Apabila engkau telah mencintainya, maka engkau akan bermujahadah di jalan-Nya. Apabila engkau telah bermujahadah di jalan-Nya, maka dia akan menunjukkanmu kepada jalan-Nya dan memilihmu untuk berada di dekat-Nya.”
Allah berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” (QS. al Ankabut : 69). Oleh karena itu, hukum bergaul dengan Syaikh (mursyid) dan mengikutinya adalah wajib. Dasarnya adalah firman Allah, “Dan ikutilah jalan orang yang telah kembali kepada-Ku.” (QS. Lukman : 15) Dan firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kalian bersama orang-orang yang benar.” (QS. at Taubah : 119)
Selain itu, di antara syarat seorang mursyid adalah bahwa dia telah mendapat izin untuk mendidik manusia dari seorang mursyid kamil yang memiliki mata hati yang cemerlang. Jangan sampai engkau mengatakan, “Di mana aku dapat menemui mursyid yang memiliki ciri-ciri seperti itu?” Aku akan mengatakan kepadamu seperti yang dikatakan oleh Abu Athaillah as Sakandari dalam Latha’if al Minan, “Engkau tidak akan kekurangan mursyid yang dapat menunjukkanmu ke jalan Allah. Tapi yang sulit bagimu adalah mewujudkan kesungguhan dalam mencari mereka.”
Oleh sebab itu, bersungguh-sungguhlah dengan tulus, niscaya engkau akan menemukan seorang mursyid yang memiliki ciri-ciri demikian. Seorang penyair sufi mengatakan,
Rahasia Allah didapat dengan pencarian yang benar
Betapa banyak hal menakjubkan yang telah diperlihatkan kepada para pelakunya

Dalam Latha’if al Minan, Ibnu Athaillah juga berkata, “Hendaklah engkau mengikuti seorang wali yang Allah telah menunjukkannya kepadamu dan memperlihatkan kepadamu sebagian dari kekhususan dirinya. Engkau memandang bahwa kemanusiaannya lenyap dalam kekhususan dirinya. Sehingga engkau tunduk untuk mengikutinya, dan dia berjalan bersamamu di jalan kebenaran.”
Dalam al Hikam, Ibnu Athaillah berkata, “Maha Suci Allah yang tidak memberikan petunjuk menuju para wali-Nya kecuali dengan petunjuk menuju dirinya, dan tidak menyampaikan seseorang kepada mereka kecuali yang dikehendaki-Nya untuk sampai kepadanya.” (Abdul Qodir Isa, Hakikat Tasawuf, hlm.36-48)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar