Laman

Selasa, 02 Januari 2018

Ibadah dengan Jalan Syariat

Sesuai dengan apa yang telah dijelaskan sebelumnya, jelaslah bahwa kadar kesempurnaan seorang hamba sesuai dengan kadar ketaatan dan kepatuhannya kepada syariat Ilahi. Dan perkara kesempurnaan ini memiliki gradasi dan tingkatan-tingkatan derajat.

Sebagian ahli sayr dan suluk menyatakan bahwa meninggalkan sayr suluk syariat dan beralih kepada riyadah-riyadah yang berat merupakan suatu bentuk pelarian dari sayr suluk yang lebih sulit kepada yang lebih mudah!? Sebab mematuhi syariat itu sendiri merupakan suatu bentuk mematikan nafs secara berkesinambungan dan berangsur-angsur. Dan selama nafas masih ada maka selama itu juga mesti riyadah-riyadah syar’i dijalankan. Akan tetapi riyadah-riyadah berat (dimana syariat tidak mengizinkannya) terhitung sebagai mematikan nafs secara sekaligus dan tidak berangsur-angsur, karena itu bentuk riyadah ini lebih pendek, lebih mudah, dan lebih sedikit pengorbanannya.
Singkat matlab, syariat tidak melepaskan jalan sayr dan suluk dari jalan nafs dan makrifat terhadapnya.

Di dalam hadis Maksumin disebutkan bahwa terdapat tiga bentuk ibadah hamba: Pertama, hamba beribadah dikarenakan menginginkan surga, kedua, hamba beribadah dikarenakan takut dari neraka, ketiga, hamba beribadah semata-mata dikarenakan untuk Tuhan, tidak karena takut dari neraka dan tidak karena menginginkan surga.
Dari ketiga bentuk ibadah yang disebutkan dalam hadis tersebut, selain bentuk ketiga, kedua bentuk lainnya ditinjau dari aspek tujuan untuk mendapatkan kemudahan dan terbebas dari azab maka tujuan akhirnya juga terhitung sebagai hasil dari keinginan nafsâni manusia. Oleh karena itu, arah dan tujuan ibadah kepada Tuhan dalam bentuk seperti ini, hanya dikarenakan untuk memenuhi keinginan nafsâni. Dalam ibadah ini manusia menjadikan Tuhan sebagai perantara untuk mencapai keinginan-keinginan nafsâni dirinya. Karena itu, ditinjau dari dimensi ini maka perantara sebagaimana ia perantara, tidak akan pernah menjadi maksud dan tujuan secara zat. Ia hanya akan menjadi maksud dan tujuan secara aksiden.

Hakikat ibadah seperti ini tidak lain merupakan pengejewantahan ibadah syahwat nafsâni, karenanya hanya ibadah bentuk ketiga, yakni ibadah murni untuk Tuhan yang dapat dihitung sebagai ibadah hakiki dan menjadi jalan sayr suluk para nabi-nabi Tuhan serta para wali-wali-Nya. Di dalam kitab suci Al-Quran diisyaratkan: “Katakanlah (Muhammad), jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Dalam hadis Maksumin diriwayatkan: “Barang siapa mencintai Allah Azza wa Jalla maka niscaya Allah mencintainya; dan barang siapa yang dicintai Allah, niscaya dia berada di antara orang-orang aman.”

Dinukil dalam kitab Manaqib bahwa Rasulullah SAW sedemikian menangis hingga sampai pingsan. Kemudian mereka berkata kepada Nabi SAW, Wahai Rasulullah! Bukankah Tuhan telah mengampuni seluruh dosa-dosa kamu yang telah lalu dan akan datang?! (maksudnya ini semua tangisan untuk apa?) Nabi SAW lantas berkata, Apakah tidak ada aku sebagai hamba yang bersyukur ?!….
Sebenarnya, kembalinya syukur dan kecintaan itu hanya kepada satu hal, sebab syukur itu sendiri tidak lain adalah pujian terhadap sesuatu yang indah sebagaimana ia indah. Oleh Karena itu, ibadah murni tidak lain merupakan perhatian yang sungguh-sungguh dan merendah serendah-rendahnya dalam berhadapan dengan Allah SWT, sebab hanya Dia yang secara zat Maha Indah dan Maha Agung. Jadi hanya dengan ini ibadah kepada-Nya dapat menjadi maksud dan tujuan bagi diri-Nya, bukan untuk maksud dan tujuan selain-Nya. Sebagaimana difirmankan-Nya: “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar