Laman

Selasa, 02 Januari 2018

Parameter Jalan Menuju Kesempurnaan

Jika kita meneliti kandungan ayat-ayat Al-Quran dan kandungan riwayat-riwayat manusia suci (Maksumin) serta mempunyai kontemplasi dan perenungan yang cukup terhadap mereka, maka kita akan mendapatkan kebenaran masalah ini bahwa ukuran dan parameter pahala dan dosa, balasan pahala dan siksa akhirat tidak keluar dari ketaatan dan ‘inad (penentangan) terhadap perintah dan larangan Tuhan. Jadi sesuatu yang menjadi keniscayaan ajaran dari Al-Quran dan riwayat adalah, dosa-dosa yang keluar dari anak dan cucu Adam, hatta itu dosa besar, jika keluarnya dosa-dosa tersebut dikarenakan ketiadaan pengetahuan dan terjadi dikarenakan kejahilan murni maka mereka itu tidak akan menyebabkan balasan siksa bagi pelakunya. Sebagaimana ibadah dan perbuatan yang dilakukan jika tidak dimaksudkan untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Tuhan dan taat kepada-Nya maka pekerjaan-pekerjaan itu tidak akan membuahkan pahala. Kecuali ketaatan-ketaatan dan perkara-perkara yang merupakan kemestian secara zat dari ketundukan dan kepatuhan kepada Haq SWT dimana bentuk ketaatan dan perkara ini akan mendapatkan pahala, seperti sebagian dari keutamaan-keutamaan akhlak mulia.
Demikian pula pekerjaan dosa yang dilakukan seseorang yang tidak memiliki pengetahuan sama sekali tentang keberdosaan dalam melakukan pekerjaan itu maka ia tidak patut dicela dan dipandang buruk, tapi seseorang yang mengerjakan perbuatan ketaatan dengan maksud penentangan dan mempermainkan hak Tuhan maka perbuatannya itu tidak kosong dari celaan dan keburukan. Oleh karena itu, ukuran ketaatan dan maksiat seseorang secara bergradasi dilihat dari tingkat makrifatnya terhadap ketaatan dan penentangan yang dilakukannya. Dalam riwayat terdapat hadis yang menyebutkan, paling utamanya amal adalah paling susahnya (dalam mengerjakannya). Dan mizan serta ukuran yang dihukumi akal terhadap pahala dan dosanya suatu perbuatan adalah makrifat dan kepatuhan kepada Haq SWT serta makrifat dan penentangan kepada-Nya.
Dari paparan di atas dapat diketahui bahwa kebahagiaan dan penderitaan manusia baik di dunia dan terlebih di akhirat tidak terlepas dari dua perkara tersebut, yakni ketaatan dan inad; karena itu kepatuhan dan penentangan secara esensial dan bergradasi memiliki medan yang sangat luas. Dan dari pendekatan ini jelaslah bagi kita juga bahwa kebahagiaan bagi orang beragama hak (baca; orang muslim) adalah kesempurnaannya. Adapun mutlak kebahagiaan itu sendiri tidak terbatas bagi orang beragama hak, akan tetapi orang-orang lain juga akan mendapatkannya dengan syarat memiliki jiwa ketaatan dan kepatuhan kepada Haq SWT serta bersih dari sifat penentangan dan inad terhadap-Nya. Dan ini adalah sesuatu yang dihukumi akal dan terdapat dalam matlab syariat. Sebab syariat itu sendiri menegaskan perkara-perkara yang akal hukumi secara rasional dan argumentatif. Sebagaimana dalam hadis dinukil bahwa Nabi SAW bersabda: “Saya diutus untuk menyempurnakan makârim akhlak”. Demikian juga terdapat dalam riwayat bahwa Hâtim Thâii dikarenakan kedermawanannya maka dia tidak akan mendapatkan azab, sedangkan si fulan dikarenakan keadilannya maka dia tidak akan disiksa.
Kebanyakan ayat-ayat Al-Quran menjanjikan azab dan siksa bagi orang-orang yang telah sampai dalil dan penjelasan kebenaran kepada mereka serta hujjah kebenaran telah sempurna bagi mereka tetapi mereka tetap melakukan penentangan dan pembangkangan terhadapnya. Dan Al-Quran juga memandang kekafiran itu berkaitan dengan pembangkangan dan penentangan terhadap kebenaran ayat-ayat Tuhan: “Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itulah penghuni neraka.” Di samping itu Al-Quran memandang satu-satunya ukuran kebahagiaan dan penderitaan, yaitu kebersihan jiwa dan kesucian hati: “Pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”
Cara ini adalah cara yang ditarbiyahkan oleh para nabi dan seluruh agama-agama Ilahi, dan tujuan capaian jalan ini adalah mutlak kesempurnaan insani di mana ia merupakan teori dan pandangan para filosof dan urafa Ilahi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar