Sifat-sifat
tercela itu antara lain sifat hasud (dengki atau iri hati), hirsh
(keinginan yang berlebih-lebihan), takabur (sombong), ghadlab (marah),
riya’ (sikap pamer), sum’ah (ingin di dengar kebaikannya), ‘ujub (bangga
diri), dan syirik (menyekutukan Allah).
Cara menghilangkan
sifat-sifat tersebut ialah dengan menghayati akidah (keimanan) dan
ibadah kita, mengadakan latihan dan bersungguh-sungguh untuk
menghilangkannya dengan cara mencari waktu yang tepat untuk itu, serta
melakukan koreksi diri (munasabah) dan berdo’a kepada Allah Swt.
.
Untuk membangun benteng dalam diri masing-masing individu, terutama
dalam menghadapi gemerlapnya materi ini perlu dibangun dan diperkokoh
sifat tauhid (mengesakan Allah secara mutlak), ikhlas (beramal karena
Allah semata), taubat (kembali ke jalan yang baik) , zuhud (sikap mental
lebih mementingkan Allah/akhirat), khub (cinta Allah semata), wara’
(menjaga diri dari hal-al yang tidak jelas kekhalalannya) sabar (tabah),
faqr (merasa butuh kepada Allah SWT), syukur (berterima kasih dengan
jalan mempergunakan nikmat dan rahmat Allah SWT, secara fungsional dan
proporsional), ridha (rela terhadap karunia-Nya), tawakkal (pasrah diri
setelah berusaha) dan sebagainya.
.jpg)
Setelah
seorang mampu menguasai dirinya, dapat menanamkan sifat-sifat terpuji
dalam jiwanya, maka hatinya menjadi jernih, ketenangan dan ketenteraman
memancar dari hatinya. Inilah hasil yang dicapai seseorang yang dalam
tasawuf disebut tajalli, yaitu sampainya Nur Ilahi dalam hatinya. Dalam
keadaan demikian, seseorang bisa membedakan mana yang baik dan yang
tidak baik, mana yang batil dan mana yang haq. Dan secara khusus,
tajalli berarti ma’rifatullah, melihat Tuhan dengan matahati, dengan
rasa. Ini adalah puncak kebahagiaan seseorang, sehingga berhasil
mencapai thuma’ninatul qalb.
Sifat-sifat yang tidak terpuji yang ada pada diri manusia juga dapat dihilangkan dengan menggunakan cara teori
mahabbah.Mahabbah
adalah cinta, dan yang dimaksud adalah cinta kepada Tuhan. Pengertian
yang diberikan kepada mahabbah antara lain sebagai berikut:
-Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya
-Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi
-Menggosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi, yang dimaksud dengan yang dikasihi disini ialah Tuhan.
Diantara
ulama ada yang menempatkan mahabbah (cinta) bagian dari maqamat
tertinggi yang merupakan puncak pencapaian sufi, dimana keseluruhan
jenjang yang dilakui bertemu dalam maqom mahabbah.
Menurut al-Sarraj, mahabbah mempunyai tiga tingkat:
1. Cinta biasa,
yaitu selalu mengingat Tuhan dengan dzikir, suka menyebut nama-nama
Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan senantiasa
memuji Tuhan.
2. Cinta orang yang siddiq (الصديق),
yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada
kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya, dan lain-lain. Cinta tingkat kedua ini
membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya
sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan
selalu rindu pada-Nya.
3. Cinta orang yang ‘arif (العارف),
yaitu orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta seperti ini timbul karena
telah tahu betul-betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi
cinta, tetapi diri yang damai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk
ke dalam diri yang mencintai.
Al-Junaidi ketika ditanya tentang
cinta menyatakan bahwa seorang yang dilanda cinta akan dipenuhi oleh
ingatan pada sang kekasih, sehingga tak satupun yang tertinggal kecuali
ingatan pada sifat-sifat sang kekasih, bahkan ia melupakan sifatnya
sendiri.
Paham mahabbah mempunyai dasar al-Qur'an, umpamanya:
...فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ...
“…maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya…”.Juga ada hadits yang membawa paham demikian, misalnya:
وَلاَ
يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ اِلَيَّ بِالنَّوَا فِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
وَمَنْ اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ لَهُ سَمُعًاوَبَصَرًا وَ يَـدًا
“
Hamba-hamba-Ku
senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan perbuatan-perbuatan hingga
Aku cinta padanya. Orang yang kucintai menjadi telinga, mata dan
tangan-Ku”.Adapun cara-cara kita menumbuhkan rasa cinta kita kepada Allah ialah:
-
Dengan cara mengenali semua nama-nama Allah dan semua sifat-sifat-Nya tersebut maka akan tumbuhlah rasa cinta kita kepada Allah
-Berfikir
tentang ciptaan Allah, dengan cara memikirkan segala ciptaan-Nya maka
pasti kita akan menyadari betapa besarnya kekuasaan Allah. Dengan cara
merenungi ciptaan Allah tersebut maka akan tumbuhlah rasa cinta kita
kepada Allah.
Sufi yang termasyhur dalam sejarah tasawuf
dengan mahabbahnya adalah seorang sufi wanita yang bernama Rabi’ah
al-Adawiyah. Cinta yang mendalam kepada Tuhan memalingkan dia dari
segala sesuatu selain Tuhan. Di dalam do’anya ia tidak meminta dijauhkan
dari neraka dan tidak pula dimasukkan dalam surga. Yang ia pinta adalah
dekat dengan Tuhan. Ia mengatakan “aku mengabdi kepada Tuhan bukan
karena takut terhadap neraka, bukan pula karena ingin masuk surga, tapi
aku mengabdi karena takut kepada-Nya”. Ia bermunajat “Tuhanku jika aku
puja Engkau karena takut kepada neraka bakarlah karena engkau”.
Cinta
kepada Tuhan begitu memenuhi seluruh jiwanya sehingga ia menolak semua
tawaran kawin, dengan alasan bahwa dirinya adalah milik Tuhan tang
dicintainya, dan siapa yang ingin kawin dengan dia haruslah meminta izin
dari Tuhan.
Penulis sufi menetapkan beberapa tahapan menumbuhkan
cinta kepada Allah yaitu keikhlasan, perenungan, pelatihan spiritual,
interaksi diri terhadap kematian meskipun tahap cinta dianggap sebagai
tahap tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang ahli yang menyelaminya.
Termasuk di dalamnya kepuasan hati (ridho), kerinduan (syauq) dan
keintiman (uns). Ridho mewakili pada satu sisi ketaatan tanpa disertai
adanya penyangkalan dari seorang pecinta terhadap kehendak yang
dicintainya. Al-hujwiri membagi empat golongan manusia yang ridho kepada
Allah.
-
Mereka yang ridho dengan pemberian-pemberian Allah, yaitu ma’rifat
-Mereka yang ridho kebahagiaan, yaitu dunia ini
-Mereka yang ridho terhadap penderitaan
-Mereka yang ridho menjadi pilihan Tuhan, yaitu cinta.
Syauq
adalah kerinduan sang pecinta untuk bertemu dengan sang kekasih, dan
uns adalah hubungan intim yang terjalin antara dua kekasih spiritual
itu.
Adapun cinta menurut Ibnu al-‘Arabi menjadi tiga cara berwujud:
1.Cinta Ilahiyah:
yang pada satu sisi ialah cinta khaliq kepada makhluk dimana ia
menciptakan dirinya, yakni menerbitkan bentuk tempat dia mengungkapkan
dirinya dan pada sisi lain cinta makhluk kepada khaliqnya yang tidak
lain adalah hasrat Tuhan yang tersingkap dalam makhluk rindu untuk
kembali pada Dia, setelah dia merindukan sebagai makhluk yang
tersembunyi, untuk dikenal dalam diri makhluk inilah dialog abadi antara
pasangan ilahi manusia.
2.Cinta spiritual:
terletak pada makhluk yang senantiasa mencari wujud dimana bayangnya
dia cari dalam dirinya atau yang didapati olehnya bahwa bayangan itu
adalah dia sendiri. Inilah dalam diri makhluk cinta yang tidak
memperdulikan, mengarah atau menghendaki apapun selain cukup sang
kekasih.
3.Cinta alami: yang berhasrat untuk memiliki dan mencari kepuasan hasratnya sendiri tanpa memperdulikan kepuasan kekasih.
Cinta
dan pengampunan Allah kepada manusia adalah rahmat. Sedangkan cinta
manusia kepada Allah adalah suatu kualitas yang dimanifestasikan di
dalam hati para mukmin. Sehingga dia akan selalu berusaha memuaskan
kekasihnya, merasa serentak dan tanpa henti-hentinya untuk dapat
memandang Allah serta tidak dapat dialihkan kepada siapapun kecuali
Allah. Akan selalu merasa akrab dengan mengingat-ingatnya dan bersumpah
tidak akan mengalihkan ingatannya kepada selainnya.
Para mukmin yang mencintai Allah terdapat dua macam:
1.
Mereka yang menganggap bahwa kebaikan dan kedermawanan Allah kepada
mereka dan dibimbing oleh anggapan tersebut untuk mencintai sang
dermawan
2.Bagi mereka yang tertawan hatinya oleh cinta dimana
mereka berpendapat bahwa semua kebaikan-kebaikan Allah bagaikan sebuah
hijab dan menganggap Allah sebagai dermawan akan membimbing pada
perenungan kebaikan-kebaikan Allah.
Uraian di atas menjelaskan
bahwa untuk menghilangkan sifat-sifat tercela seperti hasud, hirsh,
takabur, ghadhab, riya’, sum’ah, ujub, dan syirik dan sebaginya, yaitu
dengan cara pembinaan melalui tiga tahapan, yaitu
takhalli, tahalli, tajalli. Selain
ketiga tahapan tersebut, dapat juga dengan cara menumbuhkan rasa cinta
kita kepada Allah. Dengan adanya rasa cinta kepada Allah, maka apapun
perbuatan yang kita lakukan semata-mata karena Allah. Jadi, untuk
berbuat atau melakukan hal-hal yang tercela kita akan berfikir bahwa
perbuatan tercela itu dibenci oleh Allah, maka karena rasa cinta kita
kepada Allah kita akan menjauhi perbuatan tercela itu. Dan atas dasar
rasa cinta kita kepada Allah, kita akan lebih merasa dekat dengan Allah
dan rasa syukur kita akan apa yang diberikan Allah semakin bertambah.
Kita akan merasa apa yang diberikan Allah kepada kita adalah karunia dan
cobaan yang diberikan kepada kita itu atas dasar Allah masih sayang
kepada kita dan masih memperhatikan kita.
==> makalah ibnu