Laman

Kamis, 06 April 2023

SEJARAH SINGKAT PERGURUAN “BAITUL IBADAH”

 

SEJARAH SINGKAT PERGURUAN “BAITUL IBADAH” DI BAWAH JAJARAN KEGURUAN TUANKU MUDO

1604877_1435392300027041_1162513422_n

SEJARAH SINGKAT PERGURUAN “BAITUL IBADAH”
DI BAWAH JAJARAN KEGURUAN TUANKU MUDO

Bapak Dornes Boerhan Tuanku-Mudo di lahirkan di Desa Maninjau Sumatera Barat pada tanggal 18 Oktober 1934 dari Ibu yang bernama Siti Hajir binti Arsyad Sutan Nagari,suku Chaniago. Ayah beliau bernama Boerhannudin bin Adam gelar Kari Mudo suku Melayu. Sejak tahun 1954 beliau bermukim di Jakarta.
Sekitar tahun 1971,Beliau mengambil ilmu Thariqat Soufiah Islam Sammaniyah dari almukaram Tuanku-Guru Siyuti Imam Iskandar yang sedang berada diJjakarta dalam rangkaian lawatan perjalanan Beliau di Pulau Jawa. Almukaram Tuanku-Guru Siyuti Imam Iskandar adalah murid dari Almukaram Syekh H.Ibrahim Bonjol,seorang Mursyid Ilmu Thariqat Islam Sammaniah dan Naqsyabandiyah,Surau Beliau berada di kota Medan,Jalan Raya Binjai km 6,5 gg. Ampera 1 No.30.

Pada sekitar tahun 1981,Beliau di bawa dan di serahkan oleh Almukaram Tuanku-Guru Siyuti Imam Iskandar kepada Guru Beliau. Dari Almukaram Buya Syekh H.Ibrahim Bonjol Beliau menerima Ilmu Thariqat Islam Naqsyabandiyah dan seterusnya selama lebih kurang 2(dua) tahun Beliau di perintah bermukim di Surau tersebut,untuk mendalami pemahaman tentang Ilmu Thariqat Soufiah Islam.
Dalam pertengahan tahun 1983 ,oleh Almukaram Buya Syekh H.Ibrahim Bonjol,Beliau ditugaskan untuk mengajarkan Ilmu Thariqat Soufiah Sammaniah dan Naqsyabandiyah kepada barang siapa mereka yang berkehendak,dengan gelar Lebai-Tuo seterusnya Tuanku-Sati seterusnya Tuanku-Bandaharo terakhir Tuanku-Mudo. Selanjutnya murid murid lazim menyebut Beliau dengan panggilan “Ayah Guru”. Tempat beliau mengajar sementara di Jakarta.
Bermula Ayah Guru Tuanku Mudo membimbing dan melatih murid murid dari Almukaram Tuanku-Guru Siyuti Imam Iskandar,yaitu saudara saudara seperguruan Beliau yang bermukim di daerah Jakarta dan sekitarnya,di tambah dengan beberapa murid pemula Beliau sendiri. Sejak saat itulah resmi keberadaan Perguruan “Baitul Ibadah” Jakarta.
Dalam perkembangan selanjutnya,berdatanganlah kelompok kelompok dari Sulawesi daerah Wajo dan Sengkang,kelompok dari Sumatera daerah Batam,Pekanbaru,Jambi,Tembilahan,Padang,Kerinci,Pasaman,dan sekitarnya,juga kelompok dari daerah Sumba,Sumbawa serta kelompok kelompok dari pulau Jawa,Kalimantan,mengambil Ilmu Thariqat Islam dari Beliau.
Untuk memudahkan kelompok kelompok murid di daerah masing masing berkumpul dan berlatih bersama,maka di buatkanlah Surau Surau, pembantu di Padang,Pasaman,Batam,Pekanbaru,Jambi,Tembilahan,Palembang,Pontianak,Bandung,dan lain lain. Kegiatan berlatih dan beramal di Surau Surau tersebut dipimpin oleh seorang Imam dan Khatib Surau.

zikir lataif

 بسم الله الرحمن الرحيم
Zikir lathaif adalah zikir sekalian tujuh maqam dalam hati sanubari, letaknya meliputi 7 maqam atau tempat. adapun tempat zikirnya seperti di bawah ini:

7 maqam atau tempat zikir lataif
  • Latifatul Kholbi, letaknya dua jari di bawah tetek sebelah kiri,hubunganya jantung jasmani, zikir sebanyak 5000 x, cahanya kuning tiada terhingga, wilayah kedudukannya Nabi Adam as, nama nafsu amarah, anasirnya api, sifat jeleknya hawa,nafsu dunia,sytan,iblis, sifat baiknya iman,islam,tauhid ma'rifat,ikhsan, merasakan mati tabi'i.
  • Latifatul Ruh letaknya dua jari di bawah tetek sebelah kanan, hubungannya rabu jasmani, zikir sebanyak 1000 x, cahanya merah tiada terhingga, wilayah kedudukannya nabi ibrahim as, nama nafsu lawwamah, anasirnya api, sifat jeleknya loba, tamak, kikir, bahil, sifat baiknya Qonaah, merasakan mati tab'i.
  • Latifatul Sir letaknya dua jari di atas tetek sebelah kiri, hubungannya hati jasmani, zikir sebanyak 1000 x, cahanya putih berkilau tiada terhingga, wilayah kedudukannya nabi musa as, nama nafsu mulhamah, anasirnya Air, sifat jeleknya ghodob, dendam, pemarah sifat baiknya lemah lembut,pemaaf merasakan mati ma'nawi.
  • Latifatul Khofi letaknya dua jari di bawah tetek sebelah kiri, hubungannya limpa jasmani, zikir sebanyak 1000 x, cahanya hitam pekat, wilayah kedudukannya nabi Isa as, nama nafsu muthmainah, anasirnya Air, sifat jeleknya hasad, dengki, hianat, sifat baiknya khusuk,tadaruk, merasakan mati ma'nawi.
  • Latifatul Aqfa letaknya di tengah dada, hubungannya empedu jasmani, zikir sebanyak 1000 x, cahanya hijau, wilayah kedudukannya nabi Muhamad SAW, nama nafsu Rodiah, anasirnya Angin, sifat jeleknya ujub, ria, takabur, sum'ah, sifat baiknya iklas, rojak, khouf merasakan mati suri.
  • Latifatul Natiqkoh letaknya di tengah kening, hubungannya otak jasmani, zikir sebanyak 1000 x, cahanya kelabu, wilayah kedudukannya nabi Nuh As, nama nafsu Mardiah, anasirnya Angin, sifat jeleknya sukzon sifat baiknya husnuszon, aman tentram merasakan mati suri.
  • Latifatul Kulu Jasad letaknya seluruh tubuh, hubungannya bulu, kulit, darah, daging, urat, tulang, sumsum, zikir sebanyak 1000 x, cahanya gilang gemilang, wilayah kedudukannya para masyaikhilkirom, nama nafsu Ubudiyah, anasirnya Tanah, sifat jeleknya kesal, jahel, sifat baiknya mujahadah merasakan mati hisi.

Fungsi zikir lathaif dan zikir ismu zat

1. Fungsi pertama Takhalli

Artinya mengosongkan hati dari pada yang mazmumah yaitu sifat tercela yang sangat dibenci oleh syara', karna sifat tersebut mendatangkan kecelakaan dan kesengsaraan serta kebinasaan. Gunakanlah zikir latahaif tersebut untuk membersihkan sifat tersebut diatas.


2. Fungsi kedua Thalli

Artinya mengisi jiwa yang kosong tersebut dengan sifat mahmudah yaitu sifat terpuji oleh syara', jadi sifat mazmumah itu dilawan dari sifat mahmudah, demikian juga tidak berguna sifat mahmudah dimasukkan ke dalam hati, sebelum hati tersebut di kosongkan dari pada sifat mazmumah.


3. Fungsi Ketiga Tajalli

Artinya nyata terang serta jelas. Bila hati telah berisi dengan sifat mahmudah, inilah awal terbukanya ma'rifat kepada Allah dan terbukanya Ma'rifat itu adalah awal dari terbukanya kasyaf.

 

Zikir Ismu Zat ,Sebutan Allah Allah Sebanyak-banyaknya

Seseorang melafaskan ismu zat Allah Allah sebanyak-banyaknya sebagaimana firman Allah dalam surat Hamim Sajadah ayat 30, Sesungguhnya orang-orang yang berkata : Tuhan kita adalah Allah, kemudian mereka tekun maka turunlah malaikat pada mereka, dan malaikat itu memberi kabar : gembiralah kalian dengan apa yang telah dijanjikan pada kalian. Dan hadits Nabi diriwayatkan Thabrani dan Baihaqi. Rasulullah bersabda kepada sayyidina Ali : Ya Ali, pejamkan kedua matamu, lekatkan (rapatkan) kedua bibirmu, naikkan lidahmu dan berkatalah (berzikirlah) Allah Allah.”

 Rasulullah bersabda :
لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ حَتىَّ لاَ يُقَالَ فِى اْلاَرْضِ : اَلله ….اَلله

Hari kiamat tidak akan terjadi sampai di atas bumi ini tidak ada lagi orang yang menyebut Allah,… Allah. (HR. Muslim, Tirmidzi dan Ahmad)

Dalam beberapa kitab yang memuat kompilasi hadits shahih, Nabi Saw bersabda :

قَالَ الله ُتَعَالَى: اَناَ عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِى بِى وَاَنَا مَعَهُ اِذَا ذَكَرَنِى فَإِنْ ذَكَرَنِى فِى نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِى نَفْسِى وَاِنْ ذَكَرَنِى فِى مَلاَءٍ ذَكَرْتُهُ فِى مَلاَءٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ


Allah Swt berfirman, Aku ini (bertindak) sesuai dengan prasangka hamba-Ku padaku. Aku selalu bersamanya jika ia mengingat-Ku. Apabila ia mengingat-Ku di dalam hatinya, maka Aku pun menyebutnya sendiri. Jika dia mengingat-Ku di tengah-tengah orang banyak, maka aku akan menyebutnya di tengah-tengah orang banyak yang lebih mulia dari pada orang banyak saat ia mengingat-Ku. (HR. al Bukhari dan ahli hadits lainnya).

Zikir yang tidak disertai wukuf qalbi atau zikir yang tidak disertai mengingat maknanya adalah zikir yang lupa. Hal ini serupa dengan jasad tanpa ruh. Zikir yang demikian itu tidak mengandung pahala dan khasiat apapun.
 Adapun makna lafal Allah Allah ialah antara lain : Allah adalah maksud tujuanku, Allah adalah yang aku cari, Allah adalah yang aku cintai, wahai Allah engkaulah yang aku maksud, Allah tidak ada sekutu bagi-Nya, Allah adalah zat yang ada, Allah adalah zat yang disembah dan engkau adalah Allah tiada yang lain.

Orang-orang yang telah mencapai pangkat “dizikirkan Allah” adalah orang-orang yang dikasihi atau orang-orang yang menjadi kekasih Allah Swt seperti firman Allah dalam hadits qudsi berikut ini :
اِنَّ اَوْلِيَائِ مِنْ عِبَادِ وَاَحِبَّائِ مِنْ خَلْقِ الَّذِيْنَ يَذْكُرُوْنَ بِذِكْرِ وأُذْكَرُ بِذِكْرِهِمْ
Sesungguhnya para Wali-Ku dari golongan hamba-Ku dan para Kekasih-Ku dari golongan makhluk-Ku adalah orang-orang yang diingat apabila Aku diingat. Dan Aku diingat apabila mereka diingat. (HR. at Tabrani, al Hakim dan Abu Na’im)

Allah berfirman :

Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka. (QS. al Mujadilah : 22)

Mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah untuk bertakwa. (QS. al Hujurat : 3)

Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu. (QS. al A’raf : 205)

Abu Awanah dan Ibnu Hibban meriwayatkan dalam masing-masing kitab kumpulan hadits shahih mereka, juga al Baihaqi di sebuah hadits berikut :
خَيْرُ الذِّكْرِ الْخَفِى وَخَيْرُ الرِّزْقِ مَا يَكْفِي وَقَالَ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الذِّكْرُ لاَ تَسْمَعُهُ الْحَفْظَةُ يَزِيْدُ عَلَى الذِّكْرِ تَسْمَعُهُ الْحَفَظَةُ بِسَبْعِيْنَ ضِعْفًا
Sebaik-baik dzikir adalah dzikir dengan samar (khafi) dan sebaik-baiknya rezeki adalah rezeki yang mencukupi, Nabi juga bersabda : “Dzikir yang tidak terdengar oleh malaikat pencatat amal (maksudnya dzikir khafi) mengungguli atas dzikir yang dapat didengar oleh mereka (dzikir jahri) sebanyak tujuh puluh kali lipat.” (HR. al Baihaqi)

Hamba Allah yang dapat berzikir dengan lafas Allah...Allah adalah dengan kurnia dan kehendak izinnya jua,  
Firman Allah SWT: QS AS SAFFAAT 37: 96: Bahawa Allah menjadikan kamu dan barang perbuatan kamu.
Dan lagi sabda Rasullulah SAW: Tiada daya dan upayaku kecuali dengan izin Allah.

Sabda Rasullulah lagi: Tidak bergerak suatu zarah kecuali dengan izin Allah.
Firman Allah SWT QS AL MURSALAT 77:30: : Dan tidak berkehendak mereka itu seorang jua pun melainkan dengan kehendak Allah jua.
Apa dalil berzikir “Allah, Allah” (ألله، ألله) ?
Dalil dari al-Qur’an adalah sebagai berikut:
1.  واذكراسم ربك بكرة و أصيلا
     “Dan sebutlah nama Tuhanmu pada waktu pagi dan petang” (Q.S. al-Insan (76): 25)
Di ayat tersebut kita diperintahkan untuk menyebut nama Tuhan kita. Apakah kita ragu bahwa nama Tuhan kita adalah Allah ( ألله )?
إنني أنا الله لا إله إلا أنا فاعـبدني وأقم الصلاة لذكري
“ Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (Q.S. Thaha (20): 14)
Jadi, nama Tuhan kita yang utama adalah Allah. Sedangkan nama-nama-Nya yang lain seperti yang terdapat dalam Asma-ul Husna adalah nama-nama tambahan untuk menunjukkan sebagian dari sifat-sifat-Nya. Di dalam kitab al-Mukhtashar Fi Ma’ani Asma’illahil Husna[1] halaman 13 disebutkan:
“Ketahuliah, sesungguhnya nama ini (ألله-pen) adalah nama yang teragung dari 99 nama yang terdapat dalam riwayat Tirmidzi karena nama ini menunjukkan atas Zat yang menghimpun semua sifat-sifat ketuhanan…”
Dengan demikian, kalau disuruh kita menyebut nama Tuhan (seperti perintah pada surat al-Insan ayat 25 di atas), tentu saja yang lebih utama kita sebut adalah “Allah” meskipun menyebut nama-nama-Nya yang lain adalah bagus pula.
Ayat al-Qur’an yang selanjutnya adalah:
2. يا أيها الذين امنوا اذكروالله ذكرا كثيرا
“Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.”[2] (Q.S. al-Ahzab (33): 41)
Allah swt berfirman pula kepada Nabi Zakariya, yang tentunya untuk menjadi pelajaran bagi kita:
واذكرربك كـثيرا وسبح بالعـشي والإبكار
“…Dan sebutlah (nama) Tuhanmu sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari.” (Q.S. Ali Imran: 41)
Ayat tersebut menganjurkan untuk menyebut nama Tuhan sebanyak-banyaknya. Maka baguslah untuk berzikir “Allah, Allah” dengan sebanyak-banyaknya karena nama Tuhan kita, sekali lagi, adalah “Allah”.
Allah telah menjanjikan ampunan dan pahala yang besar untuk beberapa golongan manusia dalam surat al-Ahzab ayat 35. Salah satu dari golongan tersebut adalah:
“…laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah…”
3. واذكراسم ربك وتبتـل اليه تـبتـيـلا
“Dan sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan sepenuh hati” (Q.S. al-Muzzammil (73): 8)
Sekali lagi, di ayat tersebut, kita disuruh untuk menyebut nama Tuhan kita. Dan nama Tuhan kita, tidak ragu lagi, adalah “Allah”. Artinya, kita memang disuruh untuk menyebut kata “Allah”.
Berarti sudah enam dalil dari al-Qur’an yang kita cantumkan di sini, walaupun secara penomeran cuma tertulis tiga. Orang yang beriman sebenarnya tidak butuh banyak dalil. Andaikan cuma satu ayat saja dalil dari al-Qur’an yang ditemukan, niscaya cukuplah itu baginya untuk menjadi pegangan. Apalagi ini lebih dari satu ayat. Dan mungkin pula dalil dari al-Quran tentang ini sebenarnya lebih banyak dari jumlah yang bisa kami cantumkan di sini.

Sedangkan dalil dari hadits Nabi saw adalah sebagai berikut:
لا تـقوم الساعة حتى لا يـبـقى عـلى وجه الارض من يـقول الله الله
“Kiamat tidak akan terjadi sampai tidak ada lagi di muka bumi orang yang mengucapkan: “Allah, Allah” (H.R. Muslim)
Kami rasa hadits tersebut cukup jelas berbicara tentang zikir “Allah, Allah”. Dari hadits tersebut juga dapat kita pahami secara tersirat bahwa orang yang mengucapkan “Allah, Allah” memang akan semakin sedikit jumlahnya sampai akhirnya tidak ada lagi sama sekali. Ketika tidak ada lagi orang yang mengucapkan “Allah, Allah”, maka terjadilah kiamat.

Ada orang yang membantah zikir “Allah, Allah” ini dengan alasan bahwa zikir tersebut kalimatnya tidak sempurna, hanya “Allah” saja, mestinya kan ditambah dengan  suatu sifat Tuhan, umpamanya “Allahu Akbar” dengan demikian kalimatnya menjadi tidak mengambang. Bagaimana hal tersebut?
Kalimat “Allahu Akbar” memang adalah suatu bentuk zikir. Tapi itu bukan berarti bahwa ziki“Allah, Allah” itu lantas harus ditolak. Kenapa demikian? Karena tidak ada satu dalilpun yang mewajibkan penyebutan nama Allah itu harus diiringi dengan salah satu sifat-Nya. Alasan orang yang membantah seperti itu cuma alasan dengan logikanya saja. Dan kami kira itu adalah karena kekurangan ilmunya tentang nama “Allah” ini. Sebab para ulama telah menerangkan bahwa nama “Allah” itu adalah nama yang menghimpun seluruh sifat dan hakikat ketuhanan (lihatlah kitab al-Mukhtashar Fi Ma’ani Asma’illahil Husnahalaman 13). Berarti kata “Allah” itu saja sebenarnya sudah lengkap karena sudah mengandung keseluruhan dari sifat-sifat ketuhanan. Namun adakalanya suatu sifat ketuhanan itu perlu ditekankan kepada umat sehingga disebutlah sifat tersebut setelah nama Allah. Kata Allahu Akbar, misalnya, adalah untuk menekankan sifat Maha Besar-nya Allah ke dalam hati ummat. Padahal seandainya kata Akbar itu tidak disebut, dia sebenarnya sudah terkandung dalam nama “Allah” itu sendiri. Orang yang tidak mengetahui hal ini sajalah, kami kira, yang akan mengatakan kata ِAllah itu tidak lengkap atau mengambang. Dan tolong perhatikan kembali hadits shahih riwayat Muslim di atas. Pada hadits tersebut jelas-jelas Nabi saw sendiri yang mencontohkan kata “Allah, Allah” itu. Kalau hal itu tidak boleh, niscaya tidak akan muncul hadits tersebut.


Sebaiknya amalan zikir seperti ini perlu diambil dan mendapat bimbingan dari guru yang mursyid ( bersanad dari Rasulullah sampai kepada guru tersebut)

 

Rabu, 05 April 2023

Kajian tentang Ruh

Para ulama memiliki pandangan berbeda tentang bolehnya mengkaji tema seputar ruh. Ada yang berpendapat, mengkaji ruh itu haram, karena hanya Allah yang tahu. Ada pula yang berpedapat, kajian tentang ruh itu makruh mendekati haram, karena dalam Al-Quran tidak ada nash yang menjelaskan masalah ruh secara gamblang.

Setiap pendapat tersebut memiliki dasar pemahaman yang berbeda terhadap firman Allah, “Mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan kalian hanya diberi sedikit pengetahuan’.” – QS Al-Isra’ (17): 85.


Mereka yang menolak kajian tentang ruh di antaranya berpandangan, pernyataan Allah pada ayat tersebut menjelaskan bahwa ruh termasuk alam metafisika, yang tidak dapat diketahui secara pasti. Ia bukan sesuatu yang bersifat inderawi, yang dapat diketahui lebih jauh. Selain itu, ilmu manusia terbatas hanya pada pengetahuan tentang penciptaan. Inilah yang dimaksud dengan kalimat dalam ayat tersebut, “Dan kalian hanya diberi sedikit pengetahuan.”

Sementara itu mereka yang memperbolehkan mengkaji tentang ruh di antaranya berpandangan, tidak ada kesepakatan para ulama yang menyatakan bahwa ruh yang ditanyakan dalam ayat itu adalah ruh (nyawa) manusia. Ada pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud ruh dalam ayat tersebut adalah Al-Quran, Jibril, Isa, atau ciptaan Allah yang ghaib, yang hanya diketahui oleh Allah SWT.

Bagaimanapun, yang lebih baik adalah tidak membahas masalah ruh terlalu dalam. Syaikh Abu An-Nashr As-Sarraj Ath-Thuusi mengatakan, “Terdapat orang-orang yang salah memahami ruh, (kesalahan) mereka ini bertingkat-tingkat, semuanya bingung dan salah paham. Sebab mereka memikirkan keadaan sesuatu (yakni ruh) yang mana Allah sendiri telah mengangkat darinya pada segala keadaan dan telah membersihkannya dari sentuhan ilmu pengetahuan, (sehingga) ia tak akan dapat disifati oleh seorang pun kecuali dengan sifat yang telah dijelaskan Allah.”
Hakikat Ruh
Habib Syaikh bin Ahmad Al-Musawa, dalam karyanya berjudul Apa itu Ruh?, menyatakan, definisi ruh adalah, “ciptaan/makhluk yang termasuk salah satu dari urusan Allah Yang, Mahatinggi. Tiada hubungan antara ia dengan Allah kecuali ia hanyalah salah satu dari milik-Nya dan berada dalam ketaatan-Nya dan dalam genggaman (kekuasaan)-Nya. Tidaklah ia menitis (bereinkarnasi) ataupun keluar dari satu badan kemudian masuk ke badan yang lain. Ia juga akan merasakan kematian sebagaimana badan merasakannya. Ia menikmati kenikmatan sebagaimana juga badan, atau akan merasakan siksa sebagaimana juga badan. Dia akan dibangkitkan pada badan yang ia keluar darinya. Dan Allah menciptakan ruh Nabi Adam AS dari alam malakut sedangkan badannya dari tanah.”

Sementara itu, sebagian besar filosof muslim, seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, dan sekelompok kaum sufi, berpendapat, jiwa terpisah dari materi. Ia bukan jasad atau benda. Ia tidak memiliki dimensi panjang dan dalam. Jiwa sangat berhubungan dengan sistem yang bekerja dalam jasad. Dengan kata lain, jiwa menggerakkan jasad dari luar karena ia tidak menyatu dengan jasad. Jiwa adalah inti ruh murni yang dapat mempengaruhi jasad dari luar seperti magnet.

Al-Ghazali, dalam Ihya’-nya, menyebutkan, kata-kata ruh, jiwa, akal, dan hati, sejatinya merujuk pada sesuatu yang sama, namun berbeda dalam ungkapan. Sesuatu ini, jika ditinjau dari segi kehidupan jasad, disebut ruh. Jika ditinjau dari segi syahwat, ia disebut jiwa. Jika ditinjau dari segi alat berpikir, ia disebut akal. Dan jika ditinjau dari segi ma’rifat (pengetahuan), ia disebut hati (qalb).

Dalam bahasa sehari-hari, ruh dan jiwa juga acap digunakan untuk menunjukkan sesuatu yang sama, seperti pada ucapan “ruhnya telah melayang”, atau “jiwanya telah melayang”. Dua kalimat tersebut bermakna sama, orang itu telah mati.

Para ulama lainnya berpendapat, ruh adalah benda ruhaniah (cahaya) langit yang intinya sangat lembut, seperti sinar matahari. Ia tidak dapat berubah, tidak dapat terpisah-pisah, dan tidak dapat dikoyak. Jika proses penciptaan satu jasad telah sempurna dan telah siap, seperti dalam firman Allah “Maka, apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya – QS Al-Hijr (15): 29, benda-benda mulia (ruh) Ilahi dari langit akan beraksi di dalam tubuh, seperti api yang membakar. Inilah yang dimaksudkan dalam firman Allah “Aku meniupkan ruh (ciptaan)-Ku ke dalamnya.” – QS Al-Hijr (15): 29. Selama jasad dalam kondisi sehat, sempurna, dan siap menerima benda mulia tersebut, ia akan tetap hidup. Jika di dalam jasad ada unsur-unsur yang memberatkan, misalnya penyakit, unsur-unsur itu akan menghambat benda mulia ini sehingga ia akan terpisah dari jasad. Saat itu, jasad menjadi mati.

Beragam definisi ruh disebutkan para ulama. Intinya, manusia terdiri dari jasad dan ruh. Perbedaan pendapat para ulama seputar hakikat ruh bukan bagian dari inti aqidah Islam. Masalah ini berada dalam ranah ijtihad para ulama.

Abadi, atau Fana?



Allah menetapkan kematian atas segala yang memiliki ruh dari makhluk-Nya, penguasa maupun rakyat jelata, yang kaya atau yang miskin, yang mulia atau yang lemah, yang maksiat atau yang taat, dari seluruh penduduk alam semesta ini, dan kemudian mengadili mereka di akhirat.

Dia menggenggam ruh sebagian manusia yang telah memakmurkan dunia dan menghiasinya dengan bangunan-bangunan, kemudian manusia itu menempatinya, meski itu bukan tempat yang kekal bagi semua yang hidup.

Dia juga menggenggam ruh manusia sebagian lainnya yang bersungguh-sungguh untuk memperbaiki akhiratnya dan menjadikan dunia hanya sebagai batu loncatan untuk memperbanyak amal shalih mereka sebagai perahu dalam mengarunginya.

Ruh yang ini mendapat kebahagiaan dan kesenangan, sementara ruh yang lain mendapatkan kekecewaan, kecelakaan, dan kepayahan. Ruh yang ini bersenang-senang di kebun surga dan bernaung di lentera-lentera yang bergantung di ‘Arsy dalam kenikmatan yang menyenangkan, sedang ruh yang lain terpenjara dan tersiksa di neraka jahim. Alangkah jauh perbedaan antara kedua ruh jasad dua jenis manusia tersebut.

Setelah seseorang mati, ruh tetap ada hingga terjadi peniupan sangkakala yang pertama. Ulama sepakat akan hal itu. Selama masa itu, ruh merasakan nikmat atau adzab di alam kubur.

Adapun setelah ditiupnya sangkakala, terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Sebagian ulama berpendapat, ruh bersifat fana (akan sirna) dan akan mati saat peniupan sangkakala yang pertama. Dasarnya adalah firman Allah, “Setiap yang berjiwa akan merasakan kematian.” – QS Ali Imran (3): 185. Dalam ayat lainnya disebut, “Semua yang ada akan binasa.” – QS Ar-Rahman (55): 26.

Menurut pendapat terkuat, setelah peniupan sangkakala yang pertama, ruh akan tetap abadi. Hukum asal sesuatu yang abadi adalah selalu ada sampai ada sesuatu yang mengubahnya. Perdapat tentang keabadian ruh ini disimpulkan dari ayat “Dan ditiuplah sangkakala. Maka, matilah makhluk yang di langit dan di bumi kecuali makhluk yang dikehendaki Allah. Kemudian sangkakala ditiup sekali lagi. Tiba-tiba mereka berdiri menunggu (keputusannya masing-masing).” – QS Az-Zumar (39): 68. Menurut penjelasan ayat ini, ruh termasuk sesuatu yang dikecualikan.

Ruh Mengetahui saat Diziarahi


Apakah ketika orang hidup menziarahi orang mati, ruh orang mati tersebut dapat mengetahui bahwa ia tengah diziarahi? Habib Syekh menuliskan dalam bukunya, jawabannya adalah “Ya.”

Bila ditanyakan apakah jasad mereka atau arwah mereka (yang bertemu), ia menjawab, “Sungguh jauh sekali. Jasad sudah hancur, yang bertemu hanyalah arwah mereka.”

Ibnu Abdil Barr berkata, “Telah tetap riwayat dari Nabi SAW, beliau bersabda, ‘Tidaklah seorang muslim melewati kubur saudaranya yang mana dahulu ia mengenalnya di dunia, kecuali Allah akan mengembalikan ruh saudaranya itu lalu ia menjawab salamnya.” Hadits ini menunjukkan, ruh si mati mengenalinya dan menjawab salamnya.

Pada hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, disebutkan, ketika Rasulullah SAW memerintahkan agar korban yang tewas pada Perang Badar (dari kaum musyrikin) dikuburkan dalam satu lubang, kemudian beliau mendatangi lubang tempat kubur tersebut lalu berdiri dan menyeru mereka yang telah mati itu dengan namanya masing-masing, “Wahai Fulan bin Fulan, wahai Fulan bin Fulan, apakah kalian telah mendapati apa yang telah dijanjikan Tuhan kalian adalah benar? Karena sesungguhnya aku mendapati apa yang dijanjikan Tuhanku kepadaku adalah benar”, berkatalah Umar RA kepada beliau, “Ya Rasulullah, mengapakah Tuan menyeru/berbicara kepada orang-orang yang telah menjadi bangkai.”

Beliau menjawab, “Demi Allah, yang telah mengutusku dengan kebenaran, tidaklah kalian lebih mendengar apa yang kau katakan daripada mereka. Hanya saja mereka tak dapat menjawab.”

Saat memperhatikan kebiasaan sebagian besar masyarakat di Nusantara yang melakukan aktivitas ruwahan atau berkirim pahala amal kepada orang-orang yang telah wafat atau khususnya kepada arwah yang mereka ziarahi, apakah arwah orang yang telah mati itu dapat mengambil manfaat dari amal orang hidup, ataukah tidak? Berikut ini salah satu hujjah di antara luasnya bahtera hujjah yang menunjukkan sampainya amalan orang hidup kepada orang yang telah mati.

Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam kitab shahih mereka, dari Abdullah bin Abbas RA, ia berkata, “Telah datang seorang kepada Nabi SAW lalu orang itu bertanya, ‘Ya Rasulullah, ibuku meninggal dunia dan ia meninggalkan utang puasa sebulan, apakah aku dapat mengqadha puasanya?’
Rasulullah SAW balik bertanya, ‘Bagaimana pendapatmu jika ibumu berutang lalu engkau melunasi utangnya, apakah itu mencukupi/menggugurkan kewajibannya?’

Orang itu menjawab, ‘Ya.’

Rasulullah SAW bersabda, ‘Jika demikian, utang kepada Allah lebih wajib untuk dilunasi’.”

IY, dari berbagai sumber
=> majalah-alkisah

 

Menembus Alam Ruhaniah

 

Asy-Syekh Abdul Qodir al-Jailani R.A di dalam kitabnya al-Ghunyah; 1/101, menyebutkan: “Di dalam hati manusia terdapat dua ajakan: Pertama ajakan malaikat. Ajakan malaikat itu mengajak kepada kebaikan dan membenarkan kepada yang benar (haq); dan kedua, ajakan musuh. Ajakan musuh itu mengajak kepada kejahatan, mengingkari kebenaran dan melarang kepada kebajikan”. Yang demikian telah diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud R.A.

Al-Hasan al-Bashri R.A berkata: “Sesungguhnya kedua ajakan itu adalah kemauan yang selalu mengitari hati manusia, kemauan dari Allah dan dari musuh, hanya dengan sebab Rahmat Allah, seorang hamba mampu mengontrol kemauan-kemauannya tersebut. Oleh karena itu, apa-apa yang datang dari Allah hendaknya dipegang oleh manusia dengan erat-erat dan apa yang datang dari musuh, dilawannya kuat-kuat “.

Mujahid R.A berkata; Firman Allah s.w.t:

مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ

Dari kejahatan bisikan setan yang biasa bersembunyi”. (QS. an-Nas; 114/4)

Bisikan itu mencengkram hati manusia, apabila manusia berdzikir kepada Allah, maka setan itu akan melepaskan cengkramannya namun apabila manusia kembali lupa, maka setan itu akan kembali mencengkram hatinya. Muqotil R.A berkata: “Dia adalah setan yang berbentuk babi hutan yang mulutnya selalu menempel di hati manusia, dia masuk melalui jalan darah untuk menguasai manusia lewat hatinya. Apabila manusia melupakan Allah Ta’ala, dia menguasai hatinya dan apabila manusia sedang berdzikir kepada Allah dia melepaskan dan keluar dari jasad manusia itu“.

Asy-Syekh Abdul Qodir al-Jailani R.A berkata, bahwa di dalam hati ada enam bisikan (khotir): (1) Bisikan nafsu syahwat;

(2) Bisikan setan;
(3) Bisikan ruh;
(4) Bisikan malaikat;
(5) Bisikan akal; dan
(6) Bisikan keyakinan.

1. Bisikan Nafsu Syahwat
Bisikan nafsu syahwat adalah bisikan yang secara qudroti tercipta untuk memerintah manusia mengerjakan kejelekan dan memperturutkan hawa nafsu.

2. Bisikan Setan
Bisikan setan itu adalah perintah agar manusia menjadi kafir dan musyrik (menyekutukan Allah), berkeluh-kesah, ragu terhadap janji Allah s.w.t cenderung berbuat maksiat, menunda-nunda taubat dan apa saja yang menyebabkan kehidupan manusia menjadi hancur baik di dunia maupun di akherat. Ajakan setan ini adalah ajakan paling tercela dari jenis ajakan jelek tersebut.

3. Bisikan Ruh
Bisikan ruh adalah bisikan yang mengajak manusia mengikuti kebenaran dan ketaatan kepada Allah s.w.t dan juga kepada apa saja yang bersesuaian dengan ilmu pengetahuan sehingga menyebabkan keselamatan dan kemuliaan manusia, baik di dunia maupun di akherat. Ajakan ini adalah dari jenis ajakan yang baik dan terpuji.

4. Bisikan Malaikat
Bisikan malaikat sama seperti bisikan ruh, mengajak manusia mengikuti kebenaran dan ketaatan kepada Allah s.w.t dan segala yang bersesuaian dengan ilmu pengetahuan dan juga kepada apa saja yang menyebabkan keselamatan dan kemuliaan.

5. Bisikan Akal
Bisikan akal adalah bisikan yang cenderung mengarahkan pada ajakan bisikan ruh dan malaikat. Dengan bisikan akal tersebut sekali waktu manusia mengikuti nafsu dan setan, maka manusia terjerumus kepada perbuatan maksiat dan mendapatkan dosa. Sekali waktu manusia mengikuti bisikan ruh dan malaikat, maka manusia beramal sholeh dan mendapatkan pahala. Itulah hikmah yang dikehendaki Allah s.w.t terhadap kehidupan manusia. Dengan akalnya, supaya manusia mempunyai kebebasan untuk memilih jalan hidup yang dikehendaki namun kemudian manusia juga harus mampu mempertanggungjawabkan atas kesalahan dan kejahatan dengan siksa dan neraka dan menerima balasan dari amal sholeh dengan pahala dan surga.

6. Bisikan Keyakinan
Bisikan yakin adalah Nur Iman dan buah ilmu dan amal yang datangnya dari Allah s.w.t dan dipilihkan oleh Allah s.w.t. Ia diberikan khusus hanya kepada para kekasih-Nya dari para Nabi, ash-Shiddiq, asy-Shuhada’ dan para Wali-wali-Nya. Bisikan yakin itu berupa ajakan yang selalu terbit dari dalam hati untuk mengikuti kebenaran walau seorang hamba itu sedang dalam lemah wiridnya. Bisikan yakin itu tidak akan sampai kepada siapapun, kecuali terlebih dahulu manusia menguasai tiga hal;
(1) Ilmu Laduni;

(2) Ahbārul Ghuyūb (khabar dari yang gaib);
(3) Asrōrul Umur (rahasia segala urusan).

Bisikan yakin itu hanya diberikan oleh Allah Ta’ala kepada orang-orang yang dicintai-Nya, dikehendaki-Nya dan dipilih-Nya. Yaitu orang-orang yang telah mampu fana di hadapan-Nya. Yang telah mampu gaib dari lahirnya. Yang telah berhasil memindahkan ibadah lahir menjadi ibadah batin, baik terhadap ibadah fardhu maupun ibadah sunnah. Orang-orang yang telah berhasil menjaga batinnya untuk selama-lamanya. Allah s.w.t yang mentarbiyah mereka. Sebagaimana yang telah dinyatakan dengan firman-Nya:

إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِي

Sesungguhnya Waliku adalah Allah, dan Dia mentarbiyah (memberikan Walayah) kepada orang-orang yang sholeh”. (QS. al-A’raaf; 7/196)

Orang tersebut dipelihara dan dicukupi dengan sebab-sebab yang dapat menyampaikan kepada keridlaan-Nya dan dijaga serta dilindungi dari sebab-sebab yang dapat menjebak kepada kemurkaan-Nya. Orang yang setiap saat ilmunya selalu bertambah. Yaitu ketika terjadi pengosongan alam fikir, maka yang masuk ke dalam bilik akalnya hanya yang datangnya dari Allah s.w.t. Seorang hamba yang ma’rifatnya semakin hari semakin kuat. Nurnya semakin memancar. Orang yang selalu dekat dengan yang dicintainya dan yang disembahnya. Dia berada di dalam kenikmatan yang tiada henti. Di dalam kesenangan yang tiada putus dan kebahagiaan tiada habis. Surga baginya adalah apa yang ada di dalam hatinya.

Ketika ketetapan ajal kematiaannya tiba, disebabkan karena masa baktinya di dunia fana telah purna, maka untuk dipindahkan ke dunia baqo’, mereka akan diberangkatkan dengan sebaik-baik perjalanan. Seperti perjalanan seorang pengantin dari kamar yang sempit ke rumah yang luas. Dari kehinaan kepada kemuliaan. Dunia baginya adalah surga dan akherat adalah cita-cita. Selama-lamanya mereka akan memandang wajah-Nya yang Mulia, secara langsung tanpa penghalang yang merintangi. Allah s.w.t menegaskan hal tersebut dengan firman-Nya:

إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ (54) فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَلِيكٍ مُقْتَدِرٍ

Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu, berada di taman-taman dan sungai-sungai – Di tempat yang disenangi di sisi Tuhannya yangMaha Kuasa” . (QS. al-Qomar; 54/54)

Dan firman Allah s.w.t:

لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ

Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik dan tambahan “. (QS. Yunus; 10/26)

Firman Allah s.w.t di atas: “Ahsanuu”, artinya berbuat baik dengan menta’ati Allah s.w.t dan Rasul-Nya, serta selalu mensucikan hatinya dengan meninggalkan amal ibadah yang selain untuk-Nya. Allah s.w.t akan membalasnya di akherat dengan surga dan kemuliaan. Diberi kenikmatan dan keselamatan. Ditambahi dengan pemberian yang abadi. Yaitu selama-lamanya memandang kepada wajah-Nya yang Mulia.

Nafsu dan Ruh” adalah dua tempat bagi setan dan malaikat. Keadaannya seperti pesawat penerima yang setiap saat siap menerima signal yang dipancarkan oleh dua makhluk tersebut. Malaikat menyampaikan dorongan ketakwaan di dalam ruh dan setan menyampaikan ajakan kefujuran di dalam nafsu. Oleh karena itu, nafsu selalu mengajak hati manusia untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan fujur.

Di antara keduanya ada Akal dan Hawa. Dengan keduanya supaya terjadi proses hikmah dari rahasia kehendak dan keputusan Allah yang azaliah. Yaitu supaya ada pertolongan bagi manusia untuk berbuat kebaikan dan dorongan untuk berbuat kejelekan. Kemudian akal menjalankan fungsinya, memilih menindaklanjuti pertolongan dan menghindari ajakan kejelekan, dengan itu supaya tidak terbuka peluang bagi hawa untuk menindaklanjuti kehendak nafsu dan setan. Sedangkan di dalam hati ada dua pancaran Nur, “Nur Ilmu dan Nur Iman”. itulah yang dinamakan yakin. Kesemuanya indera tersebut merupakan alat-alat atau anggauta masyarakat hati. Hati bagaikan seorang raja terhadap bala tentaranya, maka hati harus selalu mampu mengaturnya dengan aturan yang sebaik-baiknya. (Asy-Syekh Abdul Qodir al-Jailani, “Al-Ghunyah”; 1/101)

Walhasil, yang dimaksud alam ruhaniah itu bukan alam jin atau alam ghaib, tetapi alam-alam batin yang ada dalam jiwa manusia. Alam batin yang menyertai alam lahir manusia secara manusiawi. Dengan alam batin, manakala indera-indera yang ada di dalam alam batin itu hidup, maka manusia bisa mengadakan interaksi dengan makhluk batin dengan segala rahasia kehidupan yang ada di dalamnya sebagaimana dengan alam lahir manusia dapat mengadakan komunikasi dengan makhluk lahir dengan segala urusannya.

Untuk menghidupkan indera-indera yang ada di alam batin tersebut, manusia harus mampu mencapainya dengan jalan melaksanakan mujahadah dan riyadhoh di jalan Allah. Mengharapkan terbukanya matahati (futuh) dengan menempuh jalan ibadah (thoriqoh) dengan bimbingan seorang guru mursyid sejati. Perjalanan tersebut bukan menuju suatu tempat yang tersembunyi, melainkan menembus pembatas dua alam yang di dalamnya penuh mesteri. Dengan itu supaya ia mencapai suatu keadaan yang ada dalam jiwa yang dilindungi, supaya dengan keadaan itu ia dapat menemukan rahasia jati diri yang terkadang orang harus mencari setengah mati. Itulah perjalanan tahap awal yang harus dicapai seorang salik dengan sungguh hati. Lalu, dengan mengenal jati diri itu, dengan izin Allah selanjutnya sang pengembara sejati dapat menemukan tujuan akhir yang hakiki, yakni menuju keridhoan Ilahai Rabbi.

fanggaz.wordpress.com

Ruh Manusia Didalam Al Quran



AL-RUH MANUSIA DALAM AL-QUR’AN

Manusia terdiri dari ruh dan jasad, karenanya Allah Swt menundukkan keduanya secara keseluruhan, baik ketika di mahsyar, diberi pahala maupun disiksa. Ruh adalah makhluk. Beberapa hadits mengidentifikasikan bahwa ruh adalah materi yang lembut. Bagi sementara pihak yang berkata bahwa ruh adalah qadim, merupakan kekeliruan besar.

Ahli hakikat dari kalangan ahli sunnah berbeda pandangan soal ruh. Ada yang berpendapat, ruh adalah kehidupan, yang lain berpandangan ruh adalah kenyataan yang ada dalam hati, yang bernuansa lembut. Allah Swt menjalankan kebiasaan makhluk dengan mencipta kehidupan dalam hati, sepanjang arwahnya menempel di badan. Manusia hidup dengan sifat kehidupan, tetapi arwah selalu di cetak di dalam hati dan bisa naik ketika tidur dan terpisah dengan badan, kemudian kembali kepada-Nya.

Pengertian al-Ruh

Menurut Ibnu Zakariya (w. 395 H / 1004 M) menjelaskan bahwa kata al-ruh dan semua kata yang memiliki kata aslinya terdiri dari huruf ra, wawu, ha; mempunyai arti dasar besar, luas dan asli. Makna itu mengisyaratkan bahwa al-ruh merupakan sesuatu yang agung, besar dan mulia, baik nilai maupun kedudukannya dalam diri manusia.

Al-Raqib al-Asfahaniy (w. 503 H / 1108 M), menyatakan di antara makna al-Ruh adalah al-Nafs (jiwa manusia). Makna disini adalah dalam arti aspek atau dimensi, yaitu bahwa sebagian aspek atau dimensi jiwa manusia adalah al-ruh.


Nyawa (ruh) menurut al-Ghazali mengandung dua pengertian, pertama : tubuh halus (jisim lathif). Sumbernya itu lubang hati yang bertubuh. Lalu bertebar dengan perantaraan urat-urat yang memanjang ke segala bagian tubuh yang lain. Mengalirnya dalam tubuh, membanjirnya cahaya hidup, perasaan, penglihatan, pendengaran, dan penciuman dari padanya kepada anggota-anggotanya itu, menyerupai membanjirnya cahaya dari lampu yang berkeliling pada sudut-sudut rumah. Sesungguhnya cahaya itu tidak sampai kepada sebagian dari rumah, melainkan terus disinarinya dan hidup itu adalah seperti cahaya yang kena pada dinding. Dan nyawa itu adalah seperti lampu. Berjalannya nyawa dan bergeraknya pada batin adalah seperti bergeraknya lampu pada sudut-sudut rumah, dengan digerakkan oleh penggeraknya.

Pengertian kedua yaitu yang halus dari manusia, yang mengetahui dan yang merasa. Dan itulah tentang salah satu pengertian hati, serta itulah yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala dengan firman-Nya:

قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّى {الإسراء : 85}

“Jawablah! Nyawa (ruh) itu termasuk urusan Tuhanku” (QS. Al-Isra’ : 85)

Dan itu adalah urusan ketuhanan yang menakjubkan, yang melemahkan kebanyakan akal dan paham dari pada mengetahui hakikatnya.

Dengan adanya al-ruh dalam diri manusia menyebabkan manusia menjadi makhluk yang istimewa, unik, dan mulia. Inilah yang disebut sebagai khayalan akhar, yaitu makhluk yang istimewa yang berbeda dengan makhluk lainnya. Al-Qur’an menjelaskan hal ini dalam QS. Al-Mu’minun : 14

Kata al-Ruh disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak 24 kali, masing-masing terdapat dalam 19 surat yang tersebar dalam 21 ayat. Dalam 3 ayat kata al-ruh berarti pertolongan atau rahmat Allah, dalam 11 ayat yang berarti Jibril, dalam 1 ayat bermakna wahyu atau al-Qur’an, dalam 5 ayat lain al-ruh berhubungan dengan aspek atau dimensi psikis manusia

Karakteristik al-Ruh

Mengenai ruh ada beberapa karakteristik, antara lain :

-Ruh berasal dari Tuhan, dan bukan berasal dari tanah / bumi
-Ruh adalah unik, tak sama dengan akal budi, jasmani dan jiwa manusia. Ruh yang berasal dari Allah itu merupakan sarana pokok untuk munajat kehadirat-Nya
-Ruh tetap hidup sekalipun kita tidur / tak sadar
-Ruh dapat menjadi kotor dengan dosa dan noda, tapi dapat pula dibersihkan dan menjadi suci.
-Ruh karena sangat lembut dan halusnya mengambil “wujud” serupa “wadah”-nya, parallel dengan zat cair, gas dan cahaya yang “bentuk”-nya serupa tempat ia berada.
-Tasawuf mengikutsertakan ruh kita beribadah kepada Tuhan
-Tasawuf melatih untuk menyebut kalimat Allah tidak saja sampai pada taraf kesadaran lahiriah, tapi juga tembus ke dalam alam rohaniah. Kalimat Allah yang termuat dalam ruh itu pada gilirannya dapat membawa ruh itu sendiri ke alam ketuhanan

-Al-Ruh sebagai Dimensi Spiritual Psikis Manusia

Dimensi dimaksudkan adalah sisi psikis yang memiliki kadar dan nilai tertentu dalam sistem “organisasi” jiwa manusia. Dimensi spiritual dimaksudkan adalah sisi jiwa yang memiliki sifat-sifat Ilahiyah (ketuhanan) dan memiliki daya untuk menarik dan mendorong dimensi-dimensi lainnya untuk mewujudkan sifat-sifat Tuhan dalam dirinya. Pemilihan sifat-sifat Tuhan bermakna memiliki potensi-potensi lahir batin. Potensi-potensi itu melekat pada dimensi-dimensi psikis manusia dan memerlukan aktualisasi.

Dimensi psikis manusia yang bersumber secara langsung dari Tuhan ini adalah dimensi al-ruh. Dimensi al-ruh ini membawa sifat-sifat dan daya-daya yang dimiliki oleh sumbernya, yaitu Allah. Perwujudan dari sifat-sifat dan daya-daya itu pada gilirannya memberikan potensi secara internal di dalam dirinya untuk menjadi khalifah Allah, atau wakil Allah. Khalifah Allah dapat berarti mewujudkan sifat-sifat Allah secara nyata dalam kehidupannya di bumi untuk mengelola dan memanfaatkan bumi Allah. Tegasnya bahwa dimensi al-ruh merupakan daya potensialitas internal dalam diri manusia yang akan mewujud secara aktual sebagai khalifah Allah

Dalam al-Qur’an dijelaskan kata al-ruh berhubungan dengan aspek atau dimensi psikis manusia. Berikut dijelaskan bahwa Allah “meniup”-kan ruh-Nya ke dalam jiwa dan jasad manusia. Sebagaimana yang terdapat dalam ayat berikut ini :

فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُواْ لَهُ سَاجِدِينَ {الحجر : 29}

“Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”. (QS. Al-Hijr : 29)

Berdasarkan ayat di atas, kata ruh dihubungkan dengan Allah. Istilah yang digunakan untuk menyatakan hubungan itu juga beragam, seperti al-ruh minhu ruhina, ruhihi, al-ruhiy, ruh min amri rabbi. Selanjutnya, ruh Allah itu diciptakan kepada manusia melalui proses al-nafakh. Berbeda dengan al-nafs, sebab nafs telah ada sejak nutfan dalam proses konsepsi, sedangkan ruh baru diciptakan setelah nutfah mencapai kondisi istimewa. Karena itu merupakan dimensi jiwa yang khusus bagi manusia


Menurut psikologi transpersonal, ada dua hal penting dalam diri manusia, yaitu potensi-potensi luhur batin manusia (human highest potentials) dan fenomena kesadaran manusia (human states of consciousness). Yang menjadi perhatian bagi psikologi transpersonal yaitu dalam wilayah aspek ruhaniah. Telaahnya berbeda dengan psikologi humanistic, bahwa psikologi humanistic lebih menekankan pada pemanfaatan potensi-potensi luhur manusia untuk meningkatkan kualitas hubungan antar manusia. Sedangkan psikologi transpersonal menekankan pada pengalaman subjektif spiritual transcendental


Tasawuf Islam mengajarkan metode dan teknik-teknik munajat dan shalat khusyuk guna meningkatkan derajat ruh mencapai taraf al-nafs al-muthmainnah / lebih tinggi lagi. Sehingga diharapkan manusia dapat mengembangkan diri mencapai kualitas insan kamil. Adapun ruh diciptakan jauh sebelum manusia dilahirkan, berfungsi semasa hidup dan setelah meninggal ruh akan pindah ke alam baqa untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya ke dalam hadirat Ilahi. Jadi ruh itu ada dalam diri manusia, tapi tak kasat mat (invisible) karena sangat halus, gaib serta dimensinya yang jauh lebih tinggi dari alam pikiran, serta tahapannya pun di atas alam sadar. Ruh dengan demikian merupakan salah satu dimensi yang ada pada manusia di samping dimensi ragawi dan dimensi kejiwaan, yang ada sebelum dan sesudah masa kehidupan manusia.

Hiasan Bagi Ruh

Ruh (roh atau jiwa) juga menunjukkan kelembutan Ilahi, dan seperti halnya si “hati”, ia juga berada di dalam hati badaniah. Roh dimasukkan ke dalam tubuh melalui “saringan yang halus”. Pengaruhnya terhadap tubuh ialah seperti lilin di dalam kamar, tanpa meninggalkan tempatnya, cahayanya memancarkan sinar kehidupan bagi seluruh tubuh.

Pada dasarnya roh merupakan lathifah dan oleh karenanya ia merupakan suatu unsur Ilahi. Sebagai sesuatu yang halus, ia merupakan kelengkapan pengetahuan yang tertinggi dari manusia yang bertanggung jawab terhadap sinar dari penglihatan yang murni, apabila manusia bebas seluruhnya dari kesadaran fenomenal
Tingkat perkembangan ruh yang sempurna dihiasi dengan sifat-sifat ketuhanan dan berhak menjadi wakil Allah. Salah satu aliran berpendapat bahwa nafs harus dibersihkan agar ruh dapat dihiasi. Beberapa aliran yang lain beranggapan bahwa jika ruh tidak dihias maka nafs tidak dapat dibersihkan.

Pandangan lain adalah bahwa sekalipun seseorang menghabiskan seluruh hidupnya untuk berjuang membersihkan nafs, nafs tersebut masih belum bisa dibersihkan seluruhnya dan dia bahkan mungkin tidak memiliki kesempatan untuk bekerja dengan ruh. Namun jika seseorang bisa menempatkan nafs tetap berada dalam etika thariqat, yang memusatkan perhatian pada pembersihan hati dan menghias ruh, maka kemuliaan ketuhanan akan muncul silih berganti melalui pengaruh daya tarik kemurahan dan kemuliaan Allah.


Cinta adalah daya tarik ketuhanan, apabila menemukan jalannya ke dalam hati, dia akan membakar akar wujud seseorang, dan menyatukannya dengan wujud mutlak. Hati adalah wilayah persimpangan antara kesatuan dan keragaman. Ketika hati dimurnikan dari segala karat keragaman, matahari cinta akan terbit dan memancarkan sinar kesatuan. Cinta adalah ramuan wujud. Orang harus mematikan diri agar dapat meraih harta karun kehidupan abadi


Al-ruh merupakan dimensi jiwa manusia yang sifatnya spiritual dan potensi yang berasal dari Tuhan. Dimensi ini menyebabkan manusia memiliki sifat Ilahiyah (sifat ketuhanan) dan mendorong manusia untuk mewujudkan sifat Tuhan itu dalam kehidupannya di dunia. Di sinilah fungsinya sebagai khalifah dapat teraktualisasikan. Dengan ini, maka manusia menjadi makhluk yang semi samawi-ardi, yaitu makhluk yang memiliki unsur-unsur alam dan potensi-potensi ketuhanan.

DAFTAR PUSTAKA

Imam al-Qusyairy an-Naisabury, Risalatul Qusyairiyah Induk Ilmu Tasawuf, Risalah Gusti, Surabaya, 2000.
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam Studi tentang Elemen Psikologi dari al-Qur’an, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.
Imam Ghazali, Ihya’ Ulumuddin, Pustaka Nasional, Singapore, 1998.
Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam Menuju Psikologi Islami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001.
Ali Issa Othman, Manusia Menurut al-Ghazali, Pustaka, Bandung, 1981.
Javad Nurbakhsy, Psikologi Sufi, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta, 2001

 

Mahabbah Dalam Bermujahadah

Allah menerangkan diri-Nya sebagai Yang Lahir dan Yang Batin (QS. Al-Hadid/57 : 3). Dunia dan isinya adalah pancaran dan alamat dari nama-nama dan sifat-sifat Nya, semua realitas dunia memiliki aspek lahir dan aspek batin.

Demikian pula dengan kehidupan manusia, kehidupan lahir memang tidak sia-sia, namun berpuas diri semata-mata dengan masalah lahiriah, merupakan pengingkaran terhadap kodrat manusia yang sebenarnya, karena dasar-dasar terdalam keberadaannya untuk melakukan perjalanan diri yang lahir ke yang batin.

Bagi kaum sufi, pendalaman dan pengalaman batin adalah sesuatu yang paling utama dengan tanpa mengabaikan aspek lahiriah yang dimotivasikan untuk membersihkan jiwa. Kebersihan jiwa itu merupakan hasil usaha dan perjuangan (mujahadah) yang tidak henti-hentinya, sebagai cara perilaku perseorangan yang terbaik dalam mengontrol dirinya, setia dan senantiasa merasa dihadapan Allah Swt. Pencapaian kesempurnaan dan kesucian jiwa melalui proses pendidikan dan latihan mental (riyadhah) yang diformulasikan dalam bentuk pengaturan sikap mental yang benar dari pendisiplinan tingkah laku yang ketat.

Al-Ghazali mengumpamakan jiwa manusia bagaikan cermin, cermin yang mengkilap bisa saja menjadi hitam pekat jika tertutup oleh noda-noda hitam maksiat (dosa) yang diperbuat manusia (QS. Al-Muthaffifin/83 : 14). Apabila seseorang senantiasa menjaga kebersihannya, maka titik noda itu akan hilang dan niscaya cermin itu gampang menerima apa-apa yang bersifat suci dari pancaran Nur Ilahi, dan bahkan lebih dari itu, jiwa tadi akan memiliki kekuatan yang besar dan luar biasa.

Memang diakui oleh para tasawuf bahwa manusia dalam kehidupannya selalu berkompetisi dengan hawa nafsunya yang selalu ingin menguasainya (QS. Yusuf : 53). Agar hawa nafsu seseorang dikuasai oleh akal yang telah mendapat bimbingan wahyu, maka dalam dunia tasawuf diajarkan berbagai cara, seperti riyadhah (latihan) dan mujahadah (bersungguh-sungguh) sebagai sarana untuk melawan hawa nafsunya tadi. Cara pembinaannya melalui tiga tahapan, yakni tahap pembersihan dan penggosongan jiwa dari sifat-sifat tercela (takhalli), tahap kedua ialah penghiasan diri dengan sifat-sifat terpuji (tahalli) dan ketiga tercapainya sinar Ilahi (tajalli).
Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan kotoran atau penyakit yang merusak. Langkah pertama adalah mengetahui dan menyadari, betapa buruk sifat-sifat tercela dan kotoran hati itu, sehingga muncul kesadaran untuk memberantas dan menghindarinya. Apabila hal ini bisa dilakukan dengan sukses, maka kebahagiaan akan diperoleh seseorang (QS. Asy-Syams/91 : 9-10).

Sifat-sifat tercela itu antara lain sifat hasud (dengki atau iri hati), hirsh (keinginan yang berlebih-lebihan), takabur (sombong), ghadlab (marah), riya’ (sikap pamer), sum’ah (ingin di dengar kebaikannya), ‘ujub (bangga diri), dan syirik (menyekutukan Allah).

Cara menghilangkan sifat-sifat tersebut ialah dengan menghayati akidah (keimanan) dan ibadah kita, mengadakan latihan dan bersungguh-sungguh untuk menghilangkannya dengan cara mencari waktu yang tepat untuk itu, serta melakukan koreksi diri (munasabah) dan berdo’a kepada Allah Swt.

Jenjang kedua ialah tahalli, yakni menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji, dan akhlak karimah. Untuk membangun benteng dalam diri masing-masing individu, terutama dalam menghadapi gemerlapnya materi ini perlu dibangun dan diperkokoh sifat tauhid (mengesakan Allah secara mutlak), ikhlas (beramal karena Allah semata), taubat (kembali ke jalan yang baik) , zuhud (sikap mental lebih mementingkan Allah/akhirat), khub (cinta Allah semata), wara’ (menjaga diri dari hal-al yang tidak jelas kekhalalannya) sabar (tabah), faqr (merasa butuh kepada Allah SWT), syukur (berterima kasih dengan jalan mempergunakan nikmat dan rahmat Allah SWT, secara fungsional dan proporsional), ridha (rela terhadap karunia-Nya), tawakkal (pasrah diri setelah berusaha) dan sebagainya.


Setelah seorang mampu menguasai dirinya, dapat menanamkan sifat-sifat terpuji dalam jiwanya, maka hatinya menjadi jernih, ketenangan dan ketenteraman memancar dari hatinya. Inilah hasil yang dicapai seseorang yang dalam tasawuf disebut tajalli, yaitu sampainya Nur Ilahi dalam hatinya. Dalam keadaan demikian, seseorang bisa membedakan mana yang baik dan yang tidak baik, mana yang batil dan mana yang haq. Dan secara khusus, tajalli berarti ma’rifatullah, melihat Tuhan dengan matahati, dengan rasa. Ini adalah puncak kebahagiaan seseorang, sehingga berhasil mencapai thuma’ninatul qalb.

Sifat-sifat yang tidak terpuji yang ada pada diri manusia juga dapat dihilangkan dengan menggunakan cara teori mahabbah.

Mahabbah adalah cinta, dan yang dimaksud adalah cinta kepada Tuhan. Pengertian yang diberikan kepada mahabbah antara lain sebagai berikut:
-Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan pada-Nya
-Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi
-Menggosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi, yang dimaksud dengan yang dikasihi disini ialah Tuhan.

Diantara ulama ada yang menempatkan mahabbah (cinta) bagian dari maqamat tertinggi yang merupakan puncak pencapaian sufi, dimana keseluruhan jenjang yang dilakui bertemu dalam maqom mahabbah.

Menurut al-Sarraj, mahabbah mempunyai tiga tingkat:

1. Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan dzikir, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan senantiasa memuji Tuhan.

2. Cinta orang yang siddiq (الصديق), yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya, dan lain-lain. Cinta tingkat kedua ini membuat orangnya sanggup menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan cinta pada Tuhan dan selalu rindu pada-Nya.

3. Cinta orang yang ‘arif (العارف), yaitu orang yang tahu betul pada Tuhan. Cinta seperti ini timbul karena telah tahu betul-betul pada Tuhan. Yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang damai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.

Al-Junaidi ketika ditanya tentang cinta menyatakan bahwa seorang yang dilanda cinta akan dipenuhi oleh ingatan pada sang kekasih, sehingga tak satupun yang tertinggal kecuali ingatan pada sifat-sifat sang kekasih, bahkan ia melupakan sifatnya sendiri.

Paham mahabbah mempunyai dasar al-Qur'an, umpamanya:

...فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ...

“…maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya…”.

Juga ada hadits yang membawa paham demikian, misalnya:

وَلاَ يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ اِلَيَّ بِالنَّوَا فِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ وَمَنْ اَحْبَبْتُهُ كُنْتُ لَهُ سَمُعًاوَبَصَرًا وَ يَـدًا

Hamba-hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan perbuatan-perbuatan hingga Aku cinta padanya. Orang yang kucintai menjadi telinga, mata dan tangan-Ku”.

Adapun cara-cara kita menumbuhkan rasa cinta kita kepada Allah ialah:

-Dengan cara mengenali semua nama-nama Allah dan semua sifat-sifat-Nya tersebut maka akan tumbuhlah rasa cinta kita kepada Allah

-Berfikir tentang ciptaan Allah, dengan cara memikirkan segala ciptaan-Nya maka pasti kita akan menyadari betapa besarnya kekuasaan Allah. Dengan cara merenungi ciptaan Allah tersebut maka akan tumbuhlah rasa cinta kita kepada Allah.

Sufi yang termasyhur dalam sejarah tasawuf dengan mahabbahnya adalah seorang sufi wanita yang bernama Rabi’ah al-Adawiyah. Cinta yang mendalam kepada Tuhan memalingkan dia dari segala sesuatu selain Tuhan. Di dalam do’anya ia tidak meminta dijauhkan dari neraka dan tidak pula dimasukkan dalam surga. Yang ia pinta adalah dekat dengan Tuhan. Ia mengatakan “aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut terhadap neraka, bukan pula karena ingin masuk surga, tapi aku mengabdi karena takut kepada-Nya”. Ia bermunajat “Tuhanku jika aku puja Engkau karena takut kepada neraka bakarlah karena engkau”.

Cinta kepada Tuhan begitu memenuhi seluruh jiwanya sehingga ia menolak semua tawaran kawin, dengan alasan bahwa dirinya adalah milik Tuhan tang dicintainya, dan siapa yang ingin kawin dengan dia haruslah meminta izin dari Tuhan.

Penulis sufi menetapkan beberapa tahapan menumbuhkan cinta kepada Allah yaitu keikhlasan, perenungan, pelatihan spiritual, interaksi diri terhadap kematian meskipun tahap cinta dianggap sebagai tahap tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang ahli yang menyelaminya. Termasuk di dalamnya kepuasan hati (ridho), kerinduan (syauq) dan keintiman (uns). Ridho mewakili pada satu sisi ketaatan tanpa disertai adanya penyangkalan dari seorang pecinta terhadap kehendak yang dicintainya. Al-hujwiri membagi empat golongan manusia yang ridho kepada Allah.

-Mereka yang ridho dengan pemberian-pemberian Allah, yaitu ma’rifat
-Mereka yang ridho kebahagiaan, yaitu dunia ini
-Mereka yang ridho terhadap penderitaan
-Mereka yang ridho menjadi pilihan Tuhan, yaitu cinta.

Syauq adalah kerinduan sang pecinta untuk bertemu dengan sang kekasih, dan uns adalah hubungan intim yang terjalin antara dua kekasih spiritual itu.

Adapun cinta menurut Ibnu al-‘Arabi menjadi tiga cara berwujud:

1.Cinta Ilahiyah: yang pada satu sisi ialah cinta khaliq kepada makhluk dimana ia menciptakan dirinya, yakni menerbitkan bentuk tempat dia mengungkapkan dirinya dan pada sisi lain cinta makhluk kepada khaliqnya yang tidak lain adalah hasrat Tuhan yang tersingkap dalam makhluk rindu untuk kembali pada Dia, setelah dia merindukan sebagai makhluk yang tersembunyi, untuk dikenal dalam diri makhluk inilah dialog abadi antara pasangan ilahi manusia.

2.Cinta spiritual: terletak pada makhluk yang senantiasa mencari wujud dimana bayangnya dia cari dalam dirinya atau yang didapati olehnya bahwa bayangan itu adalah dia sendiri. Inilah dalam diri makhluk cinta yang tidak memperdulikan, mengarah atau menghendaki apapun selain cukup sang kekasih.

3.Cinta alami: yang berhasrat untuk memiliki dan mencari kepuasan hasratnya sendiri tanpa memperdulikan kepuasan kekasih.

Cinta dan pengampunan Allah kepada manusia adalah rahmat. Sedangkan cinta manusia kepada Allah adalah suatu kualitas yang dimanifestasikan di dalam hati para mukmin. Sehingga dia akan selalu berusaha memuaskan kekasihnya, merasa serentak dan tanpa henti-hentinya untuk dapat memandang Allah serta tidak dapat dialihkan kepada siapapun kecuali Allah. Akan selalu merasa akrab dengan mengingat-ingatnya dan bersumpah tidak akan mengalihkan ingatannya kepada selainnya.

Para mukmin yang mencintai Allah terdapat dua macam:

1. Mereka yang menganggap bahwa kebaikan dan kedermawanan Allah kepada mereka dan dibimbing oleh anggapan tersebut untuk mencintai sang dermawan

2.Bagi mereka yang tertawan hatinya oleh cinta dimana mereka berpendapat bahwa semua kebaikan-kebaikan Allah bagaikan sebuah hijab dan menganggap Allah sebagai dermawan akan membimbing pada perenungan kebaikan-kebaikan Allah.

Uraian di atas menjelaskan bahwa untuk menghilangkan sifat-sifat tercela seperti hasud, hirsh, takabur, ghadhab, riya’, sum’ah, ujub, dan syirik dan sebaginya, yaitu dengan cara pembinaan melalui tiga tahapan, yaitu takhalli, tahalli, tajalli.
Selain ketiga tahapan tersebut, dapat juga dengan cara menumbuhkan rasa cinta kita kepada Allah. Dengan adanya rasa cinta kepada Allah, maka apapun perbuatan yang kita lakukan semata-mata karena Allah. Jadi, untuk berbuat atau melakukan hal-hal yang tercela kita akan berfikir bahwa perbuatan tercela itu dibenci oleh Allah, maka karena rasa cinta kita kepada Allah kita akan menjauhi perbuatan tercela itu. Dan atas dasar rasa cinta kita kepada Allah, kita akan lebih merasa dekat dengan Allah dan rasa syukur kita akan apa yang diberikan Allah semakin bertambah. Kita akan merasa apa yang diberikan Allah kepada kita adalah karunia dan cobaan yang diberikan kepada kita itu atas dasar Allah masih sayang kepada kita dan masih memperhatikan kita.

==> makalah ibnu