Hidup pastikan aman tenteram dunia wal akhirat kalau saja kita selalu bertafakur untuk mengingat Allah dan mengingat kehidupat akhirat, minimal 5 menit dalam sehari semalam
Jumat, 11 Oktober 2013
HIASAN HATI................ IKHLAS
Bismillahirrahmanirrahim..
Ikhlas berasal dari kata dasar kha-la-so yang
membawa maksud bersih atau suci. Menurut Ibnu al-Qayyim ikhlas ialah
"mengesakan Allah yang Haq bertujuan hanya kepadaNya tanpa
mempersekutukannya dengan sesuatu pun."
Seseorang yang ikhlas tidak akan menghiraukan
pujian, sanjungan maupun penghargaan dari manusia karena kebergantungan dan
kecintaanNya hanya semata-mata karena Allah SWT. Nilai hatinya hanya untuk
Allah tanpa mengambil bicara kata manusia. Hal ini bertujuan untuk meraih
hubungan hatinya dengan Allah. Bahkan, dalam masa yang sama dia tidak mau
orang lain mengetahui amal kebaikannya walaupun sebesar zahrah pun.
Seseorang yang ikhlas diumpakan sebagai seekor
semut yang berwarna hitam yang berjalan diatas waktu hitam diwaktu malam. sudah
pasti kita tidak nampak bukan? begitulah sikap orang yang ikhlas ketika
melakukan sesuatu amal ibadat kepada Allah.
Dan keikhlasan itu juga dapat dirasakan dari
segumpal daging didalam tubuh jasad anak Adam dan itu adalah qalbu (hati).
”Sesungguhnya dalam tubuh jasad anak Adam itu ada segumpal daging bila baik nescaya baiklah seluruh anggota tubuhnya dan bila jahat ia nescaya jahatlah seluruh anggota tubuhnya. Ketahuilah! iaitulah Qalbu (hati).” maksud Hadis.
Ingatlah!amat perlu bagi kita untuk menanamkan
sifat ikhlas kerana ia dapat menghindari diri daripada segala penyakit yang
mengotorkan hati. Selain itu, ibadat kepada Allah juga perlu diiringi dengan
rasa cinta dengan mengharapkan pertemuan dgnNya di hari akhirat kelak.
Perasaan cinta itu perlu dipupuk agar terus kekal.
Firman Allah didalam Surah Al-Bayyinah, ayat 5
maksudhya:
“Dan tiadalah mereka disuruh melainkan supaya menyembah Allah serta mengikhlaskan agama kepadanya.”
Firman Allah didalam hadis Qudsi yg bermaksud:
“Bermula ikhlas itu satu rahsia daripada rahsia aku, aku taruhkan ia dihati hamba yang aku kasihi daripada hamba-hamba ku.”
Untuk mendapat ikhlas amat susah. Tetapi bila
tidak ada ikhlas, artinya tidak ada roh amal. Tidak ada nyawa ibadah. Walaupun
manusia itu nampaknya hebat, di sisi Allah, tidak ada apa-apa nilai. Kosong.
Ibarat habaan mansura yakni debu-debu yang berterbangan, hilang begitu
sahaja.
Oleh itu marilah kita sama-sama berdoa kepada
Allah SWT: “Ya Allah jadikan kami orang yang ikhlas. Jadikan usaha kami karena-Mu. Jangan ada yg lain di hati kami selain-Mu. Pimpinlah kami wahai Tuhan.
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Agar usaha-usaha kami tidak sia-sia.
Amin. Ya Rabbal’alamin. Ya Mujibassailin, Wahai Tuhan yang menunaikan segala
permintaan orang yang meminta.”
Sesungguhnya orang-orang yang ikhlas itu balasannya ialah syurga seperti sabda Rasulullah SAW: Allah SWT berfirman, “Aku menyediakan bagi hamba-hamba-Ku yang soleh (ikhlas), apa yang belum terlihat oleh mata dan belum terdengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas dalam hati.” (Muttafaqun ‘Alaih)-
Sesungguhnya orang-orang yang ikhlas itu balasannya ialah syurga seperti sabda Rasulullah SAW: Allah SWT berfirman, “Aku menyediakan bagi hamba-hamba-Ku yang soleh (ikhlas), apa yang belum terlihat oleh mata dan belum terdengar oleh telinga dan tidak pernah terlintas dalam hati.” (Muttafaqun ‘Alaih)-
Waullahu 'Alam
Kamis, 10 Oktober 2013
cinta Ali & Fatimah Az-zahra
Cinta adalah hal fitrah yang tentu saja dimiliki oleh setiap orang,
namun bagaimanakah membingkai perasaan tersebut
agar bukan Cinta yang mengendalikan Diri kita
Tetapi Diri kita yang mengendalikan Cinta
Mungkin cukup sulit menemukan teladan dalam hal tersebut
disekitar kita saat ini
Walaupun bukan tidak ada..
barangkali, kita saja yang tidak mengetahui saking rapatnya dikendalikan
Tapi,
kebanyakan justru yang tampak ke permukaan adalah yang justru seharusnya tidak kita contoh
Kekurangan teladan?
Mungkin..
Dan inilah fragmen dari Khalifah ke-4, Suami dari Putri kesayangan Rasulullah
tentang membingkai perasaan dan
Bertanggung jawab akan perasaan tersebut
“Bukan janj-janji”
Kisah ini diambil dari buku Jalan Cinta Para Pejuang, Salim A.Fillah
chapter aslinya berjudul “Mencintai sejantan ‘Ali”
Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah.
Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.
Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta.
Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta.
Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!
Maka gadis cilik itu bangkit.
Gagah ia berjalan menuju Ka’bah.
Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
Mengagumkan!
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.
Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi.
Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah.
Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr.
Kedudukan di sisi Nabi?
Abu Bakr lebih utama,
mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali,
namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi.
Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah.
Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab..
Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud..
Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali?
Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak.
Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.
Ah, ujian itu rupanya belum berakhir.
Setelah Abu Bakr mundur,
datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa,
seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka,
seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al Khaththab.
Ya, Al Faruq,
sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.
’Umar memang masuk Islam belakangan,
sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr.
Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya?
Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman?
Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin?
Dan lebih dari itu,
’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata,
”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.
Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya.
’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam.
Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam.
Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir.
Menanti dan bersembunyi.
’Umar telah berangkat sebelumnya.
Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.
”Wahai Quraisy”, katanya.
”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”
’Umar adalah lelaki pemberani.
’Ali, sekali lagi sadar.
Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah.
Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak.
’Umar jauh lebih layak.
Dan ’Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.
Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak.
Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi?
Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah?
Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah?
Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka.
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka?
Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu?
Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang Nabi.
Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah.
Ya, menikahi.
Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.
Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap?
Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap?
Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan.
Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya.
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!”
Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung.
Apa maksudnya?
Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan.
Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab.
Mungkin tidak sekarang.
Tapi ia siap ditolak.
Itu resiko.
Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab.
Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan.
Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua!
Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”
Dan ’Ali pun menikahi Fathimah.
Dengan menggadaikan baju besinya.
Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya.
Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah.
Dengan keberanian untuk menikah.
Sekarang.
Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati.
Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel,
“Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”
Inilah jalan cinta para pejuang.
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab.
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’Ali.
Ia mempersilakan.
Atau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi,
dalam suatu riwayat dikisahkan
bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)
Fathimah berkata kepada ‘Ali,
“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”
Kisah ini disampaikan disini,
bukan untuk membuat kita menjadi mendayu-dayu atau romantis-romantis-an
Kisah ini disampaikan
agar kita bisa belajar lebih jauh dari ‘Ali dan Fathimah
bahwa ternyata keduanya telah memiliki perasaan yang sama semenjak mereka belum menikah tetapi
dengan rapat keduanya menjaga perasaan itu
Perasaan yang insyaAllah akan indah ketika waktunya tiba.
namun bagaimanakah membingkai perasaan tersebut
agar bukan Cinta yang mengendalikan Diri kita
Tetapi Diri kita yang mengendalikan Cinta
Mungkin cukup sulit menemukan teladan dalam hal tersebut
disekitar kita saat ini
Walaupun bukan tidak ada..
barangkali, kita saja yang tidak mengetahui saking rapatnya dikendalikan
Tapi,
kebanyakan justru yang tampak ke permukaan adalah yang justru seharusnya tidak kita contoh
Kekurangan teladan?
Mungkin..
Dan inilah fragmen dari Khalifah ke-4, Suami dari Putri kesayangan Rasulullah
tentang membingkai perasaan dan
Bertanggung jawab akan perasaan tersebut
“Bukan janj-janji”
Kisah ini diambil dari buku Jalan Cinta Para Pejuang, Salim A.Fillah
chapter aslinya berjudul “Mencintai sejantan ‘Ali”
Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah.
Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya.
Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya.
Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta.
Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta.
Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya!
Maka gadis cilik itu bangkit.
Gagah ia berjalan menuju Ka’bah.
Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam.
Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali.
Mengagumkan!
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.
Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi.
Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah.
Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr.
Kedudukan di sisi Nabi?
Abu Bakr lebih utama,
mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali,
namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi.
Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah
sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya..
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah.
Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab..
Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud..
Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali?
Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insyaallah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin.
”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.
”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan.
Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakr ditolak.
Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.
Ah, ujian itu rupanya belum berakhir.
Setelah Abu Bakr mundur,
datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa,
seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum muslimin berani tegak mengangkat muka,
seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh-musuh Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al Khaththab.
Ya, Al Faruq,
sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.
’Umar memang masuk Islam belakangan,
sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr.
Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya?
Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman?
Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin?
Dan lebih dari itu,
’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata,
”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.
Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya.
’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam.
Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam.
Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir.
Menanti dan bersembunyi.
’Umar telah berangkat sebelumnya.
Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah.
”Wahai Quraisy”, katanya.
”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah.
Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!”
’Umar adalah lelaki pemberani.
’Ali, sekali lagi sadar.
Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah.
Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak.
’Umar jauh lebih layak.
Dan ’Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Ia mengambil kesempatan.
Itulah keberanian.
Atau mempersilakan.
Yang ini pengorbanan.
Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak.
Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi?
Yang seperti ’Utsman sang miliarder kah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah?
Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah?
Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka.
Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka?
Sa’d ibn Mu’adz kah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu?
Atau Sa’d ibn ’Ubadah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi..”
”Aku?”, tanyanya tak yakin.
”Ya. Engkau wahai saudaraku!”
”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang Nabi.
Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah.
Ya, menikahi.
Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya.
Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya.
Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap?
Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap?
Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan.
Pemuda yang siap bertanggungjawab atas rasa cintanya.
Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan-pilihannya.
Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!”
Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
Dan ia pun bingung.
Apa maksudnya?
Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan.
Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab.
Mungkin tidak sekarang.
Tapi ia siap ditolak.
Itu resiko.
Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab.
Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan.
Ah, itu menyakitkan.
”Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
”Entahlah..”
”Apa maksudmu?”
”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
”Dasar tolol! Tolol!”, kata mereka,
”Eh, maaf kawan.. Maksud kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua!
Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya!”
Dan ’Ali pun menikahi Fathimah.
Dengan menggadaikan baju besinya.
Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya.
Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah.
Dengan keberanian untuk menikah.
Sekarang.
Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati.
Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel,
“Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!”
Inilah jalan cinta para pejuang.
Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggungjawab.
Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti.
Seperti ’Ali.
Ia mempersilakan.
Atau mengambil kesempatan.
Yang pertama adalah pengorbanan.
Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi,
dalam suatu riwayat dikisahkan
bahwa suatu hari (setelah mereka menikah)
Fathimah berkata kepada ‘Ali,
“Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali merasakan jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau manikah denganku? dan Siapakah pemuda itu”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”
Kisah ini disampaikan disini,
bukan untuk membuat kita menjadi mendayu-dayu atau romantis-romantis-an
Kisah ini disampaikan
agar kita bisa belajar lebih jauh dari ‘Ali dan Fathimah
bahwa ternyata keduanya telah memiliki perasaan yang sama semenjak mereka belum menikah tetapi
dengan rapat keduanya menjaga perasaan itu
Perasaan yang insyaAllah akan indah ketika waktunya tiba.
Proses Penciptaan wanita
Ketika Tuhan menciptakan wanita, Malaikat datang dan bertanya, “Mengapa begitu lama Tuhan?”
Tuhan menjawab, “ Sudahkah engkau lihat semua detail yang Aku buat untuk menciptakan mereka? Dua tangan ini harus bisa membersihkan, tetapi bahannya bukan dari plastic. Setidaknya terdiri dari 200 bagian, yang bisa digerakkan dan berfungsi baik untuk segala jenis makanan. Mampu menjaga banyak anak saat bersamaan, punya pelukan yang dapat menyembuhkan sakit hati dan keterpurukan…dan semua dilakukannya dengan dua tangan ini”.
Malaikat itu takjub, “ Hanya dengan 2 tangan?...Impossible!”
“ Oh tidak!!Aku akan menyelesaikan ciptaan hari ini, karena ini adalah ciptaan favoritku, oh iya dia juga akan mampu menyembuhkan dirinya sendiri dan bisa bekerja selama 18 jam sehari”.
Malaikat mendekat dan mengamati bentuk wanita ciptaan Tuhan itu, “ Tapi Engkau membuatnya begitu lembut Tuhan?”
“ Yah, Aku membuatnya begitu lembut, tapi engkau belum bisa bayangkan kekuatan yang Aku berikan agar mereka dapat mengatasi banyak hal yang luar biasa”.
“ Dia bisa berpikir?” Tanya Malaikat
Tuhan menjawab, “ Tak hanya berpikir, dia mampu bernegosiasi. Manusia akan menyebutnya PEREMPUAN, dia akan menjadi ciptaanKu yang paling dihormati karena darinya akan lahir pembesar dan penguasa bumi”.
Malaikat itu menyentuh dagunya..
“ Tuhan, Engkau buat ciptaan ini kelihatan lelah dan rapuh! Seolah terlalu banyak beban baginya”.
“ Itu bukan lelah atau rapuh…itu Air Mata”, jawab Tuhan.
“ Untuk apa?” Tanya Malaikat.
Tuhan melanjutkan, “Air mata adalah salah satu cara dia mengekspresikan kegembiraan, kegalauan, cinta, kesepian, penderitaan dan kebahagiaan”.
“Engkau memikirkan segala sesuatunya. Wanita ciptaanMu ini akan sungguh menakjubkan!” seru Malaikat.
Tuhan tersenyum, kataNya, “Wanita ini akan mempuyai kekuatan mempesona bagi laki-laki. Dia dapat mengatasi beban bahkan laki-laki. Dia mampu menyimpan kebahagiaan dan pendapatnya sendiri. Dia mampu tersenyum bahkan saat hatinya menjerit. Mampu menyanyi saat menangis, menangis saat terharu, terharu saat tertawa, bahkan tertawa saat ketakutan. Dia berkorban demi orang yang dicintainya. Dia tidak menolak kalo melihat yang lebih baik. Dia menerjunkan dirinya untuk keluarganya. Dia membawa temannya yang sakit untuk berobat”.
CINTANYA TANPA SYARAT
“ Dia menangis saat melihat anaknya adalah pemenang. Dia girang dan bersorak saat melihat temannya tertawa. Dia begitu bahagia mendengar kelahiran. Hatinya begitu sedih saat mendengar berita sakit dan kematian. Tetapi dia selalu punya kekuatan untuk mengatasi hidup, dia tahu bahwa sebuah ciuman dan pelukan dapat menyembuhkan luka”.
Tuhan terdiam sejenak, lalu Dia berkata “Hanya 1 kekurangan dari Wanita.
“DIA LUPA BETAPA BERHARGANYA DIA..”
Karena tugasnya itulah perempuan diberi kekuatan oleh Allah..
Allah telah memberikan kekuatan pada perempuan, karena ditangannya akan terlahir penerus keturunan.
Anak yang baik terlahir dari kehebatan seorang ibu yang mengasuh dan membesarkannya.
Di balik kesuksesan suami, ada istri yang hebat yang mendampinginya.
Sejatinya wanita harus di perlakukan dengan baik, agar jiwanya terbangun dengankasih sayang dan kesabaran. Kasih dan sayang sepanjang waktu dalammendampingi anak-nak dan keluarganya tanpa perasaan tersakiti.
Sehingga di harapkan perempuan dapat menjalankan fungsinya dengan baik di dalam keluarga maupun masyarakat..
Minggu, 06 Oktober 2013
Mereka Sepasang, Jiwa dan Ruh: Jiwa yang Melakukan Perjanjian dan Disaksikan oleh Ruh
“Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari
sulbi mereka dan Allâh mengambil kesaksian terhadap "jiwa mereka”
(anfusihim) (seraya berfirman) “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka
menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan
yang demikian itu) agar pada hari kiamat kamu tidak mengatakan,
“Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap
ini (ke-Esa-an Tuhan)”. (QS. Al A’râf [7]:172).
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan (nafakha) ke dalam (tubuh) nya (manusia) ruh (ciptaan)-Nya, dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan fu’ad/hati (af’idah); (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (QS. As-Sajdah [32]:9).
Rasulullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Dari ubay bin Ka’ab ra, ia mengatakan, “Mereka (jiwa dan ruh tersebut) dikumpulkan, lalu dijadikan berpasang-pasangan, baru kemudian mereka dibentuk. Setelah itu mereka pun diajak berbicara, lalu diambil dari mereka janji dan kesaksian, “Bukankah Aku Tuhan mu?”, mereka menjawab “Benar”. Sesungguhnya Aku akan mempersaksikan langit tujuh tingkat dan bumi tujuh tingkat untuk menjadi saksi terhadap kalian, serta menjadikan nenek moyang kalian Adam sebagai saksi, agar kalian tidak mengatakan pada hari kiamat kelak, “Kami tidak pernah berjanji mengenai hal itu”.
Dengan demikian mereka telah mengakui hal tersebut. Kemudian Adam diangkat dihadapan mereka dan ia (Adam) pun melihat kepada mereka, lalu ia melihat orang yang kaya dan orang yang miskin, ada yang bagus dan ada juga yang sebaliknya. Lalu Adam berkata, “Ya Tuhanku, seandainya Engkau menyamakan di antara hamba-hamba-Mu itu”. Allâh menjawab, “Sesungguhnya Aku sangat suka untuk Aku disyukuri”. Dan Adam melihat para nabi di antara mereka seperti pelita yang memancarkan cahaya pada mereka”. (HR. Ahmad)
yaa Salam @msa
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan (nafakha) ke dalam (tubuh) nya (manusia) ruh (ciptaan)-Nya, dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan fu’ad/hati (af’idah); (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (QS. As-Sajdah [32]:9).
Rasulullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Dari ubay bin Ka’ab ra, ia mengatakan, “Mereka (jiwa dan ruh tersebut) dikumpulkan, lalu dijadikan berpasang-pasangan, baru kemudian mereka dibentuk. Setelah itu mereka pun diajak berbicara, lalu diambil dari mereka janji dan kesaksian, “Bukankah Aku Tuhan mu?”, mereka menjawab “Benar”. Sesungguhnya Aku akan mempersaksikan langit tujuh tingkat dan bumi tujuh tingkat untuk menjadi saksi terhadap kalian, serta menjadikan nenek moyang kalian Adam sebagai saksi, agar kalian tidak mengatakan pada hari kiamat kelak, “Kami tidak pernah berjanji mengenai hal itu”.
Dengan demikian mereka telah mengakui hal tersebut. Kemudian Adam diangkat dihadapan mereka dan ia (Adam) pun melihat kepada mereka, lalu ia melihat orang yang kaya dan orang yang miskin, ada yang bagus dan ada juga yang sebaliknya. Lalu Adam berkata, “Ya Tuhanku, seandainya Engkau menyamakan di antara hamba-hamba-Mu itu”. Allâh menjawab, “Sesungguhnya Aku sangat suka untuk Aku disyukuri”. Dan Adam melihat para nabi di antara mereka seperti pelita yang memancarkan cahaya pada mereka”. (HR. Ahmad)
yaa Salam @msa
Ujian Hidup
Dalam menjalani kehidupan di dunia ini, manusia selalu berhadapan
dengan dua keadaan silih berganti. Suatu saat merasakan suka, saat lain
merasakan duka. Pada saat bahagia, terkadang manusia menjadi lupa. Sebaliknya,
saat duka mendera, seringkali manusia berkeluh kesah.
Bagi hamba Allah SWT yang beriman, hidup adalah ujian. Selama hidup,
selama itulah kita diuji Allah SWT. ''Yang menciptakan mati dan hidup, untuk
menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha
Perkasa, Maha Pengampun.'' (QS Al-Mulk [67]: 2).
Minimal ada tujuh ujian hidup yang wajib kita ketahui. Insya Allah,
Allah SWT luruskan dari ujian-ujian-Nya, sehingga meraih gelar shobirin dan
mujahidin. ''Dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sehingga Kami
mengetahui orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar di antara kamu,
dan akan Kami uji perihal kamu.'' (QS Muhammad [47]: 31).
Pertama, ujian berupa perintah Allah, seperti Nabi
Ibrahim diperintahkan Allah SWT menyembelih putra tercintanya bernama Ismail.
Kedua, ujian larangan Allah SWT, seperti larangan
berzina, korupsi, membunuh, merampok, mencuri, sogok-menyogok, dan segala
kemaksiatan serta kezaliman.
Ketiga, ujian berupa musibah. ''Dan Kami pasti akan
menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan
buah-buahan.'' (QS Al-Baqarah [2]: 155).
Keempat, ujian nikmat, sebagaimana Allah SWT jelaskan
dalam surat Al-Kahfi ayat 7. ''Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada
di bumi sebagai perhiasan baginya, untuk Kami uji mereka, siapakah di antaranya
yang terbaik perbuatannya.''
Kelima, ujian dari orang zalim buat kita, baik kafirun
(orang yang tidak beragama Islam), musyrikun (menyekutukan Allah SWT),
munafiqun, jahilun (bodoh), fasiqun (menentang syariat Allah), maupun hasidun (dengki,
iri hati).
Keenam, ujian keluarga, suami, istri, dan anak.
Keluarga yang kita cintai bisa menjadi musuh kita karena kedurhakaanya kepada
Allah SWT.
Ketujuh, ujian lingkungan, tetangga, pergaulan, tempat
dan suasana kerja, termasuk sistem pemerintahan/negara.
Subhanallah, Allah SWT amat sayang kepada kita. Allah SWT tunjukkan
cara menjawab ujian itu semua. ''Dan minta pertolonganlah kamu dengan kesabaran
dan dengan sholat, dan sesungguhnya sholat sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang khusuk tunduk jiwanya.'' (QS Al-Baqarah [2]: 48). Semoga kita
dijadikan Allah SWT, hamba-Nya yang lulus dari ujian. Amin ya mujibas sailin.
Yaa Salam @msa
Kamis, 03 Oktober 2013
Ilmu hakekat dimaksud adalah ilmu laduni yaitu ilmu yang dialirkan
secara cepat oleh Allah swt.kepada orang-orang arif secara
rahasia,setelah MEREKA TERBEBAS DARI KETERIKATAN DENGAN
KEBENDAAN,kedatangannnya sangat cepat dan global,setelah mereke benar2
memposisikan sebagai HAMBA YANG FAKIR yang hanya butuh kepada
Allah,setelah ia terus mendekat dan merapat sehingga dalam pandangan nya
tidak ada suatu pun SELAIN ALLAH swt,dan atas perkenan dan anugrah
Allah semata,Allah membukakan KTAN ALIRAN ILMU ITU.allah memuliakannya
,dengan mengalirkan ilmu tanpa melalui proses belajar,sebagaimana
lazimnya ilmu lahir.kedatangannya sangat cepat dan MUJMAL ,sehingga
membuatnya tidak tahu kapan dan dari arah mana datangnya ,barulah
kemudian,tiba-tiba kesadarannya menjadi penuh,dapat memahami dan
mengerti semuanya,atas izin Allah swt sendiri.
SYEHC IBNU
ATHAILLAH "ILMU HAKEKAT YANG DITURUNKAN ALLAH KPD ORANG-ORANG ARIFIN
KETIKA TAJALI ITU BERSIFAT GLOBAL(MUJMAL) DAN SETELAH TERTANGKAP
TERJADINYA PENERANGAN (KETERANGAN)NYA MAKA APABILA KAMI BACAKAN,IKUTILAH
BACAANNYA,KEMUDIAN MENGENAI PENJELASANNYA SESUNGGUHNYA KAMI SENDIRI
YANG AKAN MENERANGKANNYA"
ILMU HAKEKAT merupakan anugrah dari
Allah semata melalui ILHAM langsung masuk dalam hati tanpa perantara,ABU
BAKAR AL-WARAQ berkata"Ketika saya sedang berada di hutan bai isrooil
tibaitiba bergerak dalam hatiku bahwa ilmu hakekat itu berlawanan dengan
ilmu syariat,mendadak terlihat padaku seorang dibawah pohon menjerit
sambil memanggil"HAI ABUBAKAR tiap_tiap yang bertentangan dengan syreat
,maka itu kekufuran,"ILMU HAKEKAT TIDAK BERTENTANGAN DENGAN ILMU
SYAREAT,TIDAK BERTENTANGAN DENGAN RASA DAN RASIO,MEMANG BAGI ORANG
KEBANYAKAN,SULIT UTK MENCERNANYA,TETAPI SETELAH MELALUI PROSES
PERENUNGAN SEIRING PERJALANAN WAKTU KEBENARANNYA MENJADI TERBUKTI"
ILMU HAKEKAT inni bersifat ilham dari ALLAH yang tidak bertentangan
dengan syareat islam,bukan ramalan dan bukan wangsit,sebagaimana yang
diperoleh sebagian orang melelui semedi dalam tradisi jawa yang
bercampur baur dengan upacara tradisi kejawen,oleh sebabitu ,apabila ada
seseorang mendapatkan wangsit dari persemediannya semacam itu,berupa
ilmu yang bertentangan dengan akidah dan syreat islam,maka itu bukan
dinamakan ILMU HAKEKAT atau ILMU LADUNI
Ibnu atahilan Berkataj
"KETUKA ANUGRAH ILAHI DATANG MERASUK KE DALAN HATI ANDA,MAKA AKAN
MELENYAPKAN SEGALA KEBIASAAN-KEBIASAAN ANDA.FIRMAN ALLAH"SESUNGGUHNYA
RAJA-RAJA APABILA MEMASUKI SUATU NEGERI NISCAYA MEREKA MEMBINASAKANNYA,"
JADI jika karunia ILAHI telah masuk ke dalam hati seseorang hamba,maka
sanggup merubah dan merombak segala adat kebiasaa yang telah menjadi
tabiat manusia itu.kebiasaan dan adat istiadat yang jahat dan tidak baik
akan lenyap terusir oleh anugrah iman yang datang mengusai hatu si
hamba.ketika hati telah menjadi baik,maka baiklah seluruh tubuh
nya,perilaku dan amal perbuatannya menjadi terpuji dan
diridhoi,Al-WARIDAT AL-ILLAHIYAH(ANUGRAH IMAN DAN KEMAKRIFATAN YANG
DATANG)kedalam hati itu,laksana RAJA dann pasukannya yang datang
menghancurkan dan mengusir kejahatan dan kegelapan yang bersarang
didalam hati.
IBNU ATHAILLAH BERKATA
"KARUNNIA
BESAR(AL-WARID) itu,datangnya dari TUHAN YANG PERKASA DAN PEMAKSA"karena
itu bila warid tiba ,maka tiada sesuatu yang berhadapan padanya
,melainkan lenyap karenanya.Firma Allah"SEBENARNYA KAMI MELONTARKAN YANG
HAK KEPADA YANG BATIL LALU YANG HAK ITU MENGHANCURKANNYA ,MAKA DENGAN
SERTA MERTA YANG BATIL ITU LENYAP"
AL-WARID ,sebagaimana
anugrah dari ALLAH yang diberika kepada hamba-Nya memiliki kekuatan yang
luar biasa yang dapat menghancurkan dan melenyapkan kebatilan,KEKUATAN
YANG DATANG DARI ALLAH yang Maha Perkasa Laghi dapat mengalahkan
segalai/alanyantidak dapat dikalahkan oleh kekuatan apapun
Allah berfirman"DAN KATAKANLAH;YANG BENAR TELAH DATANG DAN YANG BATIL
TELAH LENYAP"SESUNGGUHNYA YANG BATIL ITU ADALAH SESUATU YANG PASTI
LENYAP"QS.AL-ISRA:81
ALLAH BERFIRMAN"SEBENARNYA KAMI MELONTARKAN
YANG HAK KEPADA YANG BATIL LALU YANG HAK ITU MENGHANCURKANNYANMAKA
DENGAN SERTA MERTA YANG BATIL ITU LENYAP"QS AL-AMBIYA :18
SYEKH IBNU ATHAILLAH berkata:
"BAGAIMANA ALLAH AKAN TERHALANG (TERHIJAB) DENGAN SESUATU PADAHAL YANG
DIGUNAKAN HIJAB ITU TAMPAK JELAS ,DAN KEHADIRAN MAUJUDNYA PUN SANGAT
TERANG"
Pernyataan ibnu athaillah ini ,sebagai penegasan dari
apa yang telah dikemukakan diawal pembahasan,bagaimana mungkin ALLAH
AKAN TERTUTUP HIJAB(TERHIJAB) DENGAN SESUATU,PADAHAL SESUATU TLYANG
TERLIHAT ITU SEMATA-MATA NUR ILAHI,dan pada segala yang wujud,kekuasaan
Allah selalu ada dan hadir,tidak pernah gaib,karena itu disebut dalam
hadist qudsi"SESUNGGUHNYA HIJAB ALLAH IALAH NUR YANG APABILA DIBUKA
NISCAYA DAPAT MEMBAKAR APA SAJA YANG DIPERLIHATKANNYA,JANGANKAN MANUSIA
AKAN DAPAT BERTAHAN SEDANG BUKIT SAJAHC HANCUR,DAN NABI MUSA PINGSAN
SEBELUM MELIHAT LANGSUNG.
MAHA SUCI ALLAH DAN TIDAK ADA SATUPUN YANG MENYERUPAI-NYA"
Langganan:
Postingan (Atom)