Laman

Rabu, 19 Februari 2014

Wanita


Akalnya Setipis Rambutnya
Jangankan lelaki biasa, Nabi pun terasa sunyi tanpa wanita
Tanpa mereka hati, fikiran dan perasan lelaki akan rosak
Masih mencari walaupun ada segalanya
Apa yang tidak ada di Syurga
Namun Adam tetap rindukan Hawa
Pada wanita lelaki memangil ibu, isteri mahupun puteri

Dijadikan wanita dari tulang rusuk yang bengkok
Untuk diluruskan oleh lelaki
Tapi kalau lelaki sendiri tidak lurus
Mana mungkin kayu yang bengkok menghasilkan bayang yang lurus
Luruskan wanita dengan jalan yang ditunjukkan oleh ALLAH

Didiklah mereka dengan panduan dariNYA
Jangan cuba jinakkan mereka dengan harta
Kerana nantinya mereka akan semakin liar..
Jangan menghiburkan mereka dengan kecantikan
Kerana nantinya mereka akan semakin derita
Yang sementara itu tidak akan menyelesaikan masalah
Kenalkan mereka dengan zat yang kekal
Di situlah punca bagi kekutan dunia

Akalnya sitipis rambutnya
Tebalkan ia dengan ilmu
Hatinya serapuh kaca
Kuatkan ia dengan iman
Perasaannya selembut sutera
Hiasi ia dengan akhlak
Suburkan ia..
Kerana dari situlah nantinya mereka akan lihat
nilaian dan keadilan ALLAH

Bisikan ke telinga mereka
Bahawa kelembutan bukan suatu kelemahan
Ia bukan diskriminasi Tuhan sebaliknya dari situlah kasih sayang Tuhan
Wanita yang lupa pada hakikat kejadiannya
Pastinya tidak terhibur dan menghiburkan
Tanpa ilmu, iman dan akhlak
Mereka tidak akan luus, bahkan akan semakin me,mbengkok
itulah akibatnya andai wanita tidak kenal Tuhannya
Bila wanita derhaka, dunia lelaki akan huru-hara

Lelaki pula janganlah mengharapkan ketaatan
Tapi binalah kepimpinan
Pastinya sebelum memimpin wanita menuju Ilahi
Pimpinlah diri sendiri kepadaNYA
Jinakkan diri kepada ILAHI, nescaya akan jinaklah segala-galanya
Dibawah pimpinanmu
Jangan mengharapkan isteri semulia FATIMAH AZ-ZAHRA
Andai peribadimu tidak sehebat SAIDINA ALI KARRAMULLAHU WAJHAH

Via : Nurul Atiqah Hassan
DOA DI PAGI HARI:

اللهم إني اصبحت منك في نعمة وعافية وستر، فأتمم نعمتك علي وعافيتك وسترك في الد نيا والآخرة
ALLOOHUMMA INNII ASHBAHTU MINKA FII NI'MATIN, WA 'AAFIYATIN, WASITRIN, FA-ATMIM NI'MATAKA 'ALAYYA, WA-'AAFIYATAKA, WASITROKA FID DUN-YAA WAL-AAKHIROH : Ya Alloh, sesungguhnya aku telah mendapatkan karunia, kesehatan, serta perlindungan daripada-Mu di pagi hari, maka sempurnakan karunia kesehatan serta perlindungan-Mu padaku di dunia dan akhirat. Dibaca 3X

اللهم إني اصبحت أشهدك وأشهد حملة عرشك وملآ ئكتك وجميع خلقك أنك انت الله لاإله الا انت وحدك لاشريك لك وأن محمد عبد ك ورسولك
ALLOOHUMMA INNII ASHBAHTU USY-HIDUKA WA-USYHIDU HAMALA 'ARSYIKA, WAMALAA-IKATAKA, WAJAMII-'A KHOLQIKA ANNAKA ANTALLOOHU LAAA-ILAAHA ILAA ANTA WAHDAKA LAA SYARII LAKA WA ANNA MUHAMMADAN 'ABBDUKA WAROSUULUKA (dibaca 4x): Ya Alloh, di pagi hari ini aku mengambil-Mu sebagai saksi, begitu pun para pemikul 'Arsy-Mu, para Malaikat-Mu dan seluruh makhluk-Mu, bahwa Engkaulah Tuhan, tiada Tuhan selain Engkau, Tunggal tiada sekutu, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Mu

Senin, 17 Februari 2014

JAM’ DAN FARQ


Dua kata tersebut cukup populer di
kalangan ahli tasawuf. Syeikh Abu Ali ad-
Daqqaq berkata : “Al-farq, suatu kondisi yang
dihubungkan kepada diri sendiri, dan al-Jam’,
berkaitan dengan hal yang menyirnakan diri
sendiri.

Artinya, Segala upaya hamba seperti
menegakkan ubudiyah dan hal-hal yang layak
dengan tingkah laku manusiawi, disebut al-
Farq.

Sementara jika datang dari arah Al-Haq
(Allah swt.) seperti mucnulnya makna-makna
dan datangnya kelembutan serta ihsan, maka
disebut al-Jam’.

Dafinisi ini merupakan kondisi paling
sederhana dalam konteks jam’ dan farq.

Sebab, kondisi tersebut merupakan bagian
dari penyaksian segala bentuk perbuatan.

Siapa yang menyaksikan dirinya di hadapan
Al-Haq dalam perbuatan-perbuatannya seperti
ketatan dan pegingkaran dirinya, maka hamba
tersebut dideskripsikan dalam pemisahan
(tafriqah).

Sedangkan yang menyaksikan
dirinya di hdapan Al-Haq melalui perbuatan
yang didelegasikan dari Af’al Allah swt, maka
sang hamba telah menyaskikan al-Jam’.

Penetapan makhluk merupakan pintu tafriqah,
dan penetapan al-Haq merupakan predikat al-
jam’.

Bagi hamba, haruslah berkondisi jam’
dan farq. Sebab siapa yang tidak berposisi
farq, ia tidak memiliki penghambaan
(ubudiyah), dan siapa pun yang tidak
berposisi jam’, ia tidak pernah ma’rifat
kepada-Nya.

F irman Allah swt. (Hanya
Kepadamu Kami menyembah), merupakan
isyarat terhadap al-farq.

Sedangkan firman-
Nya (dan hanya kepada-Mu kami memohon
pertolonan), merupakan isyarat al-jam’.

Apabila hamba berbicara kepada
Tuhannya, melalui bahwa munajat, apakah
memohon mendoa, memuji, bersyukur,
menyucikan diri atau pun meminta, maka ia
telah menempati tahap berpisah (tafriqah).

Namun apabila ia telah terpesona melalui sirri-
nya terhadap apa yang dimunajatkannya
kepada Tuhan, kemudian mendengarkan
melalui kalbunya apa yag telah dikatakan
lewat munajat itu, hal-hal yang dimohonkan
atau dimunajatkan kepada-Nya, atau pun yang
dikenalkan oleh-Nya, maka makna-Nya, atau
bahkan yang dihamparkan dalam hatinya dan
di perlihatkan oleh-Nya, maka ia telah
menyaksikan dalam al-jam’.

Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-
Daqqaq r.a. berkata : “Aku menguraikan
beberapa ucapan di sisi Ustadz Abu Sahl ash-
Sha’luky r.a. (Engkau buat menjadi bersih
pandanganku ke padamu’).

Ketika itu Abul
Qasim an- Nashr Abadzy hadir di sana. Lalu
Ustadz Abu Sahl berkata : “(huruf ta’
dinashab’),. Maka Abu Nashr Abadzy,
berkata : (Huruf ta’ didhammah’).”

Artinya, barangsiapa mengucapkan
perkataan (“ kujadikan”), berarti mengabarkan
sikap perilakunya sendiri, seakan-akan sang
hamba berkata, “ ini ”!. Jika ia berkata (“
engkau
jadikan”), seakan-akan mengatakan, bebas
dari beban. Bahkan ia berkata kepada Tuhan-
nya, “Engkau-lah yang mengkhususkan
kepadaku dengan ini, bukan aku, melalui
kemampuanku .

” Yang pertama, berkaitan
dengan bisikan do’a, dan yang ke dua,
dengan sifat bebas dari upaya dan ikrar
melalui keutamaan dan sariguna. Maka,
bedakan antara orang yang mengatakan,
“Melalui jerih payahku, aku menyembah-Mu,”
dan ucapan orang : “Melalui keutamaan dan
kelembutan-Mu, aku menyaksikan-Mu.”

Adapun jam’ul jam’i di atas semua itu.
Manusia memiliki frekuensi masing-masign
sesuai dengan manifestasi perilaku dan
kepautan derajat mereka.

Barang siapa
menetapkan atas dirinya, berarti menetapkan
kemakhlukan, namun menyaksikan
keseluruhan, berarti ia telah mandiri kepada
Yang Haq, dan inilah al-Jam’.

Tetapi jika yang
terlibas dari penyaksian terhadap
kemakhlukan, lebur dari dirinya, dan teraih
universalitas, dari segala hal yang tampak dan
terdelegasi dari kekuasaan hakikat, maka
tahap inilah yang disebut jam’ul jam’i.”

Tafriqah adalah penyaksian terhadap
makhluk, hanya untk Allah swt.

Al-jam’ adalah
penyaksian terhadap makhluk bersama Allah
swt. dan jam’ul jam’i, berarti sirna dengan
univeraslitas, dan fana’-nya rasa kepada
selain Allah swt.

ketika terlanda hakikat.
Jam’ul jam’i merupakan kondisi mulia.

Sebagian kaum menamakan tahap ini sebagai
al-farq kedua. Yaitu dikembalikan pada tahap
rasa pasca sirna, pada saat menjalani waktu-
waktu fardhu, agar tetap konsisten terhadap
kefarduan dengan segenap waktunya,
sehingga ia kembali, hanya untuk dan
bersama Allah swt, bukan bagi hamba
bersama hamba.

Sang hamba melihat dirinya
pada kondisi seperti itu dalam perbuatan Al-
Haq. Ia menyaksikan awal Zat-nya dan
kenyataannya bersama Qudrat-Nya.

Sedangkan tempat pijakan ketika menjalankan
perbuatan dan tingkah lakunya hanya bersama
Ilmu dan Kehendak-Nya.

Sebagian Sufi mengisyaratakan kata al-
Jam’ dan al-farq kepada Perbuatan Al-Haq
atas seluruh makhluk. Maka globalitas dari
keseluruhan dalam proses bolak balik dan
perbuatan, harus dilihat dari satu arah, bahwa
sebenarnya Allah-lah yang memunculkan
substansi-substansi mereka itu. Allah-lah yang
menjalankan sifat-sifat mereka.

Kamudian
Allah swt. memisahkan dalam ragam : Satu
kelompok, Allah swt. membahagiakan mereka,
dan kelompok lain Allah swt. menjauhkan dan
menyengsarakan mereka.

Satu kelompok lagi
Allah swt. menarik hati mereka, dan kelompok
yang lain dilupakan dan diputus-asakan dari
rahmat-Nya, dan satu golongan lagi Allah swt,
memutus kehendak mereka untuk
menyatakanDiri-Nya. Ada kelompok yang
disadarkan pada tahap rasa mereka dan ada
yang disirnakan. Ada kelompok yang
didekatkan dan dihadirkan, Kemudian Allah
meminumkan karunia hingga mereka
dimabukkan ruhaninya, namun juga ada
golongan yang dicelakakan dan diakhirkan,
kemudian dijauhkan dan disingkirkan.

Ragam
Af’al-Nya tidak bisa dijangkau oleh batasan,
sementara rinciannya tidak dapat diuraikan
dan diingat.

Para Sufi pernah melantunkan
syair bagi al-Junayd, mengenai makna jama’
dan farq :

Engkau telah membuat nyata-Mu
Dalam rahasiaku
Lalu lisanku munajat pada-Mu
Kita berkumpul bagi makna-makna
Dan berbpisah bagi makna-makna pula
Jika Gaib-Mu adalah
Keagungan dari lintasan mataku
Toh Engkau buat keserasian dari dalam
Yang mendekatku.

Mereka bersyair lagi :
Jika telah tampak padaku
Keagungan, lalu keluar dalam tingkah
orang
Yang tak dikehendaki
Maka aku berkumpul dan berpisah
dengan-Nya
Sedang ketunggalan yang saling
bertemu
Adalah dua dalam satu bilangan

Nasehat Para Sufi Untuk Hati


Jika engkau berharap untuk menemukan al-Haqq, kecintaan Allah, dan Dukungan-Nya, maka tinggalkanlah perilaku negatif, kendalikanlah sifat buruk dan kemarahanmu . Jika engkau tidak mampu untuk tidak marah, setidaknya jangan perlihatkan marahmu; maka Allah akan senang dan betapa setan akan kecewa kepadamu. Engkau pun akan mulai untuk mendidik egomu, menguatkan dan mendekatkanmu kepada Jalanmu. Kemarahan merupakan hasil dan sebuah tanda dari adanya ego yang tidak terkendali, bagaikan seekor hewan buas liar bebas tidak terkurung. Mengeluarkan marah, bagai tali kekang yang engkau buang dari atas kepalamu dan memasukkan banyak keburukan ke dalamnya. Jinakkanlah kepalamu, kau ajarkan bagaimana berpikir dengan benar, untuk taat kepada Allah, sehingga tiada orang lain yang engkau sakiti ataupun dirimu sendiri.
Begitu engkau berhasil mengekang pikiranmu, maka begitu menghadapi orang yang kehilangan kendali dirinya dan marah-marah kepadamu, maka engkau akan menghadapinya dengan tenang. Kau tidak akan bereaksi agresif pada penyerangannya. Kau tidak akan menghukum atau merespon perilaku negatifnya dengan kekasaran juga, melainkan kau abaikan saja. Mengabaikan lebih efektif daripada membalasnya. Barangkali ia akan melihat akibat-akibat dari perbuatannya, akibat dari kemarahannya, menyadari hal benar – salah, dan akhirnya mengakui kesalahannya.
Perhatikanlah saran-saran tentang pengendalian marah ini dan jadikanlah sebagai karakter dirimu; maka tentu engkau akan memperoleh hasil dan ganjaran positif di dunia maupun di akhirat. Timbangan al-haqq mu akan berat. Itulah ganjaran dan kemuliaan terbesar yang akan engkau terima. Mengeluarkan kemarahan hanya akan mengundang murka besar Allah, Dia akan menghukummu. Pemaafanmu akan diganjar dengan ampunan-Nya. Adakah keberuntungan yang lebih baik yang bisa diharapkan oleh seseorang yang disakiti oleh saudara-saudaranya seiman selain ampunan Allah semata?
Allah akan memperlakukanmu sama dengan perlakuanmu terhadap orang lain. Jadi berusahalah untuk memiliki kualitas perilaku yang baik: pendamai, penolong, lemah – lembut, dan penuh cinta. Dengan perilaku tersebut, berjama’ahlah. Engkau akan melihat bagaimana perilaku tersebut akan merahmati sekelilingmu, menciptakan harmoni, cinta – kasih, saling menghargai dan menghormati. Sang Kekasih Allah, Nabi Muhammad saw., memerintahkan kita untuk saling mencintai satu sama lain dan memelihara hubungan silaturahiim. Betapa Rasulullah Muhammad saw. mengulang-ulangi perintah ini dalam banyak cara, dalam banyak pernyataan. Untuk meninggalkan kemarahan, gantilah ia dengan penderitaan menahannya, memaafkan, dan tetap saling menjaga dan memperhatikan orang yang menyakiti. Kesemuanya merupakan, menjadi pilar dari tumbuh dan berkembangnya cinta.
Bukalah hatimu lebar-lebar, luaskanlah agar mampu menerima Rahmat Allah. Sebuah hati yang terahmati menjadi cermin manifestasi Allah. Ketika manifestasi Allah muncul dan datang melaluimu, begitu kau merasakan Kehadiran-Nya, maka kau akan malu ketika berperilaku salah. Hal itu akan menyebabkan antara engkau dan orang lain memiliki keterhubungan hati. Rahmat-Nya pun akan melindungimu dan orang lain dari dosa.
Ketika Malaikat Jibril bertanya kepada Nabi Muhammad saw., “Apakah yang dimaksud dengan Rahmat Allah?” Nabi Muhammad saw. menjawab, “Shalat dan mengabdi kepada Allah seolah-olah engkau berada di Dalam Kehadiran-Nya, seolah-olah engkau melihat-Nya.” Rasa menghormati Allah terefleksi di dalam hati seorang mukmin yang mencapai level demikian.
Lalu Nabi Muhammad saw. melanjutkan, “Bagi engkau yang tak mampu melihat-Nya, yakinilah Dia tentu mampu melihatmu.”
Seorang mukmin yang mencapai level Rahmat Allah akan memiliki hati nurani. Dia akan merasakan bahwa Allah senantiasa mengawasinya sehingga membuatnya malu untuk berbuat dosa. Nabi Muhammad saw. berkata lagi, “Memiliki hati nurani adalah kebaikan sempurna.” Jika seorang mukmin memiliki hati nurani, ia akan menyadari apa yang ia lakukan dan ia tidak boleh melakukan kesalahan. Seseorang dengan hati yang dipenuhi Allah, maka hawa nafsunya tak akan membahayakannya baik ketika ia berada di dunia maupun di akhirat nanti. Tanda-tanda seseorang yang sudah memiliki hati nurani, yaitu: berkurangnya arogansi dan merasa diri penting; keduanya merupakan ego. Orang seperti itu tidak akan pernah mencoba atau berusaha untuk mendominasi atau menguasai seseorang. Semoga kalian semua mencapai level Rahmat Allah dan memiliki hati nurani, dan semoga kalian semua memiliki kekuatan dan pandangan tajam menuju Allah semata. Amiin, ya, Robbal ‘alamiin

Puncak Dzikr


Puncak Dzikr adalah Ketenangan
Puncak Ketenangan adalah Kelembutan Hati
Puncak kelembutan Hati adalah Pembukaan Spiritual
Puncak Pembukaan Spiritual adalah Pemahaman
Puncak Pemahaman adalah Kekuatan
Puncak Kekuatan adalah Kesabaran
Puncak Kesabaran adalah Kearifan
Puncak Kearifan adalah Kepemimpinan
Puncak Kepemimpinan adalah Keteladanan moral
Puncak Keteladanan moral adalah Penjagaan diri
Puncak Penjagaan diri adalah Keimanan Tauhid Sejati
Puncak Keimanan Tauhid Sejati adalah Keihsanan
Puncak Keihsanan adalah Keselamatan
Puncak Keselamatan adalah Kedamaian
Puncak Kedamaian adalah Keadilan
Puncak Keadilan adalah Kemanusiaan
Puncak Kemanusiaan adalah Kembali kepada Pencipta sebelum ajal tiba
Puncak Kembali kepada Pencipta adalah Keikhlasan Takwa
Puncak Keikhlasan Takwa adalah Kesucian
Puncak Kesucian adalah Ketangguhan
Puncak Ketangguhan adalah Keruhanian murni
Puncak Keruhanian murni adalah Keagungan
Puncak Keagungan adalah Cinta Ilahi tanpa syarat
Puncak Cinta Ilahi tanpa syarat adalah Kesempurnaan ciptaan

Hiduplah dengan Cinta
Bernafaslah dengan Cinta
Hingga Matilah dengan Cinta

" Dan orang-orang yang berjuang untuk (mencari keridhoan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta (ikut Menemani, Melindungi, Membantu Memudahkan jalan) orang-orang yang berbuat kebajikan. "
( QS. Al-'Ankaabut, 69 )

Ya Allah... Berikan Aku Cinta


Ya Allah... berikan aku cinta
yang lebih berkilau dari emas dan permata
yang lebih dalam dari dalamnya lautan dan samudra
yang lebih indah dari indahnya mutiara
yang lebih bersinar dari sinaran mentari dan gemintang
yang lebih luas dari luasnya jagad raya
yang lebih mulia dari cintanya sultan dan auliya

Ya Allah... berikan aku cinta
yang melebihi keagungan cinta dan
memberikan rasa aman serta penjagaan dari
seorang ibu kepada anaknya
yang dengannya aku bangkit dari kefuturan (kelemahan iman)
yang membuka pintu hidayah dalam setiap langkah da'wah
yang memberikan kesabaran atas segala ujian dan cobaan
yang menguatkan tawakal atas segala penderitaan
yang memberikan senyuman dan tawa dari setiap kesedihan
yang menumbuhkan kesyukuran atas segala ni'mat dan pemberian
yang menjaga diri dari kemaksiatan karena rasa malu dan khauf (ketakutan)
yang menjadi penghibur dan teman setia dari keterasingan dunia
yang menggelorakan semangat jihad dan pengorbanan
yang membenamkan diri dalam lautan dzikir
yang menjadikan kemuliaan dalam penjagaan Qur'an dan Sunnah

Ya Allah... berikan aku cinta
cintanya para anbiya -'alahis salam-
cintanya para shahabat -rodiyallahu anhuma ajma'iin-
cintanya para imam fuqaha (ahli fiqih),
mufassirin (ahli tafsir) dan muhadditsin (ahli hadits) -rahiimahu mullah-
cintanya para wali dan kekasih abadi
cintanya para ulama generasi ahlus sunnah
cintanya para mujahid dan mujahidah
cintanya para syuhada
cintanya para hafizh dan hafizhah
cintanya para da'i dan dai'ah
cintanya para ahli thoreqot, ahli dzikir dan ahli ma'rifat
cintanya para ahlul bait yang lurus lagi terpercaya
cintanya para perindu Cinta Ilahi

cintanya orang-orang yang hanif dan berserah diri
cintanya orang-orang yang taubat dari maksiat
cintanya orang-orang yang sabar lagi tawakal
cintanya orang-orang yang zuhud dari dunia

Cinta pada kampung akhirat
Kerinduan pada kehidupan yang abadi
Dalam naungan arrasy Ilahi

Abu Hamid al-Ghazali dilahirkan pada tahun 405 H/ 1058 M di kota Tush yaitu kota kedua setelah Naisabur di daerah Khurasan atau pada saat ini berada pada bagian timur laut negara Iran . Al Ghazali dengan nama lengkap Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ahmad al-Thusi ini mendapat banyak gelar dalam dunia islam. Diantara gelar yang paling terkenal adalah Hujjah al-Islam dan Zain al-‘Arifin. Ia diberikan gelar Hujjah al- Islam karena ia menjadikan tasawuf sebagai hujjahnya dalam berbagai perbincangan kesufian. adalah sosok sufi sekaligus filosof yang melansir konsep ma’rifat. Menurutnya, ma’rifat adalah: “ Tampak jelasnya rahasia-rahasia ketuhanan dan pengetahuan, yaitu soal ketuhanan yang mencakup segala yang ada . Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan, ma’rifat adalah: Memandang kepada wajah (rahasia) Allah[3].
Menurut Al-Ghazali, orang yang mempunyai ma’rifat tentang Tuhan (arif), tidak akan mengatakan “ya Allah atau ya Rabb” karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa ini menyatakan bahwa Tuhan ada di belakang tabir. Orang yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan memanggil temannya itu .
Menurut Al-Ghazali, ma’rifat ada terlebih dahulu daripada mahabbah karena mahabbah muncul dari ma’rifat. Namun mahabbah yang dimaksud Al-Ghazali berlainan dengan mahabbah yang diucapkan oleh Rabi’ah al Adawiyah, yaitu mahabbah dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rizki, kesenangan, dan lain-lain. Al-Ghazali berpendapat bahwa ma’rifat dan mahabbah adalah level paling tinggi yang bisa dicapai seorang sufi. Dan, pengetahuan yang diperoleh dari ma’rifat lebih tinggi mutunya daripada pengetahuan yang diperoleh dengan akal .
Dari aspek bahasa, ma’rifat berasal dari kata عرف , يعرف , عرفا, yang artinya pengetahuan atau pengalaman. Bisa juga berarti pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa dipelajari oleh orang-orang pada umumnya[6]. Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan pada hal-hal yang bersifat zahir, melainkan pada hal-hal yang bersifat batin. Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakikat ketuhanan dan segala yang maujud berasal dari yang satu[7].
Ma’rifat adalah salah satu tingkatan dalam tasawuf yang diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati sanubari. Pengetahuan ini sedemikian lengkap dan jelas sehingga jiwa seseorang merasa satu dengan yang diketahuinya, yaitu Tuhan[8]. Menurut Harun Nasution, ma’rifat menggambarkan hubungan rapat dalam dalam bentuk gnosis, pengetahuan, dan hati sanubari . Ma’rifat berarti mengetahui Tuhan dari dekat sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan. Oleh karena itu kaum sufi mengatakan:
1. Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, maka mata kepalanya akan tertutup, dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah.
2. Ma’rifat adalah cermin, kalau seorang arif melihat ke cermin itu yang akan dilihatnya hanyalah Allah.
3. Yang dilihat orang arif, baik sewaktu tidur maupun sewaktu bangun hanya Allah.
4. Seandainya ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat padanya akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya. Dan semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya keindahan yang gilang-gemilang[10].
Dari beberapa definisi tersebut dapat diketahui bahwa ma’rifat adalah mengetahui rahasia Tuhan dengan menggunakan hati sanubari. Dengan demikian, tujuan yang ingin dicapai oleh ma’rifat adalah mengetahui rahasia yang terdapat dalam diri Tuhan.
Alat yang dapat digunakan untuk menggapai ma’rifat telah ada dalam diri manusia, yaitu qalb (hati), tetapi artinya tidak sama dengan Heart dalam bahasa Inggris karena qalb selain merupakan alat untuk merasa, juga alat untuk berpikir. Bedanya qalb dengan akal ialah bahwa akal tak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan, sedangkan qalb bisa mengetahui hakikat dari segala yang ada. Jika dilimpahi cahaya Tuhan, qalb bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Qalb yang telah dibersihkan dari segala dosa dan maksiat melalui serangkaian zikir dan wirid secara teratur akan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan karena qalb yang bersangkutan telah disinari cahaya Tuhan .
Proses sampainya qalb pada cahaya Tuhan ini erat kaitannya dengan konsep takhalli, tahalli, tajalli. Takhalli yaitu mengosongkan diri dari akhlak yang tercela dan perbuatan maksiat melalui taubat. Hal ini dilanjutkan dengan tahalli yaitu menghiasi diri dengan akhlak yang mulia dan amal ibadah. Sedangkan tajalli adalah terbukanya hijab sehingga tampak jelas cahaya Tuhan. Hal ini diilustrasikan dalam firman Allah:
Artinya : “ Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya Menampakkan diri kepada gunung itu[565], dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, Dia berkata: "Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman". (QS. Al A’raf : 143)

Pengertian tajalli juga dijelaskan dalam kitab Insan al-Kamil sebagai berikut: Dalam laku tajalli, seorang hamba melihat Allah. Ketika itu, perbuatan, gerak, dan diam seorang hamba adalah bagi Allah semata[12]. Tajalli juga bisa diartikan: Siapa pun yang mendapat tajalli dari Allah, maka dia mampu menangkap nur Ilahi. Dia lalu meretas jalan menuju ma’rifat dan mampu menyelami dunia batin karena sifat kebaruannya telah fana. Dia pun sampai kepada maqam Haqqul Yaqin[13].
Kutipan tersebut menunjukkan dengan jelas bahwa tajalli adalah jalan untuk mendapatkan ma’rifat setelah melampaui proses al-fana, yaitu hilangnya sifat-sifat dan rasa kemanusiaan karena melebur pada sifat-sifat Tuhan. Alat yang digunakan untuk mencapai tajalli adalah hati, yaitu hati yang telah mendapatkan cahaya dari Tuhan .
Kemungkinan manusia mencapai tajalli atau mendapatkan limpahan cahaya Tuhan bisa dilihat juga dari isyarat ayat berikut:
Artinya : “ Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus[1039], yang di dalamnya ada pelita besar. pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya)[1040], yang minyaknya (saja) Hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.(An Nur : 35)

Dengan limpahan cahaya Tuhan itulah manusia dapat mengetahui rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Dia lalu bisa mengetahui hal-hal yang tidak diketahui oleh manusia biasa. Orang yang sudah mencapai ma’rifat bisa berhubungan langsung dengan sumbar ilmu yaitu Allah. Dengan hati yang telah dilimpahi cahaya, seseorang bagaikan memiliki antena parabola yang mendapatkan pengetahuan langsung dari Tuhan.
Allah swt berfirman:
Artinya : “dan tatkala telah datang kepada mereka kebenaran dari sisi Kami, mereka berkata: "Sesungguhnya ini adalah sihir yang nyata". (QS. Yunus : 76)

Ma’rifat yang dicapai seseorang terkadang diberi nama beragam. Al-Syarbasi menyebutkan ilmu Al Mauhubah (pemberian)[15], Al Syuhrawardi menyebutkan al Isyraqiyah (pancaran), dan Ibn Sina menyebutkan al Fa’id (limpahan). Sementara itu, kalangan pesantren mengistilahkannya sebagai Futuh (pembuka), kalangan masyarakat Jawa menyebutnya ilmu laduni, dan kalangan kebatinan menamakannya sebagai wangsit .
Uraian di atas telah menginformasikan bahwa ma’rifat adalah pengetahuan tentang rahasia-rahasia dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-Nya melalui pancaran cahaya-Nya yang dimasukkan Tuhan ke dalam hati seorang sufi. Dengan demikian, ma’rifat berhubungan dengan Nur (Cahaya Tuhan). Di dalam Al-Qur’an, dijumpai tidak kurang dari 43 kata “nur” dan sebagian besar dihubungkan dengan Tuhan[17].Misalnya ayat yang berbunyi:
Artinya : “ atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila Dia mengeluarkan tangannya, Tiadalah Dia dapat melihatnya, (dan) Barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah Tiadalah Dia mempunyai cahaya sedikitpun. (QS. An Nur : 40)

Artinya : “ Maka Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. mereka itu dalam kesesatan yang nyata. (QS. Az Zumar : 22)

Dua ayat tersebut sama-sama berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya tersebut ternyata dapat diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki. Mereka yang mendapatkan cahaya dengan mudah mendapatkan petunjuk hidup, sedangkan mereka yang tidak mendapatkan cahaya akan menemui kesesatan. Dalam ma’rifat kepada Allah, yang didapat seorang sufi adalah cahaya. Dengan demikian, ajaran ma’rifat sangat dimungkinkan terjadi dalam Islam, dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an .
Selanjutnya, simak juga hadits qudsi berikut:
“Aku (Allah) adalah perbendaharaan yang tersembunyi (Ghaib), Aku ingin memperkenalkan siapa Aku, maka Aku ciptakan mahluk. Oleh karena itu Aku memperkenalkan diri-Ku kepada mereka. Maka mereka mengenal Aku[19].
Hadits tersebut memberi petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh manusia. Caranya dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukkan bahwa ma’rifat dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.