Laman

Minggu, 04 Oktober 2015

Maqom atau derajat Wali Allah


Telah kami uraikan bahwa setelah Khataman Nabiyyin, manusia atau kaum yang ditugaskan untuk “menjaga” agama Islam atau ahli menghidupkan sunnah Nabi itu adalah kaum sufi atau kaum Wali Allah , para kekasih Allah, kaum yang dicintai Allah.
Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Ali, -ketika beliau mengangkatnya sebagai pengganti (di Madinah) dalam beberapa peperangan beliau. Ali bertanya; Apakah anda meninggalkanku bersama para wanita dan anak-anak! beliau menjawab: Wahai Ali, tidakkah kamu rela bahwa kedudukanmu denganku seperti kedudukan Harun dengan Musa? hanya saja tidak ada Nabi setelahku. Dan saya juga mendengar beliau bersabda pada Perang Khaibar; Sungguh, saya akan memberikan bendera ini kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah dan RasulNya dan Allah dan RasulNya juga mencintainya. Maka kami semuanya saling mengharap agar mendapatkan bendera itu. Beliau bersabda: Panggilllah Ali! (HR Muslim 4420)
Imam Sayyidina Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Kumail An Nakha’i: “Bumi ini tidak akan kosong dari hamba-hamba Allah yang menegakkan agama Allah dengan penuh keberanian dan keikhlasan, sehingga agama Allah tidak akan punah dari peredarannya. Akan tetapi, berapakah jumlah mereka dan dimanakah mereka berada? Kiranya hanya Allah yang mengetahui tentang mereka. Demi Allah, jumlah mereka tidak banyak, tetapi nilai mereka di sisi Allah sangat mulia. Dengan mereka, Allah menjaga agamaNya dan syariatNya, sampai dapat diterima oleh orang-orang seperti mereka. Mereka menyebarkan ilmu dan ruh keyakinan. Mereka tidak suka kemewahan, mereka senang dengan kesederhanaan. Meskipun tubuh mereka berada di dunia, tetapi rohaninya membumbung ke alam malakut. Mereka adalah khalifah-khalifah Allah di muka bumi dan para da’i kepada agamaNya yang lurus. Sungguh, betapa rindunya aku kepada mereka” (Nahjul Balaghah hal 595 dan Al Hilya jilid 1 hal. 80)
Dari apa yang disampaikan oleh Imam Sayyidina Ali Bin Abi Thalib dapat kita ketahui bahwa para Wali Allah hanya Allah yang mengetahui tentang mereka dan dapat diterima oleh orang-orang seperti mereka
Dalam hadits qudsi, “Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu ada dibawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq HidayahNya”
Abu Yazid al Busthami mengatakan: Para wali Allah merupakan pengantin-pengantin di bumi-Nya dan takkan dapat melihat para pengantin itu melainkan ahlinya.
Sahl Ibn ‘Abd Allah at-Tustari ketika ditanya oleh muridnya tentang bagaimana (cara) mengenal Waliyullah, ia menjawab : “Allah tidak akan memperkenalkan mereka kecuali kepada orang-orang yang serupa dengan mereka, atau kepada orang yang bakal mendapat manfaat dari mereka – untuk mengenal dan mendekat kepada-Nya.”
Mereka mengomentari tulisan kami sebagai pengakuan kelompok atau kaum yang merasa wali-wali Allah, atau menyatakan diri mereka sebagai orang-orang yang paling dekat dengan Allah.
Kami tidak pernah menyampaikan bahwa kami seorang sufi ataupun seorang sholeh. Kami adalah muslim yang berupaya meraih ridho Allah Azza wa Jalla agar dapat termasuk kaum sufi atau muslim yang sholeh atau muslim yang Ihsan
Imam As Syafi’i rahimahullah ketika beliau ditanya apakah beliau seorang sufi atau seorang sholeh, beliau menjawabnya“Uhibbu asShalihiina wa lastu minhum La’alli an anaala bihim syafa’ah”. Suatu jawaban yang harus dipahami dengan balaghoh.
Uhibbu as Shalihiina = Aku mencintai orang shalih
walastu minhum = Walaupun.. aku tidak seperti mereka
La’ali an anaala bihim syafa’ah = Beliau berharap / semoga memperoleh Syafa’at Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (agar termasuk orang yang Sholeh)
Ini tauladan yang disampaikan Imam As Syafi’i rahimahullah bahwa kita tidak boleh mengatakan / mengakui sebagai saya serupa dengan mereka termasuk orang sholeh, atau saya seorang sholeh atau saya seorang sufi atau saya seorang muhsin, karena orang sholeh, orang sufi, orang muhsin adalah dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia atau hasil penilaian Allah pada manusia. Bagi kita manusia hanya boleh berharap pertolongan Allah dan berupaya untuk mencapainya.
Mereka juga menyanggah apa yang kami sampaikan dengan landasan firman Allah yang ertinya
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa“. (QS Yunus [10] : 62-63)
Hal ini serupa dengan pendapat Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa) kerajaan dinasti Saudi, lembaga yang juga memfatwa bahwa Imam An Nawawi telah salah dalam bab sifat-sifat Allah
Pendapat mereka bahwa “Wali Allah adalah siapa saja yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Taâala dan bertaqwa kepadaNya dengan mengerjakan segala yang diperintahkan oleh Nya Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan segala yang dilarangNya. Pemimpin mereka adalah para nabi dan rasul ‘alaihimus salam”.
Firman Allah dalam (QS Yunus [10] : 62-63) hanya menjelaskan bahwa Wali-Wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.
Mereka juga menyanggah bahwa yang bertugas “menjaga” agama Islam atau ahli menghidupkan sunnah Nabi itu adalah yang takut kepada Allah yakni para ulama atau pewaris Nabi berlandaskan firman Allah,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
innamaa yakhsyaallaaha min ‘ibaadihil ‘ulamaau innallaaha ‘aziizun ghafuurun
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS Faathir 35:28)
Firman Allah ta’ala ini menerangkan bahwa para Wali Allah adalah ulama (ahli ilmu) yang Ihsan atau dengan kata lain Ulama (ahli ilmu) yang Ihsan dapat menjadi Wali Allah atau kekasih Allah
Hal ini ada kaitannya dengan hadits Rasulullah berikut
قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (takhsya / khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ (HR Muslim 11)
Muslim yang terbaik adalah muslim yang Ihsan
Muslim yang Ihsan adalah muslim yang selalu merasa diawasi/dilihat Allah atau muslim yang melihat Allah
Muslim yang Ihsan terbaik adalah muslim yang selalu melihat Allah atau kekasih Allah atau muslim yang dekat disisi Allah
Muslim yang dekat disisi Allah hanyalah 4 golongan yakni para Nabi (Rasulullah yang utama), para Shiddiqin , para Syuhada dan Orang-orang Sholeh
Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/ 820-935M) membagi maqamat al-walayah (derajat kedekatan para Wali Allah ke dalam lima maqamat.
Kelima maqamat itu adalah:
al-muwahhidin
al-shadiqin
al-shiddiqin
al-muqarrabin
al-munfaridin
Pertama, al-muwahhidun (penganut faham tauhid). Seorang yang mengesakan Allah disebut ahl al-tawhid. Seorang ahl al-tawhid telah keluar dari kekufuran dan telah memiliki cahaya iman. Dengan modal tauhid dan keimanan tersebut, ahl al-tawhid pada dasarnya telah mendekatkan diri kepada Allah. Al-Hakim al-Tirmidzi menganggap hal ini sebagai awwal manazil al-qurbah (permulaan peringkat kedekatan kepada Allah); namun masih berada pada posisi qurbat al-’ammah (kedekatan secara umum), bukan qurbat al-awliyâ` (kedekatan para wali)
Kedua, al-shadiqun yang juga dinamakan waliyy haqq Allah. Mereka adalah orang yang memperoleh kewalian setelah bertobat, bertekad bulat untuk menyempurnakan tobatnya, menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan maksiat, menunaikan al-faraidl (berbagai kewajiban), menjaga al-hudŭd (hukum dan perundang-undangan Allah), dan membatasi al-mubahat (hal-hal yang dibolehkan). Apabila berhadapan dengan al-mahdlur (hal-hal yang dilarang) akan berpaling dan menolak sehingga jiwanya istiqamah.
Dinamakan waliyy haq Allah karena ibadah dan ketaatannya kepada Allah serta perjuangannya dalam melawan hawa nafsu berlangsung secara terus menerus tanpa pamrih, semata-mata karena menunaikan haqq Allah atas diri-Nya.
Kewalian ini dinamakan walayat haqq Allah min al-shadiqin (kewalian orang-orang yang benar dalam memenuhi haq Allah).
Ada dua ciri utama yang menjadi karakteristik awliya haqq Allah, iaitu:
(1) bertaubat secara benar dan memlihara anggota tubuhnya dari hal-hal yang dilarang, dan
(2) mengendalikan diri dari hal-hal yang dibolehkan.
Seorang waliyy haqq Allah, menurut al-Hakim al-Tirmidzi, mensucikan batinnya setelah merasakan istiqamah dalam penyucian lahirianya. Ia bertekad bulat untuk memenuhi dorongan rendah pada dirinya yang berkenaan dengan al-jawarih al-sab’a (tujuh anggota tubuh), yakni mata, lidah, pendengaran, tangan, kaki, perut, dan kemaluan.
Ketiga, al-Shiddiqin adalah orang-orang yang telah merdeka dari perbudakan nafsu. Kemerdekaan ini bukan bebas dari nafsu atau keinginan rendah; melainkan karena nafsunya berhasil mengambil jarak dari kalbu mereka. Al-Shiddiqun kokoh dalam kedekatannya kepada Allah, bersikap shidq (jujur dan benar) dalam prilakunya, sabar dalam mentaati Allah. Menunaikan al-faraidl, menjaga al-hudŭd, dan mempertahankan posisinya dengan sungguh-sungguh.
Mereka mencapai ghayat al-shidq (puncak kesungguhan) dalam memenuhi hak Allah, berada pada manzil al-qurbah (posisi yang dekat dengan Allah) dan mendapatkan khǎlish al-’ubŭdiyyah (hakikat kehambaan). Mereka dinamakan al-muhǐbŭn (orang-orang yang kembali).
Keempat, al-muqarrabŭn mereka adalah al-shiddiqǔn yang memiliki peluang untuk meningkatkan kualitas kedekatannya kepada Allah pada martabat al-muqarrabin (martabat para wali yang didekatkan kepada Allah), bahkan hingga berada di puncak kewalian.
Kelima, al-munfaridǔn. Hakim al-Tirmidzi berpandangan bahwa para wali yang mengalami kenaikan peringkat dari maqamat al-muwahhidun, al-shaddiqun, al-shiddiqun, hingga al-muqarrabun diatas telah sempurna tingkat kewalian mereka.hanya saja Allah mengangkat salah seorang mereka pada puncak kewalian tertinggi yang disebut dengan malak al-malak dan menempatkan wali itu pada posisi bayn yadayhi (di hadapan-Nya). Pada saat seperti itu ia sibuk dengan Allah dan lupa kepada sesuatu selain Allah. Seorang wali yang mencapai puncak kewalian tertinggi ini berada pada maqam munfaridin atau posisi malak al-fardaniyah, yaitu merasakan kemanunggalan dengan Allah.
Al-Hakim al-Tirmidzi tidak menggunakan istilah ittihad seperti Abu Yazid al-Busthami (w.261H-875M) atau hulul seperti al-Hallaj, atau wahdatul wujud seperti Ibn ‘Arabi (w.638H/1240M) dalam menjelaskan persatuan seorang wali dengan Allah. Ia menggunakan istilah liyufrida (agar manunggal / merasakan kemanunggalan).
Kewalian, dalam pandangan Al-Hakim al-Tirmidzi dapat diraih dengan terpadunya dua aspek penting, yakni karsa Allah kepada seorang hamba dan kesungguhan pengabdian seorang hamba kepada Allah.
Aspek pertama merupakan wewenang mutlak Allah, sedangkan aspek kedua merupakan perjuangan seorang hamba dengan mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut al-Tirmidzi ada dua jalur yang dapat ditempuh oleh seorang sufi guna meraih derajat kewalian. Jalur pertama disebut thariq ahl al-minnah (jalan golongan yang mendapat anugerah); sedangkan jalur kedua disebut thariq ashhab al-shidq (jalan golongan yang benar dalam beribadah).
Melalui jalur pertama, seorang sufi meraih derajat wali di hadapan Allah semata-mata karena karunia-Nya yang di berikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Sedangkan melalui jalur kedua, seorang sufi meraih derajat wali berkat keikhlasan dan kesungguhannya di dalam beribadah kepada Allah.
Derajat kewalian itu mengalami pasang surut; namun, setelah mengalami pengumulan yang hebat, seorang wali berada di hadapan-Nya untuk kemudian masuk dalam genggaman Tuhan. Pada situasi ini, seorang wali melihat kumiz min al-hikmah (perbendaharaan hikmah) dan tersingkaplah baginya ilmu Allah, sehingga naiklah horizon pengetahuan wali tersebut dari pengenalan tentang ‘uyub al-nafs (rupa-rupa cacat dirinya) kepada pengetahuan tentang al-shifat wa al-asma (sifat-sifat dan nama-nama Allah), bahkan tersingkaplah baginya hakikat ilmu Allah.
Hubungan yang tercipta antara Allah dengan al-awliya (para wali) menurut al-Tirmidzi adalah hubungan al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cinta kasih), dan al-inayah (pertolongan). Hubungan istimewa ini diperoleh karena hubungan seorang wali telah menyerahkan semua urusannya kepada Allah, sehingga ia menjadi tanggungjawab-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Adanya pemeliharaan, cinta kasih, dan pertolongan Allah kepada wali sedemikian rupa merupakan manifestasi dari makna al-walayah (kewalian) yang berarti dekat dengan Allah dan merasakan kehadirannya, hudhur ma’ahu wa bihi (merasakan kehadiran-Nya oleh diri-Nya).
Bertitik tolak pada al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cintakasih), dan al-inayah (pertolongan) Allah kepada al-awliya (parawali); al-Tirmidzi sampai pada kesimpulannya bahwa al-awliya dan orang-orang beriman bersifat ‘ishmah, yakni memiliki sifat keterpeliharaan dari dosa; meskipun ‘ishmah yang dimiliki mereka berbeda.
Bagi umumnya orang-orang beriman ‘ishmah berarti terpelihara dari kekufuran dan terus menerus berbuat dosa; sedangkan bagi al-awliya (para wali) ‘ishmah berarti mahfudz (terjaga) dari kesalahan sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqamat mereka. Mereka mendapatkan ‘ishmah sesuai dengan peringkat kewaliannya.
Al-Tirmidzi meyakini adanya tiga peringkat ‘ishmah, yakni
‘ishmah al-anbiya (‘ishmah Nabi),
‘ishmah al-awliya (‘ishmah para wali),
‘ishmah al-’ammah (‘ishmah kaum beriman pada umumny

Senin, 21 September 2015

KETULUSAN

Selalu ada saja orang yang suka menangguk ikan di air yang keruh. Mereka mngambil keuntungan dari ke adaan yang kacau balau untuk kepehtingan diri sendiri. Bahkan acap kali mereka tidak segan-segan melakukan penipuan terhadap rakyat kecil yang tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa. Tatkala Perang Badr sedang berkecamuk, suasana kehidupan dilanda ketegangan yang kian mencekam karena orang-orang kafir Quraisy, dengan kekuatan tentara tiga kali lipat daripada pasukan Nabi, mengancam akan mengadakanpenghancuran besar-besaran terhadap umat Islam, terutama yang tinggal di daerah-daerah terpencil.
Malam itu, pada waktu seluruh manusia sedang lelap dalam tidurnya, sekelompok penyamun mendapat berita, ada sebuah kafilah yang membawa bekal makanan bagi tentara Nabi dan sejumlah harta benda yang tak ternilai harganya akan melewati sebuah jalan yang sepi. Mereka segera mengadakan pengadangan ditempat yang strategis dan tersembunyi. Entah apa sebabnya, kafilah itu tiduk muncul-muncul sampai larut malam. Di tengah angin dingin yang menggigit tulang, dalam kegelapan yang sangat pekat, mereka dengan sia-sia menantikan kafilah yang jika berhasil mereka rampok bakal menyebabkan tentara Nabi menderita kekurangan pangan.
Akhirnya kepala penyamun berseru, “Kurang ajar. Pasti kafilah itu telah lolos dan tiba di Madinah dengan selamat melalui jalan lain.” Para anak buahnya ikut menggerutu. Mereka tidak tahu hendak pergi ke mana lagi, padahal diperkirakan akan bertiup badai gurun yang sangat menakutkan hati mereka. Tatkala mereka sedang terburu-buru menjauhi tempat itu, dan belum tentu selamat dari ancaman topan yang biasanya amat ganas itu, terlihat lampu kelap-kelip dikejauhan, menyorot dari sesosok gubuk reyot di balik bukit batu. Mereka pun segera berangkat ke sana untuk mencari perlindungan.
Sambil mengetuk pintu, kepala penyamun mengucapkan salam secara Islam dengan lantang. Yang punya rumah, seorang lelaki miskin dan keluarganya, menyambut mereka dengan ramah. Kepala penyamun berkata, “Kami adalah sepasukan tentara Nabi yang sedang berjuang fisabilillah, di jalan Allah. Kami kemalaman setelah ditugaskan melakukan pengintaian terhadap gerakan tentara musuh. Bolehkah kami menginap di sini?”
Alangkah gembiranya tuan rumah dan seluruh keluarganya menerima kedatangan tentara Islam yang berjuang fi sabllillah. Kepada mereka disediakan tempat tidur berupa gelaran tikar yang empuk, dan disiapkan pula makanan seadanya sehingga mereka dapat beristirahat dengan nikmat. Untuk wudlu mereka. diambilkan air bening yang ditempatkan dalam sebuah kendi besar, di bawahnya diletakkan bejana guna menampung bekas air wudlu mereka supaya tidak berceceran ke mana-mana.
Keesokan harinya para penyamun itu bangun kesiangan, tetapi tuan rumah yakin, mereka pasti sudah sernbahyang subuh di dalam kamar, lalu tidur lagi. Ketika mereka hendak keluar, terlihat oleh kepala penyamun dan anak buahnya, seorang anak kecil terbaring tidak berdaya di atas balai-balai. Kepala penyamun bertanya, “Siapakah yang tergolek itu?” Dengan sedih tuan rumah menjawab, “Dia anak saya yang paling kecil, menderita lumpuh sejak satu tahun yang lalu. Doakanlah, semoga berkat kedatangan Tuan-Tuan yang sedang berjuang di jalan Allah, anak saya akan memperoleh kesembuhannya kembali.”
Kepala penyamun melirik kepada anak buahnya sambil mengedipkan mata sehingga dengan serempak berkata, “Amin.” Lantas mereka keluar dan lenyap di tengah kepulan debu setelah mereka menggebah kuda masing-masing. Sepeninggal mereka, lelaki itu berkata kepada istrinya seraya mengangkat bejana yang berisi air bekas para penyamun itu mencuci muka. “Air ini adalah cucuran sisa air wudlu orang-orang yang dengan ikhlas berjuang fi sabilillah. Mari kita usapkan ke sekujur tubuh anak kita, siapa tahu akan menjadi obat baginya.”
Istrinya tidak membantah. Hatinya gembira telah menerima kehadiran tamu-tamu yang membawa rahmat Allah. Demikian pula si anak yang sudah setahun mengidap penyakit lumpuh, tidak bisa beranjak dari pembaringannya itu. Dengan penuh harap ia membiarkan kedua orang tuanya membasahi seluruh badannya dengan air keruh itu beberapa kali dalam sehari.Malamnya, ketika hari sudah amat larut, para penyamun itu datang lagi, rupanya setelah berhasil menggarong beberapa kafilah sehingga bawaan mereka banyak sekali. Tujuan mereka hendak menginap pula di situ untuk sekalfgus menyembunyikan diri agar tidak dicurigai karena mereka berpendapat, dengan berlindung di gubuk terpencil yang dihuni oleh keluarga taat beragama, pasti yangberwajib tak akan menyangka merekalah perampok-perampok yang dicari-cari.
Alangkah terkejutnya kepala penyamun itu tatkala pintu dibuka dari dalam. Yang berdiri di ambangnya adalah anak lelaki yang tadi pagi masih lumpuh itu. Dengan heran ia bertanya kepada si tuan rumah, “Apakah betul anak ini yang waktu kami tinggalkan tidak bisa berdri dari tempat tidur?” “Ya, betul, dialah anak saya yang lumpuh itu,” jawab si tuan rumah dengan gembira. “Inilah kuasa Allah berkat kedatangan Tuan-Tuan. Rupanya, lantaran kami menyambut kehadiran para pejuang fi sabilillah dengan ikhlas, Allah membalas ,kami dengan karunia-Nya yang sangat besar. Air bekas cucuran Tuan-Tuan berwudlu, yang kami tampung di dalam bejana, kami oleskan beberapa kali ke sekujur tubuhnya. Alhamdulillah, Allah telah mengabulkan permohonan kami sehingga anak saya dapat berjalan kembali. Terima kasih, Tuan-Tuan. Semoga Allah meridhai perjuangan Tuan-Tuan di jalan Allah.”
Kepala penyamun tertunduk. Begitu pula segenap anak buahnya. Mereka merasa sangat malu kepadasi tuan rumah dan. kepada Tuhan lantatan mereka sebenarnya hanyalah perampok hina-dina. Maka.di dalam kamar mereka saling berpelukan seraya menangis tersedu-sedu. Sejak saat itu mereka berjanji akan bertobat dan bersumpah akan bergabung dengan umat Islam untuk berjuang bahu-membahu dengan Nabi melawan kaum musyrikin. Adapun harta yang telah mereka rampas dari korban-korbannya, mereka bagi-bagikan kepada fakir miskin, di samping sebagian lainnya diberikan kepada tuan rumah dan keluarganya yang telah memberikan petunjuk ke jalan kebenaran dengan ketulusannya.

KEMATIAN!!!


Oleh : Abu Hafidzh Al-Faruq

Kematian, seberapapun keras usaha manusia untuk menghaluskan kata tersebut seperti “berpulang ke rahmatuLLAH”,”telah ditinggal pergi”,”meninggal dunia”,”menghadap Sang Pencipta”,… tetap saja tidak mampu mengurangi rasa yang sesungguhnya dari sebuah kematian. Nyawa atau ruh adalah peluru yang sesungguhnya setelah ditembakkan meninggalkan selongsongnya. Selebihnya adalah jasad, wadah yang digunakan oleh ruh untuk berbuat di dunia. Kematian adalah pintu masuk kealam barzah dari alam dunia, demikian kata ustadz yang suka berpakaian serba putih itu dalam khutbahnya di TV.
Kematian begitu menakutkan banyak orang (termasuk penulis sendiri), baik bagi yang menghadapi kematian maupun yang ditinggal mati. Pertanyaannya adalah apa sebenarnya yang membuat kematian itu begitu menakutkan? Mari kita simak! Kalaulah anda lihat orang orang yang ditinggal mati bersedih lalu berkata ‘tiada lagi tempat kami mengadu’ atau “dulu aku selalu ada yang menemani, kini tinggal aku sendiri’, atau “bagaimana dengan sekolahku, siapa yang akan membiayai?’ dan kalimat kalimat yang sejenis maka ketahuilah bahwa sifat egois telah menguasai orang orang yang ditinggal mati tersebut, dan memang seperti inilah kebanyakan yang kita jumpai. Orang orang yang gembira terhadap kematian orang lain karena berharap akan jatuhnya klaim asuransi juga digolongkan dalam kelompok ini.
Apa sebenarnya yang membuat orang yang menghadapi kematian begitu menakutkan? Bagaimana reaksi perasaan anda ketika anda divonis mati oleh hakim atau dokter? Mungkin anda pernah  melihat bagaimana terdakwa kriminal bersikap terhadap putusan ini? Atau seorang pasien kanker ganas yang takkan terobati dan tinggal menunggu waktu maut menjemput? Kenapa takut? Mereka gelisah, apa sebabnya? Makan tak sedap, tidur tak nyenyak, hidup tak bergairah, sampai sampai seorang terpidana mati yang baru baru ini dieksekusi menulis ‘bukan kematian yang aku takutkan tapi menunggu keputusan yang sangat menyiksa’, sesungguhnya dia juga takut mati karena yang dia tunggu adalah keputusan hukuman mati atau tidak.Bisa jadi bagi mereka kehidupan di dunia sekarang adalah segala-galanya, walaupun pengetahuan setelah kematian ada kehidupan lain sudah dijejal ke otak mereka, sikap ketakutan akan kematian telah memperlihatkan secara jelas siapa sebenarnya dirinya. Seperti pepatah barat mengatakan “everyone wish to heaven, but no one willing to die (semua orang ingin masuk surga, tapi tidak ada seorangpun yang mau mati)”, ironis memang…
Atau bagi yang merasa setelah kematian ada kehidupan, merasa amal perbuatannya masih belum cukup alias masih banyak dosa dan sedikit pahala. Apakah anda pernah menjadi saksi jiwa jiwa yang sedang sekarat, mulut menganga mata melotot, nafas terhenti satu satu seperti tercekik? Sebagian memang terlihat mengerikan dan anda takut karena teringat hal hal yang menyeramkan saat tubuh merenggang nyawa, dan anda semakin takut mereka-reka siksa kubur oleh Nunkar dan Nankir yang super dahsyat menunggu anda, sampai kiamat untuk menerima azab sesungguhnya yang abadi! Wow!!!
Pertanyaan selanjutnya adalah kenapa kita semua tidak beralih kepada kematian yang menyenangkan, menyenangkan bagi yang menghadapi kematian dan menyenangkan bagi yang ditinggalkan. Lho kok bisa..?! Logikanya sederhana, bukankah sebaiknya anda sesegera mungkin mati jika anda mengetahui pada detik ini seluruh dosa dosa anda diampuni dan anda dijamin masuk surga, sebelum anda melakukan dosa berikutnya? Apakah ada orang orang yang memiliki riwayat mati menyenangkan? Para sahabat di zaman Nabi yang berjihad untuk ALLAH tidak hanya senang mati, tapi mereka memang mencari mati! Tapi tentu saja mereka tidak bunuh diri dengan membiarkan tubuh mereka ditombak dipanah dibacok begitu saja oleh musuh ALLAH. …dan kita juga mengetahui bahwa TUHAN menjanjikan surga buat mereka.
Menyenangkan bagi orang yang menghadapi kematian karena dia tahu bakalan masuk surga dan menyenangkan bagi orang orang yang ditinggal mati karena tahu orang yang mereka cintai masuk surga. Bagi mereka yang akan menjalani proses sakratul maut juga tak perlu resah karena mati seperti orang yang berangkat tidur, rebah dikasur lalu dengan sekali tarikan nafas panjang langsung terlelap, bedanya cuma terlelap untuk selama lamanya.
Saya mengajak anda bukan sebagai orang yang sudah berpengalaman, saya mengajak anda karena hal tersebut masih sangat mungkin dicapai. Contoh orang berjihad dengan Nabi adalah klasik dan jihad bukan satu satunya jalan untuk mencapai Khusnul Khatimah apalagi jihad yang sekarang banyak disangsikan. Mari kita menatap zaman di mana kita hidup sekarang.
Saudara sekalian, orang sakit, terbunuh, tenggelam, kecelakaan lalu lintas,… adalah alasan alasan agar TUHAN mencabut nyawa terdengar logis bagi manusia. TUHAN bisa saja mencabut nyawa anda seketika ketika anda sedang berdiri, duduk, berbaring apalagi sedang mengendarai mobil di lintasan Formula One! Bahkan bagi orang sakitpun yang  berusaha keras berobat untuk sembuh, kalau anda tahu ilmunya maka ‘tidak semua orang yang sakit harus sembuh!’
Maaf kawan, bukan saya tak hendak berbagi ilmu, mengutip kalimat Robert T. Kiyosaki dalam bukunya Guide To Investing dalam pendidikan dasar CashFlow-nya, saya ingin mengatakan bahwa “Ilmu ini tidak bisa dipelajari dengan membaca”.
Lalu bagaimana agar mati bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan? GURU saya mengatakan “Matikanlah dirimu sebelum engkau mati!”. Oh apakah ini proses latihan? Maksudnya? GURUnya GURU saya (NENEK GURU) dalam sebuah kesempatan saya dengar rekaman fatwaNYA mengatakan “Kalau engkau tidak bisa berenang, kemanapun engkau pergi kau tak kan bisa berenang! Kalau kau tak kenal Tuhan di dunia, maka diakhiratpun kau tak kenal Tuhan!” Pelajarannya adalah ‘Kau tak akan masuk surga jika tak kenal yang punya surga!’ masalahnya TUHAN diakhirat nanti adalah TUHAN di dunia sekarang. Kesimpulannya, wajar saja kau takut mati dan atau ditinggal mati sebab kau tak kenal Tuhan! NENEK GURU juga mengkritik para ustadz ustadz yang mengatakan ‘shalatlah yang khusuk insya allah masuk surga’, masalahnya adalah ustadz ustadz itu tidak mampu mengajarkan bagaimana yang dimaksud dengan shalat yang khusuk. “Ajaran kok spekulatif dengan insya allah masuk surga, kalau tidak, apa mau kembali ke dunia?” demikian kata NENEK GURU saya. Bagi saudara saudara yang sangat yakin akan masuk surga karena amal ibadah saudara, ketahuilah jika masuk surgapun anda bukan karena banyaknya amal ibadah anda! Umatku tidak masuk surga karena ibadahnya, melainkan karena Ridha ALLAH SWT, demikian hadisnya bung! Jadi sebaiknya anda tidak usah menghitung-hitung pahala! Pertanyaan yang timbul adalah bagaimana TUHAN meridhai anda jikalau anda berdua belum saling mengenal?
Anda akan merindui kematian bila anda mengenal TUHAN anda yang menjamin seluruh dosa anda diampuni dan memastikan anda masuk surga! Saya tambahkan GURU saya juga berucap “Orang orang berTUHAN yang mati sesungguhnya tidaklah mati, mereka tetap hidup…”

Dilangit Tuan berkata, Dibumi Tuan bersabda
Dilangit Tuan bertahta, Dibumi Tuan menjelma

WASILAH, Cara Berjumpa Dengan Allah

Semua manusia di dunia ini meyakini bahwa Tuhan adalah sosok yang Agung, Mulia, Sempurna dan segala gelar hebat di sandang oleh-Nya. Kalau di dunia ada Raja maka Tuhan adalah Maha Raja Diraja. Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Mulia tersebut, sebegitu tingginya sehingga hampir semua manusia merasa mustahil untuk berjumpa denga-Nya. Hanya golongan tertentu saja seperti Nabi yang diizinkan untuk menjumpai-Nya. Bahkan dalam pandangan kelompok tertentu dalam Islam, bahkan Nabi sendiri tidak pernah berjumpa dengan Allah di dunia, dalil tentang pengalaman Musa ingin melihat Tuhan dijadikan dalil untuk membenarkan pendapat mereka. Kelompok Mu’tazilah bahkan lebih ekstrim lagi, mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak bisa dilihat atau dijumpai baik di dunia maupun di akhirat.
Kelompok yang paling banyak adalah yang berpendapat bahwa Allah tidak bisa dilihat atau dijumpai didunia namun Dia bisa dijumpai di akhirat setelah manusia meninggal dunia. Karena banyak bahkan sangat banyak, pada umumnya kita juga meyakini atau dipaksa meyakini bahwa Tuhan tidak mungkin dilihat di dunia dengan alasan Dia Maha Tinggi dan Maha Segalanya.
Disisi lain, kaum Sufi meyakini dan memang mengalami hal yang mustahil bagi kaum awam, yaitu berjumpa, melihat dan berdialog dengan Allah sebagaimana yang diceritakan para Tokoh Sufi dalam berbagai karyanya, salah satu Imam al-Ghazali yang melihat dan berdialog dengan Tuhan di dalam mimpi Beliau.
Pertanyaan yang paling menggoda kita adalah, kenapa ketiga kelompok ini yang sama-sama mengambil sumber ilmu dari Al-Qur’an dan Hadist bisa begitu jauh berselisih paham dan ini telah terjadi dari zaman dulu sampai sekarang. Jawaban normative karena pikiran manusia berbeda-beda dan kemampuan untuk menyerap ilmu dari sumber yang Agung (Al-Qur’an juga berbeda.
Bagi kelompok yang tidak meyakini bahwa Allah bisa di lihat di akhirat, dengan segala dalil menyerang kelompok yang meyakini bahwa Allah bisa dilihat di akhirat. Kaum Mu’tazilah menganggap keliru pemahaman Ahlu Sunnah Wal Jamaah yang meyakini Allah bisa dilihat di akhirat. Kemudian, orang yang meyakini bahwa Allah hanya bisa dilihat di akhirat menganggap keliru atau aneh bagi orang yang meyakini bahwa Allah bisa dilihat di dunia dan akhirat. Kalau kita terus menerus terjebak kepaa perdebatan tentang Tuhan, maka secara tidak sadar kita tidak pernah mau berusaha untuk menemukan kebenaran lain selain yang kita yakini.
Tuhan Maha Tinggi dan tidak seorangpun yang bisa menjangkat Zat Allah yang Maha tinggi tersebut, dan dalam hal ini kaum sufi yang meyakini bahwa Tuhan bisa dilihat juga berpendapat seperti ini. Tidak berarti bahwa ketika kaum sufi berkesempatan memandang Allah, lalu kedudukan Allah menjadi rendah. Semua manusia memposisikan Tuhan sesuai kadarnya masing-masing makanya dengan segala keyakinannya menampatkan TUhan ditempat yang tdak terjangkau agar kedudukan Tuhan tetap tinggi. Lalu, kalau Tuhan sudah sangat tinggi tidak dapat dijangkau, untuk apa adanya Tuhan?
Tuhan tidak sekedar sesuatu yang disembah, tapi Dia adalah sosok yang akrab dengan kita, tempat kita berkeluh kesah dan sahabat yang paling setia. Nabi Ibrahim menjadi “Khalilullah” Sabahat Allah karena kedekatan Beliau dengan Allah, lalu apakah hanya Ibrahim satu-satunya manusia yang layak menjadi Sahabat Allah? Nabi Muhammad terkenal sebagai “Habibullah” lalu apakah hanya Muhammad satu-satunya manusia yang layak menjadi kekasih Allah? Nabi Musa dikenal dengan “Kalamullah” orang yang diajak berbicara oleh Allah, apakah hanya Nabi Musa yang mengalami seperti itu. Bagaimana dengan kita yang awam, orang-orang yang bukan Nabi, apakah tidak boleh berhubungan dengan Allah dengan akrab?
Kaum sufi yang akrab dengan Tuhan juga tidak merasa dirinya hebat, tidak merasa dirinya suci dan mulia bahkan disetiap saat dengan kesadaran penuh dia merasa sebagai hamba yang hina, dhoif, papa tidak bisa apa, hanya karena kemuarahan hati TUhan saja yang membuat mereka bisa melakukan banyak hal di dunia ini. Kaum Sufi tidak pernah meyakini bahwa TUhan bisa menjadi manusi dan manusia karena kesuciannya bisa menjadi Tuhan, bahwa manusia itu bisa mencapai kedudukan mulia TUhan adalah pendapat diluarorang lain terhadap pemahaman Sufi. Kesalahan dalam memahami Wahdatul Wujud inilah kemudian yang membuat kaum sufi mendapat tuduhdan sebagai kelompok sesat dari orang-orang yang tidak memahaminya.
Kaum Sufi, dari manapun dia berasal dalam berhubungan dengan Allah tetap memakai meode yang diajarkan oleh Rassulullah yaitu lewat Wasilah. Karena tidak mungkin manusia bisa berhubungan dengan Allah tanpa ada unsur atau alat yang diberikan Allah. Dia yang Maha tinggi tidak mungkin dijangkau oleh manusia yang penuh dengan dosa dan kekurangan. Dalam hal ini seluruh manusia mempunyai kayakinan yang sama, termasuk Sufi. Allah yang Maha Pemurah memberikan “Alat Komunikasi” antara manusia dengan Dia yaitu berupa Nur Allah yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. Nur tersebut setelah Nabi Muhammad wafat diberikan kepada para ulama pewaris Nabi, dengan itulah manusia bisa berhubungan dengan TUhan. Sebagai alat komunikasi, Wasilah bukanlah ciptaan manusia, bukan pula manusia, tapi dia adalah sesuatu yang berasal dari sisi Allah. Inilah yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai Tali Allah, yang pangkalnya ada pada Allah dan ujungnya ada pada kekasih-Nya. Jangankan Allah yang merupakan Cahaya Maha Tinggi, berhubungan dengan cahaya yang nampak saja harus ada alatnya. Gelombang radio atau televisi ciptaan manusia tidak bisa diterima tanpa adanya alat penerimanya apalagi Cahaya Allah yang begitu Tinggi.
Nabi bukanlah sekedar penyampai wahyu, tapi Beliau adalah pembawa Wasilah yang berasal dari sisi Allah sebagai media penyambug manusia dengan Allah. Hubungan manusia dengan Allah adalah hubungan langsung, tanpa perantara. Hubungan langsung yang dimaksud tentu saja hubungan dengan menggunakan metode yag tepat, metode yang telah disampaikan dan digunakan oleh Rasulullah SAW. Umumnya hubungan langsung yang diyakini oleh manusia secara umum, dia merasa yakin aja bahwa Tuhan yang disembah itu benar. Mulai dari dia bisa beribadah, dia meyakini yang disembah dalah Allah. Apkah memang demikian? Dari mana dia bisa tahu kalau yang berdiri didepannya itu sosok Iblis yang juga terdiri dari cahaya. Berpuluh-puluh tahun dia meyakini telah menyembah Allah lewat Shalat dan ibadah lainnya, ternyata yang disembah Iblis karena dia tidak bisa membedakan antara Allah dan Iblis. Ibadahnya berupa shalat itu diberi ganjaran Neraka oleh Allah karena yang disembah bukan Allah.
Apakah Iblis tidak bisa masuk kedalam Mesjid? Jangankan dalam mesjid atau rumah kita, kedalam surga pun dia bisa bolak balik, bebas keluar masuk. Jadi, kesmbongan kita menolak wasilah, menyembah Allah dengan metode Rasulullah ini yang menyembabkan kita mudah disusupi setan yang sangat Halus. Ingat, Nabi Adam digoda oleh Iblis bukan di Pasar Malam atau di Mall, tapi di dalam Surga yang dipagari oleh para Malaikat.
Kaum Sufi tidak ragu sedikitpun dia dalam beribadah karena dia sudah bisa membedakan antara Allah dan yang bukan Allah karena dia telah berjumpa dengan Allah. Bagi mereka Allah bukan hanya Maha Gaib (Al-Ghaibi) namun juga Maha Nyata (AD-Dzahir) seperti yang tertulis dalam Asmaul Husna. Bagi orang yang baru menempuh jalan kepada Allah (Thariqatullah), paling tidak dia telah mempunyai pembimbing (Mursyid) yang setiap saat akan menuntun dan membimbing dia kepada Allah secara zahir dan bathin. Godaan dan gangguan secara bathin dengan izin Allah akan mendapat Syafaat ( Bantuan) dari Guru Mursyid yang rohaninya selalu bersama rohani Rasulullah dan otomatis selalu bersama Allah.
Jadi, belum terlambat bagi siapapun kita yang belum menggunakan metode berhubungan dengan Allah berupa Wasilah untuk segera mencari Guru Pembimbing agar ibadahnya menjadi sempurna dan diterima oleh Allah SWT.

KESAKSIAN PARA ULAMA FIQIH TENTANG TASAWUF

Sesungguhnya tasawuf adalah Islam, dan Islam adalah tasawuf. Untuk mencapai kesempurnaan ibadah dan keyakinan dalam Islam, seseorang hendaknya mempelajari ilmu tasawuf melalui thariqah-thariqah yang mu’tabar dari segi silsilah dan ajarannya. Para ulama besar kaum muslimin sama sekali tidak menentang tasawuf, tercatat banyak dari mereka yang menggabungkan diri sebagai pengikut dan murid tasawuf, para ulama tersebut berkhidmat dibawah bimbingan seorang syaikh thariqah yang arif, bahkan walaupun ulama itu lebih luas wawasannya tentang pengetahuan Islam, namun mereka tetap menghormati para syaikh yang mulia, hal ini dikarenakan keilmuan yang diperoleh dari jalur pendidikan formal adalah ilmu lahiriah, sedangkan untuk memperoleh ilmu batiniyah dalam membentuk qalbun salim dan kesempurnaan ahlak, seseorang harus menyerahkan dirinya untuk berkhidmat dibawah bimbingan seorang syaikh tasawuf yang sejati.
Empat orang imam mazhab Sunni, semuanya mempunyai seorang syaikh thariqah. Melalui syaikh itulah mereka mempelajari Islam dalam sisi esoterisnya yang indah dan agung. Mereka semua menyadari bahwa ilmu syariat harus didukung oleh ilmu tasawuf sehingga akan tercapailah pengetahuan sejati mengenai hakikat ibadah yang sebenarnya.
Imam Abu Hanifah (Nu’man bin Tsabit – Ulama besar pendiri mazhab Hanafi) adalah murid dari Ahli Silsilah Thariqat Naqsyabandiyah yaitu Imam Jafar as Shadiq ra . Berkaitan dengan hal ini, Jalaluddin as Suyuthi didalam kitab Durr al Mantsur, meriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah (85 H.-150 H) berkata, “Jika tidak karena dua tahun, Nu’man telah celaka. Karena dua tahun saya bersama Sayyidina Imam Jafar as Shadiq, maka saya mendapatkan ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar”.
Imam Maliki (Malik bin Anas – Ulama besar pendiri mazhab Maliki) yang juga murid  Imam Jafar as Shadiq ra, mengungkapkan pernyataannya yang mendukung terhadap ilmu tasawuf sebagai berikut, “Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawuf tanpa fiqih maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqih tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawuf dengan disertai fiqih dia meraih kebenaran.”
(‘Ali al-Adawi dalam kitab Ulama fiqih, vol. 2, hal. 195 yang meriwayatkan dari Imam Abul Hasan).
Imam Syafi’i (Muhammad bin Idris, 150-205 H ; Ulama besar pendiri mazhab Syafi’i) berkata, “Saya berkumpul bersama orang-orang sufi dan menerima 3 ilmu:
1. Mereka mengajariku bagaimana berbicara
2. Mereka mengajariku bagaimana memperlakukan orang lain dengan kasih sayang dan kelembutan hati
3. Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawuf.”
(Riwayat dari kitab Kasyf al-Khafa dan Muzid al Albas, Imam ‘Ajluni, vol. 1, hal. 341)
Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H ; Ulama besar pendiri mazhab Hanbali) berkata, “Anakku, kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena mereka adalah mata air ilmu dan mereka selalu mengingat Allah dalam hati mereka. Mereka adalah orang-orang zuhud yang memiliki kekuatan spiritual yang tertinggi. Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari mereka”
(Ghiza al Albab, vol. 1, hal. 120 ; Tanwir al Qulub, hal. 405, Syaikh Amin al Kurdi)
Syaikh Fakhruddin ar Razi (544-606 H ; Ulama besar dan ahli hadits) berkata, “Jalan para sufi adalah mencari ilmu untuk memutuskan hati mereka dari kehidupan dunia dan menjaga diri agar selalu sibuk dalam pikiran dan hati mereka dengan mengingat Allah pada seluruh tindakan dan perilaku .”
(I’tiqad al Furaq al Musliman, hal. 72, 73)
Ibn Khaldun (733-808 H ; Ulama besar dan filosof Islam) berkata, “Jalan sufi adalah jalan salaf, yakni jalannya para ulama terdahulu di antara para sahabat Rasulullah Saww, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in. Asasnya adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan perhiasan serta kesenangan dunia.”
(Muqadimah ibn Khaldun, hal. 328).


Imam Jalaluddin as Suyuti (Ulama besar ahli tafsir Qur’an dan hadits) didalam kitab Ta’yad al haqiqat al ‘Aliyyah, hal. 57 berkata, “Tasawuf yang dianut oleh ahlinya adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Ilmu ini menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi Saww dan meninggalkan bid’ah.”
Bahkan Ibnu Taimiyyah (661-728 H), salah seorang ulama yang dikenal keras menentang tasawuf pada akhirnya beliau mengakui bahwa tasawuf adalah jalan kebenaran, sehingga beliaupun mengambil bai’at dan menjadi pengikut thariqah Qadiriyyah. Berikut ini perkataan Ibnu Taimiyyah didalam kitab Majmu al Fatawa Ibn Taimiyyah, terbitan Dar ar Rahmat, Kairo, Vol. 11, hal. 497, dalam bab. Tasawuf : “Kalian harus mengetahui bahwa para syaikh yang terbimbing harus diambil dan diikuti sebagai petunjuk dan teladan dalam agama, karena mereka mengikuti jejak Para Nabi dan Rasul. Thariqah para syaikh itu adalah untuk menyeru manusia kepada kehadiran dalam Hadhirat Allah dan ketaatan kepada Nabi.” Kemudian dalam kitab yang sama hal. 499, beliau berkata, “Para syaikh harus kita ikuti sebagai pembimbing, mereka adalah teladan kita dan kita harus mengikuti mereka. Karena ketika kita berhaji, kita memerlukan petunjuk (dalal) untuk mencapai Ka’ bah, para syaikh ini adalah petunjuk kita (dalal) menuju Allah dan Nabi kita.” Di antara para syaikh sufi yang beliau sebutkan didalam kitabnya adalah, Syaikh Ibrahim ibn Adham ra, guru kami Syaikh Ma’ruf al Karkhi ra, Syaikh Hasan al Basri ra, Sayyidah Rabi’ah al Adawiyyah ra, guru kami Syaikh Abul Qasim Junaid ibn Muhammad al Baghdadi ra, guru kami Syaikh Abdul Qadir al Jailani, Syaikh Ahmad ar Rifa’i ra, dll.
Didalam kitab “Syarh al Aqidah al Asfahaniyyah” hal. 128. Ibnu Taimiyyah berkata, “Kita (saat ini) tidak mempunyai seorang Imam yang setara dengan Malik, al Auza’i, at Tsauri, Abu Hanifah, as Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Fudhail bin Iyyadh, Ma’ruf al Karkhi, dan orang-orang yang sama dengan mereka.” Kemudian sejalan dengan gurunya, Ibnu Qayyim al Jauziyyah didalam kitab “Ar Ruh” telah mengakui dan mengambil hadits dan riwayat-riwayat dari para pemuka sufi.
Dr. Yusuf Qardhawi, guru besar Universitas al Azhar, yang merupakan salah seorang ulama Islam terkemuka abad ini didalam kumpulan fatwanya mengatakan, “Arti tasawuf dalam agama ialah memperdalam ke arah bagian ruhaniah, ubudiyyah, dan perhatiannya tercurah seputar permasalahan itu.” Beliau juga berkata, “Mereka para tokoh sufi sangat berhati-hati dalam meniti jalan di atas garis yang telah ditetapkan oleh Al-Qur,an dan As-Sunnah. Bersih dari berbagai pikiran dan praktek yang menyimpang, baik dalam ibadat atau pikirannya. Banyak orang yang masuk Islam karena pengaruh mereka, banyak orang yang durhaka dan lalim kembali bertobat karena jasa mereka. Dan tidak sedikit yang mewariskan pada dunia Islam, yang berupa kekayaan besar dari peradaban dan ilmu, terutama di bidang marifat, akhlak dan pengalaman-pengalaman di alam ruhani, semua itu tidak dapat diingkari.
Seperti itulah pengakuan para ulama besar kaum muslimin tentang tasawuf. Mereka semua mengakui kebenarannya dan mengambil berkah ilmu tasawuf dengan belajar serta berkhidmat kepada para syaikh thariqah pada masanya masing-masing. Oleh karena itu tidak ada bantahan terhadap kebenaran ilmu ini, mereka yang menyebut tasawuf sebagai ajaran sesat atau bid’ah adalah orang-orang yang tertutup hatinya terhadap kebenaran, mereka tidak mengikuti jejak-jejak para ulama kaum salaf yang menghormati dan mengikuti ajaran tasawuf Islam.

Tasawuf Membentuk Akhlak Mulia

Oleh Marsudi Fitro Wibowo*

Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiqqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. An Nisaa'(4):69)
Bagi orang yang belum mengenal apa itu Ilmu Tasawwuf atau Sufi tentu akan merasa asing untuk keduanya, karena tidak tahu orang cendrung untuk menjauhi atau enggan untuk mempelajarinya bahkan sampai mengejeknya. Hal ini serupa dengan awal kedatangan Islam tempo dulu, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw.: “Permulaan Islam ini asing, dan akan kembali asing pula, maka gembiralah orang-orang yang dianggap asing (orang-orang Islam).” HR. Muslim dari Abi Hurairah.
Kaum Sufi bukanlah sekelompok aliran bid’ah yang ajarannya masih saja diperdebatkan, namun dalam memahami Ilmu kesufian hati perlu benar-benar bersih dan jeli untuk menangkap doktrin-doktrin yang diajarkan dalam sufi itu sendiri dengan catatan tidak melenceng dari Islam. Tanpa didampingi ilmu sebagai manusia terlalu gampang untuk mencoreng, mencela dan berprasangka buruk terhadap sesama. Dalam sebuah hadits Nabi Saw.: “Hati-hatilah kalian terhadap prasangka, karena sesungguhnya prasangka itu merupakan perkataan yang paling dusta.” HR. Bukhari & Muslim.
Ilmu kesufian atau Ilmu Tasawwuf adalah ilmu yang didasari oleh Al-Qur’an dan Hadits dengan tujuan utamanya amar ma’ruf nahi munkar. Sejak jaman sahabat Nabi Saw. tanda-tanda sufi dan ilmu kesufian sudah ada, namun nama sufi dan ilmu tersebut belum muncul, sebagaimana ilmu-ilmu lain seperti Ilmu Hadits, Ilmu Kalam, Ilmu Tafsir, Ilmu Fiqh dan lain sebagainya. Barulah pada tahun 150 H atau abad ke-8 M Ilmu Sufi atau Ilmu Tasawwuf ini berdiri sebagai ilmu yang berdiri sendiri yang bersifat Keruhanian. Kontribusi Ilmu Tasawwuf ini banyak dibukukan oleh kalangan orang-orang Sufi sendiri seperti Hasan al-Basri, Abu Hasyim Shufi al-Kufi, al-Hallaj bin Muhammad al-Baidhawi, Sufyan ibn Sa’id ats-Tsauri, Abu Sulaiman ad-Darani, Abu Hafs al-Haddad, Sahl at-Tustari, al-Qusyairi, ad-Dailami, Yusuf ibn Asybat, Basyir al-Haris, as-Suhrawardi, Ain Qudhat al-Hamadhani dan masih banyak yang lainnya hingga kini terus berkembang.
Dalam praktek realisasi ilmu Sufi khusunya tempo dulu, mutasawwif (orang Sufi) memerlukan adaptasi yang amat sangat. Hal ini agar mampu untuk menarik orang-orang yang belum masuk muslim dengan jalan tanpa kekerasan dan paksaan, dengan kata lain berdakwah yang tidak keluar dari tujuan utama yang membuktikan akan cintanya kepada Maha Pencipta yakni Allah SWT. Disisi lain orang-orang sufi menjauhkan diri dari hal keduniaan yang dapat menghijab antara hamba-Nya dengan Allah Swt dalam beribadah. Disinilah Sufi mulai mengembangkan metode-metode bagaimana cara untuk membersihkan jiwa, pembinaan lahir batin, berdzikir, mendekatkan diri pada Allah, membangun jiwa mulia dalam mengenal Allah atau ber-ma’rifat, selain itu berintrospeksi diri siapa diri ini sebenarnya, sesuai dengan hadits Nabi Saw. “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu” (Barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya)”.
Jelas bahwa Ilmu Tasawwuf dan Sufi adalah merupakan salah satu ilmu dalam Agama Islam yang sangat halus dan mendalam yang mampu menembus alam batin serta sulit sekali untuk di ilmiahkan dan diterangkan secara kongkrit. Hal ini bukan berarti tidak dapat dibuktikan secara ilmiah namun seseorang yang memiliki kebersihan hati dan kecerdasan yang luar biasa yang mampu mecahkannya. Sebab “Al-Islaamu ‘ilmiyyun wa ‘amaliyyun” (Islam adalah ilmiah dan amaliah) HR. Bukhari. Karena halusanya ilmu ini persoalan-persoalan didalamnya bagi orang awam dapat menimbulkan khilafiyah (perbedaan) dan pertentangan-pertentangan. Tapi inilah keindahan Islam berlomba dalam kebaikan selama tidak menyimpang dari aturan Islam.
Dalam kitab Ta’yad Al-Haqiqtul ‘Aliyya hal. 57, salah seorang ulama Fiqh dan Ahli Tafsir Jalaluddin as-Suyuti mengatakan: “Tasawwuf dalam diri mereka adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Dia menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi dan meninggalkan bid’ah”. Sedangkan Al-Junaid seorang pimpinan tokoh Sufi Mazhab Moderat yang berasal dari Baghdad menyatakan tentang ilmu kesufian dalam syairnya: “Ilmu Sufi (Tasawwuf) adalah benar-benar ilmu, yang tidak seorang pun dapat memperolehnya; Kecuali dia yang dikarunia kecerdasan alami, dan berbakat untuk memahaminya. Tak seorang pun dapat berpura menjadi Sufi, kecuali dia yang melihat rahasia nuraninya.”
Ilmu Tasawwuf dan Sufi adakalanya orang mencap sebagai ilmu kolot, ketinggalan jaman, usang, out of date, bahkan disebut aneh. Akan tetapi di balik itu semua bahwa Ilmu Tasawwuf memiliki kekuatan yang sungguh luar biasa untuk lebih mengenal Tuhan serta membangun mental dan akhlak yang mulia. Yang perlu diperhatikan kenapa orang dapat menjadi sesat dan madlarat dalam mempelajari dan mengamalkan Ilmu Tasawwuf. Sehingga ia menjadi orang yang apatis atau mengasingkan diri dari pergaulan masyarakat dan keluarga, meninggalkan keduniaan yang padahal di dunia ini adalah sebagai ladang amal dalam berbuat kebajikan untuk bekal di hari kemudian. Hal demikian dapat terjadi kesesatan pada diri seseorang dengan mempelajari ilmu Tasawwuf tetapi tanpa didampingi dengan Ilmu Kalam (Ushuluddin) dan Ilmu Fiqh.
Menurut Imam Malik ra. (94-179 H/716-795 M) menyatakan: “Man tassawaffa wa lam yatafaqah faqad tazandaqa, wa man tafaqaha wa lam yatsawwaf faqad fasadat, wa man tafaqaha wa tassawafa faqad tahaqqaq. (Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawwuf tanpa fiqh maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqh tanpa tasawwuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawwuf dan fiqh dia meraih kebenaran).” Dengan demikian bahwa Ilmu Tasawwuf dan Ilmu Fiqh umpama dua jemari yang tak dapat dipisahkan, dan tidak untuk diabaikan dimana keduanya sama-sama penting suatu perpaduan antara akal dan hati.
Jadi dengan Ilmu Kalam (Ushuluddin) atau Ilmu Tauhid, bahwa Allah SWT. itu ada dan mempercayainya sebagai Tuhan yang wajib disembah. Ilmu Kalam ini adalah Ilmu pokok-pokok kepercayaan dalam Agma Islam. Selain itu pula untuk menghindari dari kemusyrikan serta memperkuat akan Tauhidullah sebagai Esensi Aqidah Islam. Ilmu Fiqh, pemahaman tentang syariat-syariat Islam berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang merupakan lautan ilmu yang meluas secara horizontal. Sedangkan dalam Ilmu Tasawwuf adalah mengatur kesempurnaan hubungan dengan Allah dan juga sebagai ilmu yang mampu menembus vertikal kedalam. Dengan mempelajari ketiganya maka akan kuatlah Iman, Islam dan Ihsan kita yang merupakan kesempurnaan dalam Islam, sebagai wujud mempelajari Ilmu Tauhid, Fiqh dan Tasawwuf.
Cintanya orang orang-orang Sufi terhadap Tuhan, bagi mereka adalah suatu kenikmatan tersendiri dalam bertasawwuf, cara ini mampu membersihkan jiwa akan penyakit-penyakit hati (bathiniyah). Tapi penyelewengan dalam dunia Sufi pun dapat saja terjadi seperti halnya al-Hallaj yang mengakuinya dirinya sebagai Allah, dengan teorinya wahdat al-wujud atau pantheisme (Penyatuan Wujud) dan teori al-Hulul atau penitisan (Penjelmaan Tuhan dalam diri Manusia). Perkataan dan perbuatan al-Hallaj ini membuat marah para ahli Kalam (Tauhid), Fiqh dan masyarakat Islam, sehingga ia di hukum mati pada tahun 309 H. Di Indonesia dulu terjadi penyimpangan oleh seorang Waliyullah yaitu Syeikh Siti Jennar yang mirip dengan teori al-Hallaj, ia di hukum mati oleh mahkamah para Wali di Jawa. Namun hanya Allah-lah Yang Maha Tahu akan maksud dan hati seseorang.
**
Keunggulan umat Islam salah satunya adalah Ilmu Tasawwuf ini. Dengan bertasawwuf yang merupakan suatu kekuatan batin untuk mempertebal iman, tauhid, ladang amal, pembersih jiwa, serta untuk memperkuat Ihsan suatu cara untuk lebih mengenal Allah dan mencari keridloan-Nya semata maka secara otomatis akan meningkatkan akhlakul kariimah (Akhlak yang Mulia).
Menurut Prof. DR. Hamka bahwa: “Tasawwuf Islam telah timbul sejak timbulnya Agama Islam itu sendiri. Bertumbuh di dalam jiwa pendiri Islam itu sendiri yaitu Nabi Muhammad Saw. Disauk airnya dari Qur’an sendiri”. (Perkembangan Tasawwuf dari Abad ke Abad). Adapun ciri dari Sufi menurut Imam Nawawi (620-676 H/1223-1278 M) dalam suratnya al-Maqasid at-Tawhid ada lima ciri jalan sufi atau bertasawwuf yaitu: (1) menjaga kehadiran Allah dalam hati pada waktu ramai dan sendiri, (2) mengikuti Sunah Rasullaah Saw. dengan perbuatan dan kata, (3) menghindari ketergantungan kepada orang lain, (4) bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit, (5) selalu merujuk masalah kepada Allah swt.
Oleh Karena itu Ilmu Tasawwuf khususnya di Indonesia haruslah mendapat perhatian penuh dari para alim ulama, sarjana, dan para cendekiawan muslim lainnya untuk dapat penyelidikan dan pengupasan secara luas dalam bidang Tasawwuf, untuk menciptakan mental yang Islami dan pemahaman spriritual dalam Islam untuk menjauhkan dari sifat-sifat tercela dan munafik. Sekali lagi bahwa Islam adalah agama Rahmatan lil ‘aalamiin.***

Nasehat Guru,“Ilmu ini (Hakikat) turun dengan Kasih Sayang”

Islam adalah agama damai, sejuk, indah, memberi keselamatan kepada pemeluknya dunia dan akhirat serta menjadi rahmat bagi seluruh alam. Siapapun yang menyentuh Islam akan ikut bahagia lahir dan bathin. Islam adalah agama yang mengajarkan pemeluknya untuk berakhlak yang baik dan bekasih sayang antara satu dengan lain. Junjungan kita Rasulullah SAW memberikan contoh akhlak yang baik itu dan membimbing para sahabat dan ummat zaman itu untuk berakhlak yang baik, saling sayang menyayangi dan saling mencintai satu sama lain. Begitu mendalam dan berbekas pengajaran akhlak dari Nabi kepada sahabat sehingga mereka bahkan lebih mencintai saudaranya dari mencintai diri sendiri.
Bukan hanya terhadap ummat, kepada musuhpun Nabi menunjukkan kasih sayang, memberikan maaf kepada orang yang menyakiti Beliau bahkan terhadap orang yang pernah ingin membunuh Beliau. Power kasih sayang yang tulus itulah yang menyebabkan Beliau bisa diterima oleh segala lapisan masyarakat Arab yang terpecah menjadi banyak kabilah dan suku.
Dalam Hadist Qudsi Allah berfirman :
“Kasih sayang-Ku pasti Ku berikan kepada mereka yang saling berkasih sayang di jalan-Ku, saling berkumpul memenuhi panggilan-Ku, saling memberi pada jalan-Ku dan saling berziarah berkunjung karena aku”. (HR. Ahmad, Hakim, Thabrani, Ibnu Hibban, dan Baihaqi dari Mu’az).
Apabila kita ingin dicintai oleh Allah, maka tebarkanlah kasih sayang kepada semua manusia di muka bumi ini terlebih lagi kepada kekasih-Nya. Selain dari Guru Mursyid, kita tidak tahu siapa diantara manusia yang berjalan dimuka bumi ini yang dekat dengan Tuhan dan makbul doanya sehingga tidak ada salahnya kalau kita berbuat baik dan menghargai semua orang sebagai bagian dari ajaran Rasulullah SAW. Bisa jadi orang yang kita lihat secara zahir bisa-biasa saja ternyata dialah orang yang paling dekat dengan Allah.
Berbuat baik dan menebarkan kasih sayang itu ibarat menam tanaman yang baik, semakin lama akan menuai hasil yang baik pula. Sebaliknya, berbuat jahat dan kemungkaran seperti menebarkan api yang akan bisa membakar dan memusnahkan diri sendiri.
Guru saya yang mulia memberikan nasehat, “Jangan pernah kau mendokan orang dengan doa yang buruk, karena kedudukanmu akan buruk pula di mata Tuhan”. Guru sangat melarang kita untuk mendoakan orang agar kena bala atau mendapat musibah, walaupun orang tersebut telaah berbuat jahat kepada kita. “Jika ada orang yang berbuat tidak adil kepada engkau, serahkan kepada Tuhan karena Dia lebih mengetahui hal yang tidak kau ketahui”, demikian nasehat Guru kepada saya.
Cara Nabi membina ummat Beliau zaman dulu kemudian diteruskan oleh para ulama pewaris Beliau sampai sekarang, sehingga tidak mengherankan kita lihat di kalangan pengamal Tarekat terutama yang masih satu Guru, diantara sesama murid benar-benar akrab secara lahir dan bathin. Mereka saling berkasih sayang, saling menghargai satu sama lain. Kedekatan dan keakraban semasa murid Guru bahkan melebihi kedekatan dengan saudara kandung. Memang para murid secara jasmani dilahirkan dari ibu yang berbeda akan tetapi secara rohani mereka “dilahirkan” dari Guru yang sama.
Sesama murid Guru, pada hakikatnya kedudukan kita sama, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah walaupun dalam pandangan zahir terkadang dibedakan dari tahun masuk tarekat, tahun dituakan atau jumlah suluk yang pernah di ikuti. Biarlah Guru dan Allah SWT yang memberikan penilaian terhadap kedudukan kita, sementara tugas kita hanya memperkuat tali persaudaraan sehingga rahmat Allah akan selalu mengalir kepada kita semua. Begitu tingginya nilai persaudaraan dan persahabatan sehingga Allah menjadi orang ketiga diantara dua orang yang bersahabat sebagaimana Firman Allah :
“Aku adalah yang ketiga dari antara dua orang yang bersahabat selama salah seorang diantaranya tidak berkhianat. Bila salah seorang berkhianat kepada temannya, maka aku keluar diantara keduanya.” (HR. Abu Daud dan Hakim dari Abu Hurairah).
Saya mengakhiri tulisan singkat ini dengan mengutip ucapan Guru, “Ilmu ini (Hakikat) hanya bisa turun dengan Kasih Sayang dan kau pun menyampaikannya dengan kasih sayang, tanpa kasih sayang maka ilmu ini tidak akan bisa turun (tidak bisa diajarkan)”. Maknanya, ilmu-ilmu hakikat yang sangat tinggi nilainya hanya bisa turun (mengalir) dari Guru kepada para murid dan dari murid kepada orang lain harus dengan kasih sayang. Itulah sebabnya dalam terekat yang diutamakan bukan zikir atau ibadah akan tetapi Hadap (sopan santun) kepada Guru karena itu merupakan kunci turunnya seluruh ilmu dan karunia Allah SWT.
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat hendaknya!