Hidup pastikan aman tenteram dunia wal akhirat kalau saja kita selalu bertafakur untuk mengingat Allah dan mengingat kehidupat akhirat, minimal 5 menit dalam sehari semalam
Minggu, 04 Oktober 2015
Maqom atau derajat Wali Allah
Telah kami uraikan bahwa setelah Khataman Nabiyyin, manusia atau kaum yang ditugaskan untuk “menjaga” agama Islam atau ahli menghidupkan sunnah Nabi itu adalah kaum sufi atau kaum Wali Allah , para kekasih Allah, kaum yang dicintai Allah.
Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Ali, -ketika beliau mengangkatnya sebagai pengganti (di Madinah) dalam beberapa peperangan beliau. Ali bertanya; Apakah anda meninggalkanku bersama para wanita dan anak-anak! beliau menjawab: Wahai Ali, tidakkah kamu rela bahwa kedudukanmu denganku seperti kedudukan Harun dengan Musa? hanya saja tidak ada Nabi setelahku. Dan saya juga mendengar beliau bersabda pada Perang Khaibar; Sungguh, saya akan memberikan bendera ini kepada seorang laki-laki yang mencintai Allah dan RasulNya dan Allah dan RasulNya juga mencintainya. Maka kami semuanya saling mengharap agar mendapatkan bendera itu. Beliau bersabda: Panggilllah Ali! (HR Muslim 4420)
Imam Sayyidina Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Kumail An Nakha’i: “Bumi ini tidak akan kosong dari hamba-hamba Allah yang menegakkan agama Allah dengan penuh keberanian dan keikhlasan, sehingga agama Allah tidak akan punah dari peredarannya. Akan tetapi, berapakah jumlah mereka dan dimanakah mereka berada? Kiranya hanya Allah yang mengetahui tentang mereka. Demi Allah, jumlah mereka tidak banyak, tetapi nilai mereka di sisi Allah sangat mulia. Dengan mereka, Allah menjaga agamaNya dan syariatNya, sampai dapat diterima oleh orang-orang seperti mereka. Mereka menyebarkan ilmu dan ruh keyakinan. Mereka tidak suka kemewahan, mereka senang dengan kesederhanaan. Meskipun tubuh mereka berada di dunia, tetapi rohaninya membumbung ke alam malakut. Mereka adalah khalifah-khalifah Allah di muka bumi dan para da’i kepada agamaNya yang lurus. Sungguh, betapa rindunya aku kepada mereka” (Nahjul Balaghah hal 595 dan Al Hilya jilid 1 hal. 80)
Dari apa yang disampaikan oleh Imam Sayyidina Ali Bin Abi Thalib dapat kita ketahui bahwa para Wali Allah hanya Allah yang mengetahui tentang mereka dan dapat diterima oleh orang-orang seperti mereka
Dalam hadits qudsi, “Allah berfirman yang artinya: “Para Wali-Ku itu ada dibawah naungan-Ku, tiada yang mengenal mereka dan mendekat kepada seorang wali, kecuali jika Allah memberikan Taufiq HidayahNya”
Abu Yazid al Busthami mengatakan: Para wali Allah merupakan pengantin-pengantin di bumi-Nya dan takkan dapat melihat para pengantin itu melainkan ahlinya.
Sahl Ibn ‘Abd Allah at-Tustari ketika ditanya oleh muridnya tentang bagaimana (cara) mengenal Waliyullah, ia menjawab : “Allah tidak akan memperkenalkan mereka kecuali kepada orang-orang yang serupa dengan mereka, atau kepada orang yang bakal mendapat manfaat dari mereka – untuk mengenal dan mendekat kepada-Nya.”
Mereka mengomentari tulisan kami sebagai pengakuan kelompok atau kaum yang merasa wali-wali Allah, atau menyatakan diri mereka sebagai orang-orang yang paling dekat dengan Allah.
Kami tidak pernah menyampaikan bahwa kami seorang sufi ataupun seorang sholeh. Kami adalah muslim yang berupaya meraih ridho Allah Azza wa Jalla agar dapat termasuk kaum sufi atau muslim yang sholeh atau muslim yang Ihsan
Imam As Syafi’i rahimahullah ketika beliau ditanya apakah beliau seorang sufi atau seorang sholeh, beliau menjawabnya“Uhibbu asShalihiina wa lastu minhum La’alli an anaala bihim syafa’ah”. Suatu jawaban yang harus dipahami dengan balaghoh.
Uhibbu as Shalihiina = Aku mencintai orang shalih
walastu minhum = Walaupun.. aku tidak seperti mereka
La’ali an anaala bihim syafa’ah = Beliau berharap / semoga memperoleh Syafa’at Rasulullah shallallahu alaihi wasallam (agar termasuk orang yang Sholeh)
Ini tauladan yang disampaikan Imam As Syafi’i rahimahullah bahwa kita tidak boleh mengatakan / mengakui sebagai saya serupa dengan mereka termasuk orang sholeh, atau saya seorang sholeh atau saya seorang sufi atau saya seorang muhsin, karena orang sholeh, orang sufi, orang muhsin adalah dinisbatkan kepada perbuatan Allah pada manusia atau hasil penilaian Allah pada manusia. Bagi kita manusia hanya boleh berharap pertolongan Allah dan berupaya untuk mencapainya.
Mereka juga menyanggah apa yang kami sampaikan dengan landasan firman Allah yang ertinya
“Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa“. (QS Yunus [10] : 62-63)
Hal ini serupa dengan pendapat Lajnah Daimah Lil Buhuts Al-Ilmiah Wal Ifta (Komite Tetap untuk Riset Ilmiah dan Fatwa) kerajaan dinasti Saudi, lembaga yang juga memfatwa bahwa Imam An Nawawi telah salah dalam bab sifat-sifat Allah
Pendapat mereka bahwa “Wali Allah adalah siapa saja yang beriman kepada Allah Subhanahu wa Taâala dan bertaqwa kepadaNya dengan mengerjakan segala yang diperintahkan oleh Nya Subhanahu wa Ta’ala dan meninggalkan segala yang dilarangNya. Pemimpin mereka adalah para nabi dan rasul ‘alaihimus salam”.
Firman Allah dalam (QS Yunus [10] : 62-63) hanya menjelaskan bahwa Wali-Wali Allah adalah orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.
Mereka juga menyanggah bahwa yang bertugas “menjaga” agama Islam atau ahli menghidupkan sunnah Nabi itu adalah yang takut kepada Allah yakni para ulama atau pewaris Nabi berlandaskan firman Allah,
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاء إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
innamaa yakhsyaallaaha min ‘ibaadihil ‘ulamaau innallaaha ‘aziizun ghafuurun
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS Faathir 35:28)
Firman Allah ta’ala ini menerangkan bahwa para Wali Allah adalah ulama (ahli ilmu) yang Ihsan atau dengan kata lain Ulama (ahli ilmu) yang Ihsan dapat menjadi Wali Allah atau kekasih Allah
Hal ini ada kaitannya dengan hadits Rasulullah berikut
قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْإِحْسَانُ قَالَ أَنْ تَخْشَى اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنَّكَ إِنْ لَا تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (takhsya / khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.’ (HR Muslim 11)
Muslim yang terbaik adalah muslim yang Ihsan
Muslim yang Ihsan adalah muslim yang selalu merasa diawasi/dilihat Allah atau muslim yang melihat Allah
Muslim yang Ihsan terbaik adalah muslim yang selalu melihat Allah atau kekasih Allah atau muslim yang dekat disisi Allah
Muslim yang dekat disisi Allah hanyalah 4 golongan yakni para Nabi (Rasulullah yang utama), para Shiddiqin , para Syuhada dan Orang-orang Sholeh
Al-Hakim al-Tirmidzi (205-320H/ 820-935M) membagi maqamat al-walayah (derajat kedekatan para Wali Allah ke dalam lima maqamat.
Kelima maqamat itu adalah:
al-muwahhidin
al-shadiqin
al-shiddiqin
al-muqarrabin
al-munfaridin
Pertama, al-muwahhidun (penganut faham tauhid). Seorang yang mengesakan Allah disebut ahl al-tawhid. Seorang ahl al-tawhid telah keluar dari kekufuran dan telah memiliki cahaya iman. Dengan modal tauhid dan keimanan tersebut, ahl al-tawhid pada dasarnya telah mendekatkan diri kepada Allah. Al-Hakim al-Tirmidzi menganggap hal ini sebagai awwal manazil al-qurbah (permulaan peringkat kedekatan kepada Allah); namun masih berada pada posisi qurbat al-’ammah (kedekatan secara umum), bukan qurbat al-awliyâ` (kedekatan para wali)
Kedua, al-shadiqun yang juga dinamakan waliyy haqq Allah. Mereka adalah orang yang memperoleh kewalian setelah bertobat, bertekad bulat untuk menyempurnakan tobatnya, menjaga anggota tubuhnya dari perbuatan maksiat, menunaikan al-faraidl (berbagai kewajiban), menjaga al-hudŭd (hukum dan perundang-undangan Allah), dan membatasi al-mubahat (hal-hal yang dibolehkan). Apabila berhadapan dengan al-mahdlur (hal-hal yang dilarang) akan berpaling dan menolak sehingga jiwanya istiqamah.
Dinamakan waliyy haq Allah karena ibadah dan ketaatannya kepada Allah serta perjuangannya dalam melawan hawa nafsu berlangsung secara terus menerus tanpa pamrih, semata-mata karena menunaikan haqq Allah atas diri-Nya.
Kewalian ini dinamakan walayat haqq Allah min al-shadiqin (kewalian orang-orang yang benar dalam memenuhi haq Allah).
Ada dua ciri utama yang menjadi karakteristik awliya haqq Allah, iaitu:
(1) bertaubat secara benar dan memlihara anggota tubuhnya dari hal-hal yang dilarang, dan
(2) mengendalikan diri dari hal-hal yang dibolehkan.
Seorang waliyy haqq Allah, menurut al-Hakim al-Tirmidzi, mensucikan batinnya setelah merasakan istiqamah dalam penyucian lahirianya. Ia bertekad bulat untuk memenuhi dorongan rendah pada dirinya yang berkenaan dengan al-jawarih al-sab’a (tujuh anggota tubuh), yakni mata, lidah, pendengaran, tangan, kaki, perut, dan kemaluan.
Ketiga, al-Shiddiqin adalah orang-orang yang telah merdeka dari perbudakan nafsu. Kemerdekaan ini bukan bebas dari nafsu atau keinginan rendah; melainkan karena nafsunya berhasil mengambil jarak dari kalbu mereka. Al-Shiddiqun kokoh dalam kedekatannya kepada Allah, bersikap shidq (jujur dan benar) dalam prilakunya, sabar dalam mentaati Allah. Menunaikan al-faraidl, menjaga al-hudŭd, dan mempertahankan posisinya dengan sungguh-sungguh.
Mereka mencapai ghayat al-shidq (puncak kesungguhan) dalam memenuhi hak Allah, berada pada manzil al-qurbah (posisi yang dekat dengan Allah) dan mendapatkan khǎlish al-’ubŭdiyyah (hakikat kehambaan). Mereka dinamakan al-muhǐbŭn (orang-orang yang kembali).
Keempat, al-muqarrabŭn mereka adalah al-shiddiqǔn yang memiliki peluang untuk meningkatkan kualitas kedekatannya kepada Allah pada martabat al-muqarrabin (martabat para wali yang didekatkan kepada Allah), bahkan hingga berada di puncak kewalian.
Kelima, al-munfaridǔn. Hakim al-Tirmidzi berpandangan bahwa para wali yang mengalami kenaikan peringkat dari maqamat al-muwahhidun, al-shaddiqun, al-shiddiqun, hingga al-muqarrabun diatas telah sempurna tingkat kewalian mereka.hanya saja Allah mengangkat salah seorang mereka pada puncak kewalian tertinggi yang disebut dengan malak al-malak dan menempatkan wali itu pada posisi bayn yadayhi (di hadapan-Nya). Pada saat seperti itu ia sibuk dengan Allah dan lupa kepada sesuatu selain Allah. Seorang wali yang mencapai puncak kewalian tertinggi ini berada pada maqam munfaridin atau posisi malak al-fardaniyah, yaitu merasakan kemanunggalan dengan Allah.
Al-Hakim al-Tirmidzi tidak menggunakan istilah ittihad seperti Abu Yazid al-Busthami (w.261H-875M) atau hulul seperti al-Hallaj, atau wahdatul wujud seperti Ibn ‘Arabi (w.638H/1240M) dalam menjelaskan persatuan seorang wali dengan Allah. Ia menggunakan istilah liyufrida (agar manunggal / merasakan kemanunggalan).
Kewalian, dalam pandangan Al-Hakim al-Tirmidzi dapat diraih dengan terpadunya dua aspek penting, yakni karsa Allah kepada seorang hamba dan kesungguhan pengabdian seorang hamba kepada Allah.
Aspek pertama merupakan wewenang mutlak Allah, sedangkan aspek kedua merupakan perjuangan seorang hamba dengan mendekatkan diri kepada Allah.
Menurut al-Tirmidzi ada dua jalur yang dapat ditempuh oleh seorang sufi guna meraih derajat kewalian. Jalur pertama disebut thariq ahl al-minnah (jalan golongan yang mendapat anugerah); sedangkan jalur kedua disebut thariq ashhab al-shidq (jalan golongan yang benar dalam beribadah).
Melalui jalur pertama, seorang sufi meraih derajat wali di hadapan Allah semata-mata karena karunia-Nya yang di berikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Sedangkan melalui jalur kedua, seorang sufi meraih derajat wali berkat keikhlasan dan kesungguhannya di dalam beribadah kepada Allah.
Derajat kewalian itu mengalami pasang surut; namun, setelah mengalami pengumulan yang hebat, seorang wali berada di hadapan-Nya untuk kemudian masuk dalam genggaman Tuhan. Pada situasi ini, seorang wali melihat kumiz min al-hikmah (perbendaharaan hikmah) dan tersingkaplah baginya ilmu Allah, sehingga naiklah horizon pengetahuan wali tersebut dari pengenalan tentang ‘uyub al-nafs (rupa-rupa cacat dirinya) kepada pengetahuan tentang al-shifat wa al-asma (sifat-sifat dan nama-nama Allah), bahkan tersingkaplah baginya hakikat ilmu Allah.
Hubungan yang tercipta antara Allah dengan al-awliya (para wali) menurut al-Tirmidzi adalah hubungan al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cinta kasih), dan al-inayah (pertolongan). Hubungan istimewa ini diperoleh karena hubungan seorang wali telah menyerahkan semua urusannya kepada Allah, sehingga ia menjadi tanggungjawab-Nya, baik di dunia maupun di akhirat. Adanya pemeliharaan, cinta kasih, dan pertolongan Allah kepada wali sedemikian rupa merupakan manifestasi dari makna al-walayah (kewalian) yang berarti dekat dengan Allah dan merasakan kehadirannya, hudhur ma’ahu wa bihi (merasakan kehadiran-Nya oleh diri-Nya).
Bertitik tolak pada al-ri’ayah (pemeliharaan), al-mawaddah (cintakasih), dan al-inayah (pertolongan) Allah kepada al-awliya (parawali); al-Tirmidzi sampai pada kesimpulannya bahwa al-awliya dan orang-orang beriman bersifat ‘ishmah, yakni memiliki sifat keterpeliharaan dari dosa; meskipun ‘ishmah yang dimiliki mereka berbeda.
Bagi umumnya orang-orang beriman ‘ishmah berarti terpelihara dari kekufuran dan terus menerus berbuat dosa; sedangkan bagi al-awliya (para wali) ‘ishmah berarti mahfudz (terjaga) dari kesalahan sesuai dengan derajat, jenjang, dan maqamat mereka. Mereka mendapatkan ‘ishmah sesuai dengan peringkat kewaliannya.
Al-Tirmidzi meyakini adanya tiga peringkat ‘ishmah, yakni
‘ishmah al-anbiya (‘ishmah Nabi),
‘ishmah al-awliya (‘ishmah para wali),
‘ishmah al-’ammah (‘ishmah kaum beriman pada umumny
Senin, 21 September 2015
KETULUSAN
Selalu ada saja orang yang suka menangguk ikan di air yang keruh. Mereka mngambil keuntungan dari ke adaan yang kacau balau untuk kepehtingan diri sendiri. Bahkan acap kali mereka tidak segan-segan melakukan penipuan terhadap rakyat kecil yang tidak berdosa dan tidak tahu apa-apa. Tatkala Perang Badr sedang berkecamuk, suasana kehidupan dilanda ketegangan yang kian mencekam karena orang-orang kafir Quraisy, dengan kekuatan tentara tiga kali lipat daripada pasukan Nabi, mengancam akan mengadakanpenghancuran besar-besaran terhadap umat Islam, terutama yang tinggal di daerah-daerah terpencil.
Malam itu, pada waktu seluruh manusia sedang lelap dalam tidurnya, sekelompok penyamun mendapat berita, ada sebuah kafilah yang membawa bekal makanan bagi tentara Nabi dan sejumlah harta benda yang tak ternilai harganya akan melewati sebuah jalan yang sepi. Mereka segera mengadakan pengadangan ditempat yang strategis dan tersembunyi. Entah apa sebabnya, kafilah itu tiduk muncul-muncul sampai larut malam. Di tengah angin dingin yang menggigit tulang, dalam kegelapan yang sangat pekat, mereka dengan sia-sia menantikan kafilah yang jika berhasil mereka rampok bakal menyebabkan tentara Nabi menderita kekurangan pangan.
Akhirnya kepala penyamun berseru, “Kurang ajar. Pasti kafilah itu telah lolos dan tiba di Madinah dengan selamat melalui jalan lain.” Para anak buahnya ikut menggerutu. Mereka tidak tahu hendak pergi ke mana lagi, padahal diperkirakan akan bertiup badai gurun yang sangat menakutkan hati mereka. Tatkala mereka sedang terburu-buru menjauhi tempat itu, dan belum tentu selamat dari ancaman topan yang biasanya amat ganas itu, terlihat lampu kelap-kelip dikejauhan, menyorot dari sesosok gubuk reyot di balik bukit batu. Mereka pun segera berangkat ke sana untuk mencari perlindungan.
Sambil mengetuk pintu, kepala penyamun mengucapkan salam secara Islam dengan lantang. Yang punya rumah, seorang lelaki miskin dan keluarganya, menyambut mereka dengan ramah. Kepala penyamun berkata, “Kami adalah sepasukan tentara Nabi yang sedang berjuang fisabilillah, di jalan Allah. Kami kemalaman setelah ditugaskan melakukan pengintaian terhadap gerakan tentara musuh. Bolehkah kami menginap di sini?”
Alangkah gembiranya tuan rumah dan seluruh keluarganya menerima kedatangan tentara Islam yang berjuang fi sabllillah. Kepada mereka disediakan tempat tidur berupa gelaran tikar yang empuk, dan disiapkan pula makanan seadanya sehingga mereka dapat beristirahat dengan nikmat. Untuk wudlu mereka. diambilkan air bening yang ditempatkan dalam sebuah kendi besar, di bawahnya diletakkan bejana guna menampung bekas air wudlu mereka supaya tidak berceceran ke mana-mana.
Keesokan harinya para penyamun itu bangun kesiangan, tetapi tuan rumah yakin, mereka pasti sudah sernbahyang subuh di dalam kamar, lalu tidur lagi. Ketika mereka hendak keluar, terlihat oleh kepala penyamun dan anak buahnya, seorang anak kecil terbaring tidak berdaya di atas balai-balai. Kepala penyamun bertanya, “Siapakah yang tergolek itu?” Dengan sedih tuan rumah menjawab, “Dia anak saya yang paling kecil, menderita lumpuh sejak satu tahun yang lalu. Doakanlah, semoga berkat kedatangan Tuan-Tuan yang sedang berjuang di jalan Allah, anak saya akan memperoleh kesembuhannya kembali.”
Kepala penyamun melirik kepada anak buahnya sambil mengedipkan mata sehingga dengan serempak berkata, “Amin.” Lantas mereka keluar dan lenyap di tengah kepulan debu setelah mereka menggebah kuda masing-masing. Sepeninggal mereka, lelaki itu berkata kepada istrinya seraya mengangkat bejana yang berisi air bekas para penyamun itu mencuci muka. “Air ini adalah cucuran sisa air wudlu orang-orang yang dengan ikhlas berjuang fi sabilillah. Mari kita usapkan ke sekujur tubuh anak kita, siapa tahu akan menjadi obat baginya.”
Istrinya tidak membantah. Hatinya gembira telah menerima kehadiran tamu-tamu yang membawa rahmat Allah. Demikian pula si anak yang sudah setahun mengidap penyakit lumpuh, tidak bisa beranjak dari pembaringannya itu. Dengan penuh harap ia membiarkan kedua orang tuanya membasahi seluruh badannya dengan air keruh itu beberapa kali dalam sehari.Malamnya, ketika hari sudah amat larut, para penyamun itu datang lagi, rupanya setelah berhasil menggarong beberapa kafilah sehingga bawaan mereka banyak sekali. Tujuan mereka hendak menginap pula di situ untuk sekalfgus menyembunyikan diri agar tidak dicurigai karena mereka berpendapat, dengan berlindung di gubuk terpencil yang dihuni oleh keluarga taat beragama, pasti yangberwajib tak akan menyangka merekalah perampok-perampok yang dicari-cari.
Alangkah terkejutnya kepala penyamun itu tatkala pintu dibuka dari dalam. Yang berdiri di ambangnya adalah anak lelaki yang tadi pagi masih lumpuh itu. Dengan heran ia bertanya kepada si tuan rumah, “Apakah betul anak ini yang waktu kami tinggalkan tidak bisa berdri dari tempat tidur?” “Ya, betul, dialah anak saya yang lumpuh itu,” jawab si tuan rumah dengan gembira. “Inilah kuasa Allah berkat kedatangan Tuan-Tuan. Rupanya, lantaran kami menyambut kehadiran para pejuang fi sabilillah dengan ikhlas, Allah membalas ,kami dengan karunia-Nya yang sangat besar. Air bekas cucuran Tuan-Tuan berwudlu, yang kami tampung di dalam bejana, kami oleskan beberapa kali ke sekujur tubuhnya. Alhamdulillah, Allah telah mengabulkan permohonan kami sehingga anak saya dapat berjalan kembali. Terima kasih, Tuan-Tuan. Semoga Allah meridhai perjuangan Tuan-Tuan di jalan Allah.”
Kepala penyamun tertunduk. Begitu pula segenap anak buahnya. Mereka merasa sangat malu kepadasi tuan rumah dan. kepada Tuhan lantatan mereka sebenarnya hanyalah perampok hina-dina. Maka.di dalam kamar mereka saling berpelukan seraya menangis tersedu-sedu. Sejak saat itu mereka berjanji akan bertobat dan bersumpah akan bergabung dengan umat Islam untuk berjuang bahu-membahu dengan Nabi melawan kaum musyrikin. Adapun harta yang telah mereka rampas dari korban-korbannya, mereka bagi-bagikan kepada fakir miskin, di samping sebagian lainnya diberikan kepada tuan rumah dan keluarganya yang telah memberikan petunjuk ke jalan kebenaran dengan ketulusannya.
KEMATIAN!!!
Oleh : Abu Hafidzh Al-Faruq
Kematian, seberapapun keras usaha manusia untuk menghaluskan kata tersebut seperti “berpulang ke rahmatuLLAH”,”telah ditinggal pergi”,”meninggal dunia”,”menghadap Sang Pencipta”,…
tetap saja tidak mampu mengurangi rasa yang sesungguhnya dari sebuah
kematian. Nyawa atau ruh adalah peluru yang sesungguhnya setelah
ditembakkan meninggalkan selongsongnya. Selebihnya adalah jasad, wadah
yang digunakan oleh ruh untuk berbuat di dunia. Kematian adalah pintu
masuk kealam barzah dari alam dunia, demikian kata ustadz yang suka
berpakaian serba putih itu dalam khutbahnya di TV.
Kematian
begitu menakutkan banyak orang (termasuk penulis sendiri), baik bagi
yang menghadapi kematian maupun yang ditinggal mati. Pertanyaannya
adalah apa sebenarnya yang membuat kematian itu begitu menakutkan? Mari
kita simak! Kalaulah anda lihat orang orang yang ditinggal mati bersedih
lalu berkata ‘tiada lagi tempat kami mengadu’ atau “dulu aku selalu ada
yang menemani, kini tinggal aku sendiri’, atau “bagaimana dengan
sekolahku, siapa yang akan membiayai?’ dan kalimat kalimat yang sejenis
maka ketahuilah bahwa sifat egois telah menguasai orang orang yang
ditinggal mati tersebut, dan memang seperti inilah kebanyakan yang kita
jumpai. Orang orang yang gembira terhadap kematian orang lain karena
berharap akan jatuhnya klaim asuransi juga digolongkan dalam kelompok
ini.
Apa
sebenarnya yang membuat orang yang menghadapi kematian begitu
menakutkan? Bagaimana reaksi perasaan anda ketika anda divonis mati oleh
hakim atau dokter? Mungkin anda pernah melihat bagaimana
terdakwa kriminal bersikap terhadap putusan ini? Atau seorang pasien
kanker ganas yang takkan terobati dan tinggal menunggu waktu maut
menjemput? Kenapa takut? Mereka gelisah, apa sebabnya? Makan tak sedap,
tidur tak nyenyak, hidup tak bergairah, sampai sampai seorang terpidana
mati yang baru baru ini dieksekusi menulis ‘bukan kematian yang aku
takutkan tapi menunggu keputusan yang sangat menyiksa’, sesungguhnya dia
juga takut mati karena yang dia tunggu adalah keputusan hukuman mati
atau tidak.Bisa jadi bagi mereka kehidupan di dunia sekarang adalah
segala-galanya, walaupun pengetahuan setelah kematian ada kehidupan lain
sudah dijejal ke otak mereka, sikap ketakutan akan kematian telah
memperlihatkan secara jelas siapa sebenarnya dirinya. Seperti pepatah
barat mengatakan “everyone wish to heaven, but no one willing to die (semua orang ingin masuk surga, tapi tidak ada seorangpun yang mau mati)”, ironis memang…
Atau
bagi yang merasa setelah kematian ada kehidupan, merasa amal
perbuatannya masih belum cukup alias masih banyak dosa dan sedikit
pahala. Apakah anda pernah menjadi saksi jiwa jiwa yang sedang sekarat,
mulut menganga mata melotot, nafas terhenti satu satu seperti tercekik?
Sebagian memang terlihat mengerikan dan anda takut karena teringat hal
hal yang menyeramkan saat tubuh merenggang nyawa, dan anda semakin takut
mereka-reka siksa kubur oleh Nunkar dan Nankir yang super dahsyat
menunggu anda, sampai kiamat untuk menerima azab sesungguhnya yang
abadi! Wow!!!
Pertanyaan
selanjutnya adalah kenapa kita semua tidak beralih kepada kematian yang
menyenangkan, menyenangkan bagi yang menghadapi kematian dan
menyenangkan bagi yang ditinggalkan. Lho kok bisa..?! Logikanya
sederhana, bukankah sebaiknya anda sesegera mungkin mati jika anda
mengetahui pada detik ini seluruh dosa dosa anda diampuni dan anda
dijamin masuk surga, sebelum anda melakukan dosa berikutnya? Apakah ada
orang orang yang memiliki riwayat mati menyenangkan? Para sahabat di
zaman Nabi yang berjihad untuk ALLAH tidak hanya senang mati, tapi
mereka memang mencari mati! Tapi tentu saja mereka tidak bunuh diri
dengan membiarkan tubuh mereka ditombak dipanah dibacok begitu saja oleh
musuh ALLAH. …dan kita juga mengetahui bahwa TUHAN menjanjikan surga
buat mereka.
Menyenangkan
bagi orang yang menghadapi kematian karena dia tahu bakalan masuk surga
dan menyenangkan bagi orang orang yang ditinggal mati karena tahu orang
yang mereka cintai masuk surga. Bagi mereka yang akan menjalani proses
sakratul maut juga tak perlu resah karena mati seperti orang yang
berangkat tidur, rebah dikasur lalu dengan sekali tarikan nafas panjang
langsung terlelap, bedanya cuma terlelap untuk selama lamanya.
Saya
mengajak anda bukan sebagai orang yang sudah berpengalaman, saya
mengajak anda karena hal tersebut masih sangat mungkin dicapai. Contoh
orang berjihad dengan Nabi adalah klasik dan jihad bukan satu satunya
jalan untuk mencapai Khusnul Khatimah apalagi jihad yang sekarang banyak
disangsikan. Mari kita menatap zaman di mana kita hidup sekarang.
Saudara
sekalian, orang sakit, terbunuh, tenggelam, kecelakaan lalu lintas,…
adalah alasan alasan agar TUHAN mencabut nyawa terdengar logis bagi
manusia. TUHAN bisa saja mencabut nyawa anda seketika ketika anda sedang
berdiri, duduk, berbaring apalagi sedang mengendarai mobil di lintasan
Formula One! Bahkan bagi orang sakitpun yang berusaha keras berobat untuk sembuh, kalau anda tahu ilmunya maka ‘tidak semua orang yang sakit harus sembuh!’
Maaf kawan, bukan saya tak hendak berbagi ilmu, mengutip kalimat Robert T. Kiyosaki dalam bukunya Guide To Investing dalam pendidikan dasar CashFlow-nya, saya ingin mengatakan bahwa “Ilmu ini tidak bisa dipelajari dengan membaca”.
Lalu
bagaimana agar mati bisa menjadi sesuatu yang menyenangkan? GURU saya
mengatakan “Matikanlah dirimu sebelum engkau mati!”. Oh apakah ini
proses latihan? Maksudnya? GURUnya GURU saya (NENEK GURU) dalam sebuah
kesempatan saya dengar rekaman fatwaNYA mengatakan “Kalau engkau tidak
bisa berenang, kemanapun engkau pergi kau tak kan bisa berenang! Kalau
kau tak kenal Tuhan di dunia, maka diakhiratpun kau tak kenal Tuhan!”
Pelajarannya adalah ‘Kau tak akan masuk surga jika tak kenal yang punya
surga!’ masalahnya TUHAN diakhirat nanti adalah TUHAN di dunia sekarang.
Kesimpulannya, wajar saja kau takut mati dan atau ditinggal mati sebab
kau tak kenal Tuhan! NENEK GURU juga mengkritik para ustadz ustadz yang
mengatakan ‘shalatlah yang khusuk insya allah masuk surga’, masalahnya
adalah ustadz ustadz itu tidak mampu mengajarkan bagaimana yang dimaksud
dengan shalat yang khusuk. “Ajaran kok spekulatif dengan insya allah
masuk surga, kalau tidak, apa mau kembali ke dunia?” demikian kata NENEK
GURU saya. Bagi saudara saudara yang sangat yakin akan masuk surga
karena amal ibadah saudara, ketahuilah jika masuk surgapun anda bukan
karena banyaknya amal ibadah anda! Umatku tidak masuk surga karena
ibadahnya, melainkan karena Ridha ALLAH SWT, demikian hadisnya bung!
Jadi sebaiknya anda tidak usah menghitung-hitung pahala! Pertanyaan yang
timbul adalah bagaimana TUHAN meridhai anda jikalau anda berdua belum
saling mengenal?
Anda
akan merindui kematian bila anda mengenal TUHAN anda yang menjamin
seluruh dosa anda diampuni dan memastikan anda masuk surga! Saya
tambahkan GURU saya juga berucap “Orang orang berTUHAN yang mati
sesungguhnya tidaklah mati, mereka tetap hidup…”
Dilangit Tuan berkata, Dibumi Tuan bersabda
Dilangit Tuan bertahta, Dibumi Tuan menjelma
WASILAH, Cara Berjumpa Dengan Allah
Semua
manusia di dunia ini meyakini bahwa Tuhan adalah sosok yang Agung,
Mulia, Sempurna dan segala gelar hebat di sandang oleh-Nya. Kalau di
dunia ada Raja maka Tuhan adalah Maha Raja Diraja. Tuhan Yang Maha Agung
dan Maha Mulia tersebut, sebegitu tingginya sehingga hampir semua
manusia merasa mustahil untuk berjumpa denga-Nya. Hanya golongan
tertentu saja seperti Nabi yang diizinkan untuk menjumpai-Nya. Bahkan
dalam pandangan kelompok tertentu dalam Islam, bahkan Nabi sendiri tidak
pernah berjumpa dengan Allah di dunia, dalil tentang pengalaman Musa
ingin melihat Tuhan dijadikan dalil untuk membenarkan pendapat mereka.
Kelompok Mu’tazilah bahkan lebih ekstrim lagi, mereka berpendapat bahwa
Tuhan tidak bisa dilihat atau dijumpai baik di dunia maupun di akhirat.
Kelompok
yang paling banyak adalah yang berpendapat bahwa Allah tidak bisa
dilihat atau dijumpai didunia namun Dia bisa dijumpai di akhirat setelah
manusia meninggal dunia. Karena banyak bahkan sangat banyak, pada
umumnya kita juga meyakini atau dipaksa meyakini bahwa Tuhan tidak
mungkin dilihat di dunia dengan alasan Dia Maha Tinggi dan Maha
Segalanya.
Disisi
lain, kaum Sufi meyakini dan memang mengalami hal yang mustahil bagi
kaum awam, yaitu berjumpa, melihat dan berdialog dengan Allah
sebagaimana yang diceritakan para Tokoh Sufi dalam berbagai karyanya,
salah satu Imam al-Ghazali yang melihat dan berdialog dengan Tuhan di
dalam mimpi Beliau.
Pertanyaan
yang paling menggoda kita adalah, kenapa ketiga kelompok ini yang
sama-sama mengambil sumber ilmu dari Al-Qur’an dan Hadist bisa begitu
jauh berselisih paham dan ini telah terjadi dari zaman dulu sampai
sekarang. Jawaban normative karena pikiran manusia berbeda-beda dan
kemampuan untuk menyerap ilmu dari sumber yang Agung (Al-Qur’an juga
berbeda.
Bagi
kelompok yang tidak meyakini bahwa Allah bisa di lihat di akhirat,
dengan segala dalil menyerang kelompok yang meyakini bahwa Allah bisa
dilihat di akhirat. Kaum Mu’tazilah menganggap keliru pemahaman Ahlu
Sunnah Wal Jamaah yang meyakini Allah bisa dilihat di akhirat. Kemudian,
orang yang meyakini bahwa Allah hanya bisa dilihat di akhirat
menganggap keliru atau aneh bagi orang yang meyakini bahwa Allah bisa
dilihat di dunia dan akhirat. Kalau kita terus menerus terjebak kepaa
perdebatan tentang Tuhan, maka secara tidak sadar kita tidak pernah mau
berusaha untuk menemukan kebenaran lain selain yang kita yakini.
Tuhan
Maha Tinggi dan tidak seorangpun yang bisa menjangkat Zat Allah yang
Maha tinggi tersebut, dan dalam hal ini kaum sufi yang meyakini bahwa
Tuhan bisa dilihat juga berpendapat seperti ini. Tidak berarti bahwa
ketika kaum sufi berkesempatan memandang Allah, lalu kedudukan Allah
menjadi rendah. Semua manusia memposisikan Tuhan sesuai kadarnya
masing-masing makanya dengan segala keyakinannya menampatkan TUhan
ditempat yang tdak terjangkau agar kedudukan Tuhan tetap tinggi. Lalu,
kalau Tuhan sudah sangat tinggi tidak dapat dijangkau, untuk apa adanya
Tuhan?
Tuhan
tidak sekedar sesuatu yang disembah, tapi Dia adalah sosok yang akrab
dengan kita, tempat kita berkeluh kesah dan sahabat yang paling setia.
Nabi Ibrahim menjadi “Khalilullah” Sabahat Allah karena kedekatan Beliau
dengan Allah, lalu apakah hanya Ibrahim satu-satunya manusia yang layak
menjadi Sahabat Allah? Nabi Muhammad terkenal sebagai “Habibullah” lalu
apakah hanya Muhammad satu-satunya manusia yang layak menjadi kekasih
Allah? Nabi Musa dikenal dengan “Kalamullah” orang yang diajak berbicara
oleh Allah, apakah hanya Nabi Musa yang mengalami seperti itu.
Bagaimana dengan kita yang awam, orang-orang yang bukan Nabi, apakah
tidak boleh berhubungan dengan Allah dengan akrab?
Kaum
sufi yang akrab dengan Tuhan juga tidak merasa dirinya hebat, tidak
merasa dirinya suci dan mulia bahkan disetiap saat dengan kesadaran
penuh dia merasa sebagai hamba yang hina, dhoif, papa tidak bisa apa,
hanya karena kemuarahan hati TUhan saja yang membuat mereka bisa
melakukan banyak hal di dunia ini. Kaum Sufi tidak pernah meyakini bahwa
TUhan bisa menjadi manusi dan manusia karena kesuciannya bisa menjadi
Tuhan, bahwa manusia itu bisa mencapai kedudukan mulia TUhan adalah
pendapat diluarorang lain terhadap pemahaman Sufi. Kesalahan dalam
memahami Wahdatul Wujud inilah kemudian yang membuat kaum sufi mendapat
tuduhdan sebagai kelompok sesat dari orang-orang yang tidak memahaminya.
Kaum
Sufi, dari manapun dia berasal dalam berhubungan dengan Allah tetap
memakai meode yang diajarkan oleh Rassulullah yaitu lewat Wasilah.
Karena tidak mungkin manusia bisa berhubungan dengan Allah tanpa ada
unsur atau alat yang diberikan Allah. Dia yang Maha tinggi tidak mungkin
dijangkau oleh manusia yang penuh dengan dosa dan kekurangan. Dalam hal
ini seluruh manusia mempunyai kayakinan yang sama, termasuk Sufi. Allah
yang Maha Pemurah memberikan “Alat Komunikasi” antara manusia dengan
Dia yaitu berupa Nur Allah yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. Nur
tersebut setelah Nabi Muhammad wafat diberikan kepada para ulama pewaris
Nabi, dengan itulah manusia bisa berhubungan dengan TUhan. Sebagai alat
komunikasi, Wasilah bukanlah ciptaan manusia, bukan pula manusia, tapi
dia adalah sesuatu yang berasal dari sisi Allah. Inilah yang disebut
dalam Al-Qur’an sebagai Tali Allah, yang pangkalnya ada pada Allah dan
ujungnya ada pada kekasih-Nya. Jangankan Allah yang merupakan Cahaya
Maha Tinggi, berhubungan dengan cahaya yang nampak saja harus ada
alatnya. Gelombang radio atau televisi ciptaan manusia tidak bisa
diterima tanpa adanya alat penerimanya apalagi Cahaya Allah yang begitu
Tinggi.
Nabi
bukanlah sekedar penyampai wahyu, tapi Beliau adalah pembawa Wasilah
yang berasal dari sisi Allah sebagai media penyambug manusia dengan
Allah. Hubungan manusia dengan Allah adalah hubungan langsung, tanpa
perantara. Hubungan langsung yang dimaksud tentu saja hubungan dengan
menggunakan metode yag tepat, metode yang telah disampaikan dan
digunakan oleh Rasulullah SAW. Umumnya hubungan langsung yang diyakini
oleh manusia secara umum, dia merasa yakin aja bahwa Tuhan yang disembah
itu benar. Mulai dari dia bisa beribadah, dia meyakini yang disembah
dalah Allah. Apkah memang demikian? Dari mana dia bisa tahu kalau yang
berdiri didepannya itu sosok Iblis yang juga terdiri dari cahaya.
Berpuluh-puluh tahun dia meyakini telah menyembah Allah lewat Shalat dan
ibadah lainnya, ternyata yang disembah Iblis karena dia tidak bisa
membedakan antara Allah dan Iblis. Ibadahnya berupa shalat itu diberi
ganjaran Neraka oleh Allah karena yang disembah bukan Allah.
Apakah
Iblis tidak bisa masuk kedalam Mesjid? Jangankan dalam mesjid atau
rumah kita, kedalam surga pun dia bisa bolak balik, bebas keluar masuk.
Jadi, kesmbongan kita menolak wasilah, menyembah Allah dengan metode
Rasulullah ini yang menyembabkan kita mudah disusupi setan yang sangat
Halus. Ingat, Nabi Adam digoda oleh Iblis bukan di Pasar Malam atau di
Mall, tapi di dalam Surga yang dipagari oleh para Malaikat.
Kaum
Sufi tidak ragu sedikitpun dia dalam beribadah karena dia sudah bisa
membedakan antara Allah dan yang bukan Allah karena dia telah berjumpa
dengan Allah. Bagi mereka Allah bukan hanya Maha Gaib (Al-Ghaibi) namun
juga Maha Nyata (AD-Dzahir) seperti yang tertulis dalam Asmaul Husna.
Bagi orang yang baru menempuh jalan kepada Allah (Thariqatullah), paling
tidak dia telah mempunyai pembimbing (Mursyid) yang setiap saat akan
menuntun dan membimbing dia kepada Allah secara zahir dan bathin. Godaan
dan gangguan secara bathin dengan izin Allah akan mendapat Syafaat (
Bantuan) dari Guru Mursyid yang rohaninya selalu bersama rohani
Rasulullah dan otomatis selalu bersama Allah.
Jadi,
belum terlambat bagi siapapun kita yang belum menggunakan metode
berhubungan dengan Allah berupa Wasilah untuk segera mencari Guru
Pembimbing agar ibadahnya menjadi sempurna dan diterima oleh Allah SWT.
KESAKSIAN PARA ULAMA FIQIH TENTANG TASAWUF
Sesungguhnya
tasawuf adalah Islam, dan Islam adalah tasawuf. Untuk mencapai
kesempurnaan ibadah dan keyakinan dalam Islam, seseorang hendaknya
mempelajari ilmu tasawuf melalui thariqah-thariqah yang mu’tabar dari
segi silsilah dan ajarannya. Para ulama besar kaum muslimin sama sekali
tidak menentang tasawuf, tercatat banyak dari mereka yang menggabungkan
diri sebagai pengikut dan murid tasawuf, para ulama tersebut berkhidmat
dibawah bimbingan seorang syaikh thariqah yang arif, bahkan walaupun
ulama itu lebih luas wawasannya tentang pengetahuan Islam, namun mereka
tetap menghormati para syaikh yang mulia, hal ini dikarenakan keilmuan
yang diperoleh dari jalur pendidikan formal adalah ilmu lahiriah,
sedangkan untuk memperoleh ilmu batiniyah dalam membentuk qalbun salim
dan kesempurnaan ahlak, seseorang harus menyerahkan dirinya untuk
berkhidmat dibawah bimbingan seorang syaikh tasawuf yang sejati.
Empat
orang imam mazhab Sunni, semuanya mempunyai seorang syaikh thariqah.
Melalui syaikh itulah mereka mempelajari Islam dalam sisi esoterisnya
yang indah dan agung. Mereka semua menyadari bahwa ilmu syariat harus
didukung oleh ilmu tasawuf sehingga akan tercapailah pengetahuan sejati
mengenai hakikat ibadah yang sebenarnya.
Imam
Abu Hanifah (Nu’man bin Tsabit – Ulama besar pendiri mazhab Hanafi)
adalah murid dari Ahli Silsilah Thariqat Naqsyabandiyah yaitu Imam Jafar
as Shadiq ra . Berkaitan dengan hal ini, Jalaluddin as Suyuthi didalam
kitab Durr al Mantsur, meriwayatkan bahwa Imam Abu Hanifah (85 H.-150 H)
berkata, “Jika tidak karena dua tahun, Nu’man telah celaka. Karena dua
tahun saya bersama Sayyidina Imam Jafar as Shadiq, maka saya mendapatkan
ilmu spiritual yang membuat saya lebih mengetahui jalan yang benar”.
Imam
Maliki (Malik bin Anas – Ulama besar pendiri mazhab Maliki) yang juga
murid Imam Jafar as Shadiq ra, mengungkapkan pernyataannya yang
mendukung terhadap ilmu tasawuf sebagai berikut, “Barangsiapa
mempelajari/mengamalkan tasawuf tanpa fiqih maka dia telah zindik, dan
barangsiapa mempelajari fiqih tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa yang
mempelari tasawuf dengan disertai fiqih dia meraih kebenaran.”
(‘Ali al-Adawi dalam kitab Ulama fiqih, vol. 2, hal. 195 yang meriwayatkan dari Imam Abul Hasan).
(‘Ali al-Adawi dalam kitab Ulama fiqih, vol. 2, hal. 195 yang meriwayatkan dari Imam Abul Hasan).
Imam
Syafi’i (Muhammad bin Idris, 150-205 H ; Ulama besar pendiri mazhab
Syafi’i) berkata, “Saya berkumpul bersama orang-orang sufi dan menerima 3
ilmu:
1. Mereka mengajariku bagaimana berbicara
1. Mereka mengajariku bagaimana berbicara
2. Mereka mengajariku bagaimana memperlakukan orang lain dengan kasih sayang dan kelembutan hati
3. Mereka membimbingku ke dalam jalan tasawuf.”
(Riwayat dari kitab Kasyf al-Khafa dan Muzid al Albas, Imam ‘Ajluni, vol. 1, hal. 341)
(Riwayat dari kitab Kasyf al-Khafa dan Muzid al Albas, Imam ‘Ajluni, vol. 1, hal. 341)
Imam
Ahmad bin Hanbal (164-241 H ; Ulama besar pendiri mazhab Hanbali)
berkata, “Anakku, kamu harus duduk bersama orang-orang sufi, karena
mereka adalah mata air ilmu dan mereka selalu mengingat Allah dalam hati
mereka. Mereka adalah orang-orang zuhud yang memiliki kekuatan
spiritual yang tertinggi. Aku tidak melihat orang yang lebih baik dari
mereka”
(Ghiza al Albab, vol. 1, hal. 120 ; Tanwir al Qulub, hal. 405, Syaikh Amin al Kurdi)
Syaikh Fakhruddin ar Razi (544-606 H ; Ulama besar dan ahli hadits) berkata, “Jalan para sufi adalah mencari ilmu untuk memutuskan hati mereka dari kehidupan dunia dan menjaga diri agar selalu sibuk dalam pikiran dan hati mereka dengan mengingat Allah pada seluruh tindakan dan perilaku .”
(I’tiqad al Furaq al Musliman, hal. 72, 73)
Ibn Khaldun (733-808 H ; Ulama besar dan filosof Islam) berkata, “Jalan sufi adalah jalan salaf, yakni jalannya para ulama terdahulu di antara para sahabat Rasulullah Saww, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in. Asasnya adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan perhiasan serta kesenangan dunia.”
(Muqadimah ibn Khaldun, hal. 328).
(Ghiza al Albab, vol. 1, hal. 120 ; Tanwir al Qulub, hal. 405, Syaikh Amin al Kurdi)
Syaikh Fakhruddin ar Razi (544-606 H ; Ulama besar dan ahli hadits) berkata, “Jalan para sufi adalah mencari ilmu untuk memutuskan hati mereka dari kehidupan dunia dan menjaga diri agar selalu sibuk dalam pikiran dan hati mereka dengan mengingat Allah pada seluruh tindakan dan perilaku .”
(I’tiqad al Furaq al Musliman, hal. 72, 73)
Ibn Khaldun (733-808 H ; Ulama besar dan filosof Islam) berkata, “Jalan sufi adalah jalan salaf, yakni jalannya para ulama terdahulu di antara para sahabat Rasulullah Saww, tabi’in, dan tabi’it-tabi’in. Asasnya adalah beribadah kepada Allah dan meninggalkan perhiasan serta kesenangan dunia.”
(Muqadimah ibn Khaldun, hal. 328).
Imam
Jalaluddin as Suyuti (Ulama besar ahli tafsir Qur’an dan hadits)
didalam kitab Ta’yad al haqiqat al ‘Aliyyah, hal. 57 berkata, “Tasawuf
yang dianut oleh ahlinya adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Ilmu
ini menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi Saww dan meninggalkan
bid’ah.”
Bahkan Ibnu Taimiyyah (661-728 H), salah seorang ulama yang dikenal keras menentang tasawuf pada akhirnya beliau mengakui bahwa tasawuf adalah jalan kebenaran, sehingga beliaupun mengambil bai’at dan menjadi pengikut thariqah Qadiriyyah. Berikut ini perkataan Ibnu Taimiyyah didalam kitab Majmu al Fatawa Ibn Taimiyyah, terbitan Dar ar Rahmat, Kairo, Vol. 11, hal. 497, dalam bab. Tasawuf : “Kalian harus mengetahui bahwa para syaikh yang terbimbing harus diambil dan diikuti sebagai petunjuk dan teladan dalam agama, karena mereka mengikuti jejak Para Nabi dan Rasul. Thariqah para syaikh itu adalah untuk menyeru manusia kepada kehadiran dalam Hadhirat Allah dan ketaatan kepada Nabi.” Kemudian dalam kitab yang sama hal. 499, beliau berkata, “Para syaikh harus kita ikuti sebagai pembimbing, mereka adalah teladan kita dan kita harus mengikuti mereka. Karena ketika kita berhaji, kita memerlukan petunjuk (dalal) untuk mencapai Ka’ bah, para syaikh ini adalah petunjuk kita (dalal) menuju Allah dan Nabi kita.” Di antara para syaikh sufi yang beliau sebutkan didalam kitabnya adalah, Syaikh Ibrahim ibn Adham ra, guru kami Syaikh Ma’ruf al Karkhi ra, Syaikh Hasan al Basri ra, Sayyidah Rabi’ah al Adawiyyah ra, guru kami Syaikh Abul Qasim Junaid ibn Muhammad al Baghdadi ra, guru kami Syaikh Abdul Qadir al Jailani, Syaikh Ahmad ar Rifa’i ra, dll.
Bahkan Ibnu Taimiyyah (661-728 H), salah seorang ulama yang dikenal keras menentang tasawuf pada akhirnya beliau mengakui bahwa tasawuf adalah jalan kebenaran, sehingga beliaupun mengambil bai’at dan menjadi pengikut thariqah Qadiriyyah. Berikut ini perkataan Ibnu Taimiyyah didalam kitab Majmu al Fatawa Ibn Taimiyyah, terbitan Dar ar Rahmat, Kairo, Vol. 11, hal. 497, dalam bab. Tasawuf : “Kalian harus mengetahui bahwa para syaikh yang terbimbing harus diambil dan diikuti sebagai petunjuk dan teladan dalam agama, karena mereka mengikuti jejak Para Nabi dan Rasul. Thariqah para syaikh itu adalah untuk menyeru manusia kepada kehadiran dalam Hadhirat Allah dan ketaatan kepada Nabi.” Kemudian dalam kitab yang sama hal. 499, beliau berkata, “Para syaikh harus kita ikuti sebagai pembimbing, mereka adalah teladan kita dan kita harus mengikuti mereka. Karena ketika kita berhaji, kita memerlukan petunjuk (dalal) untuk mencapai Ka’ bah, para syaikh ini adalah petunjuk kita (dalal) menuju Allah dan Nabi kita.” Di antara para syaikh sufi yang beliau sebutkan didalam kitabnya adalah, Syaikh Ibrahim ibn Adham ra, guru kami Syaikh Ma’ruf al Karkhi ra, Syaikh Hasan al Basri ra, Sayyidah Rabi’ah al Adawiyyah ra, guru kami Syaikh Abul Qasim Junaid ibn Muhammad al Baghdadi ra, guru kami Syaikh Abdul Qadir al Jailani, Syaikh Ahmad ar Rifa’i ra, dll.
Didalam
kitab “Syarh al Aqidah al Asfahaniyyah” hal. 128. Ibnu Taimiyyah
berkata, “Kita (saat ini) tidak mempunyai seorang Imam yang setara
dengan Malik, al Auza’i, at Tsauri, Abu Hanifah, as Syafi’i, Ahmad bin
Hanbal, Fudhail bin Iyyadh, Ma’ruf al Karkhi, dan orang-orang yang sama
dengan mereka.” Kemudian sejalan dengan gurunya, Ibnu Qayyim al
Jauziyyah didalam kitab “Ar Ruh” telah mengakui dan mengambil hadits dan
riwayat-riwayat dari para pemuka sufi.
Dr.
Yusuf Qardhawi, guru besar Universitas al Azhar, yang merupakan salah
seorang ulama Islam terkemuka abad ini didalam kumpulan fatwanya
mengatakan, “Arti tasawuf dalam agama ialah memperdalam ke arah bagian
ruhaniah, ubudiyyah, dan perhatiannya tercurah seputar permasalahan
itu.” Beliau juga berkata, “Mereka para tokoh sufi sangat berhati-hati
dalam meniti jalan di atas garis yang telah ditetapkan oleh Al-Qur,an
dan As-Sunnah. Bersih dari berbagai pikiran dan praktek yang menyimpang,
baik dalam ibadat atau pikirannya. Banyak orang yang masuk Islam karena
pengaruh mereka, banyak orang yang durhaka dan lalim kembali bertobat
karena jasa mereka. Dan tidak sedikit yang mewariskan pada dunia Islam,
yang berupa kekayaan besar dari peradaban dan ilmu, terutama di bidang
marifat, akhlak dan pengalaman-pengalaman di alam ruhani, semua itu
tidak dapat diingkari.
Seperti
itulah pengakuan para ulama besar kaum muslimin tentang tasawuf. Mereka
semua mengakui kebenarannya dan mengambil berkah ilmu tasawuf dengan
belajar serta berkhidmat kepada para syaikh thariqah pada masanya
masing-masing. Oleh karena itu tidak ada bantahan terhadap kebenaran
ilmu ini, mereka yang menyebut tasawuf sebagai ajaran sesat atau bid’ah
adalah orang-orang yang tertutup hatinya terhadap kebenaran, mereka
tidak mengikuti jejak-jejak para ulama kaum salaf yang menghormati dan
mengikuti ajaran tasawuf Islam.
Tasawuf Membentuk Akhlak Mulia
Oleh Marsudi Fitro Wibowo*
Dan
barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah,
yaitu: Nabi, para shiddiqqiin, orang-orang yang mati syahid dan
orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. An
Nisaa'(4):69)
Bagi
orang yang belum mengenal apa itu Ilmu Tasawwuf atau Sufi tentu akan
merasa asing untuk keduanya, karena tidak tahu orang cendrung untuk
menjauhi atau enggan untuk mempelajarinya bahkan sampai mengejeknya. Hal
ini serupa dengan awal kedatangan Islam tempo dulu, sebagaimana sabda
Nabi Muhammad Saw.: “Permulaan Islam ini asing, dan akan kembali asing
pula, maka gembiralah orang-orang yang dianggap asing (orang-orang
Islam).” HR. Muslim dari Abi Hurairah.
Kaum
Sufi bukanlah sekelompok aliran bid’ah yang ajarannya masih saja
diperdebatkan, namun dalam memahami Ilmu kesufian hati perlu benar-benar
bersih dan jeli untuk menangkap doktrin-doktrin yang diajarkan dalam
sufi itu sendiri dengan catatan tidak melenceng dari Islam. Tanpa
didampingi ilmu sebagai manusia terlalu gampang untuk mencoreng, mencela
dan berprasangka buruk terhadap sesama. Dalam sebuah hadits Nabi Saw.:
“Hati-hatilah kalian terhadap prasangka, karena sesungguhnya prasangka
itu merupakan perkataan yang paling dusta.” HR. Bukhari & Muslim.
Ilmu
kesufian atau Ilmu Tasawwuf adalah ilmu yang didasari oleh Al-Qur’an
dan Hadits dengan tujuan utamanya amar ma’ruf nahi munkar. Sejak jaman
sahabat Nabi Saw. tanda-tanda sufi dan ilmu kesufian sudah ada, namun
nama sufi dan ilmu tersebut belum muncul, sebagaimana ilmu-ilmu lain
seperti Ilmu Hadits, Ilmu Kalam, Ilmu Tafsir, Ilmu Fiqh dan lain
sebagainya. Barulah pada tahun 150 H atau abad ke-8 M Ilmu Sufi atau
Ilmu Tasawwuf ini berdiri sebagai ilmu yang berdiri sendiri yang
bersifat Keruhanian. Kontribusi Ilmu Tasawwuf ini banyak dibukukan oleh
kalangan orang-orang Sufi sendiri seperti Hasan al-Basri, Abu Hasyim
Shufi al-Kufi, al-Hallaj bin Muhammad al-Baidhawi, Sufyan ibn Sa’id
ats-Tsauri, Abu Sulaiman ad-Darani, Abu Hafs al-Haddad, Sahl at-Tustari,
al-Qusyairi, ad-Dailami, Yusuf ibn Asybat, Basyir al-Haris,
as-Suhrawardi, Ain Qudhat al-Hamadhani dan masih banyak yang lainnya
hingga kini terus berkembang.
Dalam
praktek realisasi ilmu Sufi khusunya tempo dulu, mutasawwif (orang
Sufi) memerlukan adaptasi yang amat sangat. Hal ini agar mampu untuk
menarik orang-orang yang belum masuk muslim dengan jalan tanpa kekerasan
dan paksaan, dengan kata lain berdakwah yang tidak keluar dari tujuan
utama yang membuktikan akan cintanya kepada Maha Pencipta yakni Allah
SWT. Disisi lain orang-orang sufi menjauhkan diri dari hal keduniaan
yang dapat menghijab antara hamba-Nya dengan Allah Swt dalam beribadah.
Disinilah Sufi mulai mengembangkan metode-metode bagaimana cara untuk
membersihkan jiwa, pembinaan lahir batin, berdzikir, mendekatkan diri
pada Allah, membangun jiwa mulia dalam mengenal Allah atau ber-ma’rifat,
selain itu berintrospeksi diri siapa diri ini sebenarnya, sesuai dengan
hadits Nabi Saw. “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu” (Barang
siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya)”.
Jelas
bahwa Ilmu Tasawwuf dan Sufi adalah merupakan salah satu ilmu dalam
Agama Islam yang sangat halus dan mendalam yang mampu menembus alam
batin serta sulit sekali untuk di ilmiahkan dan diterangkan secara
kongkrit. Hal ini bukan berarti tidak dapat dibuktikan secara ilmiah
namun seseorang yang memiliki kebersihan hati dan kecerdasan yang luar
biasa yang mampu mecahkannya. Sebab “Al-Islaamu ‘ilmiyyun wa ‘amaliyyun”
(Islam adalah ilmiah dan amaliah) HR. Bukhari. Karena halusanya ilmu
ini persoalan-persoalan didalamnya bagi orang awam dapat menimbulkan
khilafiyah (perbedaan) dan pertentangan-pertentangan. Tapi inilah
keindahan Islam berlomba dalam kebaikan selama tidak menyimpang dari
aturan Islam.
Dalam
kitab Ta’yad Al-Haqiqtul ‘Aliyya hal. 57, salah seorang ulama Fiqh dan
Ahli Tafsir Jalaluddin as-Suyuti mengatakan: “Tasawwuf dalam diri mereka
adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Dia menjelaskan bagaimana
mengikuti Sunah Nabi dan meninggalkan bid’ah”. Sedangkan Al-Junaid
seorang pimpinan tokoh Sufi Mazhab Moderat yang berasal dari Baghdad
menyatakan tentang ilmu kesufian dalam syairnya: “Ilmu Sufi (Tasawwuf)
adalah benar-benar ilmu, yang tidak seorang pun dapat memperolehnya;
Kecuali dia yang dikarunia kecerdasan alami, dan berbakat untuk
memahaminya. Tak seorang pun dapat berpura menjadi Sufi, kecuali dia
yang melihat rahasia nuraninya.”
Ilmu
Tasawwuf dan Sufi adakalanya orang mencap sebagai ilmu kolot,
ketinggalan jaman, usang, out of date, bahkan disebut aneh. Akan tetapi
di balik itu semua bahwa Ilmu Tasawwuf memiliki kekuatan yang sungguh
luar biasa untuk lebih mengenal Tuhan serta membangun mental dan akhlak
yang mulia. Yang perlu diperhatikan kenapa orang dapat menjadi sesat dan
madlarat dalam mempelajari dan mengamalkan Ilmu Tasawwuf. Sehingga ia
menjadi orang yang apatis atau mengasingkan diri dari pergaulan
masyarakat dan keluarga, meninggalkan keduniaan yang padahal di dunia
ini adalah sebagai ladang amal dalam berbuat kebajikan untuk bekal di
hari kemudian. Hal demikian dapat terjadi kesesatan pada diri seseorang
dengan mempelajari ilmu Tasawwuf tetapi tanpa didampingi dengan Ilmu
Kalam (Ushuluddin) dan Ilmu Fiqh.
Menurut
Imam Malik ra. (94-179 H/716-795 M) menyatakan: “Man tassawaffa wa lam
yatafaqah faqad tazandaqa, wa man tafaqaha wa lam yatsawwaf faqad
fasadat, wa man tafaqaha wa tassawafa faqad tahaqqaq. (Barangsiapa
mempelajari/mengamalkan tasawwuf tanpa fiqh maka dia telah zindik, dan
barangsiapa mempelajari fiqh tanpa tasawwuf dia tersesat, dan siapa yang
mempelari tasawwuf dan fiqh dia meraih kebenaran).” Dengan demikian
bahwa Ilmu Tasawwuf dan Ilmu Fiqh umpama dua jemari yang tak dapat
dipisahkan, dan tidak untuk diabaikan dimana keduanya sama-sama penting
suatu perpaduan antara akal dan hati.
Jadi
dengan Ilmu Kalam (Ushuluddin) atau Ilmu Tauhid, bahwa Allah SWT. itu
ada dan mempercayainya sebagai Tuhan yang wajib disembah. Ilmu Kalam ini
adalah Ilmu pokok-pokok kepercayaan dalam Agma Islam. Selain itu pula
untuk menghindari dari kemusyrikan serta memperkuat akan Tauhidullah
sebagai Esensi Aqidah Islam. Ilmu Fiqh, pemahaman tentang
syariat-syariat Islam berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang merupakan
lautan ilmu yang meluas secara horizontal. Sedangkan dalam Ilmu
Tasawwuf adalah mengatur kesempurnaan hubungan dengan Allah dan juga
sebagai ilmu yang mampu menembus vertikal kedalam. Dengan mempelajari
ketiganya maka akan kuatlah Iman, Islam dan Ihsan kita yang merupakan
kesempurnaan dalam Islam, sebagai wujud mempelajari Ilmu Tauhid, Fiqh
dan Tasawwuf.
Cintanya
orang orang-orang Sufi terhadap Tuhan, bagi mereka adalah suatu
kenikmatan tersendiri dalam bertasawwuf, cara ini mampu membersihkan
jiwa akan penyakit-penyakit hati (bathiniyah). Tapi penyelewengan dalam
dunia Sufi pun dapat saja terjadi seperti halnya al-Hallaj yang
mengakuinya dirinya sebagai Allah, dengan teorinya wahdat al-wujud atau
pantheisme (Penyatuan Wujud) dan teori al-Hulul atau penitisan
(Penjelmaan Tuhan dalam diri Manusia). Perkataan dan perbuatan al-Hallaj
ini membuat marah para ahli Kalam (Tauhid), Fiqh dan masyarakat Islam,
sehingga ia di hukum mati pada tahun 309 H. Di Indonesia dulu terjadi
penyimpangan oleh seorang Waliyullah yaitu Syeikh Siti Jennar yang mirip
dengan teori al-Hallaj, ia di hukum mati oleh mahkamah para Wali di
Jawa. Namun hanya Allah-lah Yang Maha Tahu akan maksud dan hati
seseorang.
**
Keunggulan
umat Islam salah satunya adalah Ilmu Tasawwuf ini. Dengan bertasawwuf
yang merupakan suatu kekuatan batin untuk mempertebal iman, tauhid,
ladang amal, pembersih jiwa, serta untuk memperkuat Ihsan suatu cara
untuk lebih mengenal Allah dan mencari keridloan-Nya semata maka secara
otomatis akan meningkatkan akhlakul kariimah (Akhlak yang Mulia).
Menurut
Prof. DR. Hamka bahwa: “Tasawwuf Islam telah timbul sejak timbulnya
Agama Islam itu sendiri. Bertumbuh di dalam jiwa pendiri Islam itu
sendiri yaitu Nabi Muhammad Saw. Disauk airnya dari Qur’an sendiri”.
(Perkembangan Tasawwuf dari Abad ke Abad). Adapun ciri dari Sufi menurut
Imam Nawawi (620-676 H/1223-1278 M) dalam suratnya al-Maqasid at-Tawhid
ada lima ciri jalan sufi atau bertasawwuf yaitu: (1) menjaga kehadiran
Allah dalam hati pada waktu ramai dan sendiri, (2) mengikuti Sunah
Rasullaah Saw. dengan perbuatan dan kata, (3) menghindari ketergantungan
kepada orang lain, (4) bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit,
(5) selalu merujuk masalah kepada Allah swt.
Oleh
Karena itu Ilmu Tasawwuf khususnya di Indonesia haruslah mendapat
perhatian penuh dari para alim ulama, sarjana, dan para cendekiawan
muslim lainnya untuk dapat penyelidikan dan pengupasan secara luas dalam
bidang Tasawwuf, untuk menciptakan mental yang Islami dan pemahaman
spriritual dalam Islam untuk menjauhkan dari sifat-sifat tercela dan
munafik. Sekali lagi bahwa Islam adalah agama Rahmatan lil ‘aalamiin.***
Nasehat Guru,“Ilmu ini (Hakikat) turun dengan Kasih Sayang”
Islam
adalah agama damai, sejuk, indah, memberi keselamatan kepada pemeluknya
dunia dan akhirat serta menjadi rahmat bagi seluruh alam. Siapapun yang
menyentuh Islam akan ikut bahagia lahir dan bathin. Islam adalah agama
yang mengajarkan pemeluknya untuk berakhlak yang baik dan bekasih sayang
antara satu dengan lain. Junjungan kita Rasulullah SAW memberikan
contoh akhlak yang baik itu dan membimbing para sahabat dan ummat zaman
itu untuk berakhlak yang baik, saling sayang menyayangi dan saling
mencintai satu sama lain. Begitu mendalam dan berbekas pengajaran akhlak
dari Nabi kepada sahabat sehingga mereka bahkan lebih mencintai
saudaranya dari mencintai diri sendiri.
Bukan
hanya terhadap ummat, kepada musuhpun Nabi menunjukkan kasih sayang,
memberikan maaf kepada orang yang menyakiti Beliau bahkan terhadap orang
yang pernah ingin membunuh Beliau. Power kasih sayang yang tulus itulah
yang menyebabkan Beliau bisa diterima oleh segala lapisan masyarakat
Arab yang terpecah menjadi banyak kabilah dan suku.
Dalam Hadist Qudsi Allah berfirman :
“Kasih
sayang-Ku pasti Ku berikan kepada mereka yang saling berkasih sayang di
jalan-Ku, saling berkumpul memenuhi panggilan-Ku, saling memberi pada
jalan-Ku dan saling berziarah berkunjung karena aku”. (HR. Ahmad, Hakim, Thabrani, Ibnu Hibban, dan Baihaqi dari Mu’az).
Apabila
kita ingin dicintai oleh Allah, maka tebarkanlah kasih sayang kepada
semua manusia di muka bumi ini terlebih lagi kepada kekasih-Nya. Selain
dari Guru Mursyid, kita tidak tahu siapa diantara manusia yang berjalan
dimuka bumi ini yang dekat dengan Tuhan dan makbul doanya sehingga tidak
ada salahnya kalau kita berbuat baik dan menghargai semua orang sebagai
bagian dari ajaran Rasulullah SAW. Bisa jadi orang yang kita lihat
secara zahir bisa-biasa saja ternyata dialah orang yang paling dekat
dengan Allah.
Berbuat
baik dan menebarkan kasih sayang itu ibarat menam tanaman yang baik,
semakin lama akan menuai hasil yang baik pula. Sebaliknya, berbuat jahat
dan kemungkaran seperti menebarkan api yang akan bisa membakar dan
memusnahkan diri sendiri.
Guru
saya yang mulia memberikan nasehat, “Jangan pernah kau mendokan orang
dengan doa yang buruk, karena kedudukanmu akan buruk pula di mata
Tuhan”. Guru sangat melarang kita untuk mendoakan orang agar kena bala
atau mendapat musibah, walaupun orang tersebut telaah berbuat jahat
kepada kita. “Jika ada orang yang berbuat tidak adil kepada engkau,
serahkan kepada Tuhan karena Dia lebih mengetahui hal yang tidak kau
ketahui”, demikian nasehat Guru kepada saya.
Cara
Nabi membina ummat Beliau zaman dulu kemudian diteruskan oleh para
ulama pewaris Beliau sampai sekarang, sehingga tidak mengherankan kita
lihat di kalangan pengamal Tarekat terutama yang masih satu Guru,
diantara sesama murid benar-benar akrab secara lahir dan bathin. Mereka
saling berkasih sayang, saling menghargai satu sama lain. Kedekatan dan
keakraban semasa murid Guru bahkan melebihi kedekatan dengan saudara
kandung. Memang para murid secara jasmani dilahirkan dari ibu yang
berbeda akan tetapi secara rohani mereka “dilahirkan” dari Guru yang
sama.
Sesama
murid Guru, pada hakikatnya kedudukan kita sama, tidak ada yang lebih
tinggi atau lebih rendah walaupun dalam pandangan zahir terkadang
dibedakan dari tahun masuk tarekat, tahun dituakan atau jumlah suluk
yang pernah di ikuti. Biarlah Guru dan Allah SWT yang memberikan
penilaian terhadap kedudukan kita, sementara tugas kita hanya memperkuat
tali persaudaraan sehingga rahmat Allah akan selalu mengalir kepada
kita semua. Begitu tingginya nilai persaudaraan dan persahabatan
sehingga Allah menjadi orang ketiga diantara dua orang yang bersahabat
sebagaimana Firman Allah :
“Aku
adalah yang ketiga dari antara dua orang yang bersahabat selama salah
seorang diantaranya tidak berkhianat. Bila salah seorang berkhianat
kepada temannya, maka aku keluar diantara keduanya.” (HR. Abu Daud dan
Hakim dari Abu Hurairah).
Saya
mengakhiri tulisan singkat ini dengan mengutip ucapan Guru, “Ilmu ini
(Hakikat) hanya bisa turun dengan Kasih Sayang dan kau pun
menyampaikannya dengan kasih sayang, tanpa kasih sayang maka ilmu ini
tidak akan bisa turun (tidak bisa diajarkan)”. Maknanya, ilmu-ilmu
hakikat yang sangat tinggi nilainya hanya bisa turun (mengalir) dari
Guru kepada para murid dan dari murid kepada orang lain harus dengan
kasih sayang. Itulah sebabnya dalam terekat yang diutamakan bukan zikir
atau ibadah akan tetapi Hadap (sopan santun) kepada Guru karena itu
merupakan kunci turunnya seluruh ilmu dan karunia Allah SWT.
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat hendaknya!
Langganan:
Postingan (Atom)