Laman

Jumat, 13 Mei 2016

Debat Abu Hanifah Dengan pendeta Yahudi::.


“Pada suatu ketika, kota Baghdad kedatangan seorang pendakwah Yahudi bernama Dahri. Kedatangannya memicu kegemparan di kalangan umat Islam. Dahri mencoba merusak pegangan umat Islam dengan membahas soal-soal yang berhubungan dengan ketuhanan. Dicabarnya para ulama Baghdad untuk berdebat dengannya.
Setiap kali tantangannya disahut, argumen-argumen Dahri tidak pernah dapat dipatahkan sehingga akhirnya tidak ada lagi ulama Baghdad dan ulama-ulama disekitarnya yang sanggup berhadapan dengannya. Dari kejadiannya ini, tahulah Khalifah bahwa Baghdad sudah ketiadaan ulama yang benar-benar kredibel dan tinggi ketaqwaannya.
Lalu Khalifah memerintahkan beberapa orang menteri meninjau ke daerah lain, kalau-kalau masih ada ulama yang bisa dibawa menghadapi Dahri. Figur wakil Khalifah menemui Imam Hammad bin Abi Sulaimann Al-Asy ari, seorang ulama yang tidak kurang juga ketokohannya.
Khalifah memerintahkan hari perdebatan antara Imam Hammad dan Dahri disegerakan. Dan acara bersejarah itu harus dibuat di Masjid Jamek di tengah-tengah kota Baghdad. Sehari sebelum pertemuan itu lagi, Masjid Jamek telah penuh sesak dengan orang banyak. Masing-masng menaruh harapan agar Imam Hammad berhasil menumbangkan Dahri karena beliaulah satu-satunya ulama yang diharapkan.
“Subhanallah …. Subhanallah …. Walauhaulawala quwwata illa billahi aliyyil azim ….!” Lidah Imam Hammad terus melafalkan kalimat mensucikan segala tohmahan yang tidak layak untuk Zat yang Maha Agung. Dia beristighfar terus. Rasanya dah tidak sanggup telinganya menadah bermacam tohmahan yang dilemparkan oleh Dahri yang biadab dan matarialis itu. Mempertikaikan keesaan Allah SWT buukanlah hal kecil dalam Islam. Ini kasus berat! Hatinya cukup pedih. Roh ketauhidannya bergelora. Mau rasanya dipenngal leher si Dahri yang angkuh itu di depan ribuan mata yanng turut hadir dalam acara iru.
Keesokannya, pagi-pagi lagi muncul Abu Hanifah, murid Imam Hammad yang paling dekat dan paling disayanginya. Namanya yang sebenarnya adalah Nu ‘man, yang ketika itu usiannya masih remaja. Bila melihat kondisi gurunya itu, Abu Hanifah pun bertanya untuk mendapat kepastian. Lalu Imam Hammad menceritakan keadaan yang sebenarnya. Dalam pada itu teringat Hammad akan mimpinya malam tadi, lalu dikabarkan kepada muridnya itu. Abu Hanifah mendengarnya dengan penuh khusyuk.
“… Aku bermimpi ada sebuah dusun yang amat luas lagi indah. Di sana kulihat ada sepohon kayu yand rendanng dan lebat buahnya. Tiba-tiba, di situ keluar seekor babi dari ujung desa. Lalu habis dimakannya buah yang masak ranum dari pohon itu. Hingga ke daun dan dahan-dahannya habis ditutuh.Yang tinggal cuma batangnya sahaja.Dalam pada itu juga keluar seekor harimau dari umbi pohon rindang tadi lalu menerkam babi itu dengan gigi dan kukunya yang tajam.Lalu, babi tadi mati disitu juga . “
Hammad termenung seketika. Kekalutan pikiran yang telah dicetuskan Dahri, yang bisa menggeser pegangan aqidah umat ini, tidak bisa di biarkan. Harus dihapus segera. Wajahnya yang tenang bagai air sungai yang mengalir jernih, masih nampak bercahaya walau di saat begitu genting. Satu kelebihan Abu Hanifah adalah beliau juga dikaruniai Allah ilmu menta’bir mimpi, sebagai mana nabi Allah Yusuf. Pada pengamatannya juga, mimpi tersebut akan memberi pertanda baik bahwa si Dahri pasti akan menerima akibatnya nanti. Dan setelah mendapat izin gurunya, dia pun mencoba mentafsirnya:
“Apa yang tuan lihat dalam mimpi tuan sebagai dusun yang luas lagi indah itu adalah tamsilan kepada agama Islam kita. Pokok yang berbuah lebat itu adalah tamsilan kepada sekalian ulamannya. Sedangkan sepohon kayu yang masih tinggal itu adalah tuan sendiri. Dan babi yang tiba-tiba muncul dan merusak pohon tersebut adalah si Dahri. Sedangkan harimau yang keluar lalu membunuh babi tadi … adalah saya … “jelas Abu Hanifah.
Ia juga meminta izin untuk membantu gurunya menghadapi si Dahri. Betapa gembiranya hati Iman Hammad bila aksi hasrat itu dari hati muridnya sendiri. Maka berngkatlah ilmuwan budak itu bersama gurunya untuk pergi ke Masjid Jamek di mana acara dialog akan diadakan yang dihadiri oleh orang banyak dan Khalifah. Seperti biasanya, sebelum menyampaikan dakyahnya, Dahri akan menantang dan memperleceh-lecehkan ulama dengan bersuara lantang dari atas pentas.
“Hai Dahri, apalah yang digusarkan. Orang yang mengetahuinya pasti menjawabnya!” Tiba-tiba suara Abu Hanifah mengejutkan Dahri dan menyentakkan kaum Muslimin yang hadir. Dahri sendiri terkejut. Matanya memandang tajam mata Abu Hanifah.
“Siapa kamu hai anak muda? Berani sungguh menyahut cabaranku … Sedangkan ulama yang hebat-hebat, yang berserban dan berjubah labuh telah ku kalahkan …!” Volume suara Dahri membidas Abu Hanifah.
“Wahai Dahri,” balas Abu Hanifah, “sesungguhnya Allah tidak melimpahkan kemuliaaan dan kebesaran itu pada sorban atau jubah yang labuh. Tetapi Allah menganugerahkan kemuliaan kepada orang-orang yang berilmu dan bertaqwa.” Abu Hanifah lalu membacakan sebuah firman Allah SWT yang artinya:
“Allah telah meninggikan derajat orang beriman dan berimul antara kamu beberapa derajat.” (Al-Mujadalah: 11)
Geram rasanya hati Dahri mendengarnya kepetahan lidah pemuda ini mendebat. Maka berlangsunglah acara dialog.perdebatan antara Abu Hanifah dengan tokoh Ad-dahriayyah, yang terkenal dengan pemikiran materialisdan ateisnya itu, bertahan dengan mendebarkan.
“Benarkah Allah itu ada?,” Soal Dahri memulai acara dialog.
“Bahkan Allah memang ada,” tegas Abu Hanifah.
“Kalau Allah maujud (ada), di mana tempatnya ..??” Suara Dahri semakin meninggi.
“Allah tetap ada tetapi dia tidak bertempat!” jelas Abu Hanifah.
“Heran, kau kata Allah itu ada, tetapi tidak bertempat pula …?” bantah Dahri sambil melemparkan senyuman sinisnya kepada hadirin.
“Ah, itu senang saja wahai Dahri. Coba kau lihat pada dirimu sendiri. Bukankah pada dirimu itu ada nyawa …” Abu Hanifah mulai mendebat. Orang-orang mulai memperhatikan gaya ilmuwan muda ini berpidato dengan penuh minat.
“Bahkan, memang aku ada nyawa, dan memang setiap makhluk yang bernafas itu ada nyawa …!” sahut Dahri.
“Tetapi apakah kau tahu di mana letaknya nyawa atau rohmu itu …? Dikepalakah, diperutkah atau apakah dihujung situs kakimu ..?” Terserentak Dahri seketika. Orang-orang mulai berbisik-bisik di antara mereka. Setelah itu Abu Hanifah mengambil pula segelas susu lalu ditampilkan pada Dahri, seraya berkata: “Apakah dalam air susu ini ada terkandung lemak …?”
Cepat Dahri menjawab, “Ya, bahkan!”
Abu Hanifah bertanya lagi, “Kalau begitu dimanakah lemak itu berada …? Di bagian atasnyakah atau dibawahkah …?” Sekali lagi Dahri terserentak, tidak mampu menjawab pertanyaan Abu Hanifah yang sopan itu. “Untuk mencari dimanakah beradanya roh dalam jasad dan tersisip dimanakah konten lemak dalam air susu ini pun kita tidak upaya, masakan pula kita dapat menjangkau dimanakah beradanya Zat Allah SWT di alam maya ini? Zat yang telah menciptakan dan mengatur seluruh alam ini termasuk roh dan akal dangkal kita ini, pun ciptaan-Nya, yang tunduk dan patuh di bawah urusan tadbir pemerintah-Nya Yang Maha Agung …! ” Suasana menjadi agak bingar. Dahri terpaku di kursi. Terbungkam lidahnya. Merah mukanya. Kesabarannya mulai terburai. Bila kondisi agak reda, Dahri membentangkan pertanyaan.
“Hai anak muda! Apakah yang ada sebelum Allah. Dan apa pula yang muncul setelah Dia nanti …” Semua mata tertuju pada Abu Hanifah, murid Imam Hammad yang pintar ini.
“Wahai Dahri! Tidak ada suatu pun yang ada sebelum Allah Taala dan tidak ada sesuatu pun yang akan muncul setelah-Nya. Allah SWT tetap Qadim dan Azali. Dialah yanng Awal dan Dialah yang Akhir”, tegas Abu Hanifah, singkat tapi padat.
“Pelik sungguh! Mana mungkin begitu …. Tuhan Wujud tanpa ada permulaan Nya? Dan mana mungkin Dia pula yang terakhir tanpa ada lagi yang setelah Nya ….?” Dahri mencoba berdalih dengan pikiran logika.
Dengan tersenyum Abu Hanifah menjelaskan, “Ya! Dalilnya ada pada diri kamu sendiri. Coba kau lihat pada ibu jari mu itu. Jari apakah yang kau nampak berada sebelum jari ini ..?” Sambil menuding ibu jarinya ke langit. Dan beberapa hadirin juga melakukan hal. “Dan pada jari manis kau itu, ada lagikah jari yang berikutnya …” Dahri membalik-balik jarinya. Tidak berpikir dia persoalan yang sekecil itu yang diambil oleh Abu Hanifah. “Jadi …! Kalaulah pada jari kita yang kecil ini pun, tidak mampu kita pikir, apalagi Allah Zat Yang Maha Agung itu, yang tidak satu pun yang mendahului-Nya dan tiada sesuatu yang kemudian setelah-Nya.”
Sekali lagi Dahri tercenggang. Bungkam. Namun masih tidak berputus asa untuk mematahkan argumen anak muda yang telah memalukannya di muka umum. Khalifah kagum melihatnya gelagat Dahri dengan penuh tanda tanya. Dahri berpikir seketika, menemukan jalan, mencari ide. Seperti suatu ilham baru telah menyuntik mindanya, iapun tersenyum. Hati Dahri bergelodak bagai air tengah mendidih.
“Ini pertanyaan yang terakhir buat mu, hai .. budak mentah!” Sengaja Dahri mengeraskan suaranya agar rasa malunya itu terperosok.
“Allah itu ada, kata mu. Ha! Apakah pekerjaan Tuhan mu saat ini?” Pertanyaan tersebut membuat Abu Hanifah tersenyum riang.
“Ini pertanyaan yang sungguh menarik. Jadi kenalah terjawab dari tempat yang tinggi agar dapat didengar oleh semua orang,” katanya. Pemuda ideologi Ad-Dahriyyun yang sedari tadi mentalitinya ditantang terus, berjalan turun meninggalkan mimbar masjid Jamek, memberi tempat untuk Abu Hanifah:
“Wahai sekelian manusia. Ketahuilah bahwa kerja Allah ketika ini adalah menggugurkan yang bathil sebagaimana Dahri yang berada di atas mimbar, diturunkan Allah ke bawah mimbar. Dan Allah juga telah menaikkan yang hak sebagaimana aku, yang berada di sana, telah dinaikkan ke atas mimbar Masjid Jamek ini …! “
Bagai halilintar, argumen Abu Hanifah menerjang ke dua-dua pipi Dahri. Seiring dengan itu bergemalah pekikan takbir dari massa. Mereka memuji-muji kewibawaan Abu Hanifah yang telah berhasil menyelamatkan martabat Islam dari lidah Dahri yang sesat lagi menyesatkan itu. Sampai saat ini, nama Imam Abu Hanifah terus dikenal keserata dunia sebagai seorang Fuqaha dan salah seorang dari Imam Mujtahid Mutlak yang empat. Kemunculan Mazhab Hanafi dalam fiqh Syar’iyyah, juga mengambil sempena nama ulama ini.

Kamis, 12 Mei 2016

Andai ini yang terakhir


BUATLAH sebanyak mungkin kebaikan dalam apa juga perbuatan kerana tidak seorangpun daripada kita yang tahu sehingga bila kita dihidukanp di dunia ini. Sesungguhnya kematian akan menjemput kita pada bila-bila masa sahaja kerana janji Allah tentang kematian itu adalah sesuatu yang amat benar.
saban hari dalam menjalani kehidupan jangan sesaat pun kita lupa akan kematian, kerana kematian itu sentiasa mengekori perjalanan kehidupan manusia. Cuma tidak seorangpun daripada kita yang tahu bila dan waktunya nyawa kita akan diambil oleh pemilik alam ini iaitu Allah SWT.
Justeru, dalam menjalani apa juga bentuk kehidupan seseorang manusia hendaklah sentiasa memotivasikan diri mereka untuk berbuat sebanyaknya kebaikan dan binalah setinggi mungkin kejayaan semasa hayat masih ada kerana kematian itu adalah rahsia Allah dan akan mendatangi manusia pada bila-bila masa sahaja.
Hakikatnya kematian akan melembutkan hati yang sedang dilanda kesengsaraan. Kematian juga akan melapangkan jiwa yang sedang dalam kesempitan. Ini kerana walau seberat manapun kesulitan yang dilalui manusia di dunia yang fana ini, apabila tiba saat kematian segala yang ada di dunia ini pastinya akan ditinggalkan.
Seseorang manusia yang ada kesedaran tentang kematian pastinya akan sentiasa bermotivasi untuk menjalani kehidupan dengan hanya melakukan perkara yang hanya mengundang kebaikan. Ini kerana apabila seseorang manusia itu sedar bahawa kehidupannya tidak lama dan barangkali hari ini adalah kehidupan yang terkahir, sudah tentu akan mendorong seseorang mukmin untuk bertaubat serta mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Allah SWT berfirman yang bermaksud “Katakanlah, Sesungguhnya kematian yang kalian lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kalian, kemudian kalian akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia memberitahukan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan”. (Surat Al Jumu`ah, ayat 8).
Menurut Ustazah Muzayyanah, sekiranya kita menyematkan dalam sanubari bahawa kematian itu akan menjemput kita pada bila-bila masa sahaja, ianya akan mendorong manusia untuk meningkatkan amal ibadah di sisi Allah. Seseorang manusia akan berbuat baik sesama manusia, akan ada cinta dan kasih sayang sesama ahli keluarga, akan saling menghormati sesama jiran tetangga dan menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT.
Seseorang yang sentiasa mengingati akan kematian pastinya akan membawa diri mereka berada dalam suasana yang sentiasa insaf dan berbuat kebaikan tanpa batasan. Mengingati saat kematian yang pastinya hadir kepada manusia membuatkan seseorang itu tidak sanggup untuk berbuat dosa walau sekelumit zarah sekalipun kerana takut akan azab Allah yang amat pedih dan neraka yang menakutkan manusia.
Justeru, seseorang mukmin itu hendaklah selalu melapangkan hatinya untuk sering mengingati bahawa kematian itu rahsia Allah yang pasti datang kepada manusia pada bila-bila masa sahaja. Kematian itu adalah sesuatu yang pasti dan kematian yang baik (husnul khatimah) akan mendatangi seseorang mukmin yang hidupnya dipenuhi dengan kebaikan dan amalan soleh terhadap Allah SWT.
Namun jika seseorang manusia yang hidupnya dipenuhi dengan kemaksiatan, membuat kejahatan sesama manusia, tidak taat kepada perintah Allah, tidak solat dan tidak beramal soleh kepadaNya, sudah pasti seseorang manusia itu walaupun hidupnya dikurniai dengan nikmat kekayaan harta, namun kematiannya dalam keadaan yang amat papa dan azab Allah di akhirat pasti sedang menantinya.
Sebagaimana firman Allah dalam al-Quran yang bermaksud “Di mana saja kamu berada, kematian pasti akan mendapati kamu, walaupun kamu berada di dalam benteng yang tinggi lagi kukuh.” (An-Nisa ayat 78)
Seseorang mukmin yang selalu mengingati bahawa kematian itu akan tiba bila-bila masa sahaja sering berdoa kepada Allah SWT agar didatangi dengan kematian yang baik buat dirinya. Oleh sebab itulah kita disaran untuk sentiada mengingati diri akan kematian kerana kematian itu sendiri mendorong manusia untuk selalu mengetuk pintu taubat seandainya ada kekhilafan yang dilakukan.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh hadis Rasulullah SAW bahawa orang-orang yang mengingati mati adalah orang yang bijak kerana orang-orang yang mengingati kematian akan membekalkan dirinya dengan sebanyak mungkin perbuatan yang mendatangkan pahala dan meningkatkan timbangan amalnya di akhirat kelak.
Orang yang sepanjang hidupnya mencari kebaikan, mengumpul pahala Allah dan selalu meletakkan matlamat akhirat sebagai keutamaan dalam kehidupan adalah orang yang bijak merancang kehidupannya yang bukan sahaja untuk mendapat redha Allah di dunia tetapi merancang kehidupan untuk menghuni syurga Allah SWT di akhirat nanti.
Namun malangnya bagi sesetengah manusia yang leka akan kematian dan merasakan kematian itu masih jauh dari dirinya kerana terpedaya dengan hasutan tipu daya syaitan yang sentiasa membelenggu hati manusia. Orang-orang yang jauh dari perintah Allah, tidak berusaha memperbaiki diri dan tidak ada keinginan untuk mengingati kematian akan terus dibelenggu dengan kesibukan-kesibukan dunia yang membuat dirinya jauh dari mengingati kematian. Lalu golongan ini akan seronok membuat kejahatan dan hidup dalam kerugian.
Hakikatnya kematian akan mendatangi semua makhluk dan manusia yang hidup, sama ada orang-orang yang soleh mahupun ahli maksiat, seseorang yang turun ke medan perang ataupun yang hanya tinggal di dalam rumah sahaja, seseorang yang bersemangat meraih kebaikan ataupun yang lalai dan leka. Semuanya akan menemui kematian bila telah sampai ajalnya, kerana Allah SWT telah menyebutnya di dalam ayat al-Quran yang bermaksud “Seluruh yang ada di atas bumi ini fana’ (tidak kekal).” (Ar-Rahman ayat 26).


Makna kehidupan sejati


Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejatian hidup, engkau sejatinnya Allah, ya ingsun sejatinya Allah; yakni wujud (yang berbentuk) itu sejatinyaAllah, sir (rahsa=rahasia) itu Rasulullah, lisan (pangucap) itu Allah, jasad Allah badan putih tanpa darah, sir Allah, rasa Allah, rahasia kesejatian Allah, ya ingsun (aku) ini sejatinya Allah.”
Subtansi dari ungkapan spiritual tersebut adalah bahwa kesejatian hidup, rahasia kehidupan hanya ada pada pengalaman kemanunggalan antara kawula-Gusti.
Adanya kehidupan itu karena pribadi, demikian pula keinginan hidup itupun ditetapkan oleh diri sendiri. Tidak mengenal roh, yang melestarikan kehidupan, tiada turut merasakan sakit atau pun lelah. Suka dukapun musnah karena tiada di inginkan oleh hidup.Dengan demikian hidupnya kehidupan itu, berdiri sendiri sekehendak.”
Pernyataan tersebut menunjukkan adanya kebebasan manusia dalam menentukan jalan hidup. Manusia merdeka adalah manusia yang terbebas dari belenggu kultural maupun belenggu struktural. Dalam hidup ini, tidak boleh ada sikap saling menguasai antar manusia, bahkan antara manusia dengan Tuhanpun hakikatnya tidak ada yang menguasai dan yang dikuasai.
Ini jika melihat intisari ajaran manunggalnya Syekh Siti Jenar. Sebab dalam manusia ada roh Tuhan yang menjamin adanya kekuasaan atas pribadinya dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Dan allah itulah satu-satunya Wujud. Yang lain hanya sekedar mewujud. Cahaya hanya satu, selain itu hanya memancarkan cahaya saja, atau pantulannya saja.
Subtansi pernyataan Syekh Siti Jenar tersebut adalah
Qs. Al-Baqarah/2;115, “Timur dan Barat kepunyaan Allah. Maka ke mana saja kamu menghadap di situlah Wajah Allah. ” Wujud itu dalam Pribadi, dan di dunia atau alam kematian ini, memerlukan wadah bagi pribadi untuk mengejawantah, menguji diri sejauh mana kemampuannya mengelola keinginan wadag, sementara Pribadinya tetap suci

Makna mati dalam hidup


Rasulullah s.a.w bersabda:
Bila hati seorang sudah dimasuki Nur, maka itu akan menjadi lapang dan terbuka.” Setelah mendengar ucapan Rasulullah s.a.w. itu orang banyak bertanya: “Apakah tandanya hati yang lapang dan terbuka itu ya Rasulullah..? Rasulullah menjawab:
“Ada perhatiannya terhadap kehidupan yang kekal di akherat nanti, dan timbul kesadaran dan pengertian terhadap tipu daya kehidupan dunia sekarang ini, lalu dia bersedia menghadapi mati sebelum datangnya mati.” (H.R. Ibnu Jurair) Bersedia menghadapi mati sebelum datangnya mati adalah pelajaran luar biasa berhikmahnya dari hadits ini.
Statement ini mengisyaratkan kepada kita untuk berlatih mati dalam rangka menghadapi proses kematian, agar dapat mati dalam keadaan sukses. Lalu bagaimanakah bentuk sukses dari sebuah kematian itu? Berbicara mengenai hal ini, Nabi Ibrahim berpesan kepada anak-anaknya: “Janganlah sampai kamu meninggal dunia padahal kamu tidak menyerahkan dirimu (Total Submission) kepada ALLAH.” (Q.S. Ibrahim : 152)
Orang yang menyerahkan diri secara total kepada ALLAH adalah orang yang dekat kepada-NYA, oleh karena itu kematiannya adalah sebuah kesuksesan. “Adapun bila yang meninggal itu adalah orang-orang yang mendekatkan diri (kepada ALLAH). Maka (kematian baginya) adalah lega, semerbak dan nikmat sekali.” (QS. Waqi’ah : 89-90)
Ibrahim a.s. mengisyaratkan bahwa kematian yang sukses adalah kematian dalam keadaan “penyerahan diri secara total kepada ALLAH semata”. Karena memang: “Sesungguhnya hidupku dan matiku hanyalah untuk ALLAH semata. (QS. Al An’am : ) Tentang Sukses Kematian, Rasulullah bersabda: “Siapa yang suka menemui ALLAH, ALLAH suka menemuinya, dan barang siapa benci menemui ALLAH, ALLAH benci pula menemuinya.”
Setelah mendengar sabda Rasulullah ini banyak para sahabat yang menangis. Melihat itu Rasulullah bertanya kepada mereka, kenapa menangis..? Mereka menjawab: “Semua kami membenci mati ya Rasulullah. Maka berkatalah Rasulullah: “Bukan demikian yang dimaksud, tetapi adalah ketika menghadapi sakaratil maut.”
Sebagaimana kehidupan yang indah, kematian yang indah adalah kematian dengan kondisi jiwa penuh dengan ke-“Tauhid”-an. Jiwa yang dipenuhi dengan menafikan segala bentuk penuhanan terhadap sesuatu selain ALLAH dan terus-menerus meneguhkan (isbatkan) penuhanan kepada ALLAH semata-mata. Karena:
Lailaha ilalloh adalah ucapan AKU
Lailaha ilalloh adalah AKU
Lailaha ilalloh adalah benteng AKU.
Siapa yang masuk dalam benteng AKU dengan mengucap Lailaha ilalloh lepas dari aniaya-KU. (Hadits Qudsi)
Dalam hidup berbekal Tauhid, dalam menghadapi sakaratul maut berbekal Tauhid, jiwa pergi dari jasad membawa Tauhid. Jika kesadaran telah dipenuhi dengan “Tauhid” kehidupan kita akan bebas dari aniaya ALLAH, demikian juga dengan kematian kita. Oleh karena itu seperti diriwayatkan oleh Muslim dari Sa’id Al-Khudri r.a beliau berkata : “Saya mendengar Rasulullah s.a.w bersabda:
“Talkinkanlah olehmu orang yang mati di antara kamu dengan kalimat La ilaha illallah. Karena sesungguhnya, seseorang yang mengakhiri ucapannya dengan itu ketika matinya, maka itulah bekalnya menuju surga.” Masuk ke dalam benteng SANG AKU: Lailaha ilalloh, tentunya bukan sekedar ucapan lisan saja. Akan tetapi telah diyakini dengan qalbu dan telah disaksikan dengan sepenuh jiwa.
Dengan kondisi kesadaran yang demikian maka qalbu menjadi terbersihkan dari segala kotoran-kotoran dosa, selalu terisi dengan keimanan, ingatan selalu tertuju kepada ALLAH dan sikap jiwa dalam keadaan berserah diri total kepada ALLAH, sebagai pemilik hidup kita. Penyerahan diri dengan kesadaran kepada ALLAH Yang Maha Esa.
Seperti dikatakan oleh Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali (wafat 1111): “At Tauhid al-khalis an layaraha fii kulli syai’in ilallah” (Tauhid sejati adalah penglihatan atas Tuhan dalam segala sesuatu). Dengan Tauhid ini, manusia menjadi sadar kedudukannya bahwa tubuhnya adalah semata-mata bentuk Kuasa ALLAH (melihat Tuhan dalam tubuhnya), sebagaimana alam semesta raya.
Harus kembali kepada-NYA dalam posisi tunduk patuh sebagaimana tunduk patuhnya alam semesta. Semua adalah bentuk Kuasa ALLAH, Energi ALLAH, Daya ALLAH karena sesungguhnya: La haula walaa quwwata illa billahil aliyyil adziem. Dengan Tauhid pula manusia sadar bahwa, hidup yang ada didalam dirinya (melihat Tuhan tidak terpisahkan dari hidupnya),
yang menyebabkan badan bisa hidup bergerak serta membuatnya menjadi makhluk sadar adalah roh yang berasal dari-NYA – “Min Ruhi” atau Roh SANG AKU. Milik-NYA semata-mata dan aksioma akan kembali kepada-NYA. Tidak ada rasa peng-“aku” an atas hidup, jiwa dan roh yang ada di dalam badan ini. Ia adalah milik-NYA dan akan kembali kepada-NYA.
Dengan kondisi psikologis yang demikian orang akan lebih tenang dengan bertawakal kepada ALLAH semata dalam menghadapi situasi kritis saat ajal menjemput. Karena ia telah sadar bahwa: o Mati adalah untuk kembali ke Asal atau Sumber dari hidup, yaitu ALLAH o Mati adalah perjalanan menuju ALLAH o Mati adalah saat menemui ALLAH o Mati adalah Bersaksinya roh atas Wajah ALLAH o Mati adalah untuk Merasakan Kedekatan/ Kesatuan dengan ALLAH
Pelatihan Mati Sukses, Seperti Jawaban Rasulullah kepada para Sahabatnya: “Ada perhatiannya terhadap kehidupan yang kekal di akherat nanti, dan timbul kesadaran dan pengertian terhadap tipu daya kehidupan dunia sekarang ini, lalu dia bersedia menghadapi mati sebelum datangnya mati.” Jika kita simak hadits nabi tersebut, Rasulullah telah memberikan motivasi kepada kita tentang bagaimana hendaknya umatnya melakukan latihan untuk menghadapi mati sebelum datangnya kematian, agar dapat sukses ketika menghadapinya nanti.
Mengenai hal ini, Haji Slamet Oetomo Blambangan berkenan berbagi pengetahuan dan best practicenya kepada kita dalam menghadapi kematian. Saya senang menyebutnya dengan istilah pelatihan mati khusyuk. Proses pelatihan ini berangkat dari filosofi tentang Hakikat manusia yang diajarkan Tuhan melalui al qur’an.
- Yang pertama, kematian itu adalah proses kembali menemui Tuhan sama dengan sholat, dzikir atau itikaf. Oleh karena itu kita posisikan Kesadaran sesuai dengan surat: Al ‘Araf : 29 : ” Dan (katakanlah): “Luruskanlah muka (diri)mu di setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya).”
Meluruskan muka atau diri adalah menumpahkan dan memusatkan seluruh perhatian kepada ALLAH semata. Dan dibekali dengan keikhlasan dengan tingkat kesadaran seperti dinyatakan qur’an : “Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS Al An’am : 162).
Dan seperti dijadikan pada mulanya yaitu bayi lahir, bayi itu suci, tidak merasa bisa tidak merasa pandai bahkan dipanggil namanya tidak tahu/bodoh. Semua yang ada nikmat ALLAH, kepunyaan ALLAH harus kembali kepadaNYA seperti pada mulanya yaitu seperti bayi lahir suci, perasaan tidak bisa apa-apa. Berserah diri total.
- Yang kedua, Tahu Tujuan Kematian. Tidak lain adalah Tuhan Semesta Alam – ALLAH. Tuhan seperti yang dijelaskan dalam surat Al Iklash: “Tuhan ALLAH Yang Maha Esa. Tuhan ALLAH tempat meminta. Dia tidak beranak dan tidak pula dilahirkan sebagai anak. Dan tidak ada sesuatupun yang ada persamaannya dengan DIA.” (Al –Iklash ) Al Fajr 27-28 dan Tuhan yang dijelaskan dalam surat Fushilat : 54 : “Bukankah mereka masih dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhannya,,? Bukankah DIA-NYA meliputi segala sesuatu.”
- Yang ketiga, mati adalah proses menemui ALLAH. Tidak lain adalah proses mendekatkan diri kepada ALLAH. Proses mendekatkan diri kepada ALLAH adalah proses menjalankan jiwa kepada tujuannya , yaitu ALLAH. Dalam proses kematian, yang berjalan adalah jiwa dengan min ruhinya, bukan pikiran atau hati. Seperti Firman ALLAH: “Wahai jiwa yang tenang masuklah kedalam Surga-KU”. Adalah jiwa dengan min ruhinya, bukan badan, pikiran dan hati. Saat kematian, seyogya nya jiwa dijalankan kepada ALLAH dengan terus mengingat ALLAH .
Dengan ingat kepada ALLAH, jiwa akan semakin meluncur mendekat kepada ALLAH. Pada posisi in, dalam batin hendaknya juga dikembangkan “Baik Sangka” kepada ALLAH, sebab sikap yang demikian akan menuntun kepada keadaan yang menjadi persangkaan kita. Sesuai dengan rumus “AKU adalah menurut persangkaan hamba-KU tentang AKU dan AKU bersama dia bila dia memanggil AKU”.
- Yang Keempat, menyadari eksistensi sebagai manusia. Bahwa tubuh manusia sebagai prototipe alam semesta adalah bentuk Kekuasaan ALLAH yang Maha Dasyhat, Maha Luar Biasa. Sedangkan jiwa manusia dengan min ruhinya adalah berasal dari ALLAH, secara ilahiah adalah SATU dengan ALLAH.
Oleh karena itu harus disadari bahwa tubuh ini bukan tubuh milik kita akan tetapi Kuasa ALLAH, dan jiwa ini adalah min ruhi – Roh milik ALLAH. Disini kedirian menjadi lenyap karena yang ada hanya Kuasa ALLAH dan Roh ALLAH keduanya adalah milik ALLAH aspeknya ALLAH. Aksiomatis kembali kepada ALLAH.
- Yang kelima, lihatlah kembali ke diri kita manusia. Perhatikan keluar masuknya nafas itu adalah pertanda adanya hidup adanya roh dalam tubuh sehingga hidup bergerak, itu adalah kinerja-NYA ALLAH, perbuatan-NYA ALLAH. Keluar masuknya nafas adalah tanda adanya hidup-NYA ALLAH yang ada dalam tubuh, adanya min ruhi, Roh ALLAH yang meresapi seluruh tubuh ini. Roh ALLAH yang meresapi seluruh Qudrat ALLAH – tubuh.
Selanjutnya Perhatikan juga sang otak yang netral – sebagai jembatan antara roh yang metafisika dan tubuh yang fisika. Yang bertugas sebagai regulator kesadaran manusia, berikan informasi yang benar kepada otak, install informasi tentang kebenaran ketuhanan. Sehingga hiduplah manusia dengan kesadaran berketuhanan secara benar:”Tiada Tuhan selain ALLAH dan Muhammad adalah utusan ALLAH”.
- Yang Keenam, dengan kesadaran yang telah diperoleh kini serahkanlah, kembalikanlah, dudukkan pada posisi yang sebenarnya – segala eksisensi yang ada kepada SUMBER nya, kepada PUSAT nya, kepada ALLAH.
- Tubuh, Pikiran, Hati adalah Qudrat ALLAH kembali kepada pemilik Qudrat yaitu ALLAH
- Jiwa dengan minruhinya adalah milik ALLAH kembali kepada ALLAH
- Rasa Ingat/ Rasa Jati/ Rasa ber Tuhan kembali kepada ALLAH
- Semua kembali kepada ALLAH.

Hidayah


Pernahkan terpikirkan bahwa kita tengah berada dalam anugerah yang tiada ternilai dari Dzat yang memiliki kerajaan langit dan bumi, sementara begitu banyak orang yang dihalangi untuk memperolehnya?
Kita bisa tahu ajaran yang benar dari agama Islam ini. Tahu ini haq, itu batil… Ini tauhid,
itu syirik…. Ini sunnah, itu bid’ah… Lalu kita dimudahkan untuk mengikuti yang haq dan meninggalkan yang batil. Sementara, banyak orang tidak mengerti mana yang benar dan mana yang sesat, atau ada yang tahu tapi tidak dimudahkan baginya untuk mengamalkan al-haq, malah ia gampang berbuat kebatilan.
Kita dapat berjalan mantap di bawah cahaya yang terang benderang, sementara banyak orang yang tertatih meraba dalam kegelapan.
Kita tahu apa tujuan hidup kita dan kemana kita kan menuju. Sementara, ada orang-orang yang tidak tahu untuk apa sebenarnya mereka hidup. Bahkan kebanyakan mereka menganggap mereka hidup hanya untuk dunia, sekedar makan, minum, dan bersenang-senang di dalamnya.
Apa namanya semua yang kita miliki ini, wahai saudaraku, kalau bukan anugerah terbesar, nikmat yang tiada ternilai? Inilah hidayah dan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada jalan-Nya yang lurus.
Dalam Tanzil-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ﻭَﺍﻟﻠَّﻪُ ﻳَﻬْﺪِﻱ ﻣَﻦْ ﻳَﺸَﺎﺀُ ﺇِﻟَﻰٰ ﺻِﺮَﺍﻁٍ ﻣُﺴْﺘَﻘِﻴﻢٍ
“Allah memberikan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (Al-Baqarah: 213)
Fadhilatusy Syaikh Al-‘Allamah Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullahu menerangkan dalam tafsirnya bahwa hidayah di sini maknanya adalah petunjuk dan taufik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan hidayah ini kepada orang yang pantas mendapatkannya, karena segala sesuatu yang dikaitkan dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala maka mesti mengikuti hikmah-Nya. Siapa yang beroleh hidayah maka memang ia pantas mendapatkannya. (Tafsir Al-Qur’anil Karim, 3/31)
Fadhilatusy Syaikh Shalih ibnu Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah ketika menjelaskan ayat
ﻭَﻫُﻮَ ﺃَﻋْﻠَﻢُ ﺑِﺎﻟْﻤُﻬْﺘَﺪِﻳﻦَ
beliau berkata, “Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak meletakkan hidayah di dalam hati kecuali kepada orang yang pantas mendapatkannya. Adapun orang yang tidak pantas memperolehnya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengharamkannya beroleh hidayah tersebut. Allah Yang Maha Mengetahui, Maha Memiliki hikmah, Maha Mulia lagi Maha Tinggi, tidak memberikan hidayah hati kepada setiap orang, namun hanya diberikannya kepada orang yang diketahui-Nya berhak mendapatkannya dan dia memang pantas. Sementara orang yang Dia ketahui tidak pantas beroleh hidayah dan tidak cocok, maka diharamkan dari hidayah tersebut.”
Asy-Syaikh yang mulia melanjutkan, “Di antara sebab terhalangnya seseorang dari beroleh hidayah adalah fanatik terhadap kebatilan dan semangat kesukuan, partai, golongan, dan semisalnya. Semua ini menjadi sebab seseorang tidak mendapatkan taufik dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Siapa yang kebenaran telah jelas baginya namun tidak menerimanya, ia akan dihukum dengan terhalang dari hidayah. Ia dihukum dengan penyimpangan dan kesesatan, dan setelah itu ia tidak dapat menerima al-haq lagi. Maka di sini ada hasungan kepada orang yang telah sampai al-haq kepadanya untuk bersegera menerimanya. Jangan sampai ia menundanya atau mau pikir-pikir dahulu, karena kalau ia menundanya maka ia memang pantas diharamkan/dihalangi dari hidayah tersebut. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺯَﺍﻏُﻮﺍ ﺃَﺯَﺍﻍَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻗُﻠُﻮﺑَﻬُﻢْ
“Maka tatkala mereka berpaling dari kebenaran, Allah memalingkan hati-hati mereka.” (Ash-Shaf:5)
ﻭَﻧُﻘَﻠِّﺐُ ﺃَﻓْﺌِﺪَﺗَﻬُﻢْ ﻭَﺃَﺑْﺼَﺎﺭَﻫُﻢْ ﻛَﻤَﺎ ﻟَﻢْ ﻳُﺆْﻣِﻨُﻮﺍ ﺑِﻪِ ﺃَﻭَّﻝَ ﻣَﺮَّﺓٍ ﻭَﻧَﺬَﺭُﻫُﻢْ ﻓِﻲ ﻃُﻐْﻴَﺎﻧِﻬِﻢْ ﻳَﻌْﻤَﻬُﻮﻥَ
“Dan begitu pula Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al-Qur’an) pada awal kalinya dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat.” (Al-An’am:110)
Perlu engkau ketahui, hidayah itu ada dua macam:
1. Hidayah yang bisa diberikan oleh makhluk, baik dari kalangan para nabi dan rasul, para da’i atau selain mereka. Ini dinamakan hidayah irsyad (bimbingan), dakwah dan bayan (keterangan). Hidayah inilah yang disebutkan dalam ayat:
ﻭَﺇِﻧَّﻚَ ﻟَﺘَﻬْﺪِﻱ ﺇِﻟَﻰٰ ﺻِﺮَﺍﻁٍ ﻣُﺴْﺘَﻘِﻴﻢٍ
“Sesungguhnya engkau (ya Muhammad) benar-benar memberi hidayah/petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Asy-Syura: 52)
2. Hidayah yang hanya bisa diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak selain-Nya. Ini dinamakan hidayah taufik. Hidayah inilah yang ditiadakan pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, terlebih selain beliau, dalam ayat:
ﺇِﻧَّﻚَ ﻟَﺎ ﺗَﻬْﺪِﻱ ﻣَﻦْ ﺃَﺣْﺒَﺒْﺖَ ﻭَﻟَـٰﻜِﻦَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳَﻬْﺪِﻱ ﻣَﻦْ ﻳَﺸَﺎﺀُ
“Sesungguhnya engkau (ya Muhammad) tidak dapat memberi hidayah/petunjuk kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah lah yang memberi hidayah kepada siapa yang Dia kehendaki.” (Al-Qashash: 56)
Yang namanya manusia, baik ia da’i atau selainnya, hanya dapat membuka jalan di hadapan sesamanya. Ia memberikan penerangan dan bimbingan kepada mereka, mengajari mereka mana yang benar, mana yang salah. Adapun memasukkan orang lain ke dalam hidayah dan memasukkan iman ke dalam hati, maka tak ada seorang pun yang kuasa melakukannya, karena ini hak Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. (Al-Qaulul Mufid Syarhu Kitabit Tauhid, Ibnu Utsaimin, sebagaimana dinukil dalam Majmu’ Fatawa wa Rasa’il beliau 9/340-341)
Saudariku, bersyukurlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika engkau dapati dirimu termasuk orang yang dipilih-Nya untuk mendapatkan dua hidayah yang tersebut di atas. Karena berapa banyak orang yang telah sampai kepadanya hidayah irsyad, telah sampai padanya dakwah, telah sampai padanya al-haq, namun ia tidak dapat mengikutinya karena terhalang dari hidayah taufik. Sementara dirimu, ketika tahu al-haq dari al-batil, segera engkau pegang erat al-haq tersebut dan engkau empaskan kebatilan sejauh mungkin. Berarti hidayah taufik dari Rabbul Izzah menyertaimu. Tinggal sekarang, hidayah itu harus engkau jaga, karena ia sangat bernilai dan sangat penting bagi kehidupan kita. Ia harus menyertai kita bila ingin selamat di dunia, terlebih di akhirat. Bagaimana tidak? Sementara kita di setiap rakaat dalam shalat diperintah untuk memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala hidayah kepada jalan yang lurus.
ﺍﻫْﺪِﻧَﺎ ﺍﻟﺼِّﺮَﺍﻁَ ﺍﻟْﻤُﺴْﺘَﻘِﻴﻢَ
“Tunjukilah (berilah hidayah) kami kepada jalan yang lurus” (Al-Fatihah: 6)
Bila timbul pertanyaan, bagaimana seorang mukmin meminta hidayah di setiap waktu shalatnya dan di luar shalatnya, sementara mukmin berarti ia telah beroleh hidayah? Bukankah dengan begitu berarti ia telah meminta apa yang sudah ada pada dirinya?
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu memberikan jawabannya: Allah Subhanahu wa Ta’ala membimbing hamba-hamba-Nya untuk meminta hidayah, karena setiap insan membutuhkannya siang dan malam. Seorang hamba butuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala setiap saat untuk mengokohkannya di atas hidayah, agar hidayah itu bertambah dan terus-menerus dimilikinya. Karena seorang hamba tidak dapat memberikan kemanfaatan dan tidak dapat menolak kemudharatan dari dirinya, kecuali apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala kehendaki. Allah ‘Azza wa Jalla pun membimbing si hamba agar di setiap waktu memohon kepada-Nya pertolongan, kekokohan, dan taufik. Orang yang berbahagia adalah orang yang diberi taufik oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk memohon hidayah, karena Allah ‘Azza wa Jalla telah memberikan jaminan untuk mengabulkan permintaan orang yang berdoa kepada-Nya di sepanjang malam dan di penghujung siang. Terlebih lagi bila si hamba dalam kondisi terjepit dan sangat membutuhkan bantuan-Nya. Ini sebanding dengan firman-Nya:
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﺁﻣِﻨُﻮﺍ ﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻭَﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻧَﺰَّﻝَ ﻋَﻠَﻰٰ ﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻭَﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﻣِﻦْ ﻗَﺒْﻞُ
“Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya…” (An-Nisa’: 136)
Dalam ayat ini, Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan orang-orang yang telah beriman agar tetap beriman. Ini bukanlah perintah untuk melakukan sesuatu yang belum ada, karena yang dimaukan dengan perintah beriman di sini adalah hasungan agar tetap tsabat (kokoh), terus menerus dan tidak berhenti melakukan amalan-amalan yang dapat membantu seseorang agar terus di atas keimanan. Wallahu a’lam. (Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, 1/38)
Berbahagialah dengan hidayah yang Allah Subhanahu wa Ta’ala berikan kepadamu dan jangan biarkan hidayah itu berlalu darimu. Mintalah selalu kekokohan dan keistiqamahan di atas iman kepada Dzat Yang Maha Mengabulkan doa. Teruslah mempelajari ilmu agama. Hadirilah selalu majelis ilmu. Dekatlah dengan ulama, cintai mereka karena Allah ‘Azza wa Jalla. Bergaullah dengan orang-orang shalih dan jauhi orang-orang yang jahat yang dapat merancukan pemahaman agamamu serta membuatmu terpikat dengan dunia. Semua ini sepantasnya engkau lakukan dalam upaya menjaga hidayah yang Allah ‘Azza wa Jalla anugerahkan kepadamu. Satu lagi yang penting, jangan engkau menjual agamamu karena menginginkan dunia, karena ingin harta, tahta, dan karena cinta kepada lawan jenis. Sekali-kali janganlah engkau kembali ke belakang. Kembali kepada masa lalu yang suram karena jauh dari hidayah dan bimbingan agama. Ingatlah:
ﻓَﻤَﺎﺫَﺍ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﺤَﻖِّ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﻀَّﻠَﺎﻝُ
“Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan.” (Yunus: 32)
Kata Al-Imam Al-‘Allamah Muhammad Jamaluddin Al-Qasimi rahimahullahu, “Kebenaran dan kesesatan itu tidak ada perantara antara keduanya. Maka, siapa yang luput dari kebenaran mesti ia jatuh dalam kesesatan.” (Mahasinut Ta’wil, 6/24)
Lalu apa prasangkamu dengan orang yang tahu kebenaran dari kebatilan, semula ia berjalan di atas kebenaran tersebut, berada di atas hidayah, namun kemudian ia futur (patah semangat, tidak menetapi kebenaran lagi, red.) dan lisan halnya mengatakan ‘selamat tinggal kebenaran’? Wallahul Musta’an. Sungguh Syaitan telah berhasil menipu dan mengempaskannya ke jurang yang sangat dalam.
Ya Allah, wahai Dzat Yang Membolak-balikkan hati tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu, di atas ketaatan kepada-Mu. Amin ya Rabbal ‘alamin …

‪#‎MENGAPA‬ HARUS BERMAZHAB ULAMA SALAF...???


Belajar 1 Mazhab saja, misalnya Mazhab Syafi’ie itu sulit. Paling cuma 10% ilmu Mazhab Syafi’ie yang baru saya kuasai. Nah kalau mau membanding2kan 4 mazhab kemudian memilih “yang terbaik” dari Mazhab tsb untuk tiap masalah yg berbeda (mis: sholat mazhab Syafi’ie, tapi puasa mazhab Maliki, dsb), berarti dia harus belajar 4 Mazhab, kemudian belajar Al Qur’an dan Hadits secara mendalam. Padahal agar bisa jadi mujtahid minimal menguasai 500.000 hadits, kata Imam Hambali.
Makanya tokoh hadits paling ahli saja seperti Imam Bukhari dan Imam Muslim yang masing2 hanya membukukan kurang dari 10.000 hadits sahih memilih mengikuti mazhab Syafi’ie. Tidak bikin mazhab sendiri apalagi sampai membanding2kan mazhab mana yang terbaik untuk dipakai untuk setiap masalah.
Hendaknya pilih saja mana mazhab yang disukai, kemudian fokus pelajari dan mengamalkan Islam melalui mazhab tersebut.
Nabi mengkisahkan pada kita bahwa di akhir zaman akan muncul kaum muda yang bodoh. Meski mereka rajin mengucapkan Al Qur’an dan Hadits, namun cuma di kerongkongan. Tidak diamalkan. Mereka keluar dari Islam laksana anak panah lepas dari busurnya.
‪#‎MAZHAB‬
Ini karena mereka tidak memahami Islam berdasarkan pemahaman ulama Salaf yang sebenarnya seperti Imam Mazhab. Mereka tidak mengenal bid’ah hasanah. Jadi mereka tuduh Muslim / Ulama yang melakukan bid’ah hasanah sebagai sesat. Bagi mereka kebenaran cuma 1, yaitu: mereka. Yang berbeda dengan mereka salah/sesat. Mereka merasa paling benar. Menganggap Muslim lain sudah sesat/kotor dan beranggapan mereka ingin memurnikan dan meluruskannya. Mereka mudah mencap sesat/kafir muslim/ulama yang tidak sepaham.
‪#‎ULAMA‬ SALAF
Rasulullah SAW bersabda,
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’in), kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).”
(HR. Bukhari no. 6429 dan Muslim no. 2533 hadits ini adalah Mutawatir)
Siapakah pengikut ulama SALAF sebenarnya?
1) Imam Hanafi lahir:80 hijrah
2) Imam Maliki lahir: 93 hijrah
3) Imam Syafie lahir:150 hijrah
4) Imam Hanbali lahir:164 hijrah
5) Imam Asy’ari lahir: 240 hijrah
Mereka ini semua ulama Salafus Sholeh atau dikenali dengan nama ulama SALAF…
Apa itu salaf?
Salaf ialah nama “zaman” yaitu merujuk kepada golongan ulama yang hidup antara kurun zaman kerasulan Nabi Muhammad hingga 300 HIJRAH.
1) golongan generasi pertama dari 300 tahun hijrah tu disebut “Sahabat Nabi” kerana mereka pernah bertemu Nabi2) golongan generasi kedua pula disebut “Tabi’in” iaitu golongan yang pernah bertemu Sahabat nabi tapi tak pernah bertemu Nabi
3) golongan generasi ketiga disebut sebagai “Tabi’ tabi’in” iaitu golongan yang tak pernah bertemu nabi dan sahabat tapi bertemu dengan tabi’in.
Jadi Imam Abu hanifah (pengasas mazhab Hanafi) merupakan murid Sahabat nabi maka beliau seorang TABI’IN. Imam Malik, Imam Syafie, Imam Hanbali, Imam Asy’ari pula berguru dengan tabi’in maka mereka adalah golongan TABI’ TABI’IN.
Jadi kesemua Imam-Imam yang mulia ini merupakan golongan SALAF YANG SEBENARNYA dan pengikut mazhab mereka lah yang paling layak digelar sebagai “Salafi” karena “salafi” bermaksud “pengikut golongan SALAF”.
Jadi beruntung lah kita di Indonesia / Malaysia yang masih berpegang kepada mazhab Syafie yang merupakan mazhab SALAF yang SEBENARNYA dan tidak lari dari kefahaman NABI DAN SAHABAT…
‪#‎RUJUKAN‬ WAHABI:
1) Ibnu Taimiyyah lahir: 661 Hijrah (lahir 361 tahun selepas berakhirnya zaman SALAF)
2) Albani lahir: 1333 Hijrah (mati tahun 1420 hijrah atau 1999 Masehi,lahir 1033 tahun selepas berakhirnya zaman SALAF)
3) Muhammad Abdul Wahhab (pendiri gerakan Wahhabi): 1115 Hijrah (lahir 815 tahun selepas berakhirnya zaman SALAF)
4) Abdullah Bin baz lahir: 1330 Hijrah (mati tahun 1420 hijrah atau 1999 Masehi, sama dengan Albani, lahir 1030 tahun selepas berakhirnya zaman SALAF)
5) Utsaimin lahir: 1928 Masehi (mati tahun 2001,lebih kurang 12 tahun lepas dia mati,lahir entah berapa ribu tahun selepas zaman SALAF.
Mereka ini semua hidup di AKHIR ZAMAN kecuali Ibnu Taimiyyah yang hidup di pertengahan zaman antara zaman salaf dan zaman dajjal(akhir zaman)… Saat Islam diserang oleh tentara Mongol.
Tak ada sorang pun Imam rujukan mereka yang mereka ikuti secara buta hidup di zaman SALAF….
Mereka ini semua TERAMAT LAH JAUH DARI ZAMAN SALAF tapi SANGAT-SANGAT ANEH apabila puak-puak Wahhabi menggelarkan diri sebagai “Salafi” (pengikut Golongan Salaf).
Sedangkan rujukan mereka adalah dari kalangan yang datang dari golongan ulama’ akhir zaman.
Mereka menuding ajaran Sifat 20 Imam Asy’ari yang lahir tahun 240 H sebagai bid’ah yang sesat. Padahal ajaran Tauhid Uluhiyyah, Rububiyah, dan Asma wa Shifat yang mereka ajarkan juga bid’ah dan diajarkan Khalaf yang lahir tahun 1115 H. Ini mendangkalkan ummat Islam.
Mereka tuduh pula zikir berjama’ah usai sholat di masjid bid’ah sesat sehingga mereka diam saja usai sholat. Ummat Islam jadi jauh dari zikir dan doa. Mereka tuduh tahlilan bid’ah. Padahal itu Syiar Islam oleh Wali Songo yang berhasil mengIslamkan ummat Islam Indonesia yang semula beragama Hindu. Banyak tuduhan mereka bahwa ummat Islam itu penuh bid’ah dan sesat dan mereka ingin “memurnikannya”. Mereka tidak kenal bid’ah hasanah sebagaimana yang dipahami Imam Syafi’ie, Umar bin Khoththob ra, Abu Bakar ra, dsb.
Mereka tidak paham adanya bid’ah hasanah. Jadi mereka anggap sesat semua Muslim/Ulama yang melakukan bid’ah hasanah sebagai sesat karena menurut mereka semua bid’ah itu sesat.
Jika menuduh orang sesat, apalagi tiap jum’at mengatakan itu padahal ternyata tidak benar, maka label sesat berbalik kepadanya.
“Barangsiapa memanggil seseorang dengan kafir atau mengatakan kepadanya “hai musuh Allah”, padahal tidak demikian halnya, melainkan panggilan atau perkataannya itu akan kembali kepada dirinya”.[HR Muslim]
Saat merasa benar dan menuduh Muslim lain sesat, akhirnya di antara mereka pun jadi saling berpecah-belah.
‪-Hati‬-hati dgn orang yg suka tanyakan dalil, dalil dan dalil.....!!!!
Wallahu’alam bissawab.

Rabu, 11 Mei 2016

Sholat Wajib Menurut 4 Imam Mazhab

: Imam Syafe'i, Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Hambali

Sholat merupakan rukun kedua dari lima rukun Islam. Umat Islam sepakat bahwa menjalankan ibadah shalat 5 waktu (subuh, dhuhur, ashar, maghrib, dan isya') adalah kewajiban. Tapi ternyata banyak perbedaan dalam menjalankan ibadah sholat, meskipun hukumnya sama-sama wajib. Semua orang Islam sepakat bahwa orang yang menentang kewajiban sholat wajib lima waktu atau meragukannya, ia bukan termasuk orang Islam, sekalipun ia mengucapkan syahadat, karena sholat termasuk salah satu rukun Islam.
Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan sholat karena malas dan meremehkan, dan ia meyakini bahwa sholat itu wajib. Mazab Syafi'i, Mazab Maliki dan Mazab Hambali : Harus dibunuh, Mazab Hanafi : Ia harus ditahan selama-lamanya, atau sampai ia sholat.

Rukun-rukun dan fardhu-fardhu sholat
Niat : Semua ulama mazhab sepakat bahwa mengungkapkan niat dengan kata-kata tidaklah diminta. Ibnu Qayyim berpendapat dalam bukunya Zadul Ma'ad, sebagaimana yang dijelaskan dalam jilid pertama dari buku Al-Mughni, karya Ibnu Qudamah, sebagai berikut : Nabi Muhammad SAW bila menegakkan sholat, beliau langsung mengucapkan Allahu akbar dan beliau tidak mengucapkan apa-apa sebelumnya, dan tidak melafalkan niat sama sekali.
Takbiratul Ihram : Sholat tidak akan sempurna tanpa takbiratul ihram. Nama takbiratul ihram ini, menurut Maliki dan Hambali : Kalimat takbiratul ihram adalah Allah Akbar (Allah Maha Besar) tidak boleh menggunakan kata-kata lainnya.
Syafi'i : Boleh mengganti "Allahu Akbar" dengan "Allahu Al-Akbar", ditambah dengan alif dan lam pada kata Akbar.
Hanafi : Boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti Allah Al-A'dzam dan Allahu Al-Ajall (Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia).
Syafi'i, Maliki dan Hambali sepakat bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah wajib, walaupun orang yang sholat itu adalah orang ajam (bukan orang Arab).
Hanafi : Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahasa Arab.
Semua ulama mazhab sepakat, syarat takbiratul ihram adalah semua yang disyaratkan dalam sholat. Kalau bisa melakukannya dengan berdiri dan dalam mengucapkan kata Allahu Akbar itu harus didengar sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya, atau dengan perkiraan jika ia tuli.
Berdiri : Semua ulama mazhab sepakat bahwa berdiri dalam sholat fardhu itu wajib sejak mulai dari takbiratul ihram sampai ruku', harus tegap, bila tidak mampu ia boleh sholat dengan duduk. Bila tidak mampu duduk, ia boleh sholat dengan miring pada bagian kanan, seperti letak orang yang meninggal di liang lahat, menghadapi kiblat di hadapan badannya, menurut kesepakatan semua ulama mazhab selain Hanafi.
Hanafi berpendapat : Siapa yang tidak bisa duduk, ia boleh sholat terlentang dan menghadap kiblat dengan dua kakinya sehingga isyaratnya dalam ruku' dan sujud tetap menghadap kiblat. Dan bila tidak mampu miring ke kanan, maka menurut Syafi'i dan Hambali ia boleh sholat terlentang dan kepalanya menghadap ke kiblat. Bila tidak mampu juga, ia harus mengisyaratkan dengan kepalanya atau dengan kelopak matanya.
Hanafi : Bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah sholat baginya, hanya ia harus melaksanakannya (mengqadha'nya) bila telah sembuh dan hilang sesuatu yang menghalanginya.
Maliki : Bila sampai seperti ini, maka gugur perintah sholat terhadapnya dan tidak diwajibkan mengqadhanya.
Syafi'i dan Hambali : Sholat itu tidaklah gugur dalam keadaan apa pun. Maka bila tidak mampu mengisyaratkan dengan kelopak matanya (kedipan mata), maka ia harus sholat dengan hatinya dan menggerakkan lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu untuk menggerakkan lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melakukan sholat di dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi.
Bacaan : Ulama mazhab berbeda pendapat.
Hanafi : membaca Al-Fatihah dalam sholat fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan apa saja dari Al-Quran itu boleh, berdasarkan Al-Qurat surat Muzammil ayat 20 : "Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Quran," (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 122, dan Mizanul Sya'rani, dalam bab shifatus shalah).
Boleh meninggalkan basmalah, karena ia tidak termasuk bagian dari surat. Dan tidak disunnahkan membacanya dengan keras atau pelan. Orang yang sholat sendiri ia boleh memilih apakah mau didengar sendiri (membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca dengan keras), dan bila suka membaca dengan sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya. Dalam sholat tu tidak ada qunut kecuali pada shalat witir. Sedangkan menyilangkan dua tangan adalah sunnah bukan wajib. Bagi lelaki adalah lebih utama bila meletakkan telapak tangannya yang kanan di atas belakang telapak tangan yang kiri di bawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih utama adalah meletakkan dua tangannya di atas dadanya.
Syafi'i : Membaca Al-Fatihah adalah wajib pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada dua rakaat terakhir, baik pada sholat fardhu maupun sholat sunnah. Basmalah itu merupakan bagian dari surat, yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan apa pun. Dan harus dibaca dengan suara keras pada shalat subuh, dan dua rakaat pertama pada sholat maghrib dan isya', selain rakaat tersebut harus dibaca dengan pelan. Pada sholat subuh disunnahkan membaca qunut setelah mengangkat kepalanya dari ruku' pada rakaat kedua sebagaimana juga disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama saja. Sedangkan menyilangkan dua tangan bukanlah wajib, hanya disunnahkan bagi lelaki dan wanita. Dan yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan di belakang telapak tangannya yang kiri di bawah dadanya tapi di atas pusar dan agak miring ke kiri.
Maliki : membaca Al-Fatihah itu harus pada setiap rakaat, tak ada bedanya, baik pada rakaat-rakaat pertama maupun pada rakaat-rakaat terakhir, baik pada sholat fardhu maupun sholat sunnah, sebagaimana pendapat Syafi'i, dan disunnahkan membaca surat Al-Quran setelah Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama. Basmalah bukan termasuk bagian dari surat, bahkan disunnahkan untuk ditinggalkan. Disunnahkan menyaringkan bacaan pad sholat subuh dan dua rakaat pertama pada sholat maghrib dan isya', serta qunut pada sholat subuh saja. Sedangkan menyilangkan kedua tangan adalah boleh, tetapi disunnahkan untuk mengulurkan dua tangan pada sholat fardhu.
Hambali : Wajib membaca Al-Fatihah pada setiap rakaat, dan sesudahnya disunnahkan membaca surat Al-Quran pada dua rakaat yang pertama. Dan pada sholat subuh, serta dua rakaat pertama pada sholat maghrib dan isya' disunnahkan membacanya dengan nyaring. Basmalah merupakan bagian dari surat, tetapi cara membacanya harus pelan-pelan dan tidak boleh dengan keras. Qunut hanya pada sholat witir bukan pada sholat-sholat lainnya. Sedangkan menyilangkan dua tangan disunahkan bagi lelaki dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan di bawah pusar.

Empat mazhab menyatakan bahwa membaca amin adalah sunnah, berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Kalau ingin mengucapkan Ghairil maghdzubi 'alaihim waladzdzaallin, maka kalian harus mengucapkan amin."
Ruku' : Semua ulama mazhab sepakat bahwa ruku' adalah wajib di dalam sholat. Namun mereka berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya berthuma'ninah di dalam ruku', yakni ketika ruku' semua anggota badan harus diam,tidak bergerak.
Hanafi : Yang diwajibkan hanya semata-mata membungkukkan badan dengan lurus, dan tidak wajib thuma'ninah. Mazhab-mazhab yang lain : Wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang shalat itu berada pada dua lututnya dan juga diwajibkan berthuma'ninah dan diam (tidak bergerak) ketika ruku'.
Syafi'i, Hanafi, dan Maliki : Tidak wajib berdzikir ketika sholat, hanya disunnahkan saja mengucapkan :Subhaana rabbiyal 'adziim, "Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung."
Hambali : Membaca tasbih ketika ruku' adalah wajib. Kalimatnya menurut Hambali : Subhaana rabbiyal 'adziim, "Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung."
Hanafi : Tidak wajib mengangkat kepala dari ruku' yakni i'tidal (dalam keadaan berdiri). Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu makruh. Mazhab-mazhab yang lain : Wajib mengangkat kepalanya dan beri'tidal, serta disunnahkan membaca tasmi', yaitu mengucapkan : Sami'allahuliman hamidah, "Allah mendengar orang yang memuji-Nya."
Sujud : Semua ulama mazhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali pada setiap rakaat. Mereka berbeda pendapat tentang batasnya.
Maliki, Syafi'i, dan Hanafi : yang wajib (menempel) hanya dahi, sedangkan yang lain-lainnya adalah sunnah.
Hambali : Yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh (dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan ibu jari dua kaki) secara sempurna. Bahkan Hambali menambahi hidung, sehingga menjadi delapan.
Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma'ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku'. Maka mazhab yang mewajibkannya di dalam ruku' juga mewajibkannya di dalam sujud.
Hanafi : Tidak diwajibkan duduk di antara dua sujud itu. Mazhab-mazhab yang lain : Wajib duduk di antara dua sujud.
Tahiyyat : Tahiyyat di dalam sholat dibagi menjadi dua bagian : pertama yaitu tahiyyat yang terjadi setelah dua rakaat pertama dari sholat maghrib, isya', dzuhur, dan ashar dan tidak diakhiri dengan salam. Yang kedua adalah tahiyyat yang diakhiri dengan salam, baik pada sholat yang dua rakaat, tiga, atau empat rakaat.
Hambali : Tahiyyat pertama itu wajib. Mazhab-mazhab lain : Hanya sunnah.
Syafi'i, dan Hambali : Tahiyyat terakhir adalah wajib. Maliki dan Hanafi : Hanya sunnah, bukan wajib.
Syafi'i, Maliki, dan Hambali :Mengucapkan salam adalah wajib. Hanafi : Tidak wajib. (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 126).
Menurut empat mazhab, kalimatnya sama yaitu : Assalaamu'alaikum warahmatullaah, "Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah tercurah kepada kalian."
Hambali : Wajib mengucapkan salam dua kali, sedangakan yang lain hanya mencukupkan satu kali saja yang wajib.
Tertib : Diwajibkan tertib antara bagian-bagian sholat. Maka takbiratul Ihram wajib didahulukan dari bacaan Al-Quran (salam atau Al-Fatihah), sedangkan membaca Al-Fatihah wajib didahulukan dari ruku', dan ruku' didahulukan daru sujud, begitu seterusnya.
Berturut-turut : diwajibkan mengerjakan bagian-bagian sholat secara berurutan dan langsung, juga antara satu bagian dengan bagian yang lain. Artinya membaca Al-Fatihah langsung setelah bertakbir tanpa ada selingan. Dan mulai ruku' setelah membaca Al-Fatihah atau ayat Al-Quran, tanpa selingan, begitu seterusnya. Juga tidak boleh ada selingan lain, antara ayat-ayat, kalimat-kalimat, dan huruf-huruf.