Laman

Jumat, 28 Februari 2014

Mi’raj Abu Yazid Al-Busthami (1)


Oleh: Fariduddin ‘Aththar

Abu Yazid Thaifur ibnu ‘Isa ibnu Surusyan al-Bisthami, cucu seorang Zoroastrian (penganut Zoroastrianisme/ajaran Zoroaster), lahir di Bistham di timur laut Persia, di sana pula ia wafat pada tahun 261 H/874 M atau 264/877 M, dan hingga kini makamnya masih ada.

Ia adalah pionir aliran ekstatik (“mabuk”) dalam sufisme. Ia dikenal karena keberaniannya dalam mengekspresikan peleburan mistik menyeluruh kepada ketuhanan. Ia sangat mempengaruhi imajinasi para sufi yang hidup setelah masanya, terutama dengan penggambarannya tentang perjalanan menuju surga (sebagai imitasi mi’raj-nya Rasulullah Muhammad saw.).
Ayahnya adalah salah seorang yang terpandang di kota Bistham. Riwayat kehidupan Abu Yazid yang luar biasa dimulai sejak ia masih berada dalam kandungan ibunya.

Ibunya berkata padanya, “Setiap kali ibu memasukkan makanan yang syubhat ke mulut ibu, engkau meronta ronta dalam kandungan dan tak mau diam sampai ibu mengeluarkan makanan itu dari mulut ibu.”
Pernyataan ini dibenarkan oleh Abu Yazid sendiri.
lbunya menyekolahkannya. Di sekolah, Abu yazid mempelajari Al-Quran. Suatu hari, gurunya menjelaskan makna salah satu ayat di surah Luqman: “Bersyukurlah kepada Ku dan kepada kedua orang tuamu.” Ayat ini menggetarkan hati Abu Yazid.

“Guru,” katanya seraya meletakkan buku catatannya, “izinkanlah aku untuk pulang dan mengatakan sesuatu kepada ibuku.”
Gurunya mengizinkannya, dan Abu Yazid pun bergegas pulang.
“Ada apa, Thaifur,” pekik ibunya, “mengapa engkau pulang? Apa mereka memberimu hadiah, atau ada acara khusus.”

“Tidak,” Jawab Abu Yazid. “Pelajaranku telah sampai kepada ayat di mana Allah memerintahkan aku untuk mengabdi kepada Nya dan kepada Ibu. Aku tidak akan sanggup melaksanakan keduanya sekaligus. Ayat ini menggetarkan hatiku. Hanya ada dua pilihan: lbu memintaku dari Allah agar aku dapat menjadi milik lbu sepenuhnya, atau lbu menyerahkanku kepada Allah agar aku dapat sepenuhnya bersamaNya “
Suatu malam, ibuku memintaku untuk mengambilkannya air minum. Aku bergegas mengambilkan air minum untuknya, namun tak ada air di teko. Aku pun mengambil kendi, namun kendi ini juga kosong. maka aku pun pergi ke sungai dan mengisi kendi dengan air. Ketika aku kembali ke rumah, ibuku telah tertidur.

Malam itu udara begitu dingin. Aku memegang teko dengan tanganku. Ketika ibuku terbangun, ia pun minum dan mendoakanku. Lalu ia melihat bahwa teko itu membuat tanganku membeku kedinginan.
‘Mengapa tak engkau letakkan saja teko itu?’ tanya ibuku.

“Aku takut tatkala lbu terbangun, aku tidak ada di sisi Ibu,’ jawabku.
Setelah ibunya menyerahkannya kepada Allah, Abu Yazid meninggalkan Bistham dan selama tiga puluh tahun berkelana dari satu daerah ke daerah lain, mendisiplinkan dirinya dengan ibadah dan rasa lapar yang sinambung. Ia mendatangi 113 pembimbing spiritual dan mengambil manfaat dari mereka semua.
Di antara mereka ada yang dijuluki Ash-Shadiq. Abu Yazid sedang duduk ketika gurunya itu tiba-tiba berkata, “Abu Yazid, ambilkan aku buku dari jendela itu.”

“Jendela? jendela yang mana?” tanya Abu Yazid.
Gurunya balik bertanya, “Selama ini engkau selalu datang ke sini, dan engkau tidak pernah melihat jendela itu?”
“Tidak pernah,” jawab Abu Yazid. “Apa urusanku dengan jendela? Ketika aku berada dihadapanmu, aku menutup mataku dari hal hal lain. Aku datang kepadamu bukan untuk melihat lihat.”
“Kalau begitu,” kata sang guru, “pulanglah ke Bistham. Usahamu telah sempurna.”

Abu Yazid diberi tahu bahwa di suatu tempat tinggallah seorang guru besar. Abu Yazid jauh-jauh datang untuk menemuinya. Ketika ia mendekat, ia melihat sang guru kondang itu meludah ke atas kiblat. Abu Yazid seketika itu pula bergegas kembali pulang. Ia berujar, “Jika ia memiliki ilmu sedikit saja, ia tidak akan pernah melecehkan-Nya.”
Dalam kaitannya dengan hal ini, dikatakan bahwa rumah Abu Yazid terletak sekitar empat puluh langkah dari sebuah masjid, dan ia tidak pernah sekali pun meludah di jalan demi menghormati masjid itu.

Abu Yazid membutuhkan waktu dua belas tahun penuh untuk tiba ke Ka’bah. Itu karena di setiap melewati tempat ibadah yang ia lalui, ia selalu membentangkan sajadahnya dan mendirikan salat dua rakaat.
“Tempat ibadah ini bukanlah serambi istana para raja duniawi, di mana orang dapat lewat kesana-kemari dengan seenaknya,” katanya.
Akhirnya, ia sampai juga di Ka’bah, tapi tahun itu ia tidak pergi ke Madinah.
“Tidaklah pantas menjadikan kunjungan ke Madinah sebagai sekadar bagian dari kunjunganku kali ini,” ia menjelaskan. “Aku akan mengenakan pakaian haji tersendiri, bukan yang kupakai saat ini, untuk kunjunganku ke Madinah.”
Tahun berikutnya, ia kembali, mengenakan pakaian haji tersendiri. Di suatu kota, ia berpapasan dengan sekelompok besar orang yang kemudian menjadi para muridnya. Ketika ia pergi, orang-orang itu mengikutinya.
“Siapa mereka?” tanyanya sambil menengok ke belakang.
Terdengarlah jawaban, “Mereka ingin menemanimu.”

“Ya Allah!” pekik Abu Yazid. “Aku mohon pada-Mu, jangan jadikan aku selubung antara para hambaMu dan diri-Mu!”
Lalu dengan tujuan menghapus kecintaan orang-orang itu kepadanya dan agar dirinya tidak Menjadi penghalang dijalan mereka (menuju Allah) setelah salat Subuh, Abu Yazid memandang mereka dan berkata, “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.”
“Dia sudah gila” pekik orang-orang itu. Dan mereka pun pergi meninggalkan Abu Yazid.

Abu Yazid menyusuri jalannya. Di perjalanan, ia menemukan tengkorak yang bertuliskan: “Tuli, Bisu, dan buta, maka mereka tidak mengerti.”
Ia memungut tengkorak itu, dan sambil menangis ia menciumnya.
“Tampaknya ini adalah kepala seorang sufi yang dibinasakan Allah, karena ia tidak memiliki telinga untuk mendengar suara abadi, tidak memiliki mata untuk melihat keindahan abadi, tidak memiliki lidah untuk mengagungkan kebesaran Allah, tidak memiliki akal untuk memahami sedikit saja dari pengetahuan hakiki Allah. Ayat ini berbicara tentangnya.”
Setelah Abu Yazid mengunjungi Madinah, ia melihat perintah untuk kembali guna merawat ibunya. Ia pun segera bertolak menuju Bistham, diiringi oleh sekelompok orang. Berita kembalinya Abu Yazid tersebar ke seluruh kota Bistham, dan masyarakat Bistham pun keluar menuju perbatasan kota untuk menyambutnya. Abu Yazid tampak sangat disibukkan oleh perhatian yang ditunjukkan masyarakat Bistham, sehingga ia khawatir hal itu akan mencegahnya dari Allah. Ketika mereka mendekatinya, ia mengeluarkan roti dari lengan bajunya. Saat ini bulan Ramadlan, namun Abu Yazid malah berdiri dan makan roti. Seketika setelah masyarakat Bistham melihat hal ini, mereka pun meninggalkan Abu Yazid. “Tidakkah kalian lihat?” Abu Yazid berkata pada para muridnya. “Aku menaati aturan agama, namun masyarakat malah menolakku.”
Ia menunggu dengan sabar hingga malam tiba. Pada tengah malam, ia memasuki kota Bistham dan menuju ke rumah ibunya. Di sana, ia berdiri dan mendengar suara ibunya berwudlu dan berdoa.
“Ya Allah, jagalah orang buangan kita (maksudnya Abu Yazid). Buatlah hati para syekh (guru spiritual) cenderung padanya, dan berikanlah ia petunjuk agar dapat melakukan segalanya dengan baik.”
Abu Yazid menangis ketika ia mendengar kata-kata ini. Kemudian ia mengetuk pintu.
“Siapa itu?” pekik ibunya.
“Orang buanganmu,” jawab Abu Yazid.
Sambil menangis, sang ibu membuka pintu. Pandangan matanya tampak suram.
“Thaifur,” kata sang ibu pada anaknya, “tahukah engkau apa yang telah menyuramkan pandangan mataku? Tangisan. Aku kerap menangis selama terpisah darimu, dan punggung ibu bungkuk dua kali lipat karena menanggung beban kesedihan.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar