Laman

Jumat, 28 Februari 2014

TALWIN DAN TAMKIN


Talwin merupakan sifat orang-orang
yang memliki tingkah laku tahapan.

Tamkin
adalah sifat ahli hakikat.

Seorang hamba yang
masih berjalan sepanjang jalan menuju Allah,...
maka dialah pemilik talwin.
Sebab, dalam
perjalanannya masih menjumpai tahap demi
tahap, berpindah dari satu predikat ke
predikat lain, keluar dari terminal ke
persimpangan jalan. Tetapi jika telah sampai,
mereka akan mencapai ketenangan (tamakkun)
.

Senantiasa rasa cintamu tiba ingin di
suatu tempat
Bimbangkan jiwa, di mana tempat
menetap
Orang yang berada di tahap talwin
selalu mendapat tambahan. Sedangkan pada
tahap tamkin, berarti telah sampai (wushul)
kemudian sambung (ittishal).

Tanda sampai
itu : Ia, dengan keseluruhan dari keseluruhan.

Salah seorang syeikh berkata :
“Berakhirlah penggembaraan para pencari
menuju kemenangan dalam jiwanya. Apabila
telah sampai kemenangan dalam jiwanya,
berarti mereka telah samapi.”

Mereka berharap demikian, sebagai
pengunduran hukum-hukum kemanusiaan dan
termanifestasi oleh kerajaan hakikat. Manakala
hamba menetap abadi dalam kondisi itu,
dialah pemilik tamkin itu.
Syeikh Abu ali-ad-Daqqaq r.a.

berkata : “Musa a.s. adalah pemilik mawam
talwin, kemudian kembali dari mendengarkan
Kalam, dan berharap untuk menutup
wajahnya. Sehingga ada pengaruh bagi
tingkah laku. Sedangkan Nabi kita Muhammad
saw. adalah pemilik tahap tamkin, kemudian
kembali sebagaimana ia pergi. Sebb, apa
yang disaksikan pada malam itu, tidak
berpengaruh. Kisah demikian juga
dimetaforakan pada kisah wanita-wanita yang
melihat Yusuf as. Ketika mereka secara
bersamaan memotong jemari tangannya, saat
melihat raut muka Yusuf as.

Dengan tampang
yang menghanyutkan dan mengejutkan.
Sementara isteri Raja Aziz, jiwanya lebih
sempurna ketimbang mereka dalam
mengekang tragedi tersebut. Kemudian sejak
hati itu ia tidak berubah, karena ia telah
memiliki ketenangan (tamkin) dalam peristiwa
Yusuf as.

Ketahuilah, bahwa perubahan hati
dalam diri hamba karena satu dari dua
persoalan : Kalau tidak karena adanya
kekuatan yang tiba, atau justru karena
kelemahan dirinya. Sedangkan ketenangan
atau kediaman dari hamba juga karena dua
hla : Karena kekuatan atau karea kelemahan
sesuatu yang tiba itu.

Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad.-
Daqqaq r.a. berkata : “Prinsip kaum Sufi
dalam memperbolehkan kelangsungan tamkin,
terpaku pad dua hal. Pertama , tidak ada jalan
lain kepadanya, sebagaimana sabda Rasul
saw.
dalam Hadits Qudsi :
“Apabila kamu mengabdi sebagaimana
adanya kamu dalam kebakaan itu di sisi-Ku,
niscaya para Malaikat akan menjabat tangan
kamu.” (H.r. Handzalah bin ar-Rabi’al Usaidi,
dan ditakhrij oleh Imam Muslim serta Tirmidzi)
.
Sabdanya pula :
“Aku punya waktu (khusus) yang tidak
dapat leluasa di dalamnya kecuali
Tuhanku .” (H.r. Tirmidzi).

Kedua , sah berada dalam kondisi
kelanggengan, mengingta ahli hakikat
melakukan tahapan dari sifat yang
mempengaruhi melalui berbagai jalan.

Sementara kalimat dalam hadits di atas, “ ...
Niscaya para malaikat akan menjabat tangan
kamu.” Sama sekali bukan hal yang mustahil.
Jabat tangan dari Malaikat tidak apda
kalangan pemula, mendasarkan pada Hadits
Nabi saw. “ Sesungguhnya Malaikat
meletakkan sayapnya pada pencari ilmu,
sebagai rasa ridha terhadap apa yang
dilakukan.” (H.r. Tirmidzi, an-Nasa’i Ahmad,
Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Daraquthny dan
Baihaqi).

Sedangkan sabdanya : “Aku punya
waktu (khusus).” Dikondisikan menurut
persepsi pendengar. Namun dalam seluruh
tingkah laku Nabi saw. senantiasa berdiri di
atas hakikat.

Yang pertama , bisa dikatakan : Seorang
hamba, sepanjang masih menaiki tahapan-
tahapan, ia disebut pemilik talwin. IA sah-sah
saja bila predikatnya bertambah dan
berkurang. Apabila telah sampai pada Yang
Haq dengan meninggalkan hukum-hukum
kemanusiaan, Allah mendudukkannya dengan
cara tidak dikembalikan pada penyakit-
penyakit nafsu, maka ia disebut Mutamakkin
dalam haliyah (Perilaku ruhani)-nya menurut
proporsi dan haknya. Kemudain Allah swt.
mendudukkannya pada setiap jiwa, dan tidak
ada batas bagi kekuasaan-Nya.

Karenanya,
jika hamba senantiasa dalam tahap yang
bertambah ia selalu talwin, dan dalam prinsip
haliyah-nya ia tamkin. Selamanya ia
menempati tahapnya lebih tinggi lagi dari
sebelumnya, bahkan lebih tinggi lagi. Karena
tiada lagi pangkal bagi kekuasaan-Nya pada
jenis manapun. Sedangkan orang yang
merasuk dalam musyahadahnya, dan secara
universal relevan dengan rasanya, maka tiada
batas tempat bagi kemanusiaan. Karena itu,
batallah keseluruhan, diri dan rasanya. Begitu
juga berkaitan dengan jagad raya seisinya,
jika kegaiban ini abadi padanya, ia tersinarkan
(mahw). Dan karena itu, tidak ada tahap
talwin maupun tamkin, tidak ada maqam
ataupun haal. Sepanjang ia berada pada
predikat tersebut, ia tak terbebani tugas
(takliff) ataupun pemuliaan. Sungguh, kecuali
jika ia dikembalikan menurut kondisi di luar itu
semua, maka ia berada dalam situasi dimana
dugaan-dugaan makhluk berlaku, terpalingkan
dari posisi tahqiq.
Alalh swt. berfirman :
“Dan kamu mengira mereka itu bangun,
padahal mereka itu tidur dan Kami balik-
balikan mereka ke kanan dan ke kiri.” (Qs. Al-
Kahfi:18).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar