Laman

Jumat, 28 Februari 2014

Mi’raj Abu Yazid Al-Busthami (2)


Abu Yazid mengisahkan sebagai berikut:
“Aku memandang Allah dengan mata keyakinan setelah Dia mengangkatku ke derajat kemerdekaan dari semua makhluk dan setelah Dia memberikan pencerahan padaku dengan cahaya-Nya, menyingkap padaku rahasia rahasia-Nya yang menakjubkan dan memanifestasikan padaku kebesaran ke-’Dia’-an-Nya. Kemudian aku memandang diriku sendiri, dan merenungkan dalam dalam rahasia-rahasia dan sifat-sifatku. Cahayaku adalah kegelapan di sisi cahayaNya; kebesaranku menyusut dan menjadi keburukan di sisi kebesaranNya; kemuliaanku hanyalah kesombongan di sisi kemuliaanNya. Milik-Nya lah segala kesucian, dan milikkulah segala kekotoran.

Saat aku memandang lagi, aku melihat keberadaanku berasal dari cahaya-Nya. Aku sadar bahwa kemuliaanku berasal dari kebesaran dan kemuliaan-Nya. Apa saja yang aku lakukan, aku lakukan dengan kemampuan yang berasal dari kemahakuasaan-Nya. Apa pun yang dilihat oleh mata tubuh fisikku, dilihat melalui-Nya. Aku memandang dengan mata keadilan dan realitas; semua ibadahku merupakan karunia-Nya, bukan dariku, namun aku menyangka, bahwa akulah yang menyembah Nya.

Aku berkata, “Ya Allah, apa ini?”
Dia berkata, “Aku, dan bukan selain-Ku.”
Lalu Dia menjahit mataku, agar tidak menjadi sarana untuk melihat, agar aku tidak dapat melihat. Kemudian Dia mengajarkan akar permasalahan, yakni ke-Dia-an-Nya, pada pandangan mataku. Dia mencerabutku dari keberadaanku, dan membuatku abadi melalui keabadian-Nya, dan Dia memuliakanku. Dia menyingkapkan padaku keesaan-Nya, tak terdesak oleh keberadaanku.

Allah, Sang Kebenaran, meningkatkan realitas dalam diriku. Melalui-Nya aku memandang-Nya, dan aku memandang-Nya dalam realitas.
Di sana aku berdiam sejenak, dan aku menemukan ketenangan. Aku menutup telinga penentangan; aku menarik lidah hasrat ke dalam tenggorok kekecewaan. Aku mengabaikan pengetahuan yang dipelajari, dan mengenyahkan campur tangan jiwa yang mengajak kepada keburukan. Aku tetap diam sejenak, tanpa kelengkapan apa pun, dan dengan tangan kesucian-Nya aku menyapu bid’ah dari jalan akar prinsip-prinsip.
Allah mengasihiku. Dia mengaruniaiku pengetahuan abadi, dan memasang lidah kebaikan-Nya kedalam tenggorokku. Dia menciptakan bagiku mata dari cahaya-Nya, maka aku melihat semua makhluk melalui-Nya. Dengan lidah kebaikan-Nya aku berkomunikasi dengan-Nya, dari pengetahuan-Nya aku memperoleh pengetahuan, dan dengan cahaya-Nya aku memandang-Nya.

Dia berkata, “Wahai engkau yang semua tanpa semua maupun dengan semua, tanpa kelengkapan maupun dengan kelengkapan!”
Aku berkata, “Ya Allah, jangan biarkan aku terperdaya oleh hal ini. Jangan biarkan aku berpuas diri dengan keberadaanku, tidak merindukan-Mu. Lebih baik Engkau menjadi milikku tanpaku, daripada aku menjadi milikku sendiri tanpa-Mu. Lebih baik aku berbicara pada-Mu melalui-Mu, daripada aku berbicara pada diriku sendiri tanpa-Mu.”
Dia berkata, “Mulai sekarang, perhatikanlah hukum (agama), dan janganlah melanggar perintah serta larangan Ku, agar perjuanganmu beroleh rasa syukur Kami.”

Aku berkata, “Aku telah menyatakan keimananku dan hatiku percaya dengan teguh. Jika Engkau bersyukur, lebih baik Engkau bersyukur pada diri-Mu sendiri daripada kepada hamba-Mu; dan jika Engkau menyalahkan, sesungguhnya Engkau Mahasuci dari segala kesalahan.”
Dia berkata, “Dari siapa engkau belajar?”
Aku mengatakan, “Dia Yang mengajukan pertanyaan lebih mengetahui daripada yang ditanya; karena Dia adalah Yang Dirindukan sekaligus Yang Merindu, Yang Bertanya sekaligus Yang Menjawab.”

Ketika Dia telah membuktikan kesucian jiwaku yang terdalam, jiwaku mendengar suara kepuasan-Nya; Dia menyelubungiku dengan keridhaan-Nya. Dia memberi pencerahan kepadaku, dan mengantarkanku keluar dari kegelapan jiwa jasmani dan pelanggaran pelanggaran watak badaniah. Aku sadar bahwa melalui-Nya-lah aku hidup; dan karena karunia-Nya lah aku dapat menghamparkan permadani kebahagiaan dalam hatiku.
Dia berkata, “Mintalah apa saja yang engkau inginkan.”

Aku mengatakan, “Aku menginginkan-Mu, karena Engkau lebih baik daripada karunia, lebih besar daripada kedermawanan, dan melalui-Mu aku telah menemukan kepuasan dalam diri-Mu. Karena Engkau milikku, aku telah menggulung lembaran karunia dan kedermawanan, dan jangan cegah aku dari-Mu, dan jangan tawarkan aku apa yang rendah di hadapan-Mu.”
Sejenak, Dia tidak menjawabku. Kemudian, sambil menyematkan mahkota kemurahan hati di kepalaku, Dia berkata, “Kebenaran yang engkau katakan, dan realitas yang engkau cari, di dalamnya engkau telah melihat dan mendengar kebenaran.”

Aku mengatakan, ‘Jika aku telah melihat, melalui-Mu-lah aku melihat. Dan jika aku telah mendengar melalui-Mu-lah aku mendengar. Pertama Engkaulah yang mendengar, kemudian baru aku mendengar.”
Dan aku memanjatkan banyak pujian kepada-Nya. Karenanya. Dia memberiku sayap keagungan, sehingga aku dapat terbang dalam wilayah kemuliaan dan melihat karya karya-Nya yang menakjubkan.
Melihat kelemahan dan kebutuhanku, Dia memperkuatku dengan kekuatan-Nya dan menghiasiku dengan perhiasan-Nya.
Dia menyematkan mahkota kemurahan hati dikepalaku, dan membukakan pintu istana keesaan bagiku. Ketika Dia melihat bahwa sifat-sifatku menjadi hampa di hadapan sifat-sifat-Nya, Dia menganugerahiku sebuah nama dari kehadiran-Nya dan memanggilku dengan keesaan-Nya. Ketunggalan pun mewujud, dan kejamakan pun lenyap.
Dia berkata, “Keridlaan Kami adalah keridlaanmu, dan keridlaanmu adalah keridlaan Kami. Perkataanmu tidak memuat kekotoran, dan tak ada yang membebanimu dalam ke-’Aku’-anmu.”

Lalu Dia membuatku merasakan tikaman kecemburuan, dan membangkitkanku lagi. Aku bangkit dalam kesucian dari tungku ujian.
Kemudian Dia berkata, “Milik siapakah kerajaan?”
Aku mengatakan, “Milik Mu.”
Dia berkata, “Milik siapakah perintah?”
Aku mengatakan, “Milik Mu.”
Dia berkata, “Milik siapakah pilihan?”
Aku mengatakan, “Milik Mu.”

Karena kata-kata ini sama dengan apa yang telah Dia dengar saat perjanjian awal (zaman Azali, red), Dia berkehendak untuk menunjukkan padaku bahwa bila tanpa kasih sayang Nya, makhluk tidak akan pernah menemukan ketenangan; dan bahwa bila tidak karena cinta Nya, kemahakuasaan Nya dapat menimbulkan kerusakan pada segala hal.
Dia memandangku dengan mata yang meliputi melalui perantara ke-mahapemaksa’-an-Nya; dan sekali lagi, tak ada jejakku yang terlihat.
Dalam kemabukanku, aku menghempaskan diriku ke setiap lembah. Aku meleburkan tubuhku dalam setiap tungku peleburan, dalam kobaran api cemburu.

Aku memacu kuda pencarian dalam padang belantara yang luas; tak ada permainan yang aku lihat yang lebih baik daripada kefakiran yang sangat, tak ada sesuatu yang aku ketahui yang lebih baik daripada ketidakmampuan absolut. Tak ada lampu yang aku lihat yang lebih terang daripada diam, tak ada kata-kata yang aku dengar yang lebih baik daripada kebungkaman. Aku menjadi penghuni istana kesunyian; aku mengenakan pakaian ketabahan, hingga segala persoalan mencapai inti mereka.
Dia melihat lahir dan batinku hampa dari cacat watak badaniah. Dia membuka celah kelegaan dalam dadaku yang kelam, dan memberiku lidah pembebasan dan penyatuan. Maka kini aku memiliki lidah kemuliaan abadi, hati cahaya ilahiah, dan mata karya Ilahi. Dengan pertolongan Nya aku bicara, dengan kekuatan Nya aku menggenggam.

Karena melalui-Nya aku hidup, aku takkan pernah mati. Karena aku telah mencapai tingkatan ini, tandaku kekal, ekspresiku abadi, lidahku adalah lidah penyatuan, jiwaku adalah jiwa pembebasan. Bukanlah dariku aku bicara, aku hanya penyampai belaka; juga bukan melaluiku aku bicara, aku hanya pengingat belaka. Dia menggerakkan lidahku sesuai dengan kehendak-Nya, aku tiada lain hanya penerjemah belaka. Kenyataannya, Dialah Yang berbicara, bukan aku.
Kini, selelah membesarkan aku, Dia berbicara lagi, “Para makhluk ingin melihatmu.”

Aku berkata, “Aku tidak ingin melihat mereka. Namun jika Engkau berkehendak untuk menghadirkanku ke hadapan para makhluk-Mu, aku tidak akan menentang-Mu. Letakkan aku dalam keesaan-Mu, sehingga ketika makhluk-makhluk-Mu melihatku dan memandang karya-Mu, mereka akan melihat Yang Mencipta, dan aku tidak berada di sana sama sekali.”
Dia mengabulkan permohonanku; Dia menyematkan mahkota kemurahan hati di kepalaku, dan membuatku melampaui maqam watak badaniahku.
Lalu Dia berkata, “Datanglah ke hadapan para makhluk-Ku.”
Aku mengambil satu langkah menjauhi Yang Hadir (Allah swt.). Pada langkah kedua, aku terjatuh seketika. Aku mendengar pekikan, “Kembalikan kekasih-Ku, karena dia tidak bisa tanpa-Ku, dia juga tidak mengetahui jalan keselamatan menuju Aku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar