Laman

Jumat, 07 Maret 2014

Bidadari Pun Ngomel


Pagi itu , kedai Cak San belum ada pelanggan yang datang. Kecuali seorang kakek tua yang bertubuh kurus dan berwajah pucat. Badannya gemetaran dan tubuhnya dibungkus sarung sampai menutup kepalanya.

“ Lagi sakit, Mbah..”

“Wajah Mbah kelihatan pucat. Mbah mungkin terserang demam..”

Kakek itu diam saja. Ketika secangkir kopi disodorkan di hadapannya , ia raih cangkir itu segera. Dan suara sruputan itu terasa nikmat sekali.

Pardi dan Dulkamdi datang bersamaan, sepulang dari jama’ah subuh masjid Raudah. Agak jauh dibelakang Kang Soleh dan rombongannya., sedang asyik berbincang . Satu per satu akhirnya mereka memasuki kedai Cak San.

Kakek tua itu menggeser pantatnya menuju sudut mendekati perapian, tempat memanggang pisang bakar. Kehadirannya terasa tak ingin diketahui oleh orang –orang itu. Tapi Dulkamdi menangkap sesuatu yang ganjil kakek itu. Wajahnya yang pucat, tapi menggambarkan senyuman bak mawar pagi.

“ Mbah.., dari mana Mbah, kok saya tidak pernah jumpa, Mbah..”

“ Dari rumahnya Gusti Allah.. Maunya, ya menuju rumah nya Allah. Tapi saya kesrimpet dijalan. Saya baru saja diomeli habis – habisan oleh para bidadari..”

Betapa terkejutnya para hadirin di kedai mendengar jawaban kakek tua itu. Sedang wajah kakek tua itu ekspresinya tetap saja dingin, seperti menyimpan rahasia terdalam.

“ Ke rumah Allah, kok mampir di kedai jelek ini Mbah..” Goda Pardi.

“ Karena saya jengkel sama bidadari itu. Jadi.. lebih baik saya ngopi di kedai ini … ngga papa kan?"

Mendengar jawaban itu , Pardi jadi penasaran. Sebab, semalaman baru saja ia diomeli istrinya, dan pagi – pagi ke kedai Cak San, siapa tahu , dapat hiburan segar yang bisa membugarkan hatinya yang kecut.

“Memang bidadari ada yang ngedumel, Mbah..”

Kakek itu tiba –tiba terdongak dan meledakkan ketawanya sampai napasnya habis. Yang tersisa adalah batu – batuk yang ngikil, akibat tersedak oleh napasnya yang hampir terhenti.

Kang Soleh yang sejak tadi sudah menaruh perhatian pada kakek tua itu, matanya tak berkedip memandangnya.

“ Pasti, si tua ini bagian dari Sirrulah.. (rahasia Allah) yang tersebar dimuka bumi..” katanya dalam hati.

“ Ya bisa ngedumel dan cemburu dan … kalau perlu kamu akan diomeli habis-habisan..”

“Memangnya , Mbah diomeli ?”

“ Wah.. wah… wah.. sudah tiga bulan ini saya tidak bisa tidur..” kata kakek tua itu, yang tidak meneruskan ucapannya.

Pardi, Dulkamdi, dan Kang Soleh terjengak mendengar kisah kakek itu. “ Saya juga tidak doyan makan, paling – paling hanya minum saja. Sekarang ini perut saya terasa lapar sekali setelah di omeli bidadari… Memang.. memang.. itu salah saya sendiri. Tapi.. memang nafsu itu.. nafsu itu..”
Orang – orang pada terdiam

“ Teruskan Mbah…” pinta Pardi.

“ Nafsu itu membuatku lalai. Aku hanya ingin istirahat sejenak denga rasa lelah yang kurebahkan, tiba tiba bidadari itu muncul. Matanya yang tajam penuh amarah dan cemburu, “ Heh , kakek tua.. baeratus-ratus tahun aku merindumu, memujamu, membayangkan drama cinta kita yang mesra dan romantic, tanpa makan, tanpa tidur.. bahkan untuk mimpi pun aku tak mau…kecuali mimpi denganmu wahai kakek tua. Kok tiba – tiba semalam kamu terlelap dalam tidurmu..sementara aku tak memejamkan matamu…” Begitu omelan bidadari itu padaku. Lalu aku terbangun, dan nafasku hampir copot. Aku ketakutan, lari kesana kemari, sampailah aku ke kedai ini….”

Pardi keliahatan bengong melompong mendengar kisah menarik kakek tua ini. Bahkan, Dulkamdi tak kuat menahan harunya, lalu air matanya mengembang dan mulutnya terkunci rapat menahan emosi yang hendak meledak dalam tangisnya.

“Mbah, sampean merindukan bidadari…”

“ Sebenarnya saya tidak membayangkanya, apalagi merindukannya. Tapi saya kasihan melihat bidadari itu. Jadinya saya kasihan pada diri sendiri. Begitu nafsuku ingin menikmati tidurku, bidadari itu mencemburuiku…”

“Okhhhhhhh… saya paham… saya paham… Mbah, tapi Mbah pasti lebih paham…” kata Kang Soleh.

Kang Soleh mendekati si Mbah itu.Ia dekatkan mulutnya ke telinganya, komat kamit membisikkan sesuatu. Ganti si kakek tua itu mendekatkan mulutnya ke telinga Kang Soleh, mulutnya komat – kamit . Lalukeduanya tertawa terbahak – bahak seperti dua orang sahabat lama yang baru saja bertemu. Entah, apa yang mereka katakana berdua itu. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar