Laman

Jumat, 07 Maret 2014

Allah pun Berdzikir


Keseimbangan jiwa adalah keseimbangan antara harapan akan limpahan cinta-Nya dan rasa takut kepada-Nya. Antara keleluasaan karunia, anugerah, kelembutan, dan belaian-Nya, dengan keperkasaan, kedahsyatan dan genggaman-Nya. Keseimbangan yang memekarkan saya-sayap kemesraan Ilahi, dengan kharisma keagungan dan kekuasaan-Nya.
Para kekasih Allah berlomba-lomba membubungkan layang-layang ruhnya sampai puncak-puncak langit, sampai menyentuh dinding-dinding Arasy, bahkan mereka kendalikan layang-layang itu dari Arasy-Nya. Mereka, bahkan ikut menjadi layang-layang yang terbang tinggi, dengan sayap-sayap yang dimekarkan dalam dekapan kefanaan.
Syiar itu bukan pada yang tampak di permukaan, atau gebyar-gebyarnya. Bukan. Syiar itu muncul dari kedalaman kalbu, yang disebut dalam Al-Qur’an sebagai min-taqwal qulub. Jadi percuma saja, mengibarkan agama, malah kulit-kulitnya. Kulit-kulit itu hanyalah bungkus, kadang dieprlukan, kadang tidak.
Orang boleh berdzikir pakai tasbih, boleh tidak. Apalagi dzikir itu dalam nurani jiwa kita. Tasbih itu tidak perlu. Kalau melatih diri agar kita istiqamah, bolehlah kita menghitung biji tasbih untuk menyertai bacaan-bacaan dzikir kita.
Syekh Abu Hasan Asy-Syadzili membagi empat model dzikir. Pertama, dzikir yang kita ucapkan. Kedua, dzikir yang membuat diri kita ingat akan nikmat/siksanya. Ketiga, dzikir yang senantiasa mengingatkan bahwa segala kekuatan dari Allah dari nafsu walaupun Allah juga yang membuat. Keempat, adalah dzikirnya Allah kepada hamba-Nya.
Allah itu hakikatnya Yang Berdzikir. Itu hanya bisa dirasakan oleh mereka yang berdzikir dalam fana’ul fana’. Dzikir mereka yang sudah abadi dalam Ilahi. Sebab pada diri sang hamba tidak ada lagi yang menggantung atau melekat, selain Allah belaka. Dirinya sendiri saja sudah tiada, bahkan kesadaran akan ketiadaannya juga sudah tak ada. Semuanya Allah. Tak ada yang lain-Nya, tak ada. Maka pada saat itulah siapa sebenarnya yang berdzikir dan siapa yang didzikir tidak ada lagi bedanya. Pengingat dan yang diingat tak bisa dipisahkan.
Ikhlas itu adalah rahasia dari Rahasia Ilahi yang dititipkan pada hamba-Nya yang dicintai-Nya, lalu hamba itu terputus dari segala hal selain Allah saja.
Ikhlas itu ada dua, yaitu Mukhlisin dan Mukhlasin. Yang pertama melakukan melalui segala bentuk upaya sampai bisa ikhlas benar. Yang kedua, tidak mencari ikhlas, karena ikhlas sudah ditinggalkan jauh-jauh. Itulah yang disebut Mukhlasin. Artinya sudah ikhlas dari wacana dan kata-kata ikhlas itu sendiri. Ia bebas dari belenggu psikologis ikhlas. Dia tidka mau tahu tentang makna ikhlas, yang penting bisa total dengan Allah.
Minimal ikhlas itu dibagi tiga : Ikhlasnya Mukhlisin, yaitu ikhlas untuk beramal, jauh bebas dari makhluk, semata demi Allah. Kedua ikhlasnya Muhibbin (para pecinta Allah) yaitu ikhlas tanpa berharap pahala, surga, atau apa pun kecuali hanya demi cintanya kepada Rabb. Dan ketiga ikhlasnya Muhawwidin, yaitu keikhlasan dari apa yang disebut ikhlas. Sang hamba merasa seakan-akan menyatu dengan-Nya, dan segalanya tidak bisa lepas dari-Nya.
Banyak orang-orang berbuat baik malah tertimpa bencana. Dan banyak pula orang yang berbuat jahat malah sukses. Dimana keadilan Allah ?
Pernah ada cerita di pengajian. Suatu saat Malaikat protes kepada Allah gara-gara ada hamba-Nya yang berdosa, ahli KKN, ahli pemerkosa, dan pembunuh, tapi begitu berdo’a kepada Allah lengsung dikabulkan. Sedang yang satu lagi, ada orang saleh yang berdo’a bertahun-tahun tidak dikabulkan. Kira-kira malaikat itu protes, dimana keadilan Allah ?
Allah menjawab, “Aku segera kabulkan do’a pendosa, pemaksiat itu, karena Aku bosan mendengar keluhannya. Jadi biar tidak mengeluh, langsung Aku kabulkan saja. Sedangkan orang saleh itu Aku lamakan pengabulannya, karena do’a-do’anya begitu indah Kudengar, begitu mesra Kusimak.” Malaikat pun terdiam dan memahaminya.
Sejak Nabiyullah dan Rasulullah diangkat menjadi Nabi dan Rasul, sejak saat itu beliau adalah Nabi dan Sufi dan Rasul yang Sufi. Nubuwwah dan Riasalah Islam tentu secara keseluruhan mengandung dimensi sufistik semuanya. Kecuali mereka yang hanya melihat Islam dari bentuk dan kulitnya saja, akan menolak semua ini. Singkatnya, sejak Rasulullah menerima wahyu pertama di Gua Hira’, saat itulah secara deklaratif misi sufi menjadi substansi wahyu itu sendiri. Rasulullah ketika itu diminta membaca oleh Jibril sampai tiga kali. Dan Rasulullah merasa tidak bisa membaca. Sebab yang bisa hanyalah Allah. Namun ketika Jibril meneruskan,”Bacalah, dengan nama Tuhanmu...dst. Rasulullah langsung membacanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar