Laman

Selasa, 06 Mei 2014

Tuna Netra berjiwa sufi


KANG SEJO "MELIHAT" TUHAN
Bukan salah saya kalau suatu hari saya
ceramah agama di
depan sejumlah mahasiswa Monash yang, satu di antaranya,
Islamnya menggebu.
Artinya, Islam serba berbau
Arab. Jenggot mesti panjang. Ceramah mesti merujuk ayat, atau Hadis. Lauk mesti halal meat. Dan, semangat mesti
ditujukan buat
meng-Islam-kan orang Australia. Tanpa itu
semua jelas tidak Islami.
Saya pun dicap tidak Islami. Iman saya campur
aduk dengan
wayang. Duh, kalau pakai kaca mata Geertz,
seislam-islamnya
saya, saya ini masih Hindu.
Memang salah
saya, sebab ketika
itu saya main ibarat: Gatutkaca itu sufi. Ia
satria-pandita.
Tiap saat seperti tidur, padahal berzikir qolbi.
Jasad di bumi, roh menemui Tuhan. Ini turu lali,
mripat turu, ati tangi: mata tidur hati melek, seperti olah batin dalam dunia
kaum sufi.
Biar masih muda, hidup Gatutkaca seimbang, satu kaki di dunia satu lagi di akhirat. Mirip Nabi Daud: hari
ini puasa, sehari esoknya berbuka. Dan saya pun dibabat ...
Juli tahun lalu saya dijuluki Gus Dur sebagai orang yang
doanya pendek. Bukan harfiah cuma berdoa sebentar.
Maksudnya, tak banyak doa yang saya hafal.
Namun, yang tak
banyak itu saya amalkan.
"Dan itu betul. Artinya, banyak ilmu ndak
diamalkan buat
apa?" kata Pak Kiai sambil bergolek-golek di Hotel
Sriwedari, Yogya.
Apa yang lebih indah dalam
hidup ini, selain amal yang memperoleh pengakuan Romo Kiai? Saya merasa
hidup jadi kepenak, nikmat.
Dalam deretan Sufi, Al Adawiah disebut "raja."
Wanita ini hamba yang total. Hidupnya buat cinta.
Gemerlap dunia tak
menarik berkat pesona lain: getaran cinta ilahi.
Pernah ia berkata, "Bila Kau ingin menganugerahi aku
nikmat duniawi,
berikan itu pada musuh-musuh-Mu. Dan bila
ingin Kau limpahkan padaku nikmat surgawi,
berikanlah pada
sahabat-sahabat-Mu. Bagiku, Kau cukup."
Ini tentu berkat ke-"raja"-annya. Lumrah. Lain
bila itu terjadi pada Kang Sejo. Ia tukang pijit -maaf,
Kang, saya
sebut itu- tunanetra.
Kang Sejo pendek pula doanya. Bahasa Arab
ia tak tahu.
Doanya bahasa Jawa: Gusti Allah ora sare(Allah tak pernah
tidur): potongan ayat Kursi itu. Zikir ia kuat.
Persoalan hidul seruwet apa pun yang dihadapi, wiridannya satu: "Duh,
Gusti, Engkau
yang tak pernah tidur ..." Cuma itu.
"Memang sederhana, wong hidup ini pun dasarnya juga
sederhana," katanya, sambil memijit saya.
Saya tertarik cara hidupnya. Saya belajar darinya.
Guru saya ya orang macam ini, antara lain. Rumahnya di
Klender.
Kantornya, panti pijat itu, di sekitar Blok M.
Ketika saya tanya, apa yang dilakukannya di sela memijit,
dia bilang, "Zikir Duh, Gusti ..." Di rumah, di jalan, di
tempat kerja,
di mana pun, doanya ya cuma itu Duh, Gusti ...
Satu tapi jelas di tangan.
"Berapa kali Duh Gusti dalam sehari?" tanya
saya.
"Tidak saya hitung."
"Lho, apa tak ada aturannya? Para santri kan
dituntun kiai,
baca ini sekian ribu, itu sekian ribu," kata saya
"Monggo mawon (ya, terserah saja)," jawabnya.
"Tuhan memberi
kita rezeki tanpa hitungan, kok. Jadi, ibadah
pun tanpa hitungan."
"Sampeyan itu seperti wali, lo, Kang," saya memuji.
"Monggo mawon. Ning (tapi) wali murid." lalu kang sejo ketawa.
Diam-diam ia sudah naik haji. Langganan
lama, seorang
pejabat, mentraktirnya ke Tanah Suci tiga tahun
yang lalu.
'Senang sampeyan, Kang, sudah naik haji?"
"Itu kan rezeki. Dan rezeki datang dari sumber yang tak terduga," katanya.
"Ayat Al Quran menyebutkan itu, Kang."
"Monggo mawon. Saya tidak tahu jawab kang sejo ."
Ketularan bau Arab, saya tanya kenapa doanya
bahasa Jawa.
"Apa Tuhan tahunya cuma bahasa Arab?"timpal kang sejo "
"Kalau sampeyan dzikir Duh Gusti di bis apa kta
penumpang lain ..."
"Dalam hati, Mas. Tak perlu diucapkan."
Ia, konon, pernah menolak zakat dari seorang
tetangganya.
Karena disodor-sodori(di paksa agar menerima), ia menyebut, "Duh,
Gusti, yang tak
pernah tidur ..."
Pemberi zakat itu, entah
bagaimana, ketakutan. Ia mengaku uang itu memang kurang halal.
Ia minta maaf.
"Mengapa sampeyan tahu uang zakat itu
haram"? tanya saya.
"Rumah saya tiba-tiba panas. Panaaaas sekali."
"Kok sampeyan tahu panas itu akibat si uang haram?"
"Gusti Allah ora sare, Mas," jawabnya.
Ya, saya mengerti, Kang Sejo. Ibarat berjalan,
kau telah
sampai. Dalam kegelapan matamu kau telah
melihatNya. Dan
aku? Aku masih dalam taraf terpesona. Terus-
menerus
Kompasiana 1991

Tidak ada komentar:

Posting Komentar