Laman

Selasa, 05 Januari 2016

Iman kepada Allah

Iman kepada Allah yang di praktekkan orang dewasa tidaklah sama dengan yang di ucapkan anak kecil, iman bukanlah semata-mata percaya, iman adalah wujud dari pengakuan, baik ucapan maupun yang ada dalam hatinya, dengan menguasai betul pengetahuan tentang apa yang di imaninya serta di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Tuhan=baqa=abadi, tanpa antara, tidak di mana atau dimana tapi ada di mana-mana meliputi alam semesta, bukan ini bukan itu, terlepas dari ruang dan waktu serta tidak bisa dijangkau oleh akal pikiran dan khayalan.
Jangan terjebak dengan istilah, mau disebut apa saja asalkan sifat-sifat yang dikemukakan itu sifat yang sepatutnya bagi tuhan, tidak masaalah,
Inti beriman kepada Allah adalah agar kita bisa meningkatkan level spiritual kita dari satu tingkat ketingkat berikutnya hingga mencapai insanul kamil agar tuhan bisa terwujud dalam aplikasi kehidupan kita sehari-hari.
Iman kepada Malaikat
Iman kepada malaikat bukan berarti kita percaya bahwa ada mahluk halus yang mempunyai kekuatan lebih daripada manusia, kalau begini cara berfikirnya sama dengan kita percaya adanya setan atau sebangsa mahluk halus lainnya yang juga mempunyai kekuatan “super”. Malaikat tunduk dan bersujud kepada manusia karena di dalam diri manusia ada diri rahasia tuhan, kita harus memahami hubungan antara manusia dengan malaikat karena malaikat bukanlah sosok mahluk yang berada diluar diri manusia.
Bagi mereka yang bisa mensucikan hatinya malaikat akan bersujud dan turun kedalam dirinya dengan menyatakan sebagai wali atau aulia atau sahabat kita untuk memberikan bimbingan sehingga kita mendapatkan ketenangan hidup. Hakekat malaikat adalah pelindung=penjaga=pengawal=sahabat kita, bukankah dulu di alam shagir (kandungan ibu) mereka sudah di tugaskan untuk menjaga kita dan mengawal kita sampai ke dunia ini? Setelah kita sampai ke dunia mereka pun gaib.
Iman kepada Kitab-Kitabnya
Yang ada dipikiran kita ketika iman kepada kitab-kitabnya adalah taurat, zabur, injil dan alquran, ini pemikiran yang sempit seakan-akan nabi itu hanya ada di timur tengah saja. Yang namanya tuhan adalah untuk manusia sedunia bukan untuk bangsa tertentu saja, bahwa tuhan telah mengirimkan rasulnya pada setiap umat yang ada di muka bumi ini.
Mengimani kitab-kitabnya artinya memercayai semua jenis kitab yang telah DIA turunkan, hakekat kitab-kitab itu bukan kitab yang sudah ditulis diatas kertas, kalau begini cara pikirnya berarti kita telah terjerumus kedalam pemberhalaan teks. Bukankah kitab-kitab yang ditulis itu sudah banyak menimbulkan perselisihan? Sebab, makna yang ada di dalam teks itu tergantung kepada pembacanya artinya latar belakang si pembaca akan ikut mewarnai makna ayat yang dibacanya.
Dulu waktu kita berada di alam shagir pada saat waktunya tiba untuk kita keluar ke dunia ini, kita merasa cemas dan takut karena harus berpisah dengan saudara rahasia kita juga karena akan menghadapi kehidupan didunia, untuk menghilangkan rasa itu maka dibelahlah dada kita untuk dimasukan kitab ini. Hakekat kitab=iman=ilmu jadi setiap orang telah mempunyai kitabnya sendiri-sendiri.
Iman kepada Rasul-Rasulnya
Secara awam iman kepada rasul-rasulnya adalah percaya bahwa tuhan telah mengirimkan rasul-rasulnya didunia, sementara rasul sudah berakhir pada nabi Muhammad maka yang ada tinggal kepercayaan belaka. Kalau cara pikir kita seperti ini maka ini hal yang sudah tidak aktual lagi.
Karena rasul sudah tidak ada maka penggantinya adalah ulama-ulama, bisa dibayangkan bila pendapat ulama dianggap sebagai petunjuk rasul. Apa yang terjadi bila dipahami demikian? Tidak perlu saya jelaskan lagi karena kita bisa lihat sendiri kenyataannya didunia ini.
Seharusnya rasul yang diimani tetap aktual dan hidup bukan rasul yang mati, bukankah dalam setiap sholat kita mengucapkan salam kepada rasul kita? Bukankah yang hanya bisa mendengar salam itu yang hidup? Dan bukankah kitapun telah membaca balasan dari salam yang kita sampaikan kepada rasul kita? Apakah ini semua sekedar basa-basi dalam sholat? Sesungguhnya ini semua menunjukkan adanya hubungan langsung sesama yang hidup.
Iman kepada Hari Akhir
Kebanyakan orang mengira bahwa hari akhir itu alam semesta ini akan mengalami kehancuran, lalu setelah itu alam baru dibangun dan dilakukan seleksi siapa yang masuk surga dan siapa yang masuk neraka.
Kembali kepada tuhan tidaklah serentak melainkan satu per satu seperti dilahirkan, akhirat bukanlah alam yang baru nanti adanya, saat ini pun sudah ada, mereka yang meninggal sebagai saksi kebenaran, dan mereka itu adalah kita.
Jika yang menjadi dasar keyakinan kita bahwa langit dan bumi secara fisikal ini hancur lebur adalah karena adanya beberapa ayat yang mengatakan demikian, itu karena kita mengartikan ayat itu secara harfiahnya, yang akhirnya kita menempatkan kiamat ada diluar diri, sementara kita bisa melihat contoh orang yang sedang menghadapi sakratulmaut tanpa menguasai ilmu sakratulmaut, bagaimana gambaran alam yang ada dipikran dia saat itu?
Didalam alquran dinyatakan, bahwa Ibrahim diakhirat termasuk orang-orang yang saleh artinya di akhiratpun banyak hal yang harus dikerjakan tidak bermalas-malasan menikmati rezeki, artinya lagi beliau ada di alam akhirat sedang giat bekerja untuk kemaslahatan hidup.
Iman kepada Takdir
Iman kepada takdir secara tersurat tidak ada dalam alquran, akhirnya kepercayaan kepada takdir ini membelah umat misalnya, kelompok fatalistic, kehendak bebas, kesimbangan iktiar dan takdir dll.
Terlepas dari semua faham diatas bahwa manusia insan kamil merupakan tajalli dari tuhan, jadi manusia sebenarnya wadah bagi qodrat dan iradatNYA, manusia harus bisa meningkatkan kwalitas hidupnya hingga esensi ketuhananlah yang ada pada dirinya, sebagaimana ada hadist yang mengatakan bila tuhan mencintai hambanya maka dia akan menjadi penglihatan, pendengaran, ucapan dan perilaku jadi setia sepenuhnya merupakan pegangan hidup sehingga tidak di ombang-ambing dengan berbagai pandangan tentang takdir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar