Laman

Selasa, 12 April 2016

Arti Ikhlas


Ikhlas apakah Anda sudah melakukan Ikhlas dengan benar? Ikhlas berasal dari kata akhlasha yang merupakan bentuk kata kerja lampau transitif yang diambil dari kata kerja intransitif khalasha ( ﺧَﻠﺺَ) dengan menambahkan satu huruf ‘alif ( ﺃ ). Bentuk mudhâri‘ (saat ini) dari akhlasha ( ﺍَﺧْﻠَﺺَ ) adalah yukhlishu (ﻳُﺨْﻠِﺺُ) dan bentuk mashdarnya yaitu ikhlash ( ﺇِﺧْﻼﺹ ).
Kata tersebut berarti, murni, bersih, jernih, tanpa campuran. Ikhlas adalah melakukan amal perbuatan syariat yang ditujukan hanya kepada Allah secara murni atau tidak mengharapkan imbalan dari orang lain. Perbuatan ikhlas dibarengi pula dengan keyakinan atas perbuatannya dan tidak memiliki keinginan untuk menarik kembali apa yang telah ia lakukan.
Amal perbuatan syariat pun terbagi menjadi 2, yaitu usaha lahiriah dan batiniah (doa). Hingga jelaslah perbedaan antara ikhlas dan ridho. Kalau ikhlas harus dimulai dengan amal perbuatan syariat seperti membantu, berusaha, berdoa, dan lainnya sedangkan ridho adalah rela menerima qodha-qodhar dan meyakini bahwa apa yang terjadi adalah yang terbaik menurut-Nya. Ikhlas bersifat Aktif dengan melakukan perbuatan ditujukan kepada Allah, secara lahiriah dan batiniah. Sebuah perbuatan yang dilakukan secara ikhlas namun perbuatan tersebut tidak menepati kebenaran, maka amal perbuatan tersebut tidak diterima.
Sebaliknya pula bila menepati kebenaran, namun dilakukan dengan tidak ikhlas maka amal tersebut pun memiliki kecacatan. Apa yang dimaksud dengan menepati kebenaran adalah dengan mengikuti Al Qur’an dan sunnah. Ikhlas sebaiknya dilakukan dengan berusaha secara lahiriah dan batiniah secara bersamaan. Usaha lahiriah adalah berusaha dengan sungguh-sungguh secara ikhlas, sedangkan usaha batiniah adalah berdoa dengan sungguh-sunguh secara ikhlas pula. Bila hanya usaha lahiriah atau usaha batiniah saja yang dilaksanakan, maka terdapat ketimpangan. Lawan dari ikhlas dalah riya’ yaitu melakukan amal perbuatan dengan tujuan agar dilihat orang dan mengharapkan pujian atau balasan dari orang lain. Riya’ berasal dari kata ro’a (ﺭَﺃﻯ) yang berarti melihat, atau mengatur sesuatu agar dilihat orang. Usaha lahiriah: berusaha dengan sungguh-sungguh secara ikhlas Setelah menempuh tahapan ridho dalam qodha dan qodar- Nya, kita juga harus dapat memperbaiki diri kita sebaik- baiknya dalam menghadapi cobaan. Bila cobaan tersebut berupa musibah kematian sanak saudara, maka kita wajib ridho akan ketetapan Allah, bertakziah kepada keluarga yang sedang dirindung duka dan membantu semampunya. “
Apabila meninggal anak seorang hamba, maka Allah SWT berkata kepada malaikat: Apakah kamu telah mencabut roh putra hambaKu. Jawabnya: Ya. Apakah kamu telah mengambil buah hatinya ? Jawabnya: Ya, benar. Maka Allah berkata: “Lalu apa yang diucapkan oleh hambaKu?. Malaikat berkata: “Dia memuji- Mu dan mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un. Maka Allah SWT berkata: “Bangunkan untuk hambaKu tersebut sebuah rumah di surga dan beri nama tempat itu Baitul Hamdi”. (H.R. Turmudzi, dia berkata: Hadis Hasan) Bila cobaan tersebut adalah kemaksiatan yang berada di diri kita, maka harus berusaha untuk memperbaikinya menuju aturan syariat yang lurus. Bila cobaan tersebut adalah menurunnya hasil usaha kita, maka cobalah lebih pintar mencari penyebabnya kemudian mencoba mengatasi masalah tersebut. Bila cobaan tersebut berupa musibah kehilangan pekerjaan, maka kita harus tetap berusaha dengan jalan apapun asalkan halal.
Bila telah mendaftar pekerjaan tapi tidak diterima, kita masih bisa berwiraswasta dengan atau berjualan. Bila tidak ada modal untuk memulai usaha, maka mulailah usaha dengan modal yang paling kecil. Sebenarnya hal yang merintangi kita dalam usaha bukanlah modal, tapi kemauan dan gengsi dari dalam diri kita sendiri. Hal itulah yang harus kita perangi. Sesungguhnya kemenangan bukan terletak pada hasil materi yang berhasil kita peroleh, namun kemenangan adalah bila kita dapat mengalahkan diri kita, memasung iblis di dalam hati, dan berjuang atau berusaha secara lahir dan batin. Usaha batiniah: berdoa dengan sungguh-sungguh secara ikhlas Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya). (Q.S.27/ An Naml:62) “Do’a adalah otaknya (sumsum/ inti nya) ibadah.(HR. Tirmidzi)” “Do’a adalah senjata seorang mukmin dan tiang (pilar) agama serta cahaya langit dan bumi. (HR. Abu Ya’la)” Setelah berusaha sebaik- baiknya, maka hal tersebut akan sia-sia bila kita tidak berdoa dengan sungguh- sungguh. Janganlah kita takabur dengan mengatakan bahwa kita layak mendapatkan sesuatu atas jerih payah kita sendiri.
Karena yang menentukan semuanya adalah Allah Azza wa Jalla. “Rasulullah saw. berkata: Wahai Abdullah bin Qais! Maukah kamu aku tunjukkan kepada salah-satu kekayaan surga yang tersimpan? Aku menjawab: Tentu, wahai Rasulullah. Beliau bersabda: Yaitu ucapan: ‘laa haula wa laa quwata illa billah’ (Tidak ada daya dan kekuatan kecuali berkat bantuan Allah). (Shahih Muslim No.4873)” Bagaimanapun gigihnya usaha kita hingga akhirnya mencapai keberhasilan, semata-mata berkat Allah SWT. Dan Allah berhak menambah, menetapkan, bahkan mengurangi rezeki kita di dunia semata-mata untuk kebaikan diri kita sendiri .
Ilmu Allah tak terbatas dibanding logika sempit manusia, yang mengatakan bahwa semakin “banyak rezeki akan semakin baik”, karena bisa saja dibalik rezeki yang berlimpah di dunia justru akan menghambat jalan kita di akhirat kita kelak. Berdoa yang utama dilakukan adalah berdoa setelah shalat wajib maupun shalat sunnah. Kemudian doa pada waktu- waktu tertentu. “Rasulullah SAW ditanya, “Pada waktu apa do’a (manusia) lebih didengar (oleh Allah)?” Lalu Rasulullah SAW menjawab, “Pada tengah malam dan pada akhir tiap shalat fardhu (sebelum salam).”
IKHLAS
Posting dengan judul tentang ikhlas diawali dengan membuka Surat Shaad (QS, 38) ayat 71 S.D 83, yang terjemahannya ayat per ayat sebagai berikut : Ayat 71:(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah”.
Ayat 72:Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan) Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya”.
Ayat 73:Lalu seluruh malaikat itu bersujud semuanya.
Ayat 74:kecuali iblis; dia menyombongkan diri dan adalah dia termasuk orang-orang yang kafir. Ayat 75:Allah berfirman: “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang- orang yang (lebih) tinggi?”.
Ayat 76:Allah berfirman: “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang- orang yang (lebih) tinggi?”.
Ayat 77:Allah berfirman: “Maka keluarlah kamu dari surga; sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk, Ayat
78:Allah berfirman: “Maka keluarlah kamu dari surga; sesungguhnya kamu adalah orang yang terkutuk, Ayat
79: Iblis berkata: “Ya Tuhanku, beri tangguhlah aku sampai hari mereka dibangkitkan”. Ayat 80:Allah berfirman: “Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh,
Ayat 81:sampai kepada hari yang telah ditentukan waktunya (hari kiamat)”.
Ayat 82:Iblis menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, Ayat 83:kecuali hamba-hamba- Mu yang mukhlis di antara mereka. Ayat-ayat dalam Surat Shaad tersebut di atas, adalah merupakan fragmentasi dialog antara Allah SWT dengan Iblis pertama (Izazil) intinya antara lain, tentang penciptaan manusia, penolakan Iblis untuk bersujud kepada manusia karena merasa dirinya lebih baik (penolakan perintah Allah), pengusiran dari surga, penangguhan hingga hari kiamat, dan komitmen Iblis yang akan menyesatkan manusia kecuali hamba Allah yang mukhlis (ikhlas).
Khusus yang berkaitan dengan ikhlas (mukhlis) tercermin pada ayat 83 Surat Shaad (QS, 38) yang intinya antara lain komitmen Iblis, yang menyatakan bahwa ia btidak akan menyesatkan (menggoda) hamba-hamba Allah yang mukhlis (ikhlas), atas dasar ayat tersebut timbul suatu pertanyaan, “Apa arti ikhlas sesungguhnya sehingga iblis pun tidak berani menyesatkan (menggoda) hamba-hamba Allah yang ikhlas?”. Berkaitan dengan kata ikhlas, orang-orang terkadang seringkali mencari definisi atau pengertian tentang ikhlas dengan logika yang terbatas, dan memaksakan agar dirinya seakan-akan telah paham tentang ikhlas tersebut. Padahal kita tahu dengan logika, akal, akal dan rasio, adalah sama seperti mata kita terbentur kepada keterbatasan, sebagai contoh kita memandang laut dan langit, sejauh mata memandang seolah- olah keduanya bersatu, akan tetapi kenyataannya tidak begitu, inilah dikarenakan oleh keterbatasan panca indera kita. Dari berbagai macam fenomena yang ada terlihat, bahwa masyarakat kita selalu mencari persamaan-persamaan tentang arti ikhlas secara sembarangan tanpa bersandar pada dalil-dalil yang telah ada, padahal kita percaya bahwa Al Qur’an merupakan suatu standar baku buat pedoman orang-orang yang beriman.
Oleh karenanya, kita seringkali terjebak pada norma- norma umum yang menjadi tradisi, atau kebiasaan walaupun terkadang sangat jauh dari kebenaran yang hakiki. Dalam Al Qur’an Allah SWT telah menetapkan definisi atau pengertian yang nyata tentang apa arti ikhlas, sebagaimana dalam Surat Al Ikhlas (QS, 112 :1 s.d 4) sebagai berikut: Ayat 1: ﻗﻞ ﻫﻮ ﺍﻟﻠﻪ ﺃﺣﺪ Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Ayat 2: ﺍﻟﻠﻪ ﺍﻟﺼﻤﺪ Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Ayat 3: ﻟﻢ ﻳﻠﺪ ﻭﻟﻢ ﻳﻮﻟﺪ Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Ayat 4: ﻭﻟﻢ ﻳﻜﻦ ﻟﻪ ﻛﻔﻮﺍ ﺃﺣﺪ dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia”. Pengertian kata ikhlas yang terkandung dalam ayat-ayat Surat Al Ikhlas (QS, 112) tersebut di atas, secara definitif dan konprehensif serta spektrumnya sangat luas, yaitu dimana ikhlas disitu secara esensial mengandung pengertian bebas dari syirik, yang artinya seseorang yang hendak melakukan sesuatu perbuatan atau ibadah tidak ada rekayasa, tendensi, intrik-intrik, motivasi, atau niat yang lain kecuali semata-mata hanya mengharapkan keridhaan Allah SWT.
Seperti yang dikemukakan oleh Sayidina Ali, “ Ya Allah aku mengabdi kepadaMu bukan karena aku takut kepada neraka- Mu, bukan pula aku rakus terhadap surga-Mu, melainkan aku mengabdi kepadaMu, karena memang Engkau pantas untuk kuabdi”. Selanjutnya sebagai contoh, ketika Rasulullah SAW mengadakan sayembara, siapa yang paling dulu selesai khotmil Qur’an, ternyata Sayidina Ali ra yang terlebih dahulu menyelesaikan sesingkat- singkatnya, sementara yang lainnya masih tadarus membaca Al Qur’an dengan khusuk. Lalu Ali mengacungkan jari telunjuknya, “Ya Rasulullah aku telah selesai mengkhatamkan Al Qur’an ini” Rasulullah SAW pun bertanya, “Wahai Ali bagaimana mungkin kau menyelesaikannya hanya dalam waktu sesaat?”, Ali pun menjawab, “Bukankah engkau pernah bersabda ya Rasulullah, “Barangsiapa yang membaca Surat Al Ikhlas tiga kali maka sama dengan nilainya khatam Qur’an”, “Ya” jawab Rasulullah SAW membenarkan. Apabila kita perhatikan hadits di atas, maka begitu berartinya Surat Al Ikhlas, yang notabene terdapat kalimat Al Ikhlas, sehingga pada ayat terakhir surat ini dapat diambil kesimpulan, bahwa Allah SWT tidak ingin dibagi-bagi cintanya kepada hambaNya, Allah akan merasa cemburu manakala ciptaanNya dicintai secara berlebihan. Pada penghujung Surat Al Ikhlas terdapat suatu kesimpulan, “Walam Yakullahu Kufuan Ahad”, ayat ini identik dengan sabda Rasulullah SAW, “Laisa Kamitslihi Syaaiiun” yang mengandung pengertian “tidak ada sesuatu yang menyerupai Allah”.
Jadi jangan coba-coba melakukan pengabdian- pengabdian kepadaNya dengan cara membagi kepada makhlukNya. Beberapa contoh menurut akhli tauhid,
a. Apabila seseorang sedang melakukan tawaf lalu terbesit dihatinya ingat kepada orang lain, yaitu anak isteri, harta benda, perusahaan, sawah dan ladang, maka tawafnya dianggap gugur, karena sesungguhnya Allah tidak ingin diduakan (disekutukan) dalam pengabdian atau peribadahan tadi;
b. Apabila seseorang yang mengamalkan hartanya karena ingin mendapat pujian, maka amalannya gugur seperti debu terbang ditiup angin;
c. Imam dalam salat terbesit dihatinya ingin dianggap jamaahnya sebagai sebagai akhli Al Qur’an dengan membaca surat dengan ayat-ayat yang panjang, maka inipun salatnya dianggap gugur;
d. Seseorang yang berdzikir secara masal, kemudian menangis secara bersama-sama agar dianggap orang yang khusuk beribadah atau dianggap akhli dzikir, maka ini bukan saja gugur tetapi sudah mengarah ke riya, sedangkan riya adalah semi syirik dan syirik berlawanan dengan ikhlas. Apabila kita telusuri dari berbagai uraian dan contoh di atas, bahwa ikhlas adalah merupakan sesuatu yang pada hakikatnya kembali kepada Allah bersandar kepada Allah, sehingga Iblis takut kepada hamba-hamba yang muklis yang senantiasa berserah diri dengan bersandar kepada Allah dan Iblis tahu bahwa Allah adalah zat yang Maha Tinggi tiada tara.
Sangat sukar bagi Iblis untuk menyesatkan (menggoda) hamba-hamba Allah yang ikhlas, karena ciri-ciri orang yang ikhlas meliputi, bahwa : – Ia tidak pernah berharap selain kepada Allah; – Ia beribadah dan beramal hanya untuk Allah semata; – Ia tidak mengenal yang namanya pamrih atau upah; – Ia tidak berharap populer atas amal ibadahnya; – Ia tidak pernah ingin merasa dipuji orang; – Ia tidak pernah merasa kecewa terhadap apa-apa yang sekiranya pernah menyakitkan bagi dirinya; dan juga – Ia tidak mudah bangga apabila disanjung atau dipuji. Rasul dan Nabi yang amalannya selalu ikhlas, dan tidak pernah berharap sedikitpun terhadap apa yang dirisalahkannya, sebagai contoh Nabi Ibrahim a.s misalnya, ia yang begitu tegar dalam menghadapi musuh- musuhnya walaupun dibakar api sekalipun, diperintahkan menyembelih putranya yang tercinta (Ismail), Nabi Ibrahim a.s dengan ikhlas patuh terhadap apa yang telah diperintahkan Allah SWT kepadanya, walaupun Iblis sempat menggoda tapi akhirnya Iblis menyerah kalah, dalam percontohan ini jelas bahwa Iblis tidak akan pernah bisa menyesatkan (menggoda) hamba-hamba Allah yang Ikhlas. Dari pengalaman-pengalaman para pembawa risalah yang antara lain telah diuraikan di atas, marilah kita belajar ikhlas dimana saja, kapan saja serta kepada dan bersama siapa saja. Semoga bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar