Laman

Selasa, 12 April 2016

Tajalli Allah


Tajali
Mengenai tajali Allah, bisa saja kepada siapa saja. terutama pada rasul-rasul, nabi-nabi, dan wali-wali-Nya. atau kepada siapapun yang dikehendakiNya. Apabila Allah bertajalli pada hambanya yang Ia kasihi, maka tangan, kaki, mata, telinga, hati, dan seluruhnya yang ada diri si hamba adalah tangan dan kaki Allah swt. Banyak hadis yang menerangkan perkara ini.
Penyaksian terhadap tajalli-nya Tuhan di dunia, menurut pendapat kalangan sufi, bisa saja terjadi. Tetapi bukan dengan mata kepala, melainkan mata hati yang memperolehi Nur Mukasyafah. Dalam hal ini, yang perlu dicatat adalah penglihatan yang dimaksudkan, bukan melihat Kunhi Dzat-Nya (keadaan rupa, bentuk atau warna dari Dzat Tuhan), yang diistilahkan “ bi ghairi kaifin wa hashrin wa dlarbin min mitsalin”. Tetapi pandangan syuhud (mata hati).
Dalam pandangan sufisme Jawa, yang diserap dari ajaran para Wali, sangat kental keyakinan bahwa Tuhan bertajalli kepada hamba-Nya yang dikehendakiNya. Karena itu, disusunlah sebuah doa yang amat ampuh. Doa itu dibaca saat menjalankan tafakur. Pada zaman Panembahan Senopati Mataram, doa ini diajarkan untuk menjalankan lelaku. Dalam babad tercatat doa tajalli itu sebagai berikut:
Dalam berdo’a kepada Allah, kita boleh memakai bahasa apa saja yang dapat kita mengerti dan pahami karena Allah Maha Tahu bahasa makhluknya apa yang di langit dan di bumi, kecuali dalam shalat kita wajib memakai bahasa Arab. Hal ini tidak terlepas dari hadits Nabi SAW : “Shalatlah seperti engkau melihat shalatku”.
Jalan Tajalli
Untuk mencapai Tajalli, diperlukan ketekunan. Bukan hanya itu, jalan yang harus dilaluinya beberapa lembah dan jurang, perjuangan demi perjuangan, kesungguhan, lapar dan dahaga, yang diistilahkan jurang fana, fana-ul fana, fana fillah wa baqa billah. Teori lain mengistilahkan Takhali, Tahalli, berjalan terus sampai pada Tajalli.
Takhalli adalah pengosongan dari sifat-sifat tercela, kemudian menghiasi diri dengan sifat-sifat yang terpuji yang disebut Tahalli. Pengosongan pikiran dan hati dari segala macam persoalan duniawi dan menghiasinya hanya semata-mata ‘dzikrullah’ (melihat yang diingat). Pengosongan dalam arti ‘fana segala yang fana’ hati dan pikiran itu pun fana, lalu terasa kemanisan, keindahan yang tiada tara. Istilahnya ‘rasa yang tiada berasa’.
Segalanya menjadi jelas, nyata dan terbentang. Itulah ‘mukasyafah’ (pembukaan). Di situlah tajalli Ke-Esa-an, laksana Musa AS yang sedang pingsan, dan Gunung Thursina pun hancur berantakan. Saking nikmat dam indahnya, Musa AS. Tidak mampu untuk berbicara, mana Musa? Mana gunung? Mana Tuhan? Akhirnya seperti apa yang dikatakanoleh Syech Junaid “ Hakikat Tauhid (sebanar-benarnya tauhid) tiada lagi tanya, kenapa dan bagaimana.”
Dialog
Kalau Allah sudah bertajalli, maka tidak sekedar tajalli. Tetapi terjadi proses dialog antara hamba dengan Dzat Tuhan. Pembicaraan Allah dengan makhluknya disebut wahyu, untuk para Nabi dan Rasul, dan Ilham bagi manusia biasa. Ilham tidak bisa dijadikan dasar hukum, karena sifatnya sangat pribadi (perlu dirujuk kepada Al Quran dan Hadis).
Wahyu Allah kepada Nabi dan Rasul ada dua macam, yaitu melalui perantaraan malaikat Jibril, yang disebut Al-Quran untuk Nabi Muhammad SAW, dan wahyu langsung ke hati Rasul, yang disebut hadis Qudsi (firman dari Allah dan redaksinya dari Rasulullah).
Sedangkan bisikan Tuhan pada hati manusia biasanya (wali), baik sebagai petunjuk atau perintah, disebut Ilham. Sifatnya pribadi, tidak untuk disiarkan pada umum. Karenanya tidak boleh diceritakan secara sembarangan, terkecuali kepada ahlinya (orang yang memahami), orang yang menggeluti dunia sufi dan memahaminya. Jika diucapkan secara sembarangan, bisa menimbulkan fitnah dan sangat membahayakan.
Allah bisa saja berbicara kepada makhluk-mahlukNya, karena bersifat Mutakalim (Yang Maha Berbicara). Jangankan kepada Nabi dan Rasul, lebah-lebah pun mendapat perintahNya. Membuat sarang dan memproduksi madu di bukit dan di hutan. Ibu Nabi Musa (Maryam) yang manusia biasa, juga diberi wahyu, yang isinya petunjuk untuk menghanyutkan bayi Musa ke sungai Nil.
Banyak kisah auliya’ (wali-wali Allah) yang berdialog dengan Allah. Salah satunya yang terkenal adalah Abu Yazid Al-Bistami. Dalam kitab Ihya’, Imam Ghazali menceritakan karomah kekasih Allah ini, yang bersumber dari Yahya bin Muadz.
Yahya berkata kepada Abu Yazid, “Wahai tuanku, tolong tuan ceritakan pada saya tentang apa saja.” Lalu beliau menjawab: “ Aku ingin ceritakan padamu apa yang kira-kira baik buatmu. Aku telah Allah masukkan ke lapisan yang terbawah, lalu ia kelilingkan aku ke alam Malakut yang terbawah itu, dan Ia perlihatkan kepadaku lapisan bumi dan apa saja pada bagian bawah. Kemudian Allah angkat dan masukkan aku ke orbit yang tinggi dan Ia kelilingkan aku di ketinggian (langit) dan Ia perlihatkan padaku surga-surga dan ‘Arasy. Kemudian diletakkan aku dihadapan-Nya, seraya berkata: “Mintalah kepada-Ku apa saja, Aku akan berikan untukmu.” Aku pun berdatang sembah; “Ya Tuhanku, apapun yang aku lihat sudah cukup sudah cukup baik untukku. Lalu Ia berkata: “Hai Abu Yazid, engkaulah hamba-Ku yang benar, engkau sembah Aku hanya semata-mata karena-Ku.
Tercatat cukup banyak dialog muhadasta (antara seorang hamba yang bukan Nabi atau Rasul) dengan Allah SWT. Sebuah hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Buchari dikatakan: “Dari ‘Ady ibni Hatim, beliau berkata, bahwa Nabi telah bersabda: “Seseorang kamu akan bercakap-cakap dengan Allah tanpa ada penterjemah dan dinding yang mendidinginya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar