Laman

Minggu, 28 Mei 2017

Taubat Dan Terbukanya Hijab


Tidak ada puasa padaku dan tidak ada pula salat. Tidak ada linangan air mata atau semangat di hati. Yang ada hanyalah sikap ria dalam berdakwah. Meski demikian, aku tidak bisa meninggalkan pintu ini.
Itu adalah teriakan hati setiap orang yang terluka melihat dirinya diliputi kehampaan dari semua sisi. Itu bukan pertanyaan, tetapi semacam pengakuan yang berlaku bagi kita semua. Seorang tokoh besar sering mengulang bait berikut:
Aku tidak memiliki apa-apa, baik ilmu maupun amal
Aku juga tidak bersabar dalam taat dan kebajikan
Tenggelam dalam maksiat… dosaku begitu banyak
Bagaimana gerangan kondisiku di Hari Kebangkitan?
Di sini tangisan dan rintihan merupakan proses pengosongan yang dilakukan kaum ikhlas dan jujur yang hati mereka senantiasa berkobar. Seolah-olah hati mereka berisi kerikil api neraka yang membakar dada sehingga perasaan mereka ini tidak menemukan jalan keluar kecuali dengan air mata. Karena itu, kita melihat Rasulullah saw. membangun sebuah keberimbangan antara neraka dan air mata. Beliau saw. bersabda, “Tidaklah hamba mukmin meneteskan air mata meski hanya sebesar kepala lalat karena takut kepada Allah kemudian air mata itu mengalir ke wajahnya, kecuali Allah mengharamkannya dari neraka.”[1]
Ya. Yang bisa memadamkan api neraka hanya air mata. Dalam hadis lain, beliau mengungkapkan keberimbangan tersebut lewat sabdanya: “Dua mata yang tidak terkena api neraka adalah mata yang menangis karena takut kepada Allah dan mata yang tidak tidur karena berjaga di jalan Allah.”[2] Dalam hadis ini—dan hadis-hadis lain—beliau melihat dengan pandangan yang sama kepada orang yang berjihad melawan pihak lain dan kepada orang yang berjihad melawan dirinya sendiri hingga meneteskan air mata.
Al-Quran juga menyebutkan kondisi sejumlah orang yang tersungkur bersujud dan menangis, sebagaimana dalam ayat yang lain ia mengajak untuk sedikit tertawa dan banyak menangis karena menyesal. Air mata menjadi saksi atas kehalusan jiwa dan kebaikan rohani. Setiap tetesnya menyamai air telaga Kautsar di surga. Keringnya air mata merupakan musibah besar sehingga Rasul saw. berlindung kepada Allah Swt. dari kondisi tersebut. Sungguh indah seandainya setiap mukmin dapat mencermati dirinya dan mengakui kenyataan pahit tersebut dengan berkata, “Aku tidak memiliki ilmu dan amal. Aku juga tidak bisa bersabar dalam berbuat taat dan kebaikan. Air mata pun tidak berlinang. Tidak ada kemampuan dalam hati. Aku tidak memiliki cahaya kehendak.”
Betapa indah seandainya setiap mukmin dapat meyakinkan dirinya bahwa ia tidak memiliki apa-apa, bahwa kalaupun ia menampilkan sejumlah karunia Allah, itu bukanlah karena kelayakannya tetapi karena kebutuhannya. Kepapaan dan ketidakberdayaannya itulah yang mendatangkan rahmat Allah Swt. Itulah sebab adanya karunia Allah Swt. Jalan pertama agar manusia bisa keluar dari aib dan kekurangannya adalah mengenali seluruh cacatnya lalu diikuti dengan perasaan menyesal dan sedih agar ia berusaha untuk terlepas dari aibnya itu.
Di antara nikmat terpenting yang Allah Swt. berikan kepada mukmin adalah kecintaannya kepada segala hal yang terkait dengan iman serta kebenciannya kepada segala hal yang terkait dengan kekufuran, kefasikan, dan kemaksiatan. Dengan kecintaan dan kebencian tersebut, manusia dapat naik ke puncak kemanusiaan dan puncak iman, seraya berlepas diri dari segala sesuatu yang berupaya menariknya ke bawah. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh ayat: “Tetapi Allah membuat kalian cinta kepada keimanan dan membuat keimanan indah dalam hati kalian serta membuat kalian benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan. Mereka itulah orangorang yang mendapat petunjuk sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Mahatahu lagi Mahabijaksana.”[3]
Jadi, Allah menanamkan cinta kepada iman sekaligus menghiasnya di dalam hati kaum beriman. Ketika kaum beriman melihat melalui lensa keimanan, seolah-olah mereka menyaksikan surga berikut bidadarinya. Namun, yang lebih penting, mereka merasa dekat dengan Allah Swt.
Yang dimaksud oleh ayat di atas adalah para sahabat. Perilaku tersebut menjadi tabiat mereka secara umum yang tidak pernah berubah. Mereka sangat mencintai segala hal yang terkait dengan keimanan dan seluruh hukum yang terkait dengan ibadah. Di sisi lain, mereka lari dari serta benci kepada kekafiran dan setiap hal yang menjurus kepadanya. Berkat keimanan mereka, meski berada di dunia, mereka seolah-olah hidup di surga dan dalam nuansa surga. Mereka lebih memilih dilempar ke dalam api dan tidak kembali kepada kekafiran. Seandainya mereka diberi pilihan antara hidup mewah dalam kekafiran dan dibakar dalam api sebagai mukmin, tentu mereka memilih yang terakhir. Karena itu, mereka telah sampai ke tingkatan petunjuk. Ini adalah karunia dan nikmat Allah Swt.
Sebelumnya, kami telah menyebutkan bahwa jika manusia bisa menyadari dan merasakan kekurangannya, ini merupakan langkah pertama untuk keluar dari kekurangannya. Adapun jika ia merasa sempurna dan menganggap semua yang dikerjakannya untuk Islam sempurna, ketahuilah bahwa sedikit demi sedikit ia akan tenggelam. Imam al-Qasthalani menceritakan kepada kita bahwa 14 sahabat merasa gelisah karena takut kepada sifat munafik dan khawatir tercatat dalam golongan munafik. Rasa takut dan cemas tersebut merupakan tanda lain yang menunjukkan ketinggian iman mereka. Umar ibn Khattab dan Ummul Mukminin, Aisyah r.a., termasuk di antara para sahabat itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar