Laman

Sabtu, 08 Februari 2014

“Di antara


kebijaksanaan orang yang bijak, hendaknya
ia memberi keluasan hukum kepada
temannya, sedang untuk dirinya memilih
hukum yang sempit. Sebab, keleluasaan
bagi mereka sebagai bentuk penyertaan
ilmu. Sedangkan penyempitan untuk dirinya
sebagai aturan wara’.

Abdullah bin Khafif berkata : “Aku
pernah meminta kepada Ruwaym, ‘Berilah
aku wasiat’ Ia menjawab, ‘Perkara tasawuf
tiada lain kecuali mencurahkan jiwa. Bila
anda berkenan, maka Anda masuk dengan
semangat tersebut. Bila tidak, Anda jangan
menyibukkan dengan lorong-lorong kaum
sufi.”

“ Engkau duduk besama manusia
pada umumnya, lebih selamat daripada
duduk bersama kaum Sufi. Khalayak
manusia duduk di atas aturan-aturan,
sedangkan kelompok Sufi duduk di atas
hakikat.

Tuntutan orang orang adalah
menerapkan praktik lahiriah syariat,
sedangkan mereka menuntut dirinya dengan
hakikat wara’ dan pelestarian kejujuran hati.
Barangsiapa duduk dengan mereka, lantas
kontra dengan mereka dalam suatu
persoalan hakikat, Allah swt, akan mencabut
cahaya iman dari hatinya .”

“Aku pernah melintasi salah satu
jalan di Baghdad pada terik siang hari,
sedang aku sangat haus. Aku berusaha
mencari minuman di suatu rumah. Seorang
bocah wanita membukakan pintunya
sembari membawa cangkir. Ketika ia
memandangku, bocah itu berkata. “seorang
sufi minum di siang hari”...’ Maka, sejak
saat itu aku tidak pernah berbuka (putus
puasa)”.

“Apabila Allah swt, menganungerakan
rezeki kepada Anda dengan ucapan dan
perbuatan, Allah swt, akan menghilangkan
ucapan, dan melestarikan perbuatan. Sebab
yang demikian merupaka nikmat.

Namun,
apabila Allah swt. melestarikan ucapan dan
menghilangkan perbuatan, itulah musibah.
Apabila kedua-duanya dihilangkan, itulah
penderitaan.

#‎RUWAYM_BIN_AHMAD‬

SEJARAH KALIMAT SYAHADAT DALAM ISLAM


A. Awal-mula Munculnya Kalimat Syahadat

Dalam rukun Islam, kalimat syahadat ini berada pada urutan pertama. Dalam QS. Ali Imran ayat 18 disebutkan bahwa sebab turunnya (asbabun nuzul) ayat tersebut adalah dimana dulu ada dua orang ahli kitab yang akhirnya beriman kepada Allah Swt. setelah bertemu dengan Rasulullah Saw. yang mengajarkan kalimat syahadat kepada mereka.

Pada saat Rasulullah Saw. sudah berhijrah dan tinggal di Madinah, Islam berkembang dengan cepat. Banyak orang jahiliyah yang kemudian masuk Islam begitu tersentuh dengan dakwah Islam Rasulullah Saw.

Nama besar Rasulullah Saw. di Madinah dengan cepat dikenal oleh banyak orang. Bahkan dua orang ahli kitab yang berasal dari negeri Syam sengaja datang ke Madinah untuk bertemu dengan Rasulullah Saw. Kedatangan dua ahli kitab itu karena penasaran terhadap isi al-Kitab yang mereka pelajari, menyebutkan bahwa di kota itu telah datang seorang nabi akhir zaman. Tentu saja informasi itu membuat keduanya penasaran dan ingin segera membuktikannya.

Berbekal ciri-ciri yang mereka ketahui tentang Nabi Muhammad Saw. yang disebut-sebut sebagai nabi akhir zaman, mereka akhirnya berkeliling kota Madinah untuk mencari sosok nama tersebut. Mereka tidak segan menanyakan keberadaan Nabi Muhammad Saw. kepada setiap orang yang mereka jumpai. Mereka pun meperhatikan setiap orang yang berpapasan dengan mereka, mungkin saja yang ditemui adalah Nabi Muhammad Saw.

Setelah lama berkeliling dan bertanya kepada setiap orang, akhirnya mereka bertemu dengan Rasulullah Saw. Dengan pandangan yang menyelidik, ditatapnya Rasulullah Saw. dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Apakah engkau yang bernama Muhammad?” tanya salah satu ahli kitab itu.

Rasulullah Saw. mengangguk.

“Apakah engkau yang benar-benar bernama Ahmad?” tanya ahli kitab lainnya, seolah tak percaya dengan orang yang berada di depannya.

Rasulullah Saw. pun kembali mengiyakan.

Kesempatan itu digunakan sebaik-baiknya oleh dua orang ahli kitab itu untuk menanyakan hal-hal yang ingin mereka ketahui. “Wahai Muhammad, kami ingin mengetahui sesuatu tentang kalimat syahadat, apakah engkau bisa menjelaskannya dengan baik dan hati kami tergugah karenanya. Kami akan beriman dan mengikuti semua perintah dan ajakan engkau”, kata mereka.

“Apa sebenarnya yang ingin kalian ketahui?” ujar Rasulullah Saw.

“Kesaksian apakah yang paling hebat dalam al-Quran?” tanya mereka lagi.

Kedua ahli kitab itu bukan orang sembarangan. Mereka sudah mempelajari banyak kitab suci yang diturunkan sebelum al-Quran seperti kitab Zabur, Taurat dan Injil. Pada saat itulah Allah Swt. menurunkan ayat al-Quran surat Ali Imran ayat 18:

شَهِدَ اللَّهُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ وَالْمَلائِكَةُ وَأُولُو الْعِلْمِ قَائِمًا بِالْقِسْطِ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ

“Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Ali Imran ayat 18). (Setelah membaca ayat ini kita disunnahkan membaca “Ana asyhadu bihi”).

Melalui ayat itulah kedua ahli kitab itu disadarkan atas keagungan dan kebesaran Allah Swt. Firman allah Swt. yang disampaikan oleh Rasulullah Saw. tersebut begitu menyentuh keimanan mereka. Meskipun singkat, mereka merasakan kebenaran atas ayat tersebut. Luluhlah hati mereka, sehingga tanpa keraguan lagi akhirnya mereka mengucapkan kalimat syahadat sebagai pengakuan atas keesaan Allah Swt. dan penunjukan Nabi Muhammad Saw. sebagai RasulNya.

Seluruh nabi yang dipilih oleh Allah Swt. sama-sama menyerukan kalimat syahadat untuk mengajak seluruh umatnya mempercayai keesaan Allah Swt. dan meyakini bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah utusan Allah. Oleh karena itu, kalimat syahadat ditempatkan pada urutan pertama dalam rukun Islam, dilanjutkan dengan shalat, puasa, zakat dan ibadah haji bagi yang mampu.

B. Pemakaian Kata Syahadat dalam al-Quran

Dalam al-Quran banyak sekali kita jumpai kata syahadat, apalagi kata yang musytaq atau majid dari kata syahadat, seperti kata syaahada (fi’il madhi), syahidiin (isim fa’il yang dijama’kan dengan jama’ mudzakar salim), al-isyhaad (mashdar majid) dan seterusnya. Hanya saja kita akan fokus pada kata syahadat dan asy-syahadat (tambahan al sebagai tanda kalimat isim/kata benda). Di bawah ini adalah beberapa penggunaan kata syahadat dalam al-Quran:

“Sesungguhnya persaksian Kami lebih layak diterima daripada persaksian kedua saksi itu...” (QS. al-Maidah ayat 107).

“Itu lebih dekat untuk (menjadikan para saksi) mengemukakan persaksiannya menurut apa yang sebenarnya...” (QS. al-Maidah ayat 108).

“Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah, dan siapakah yang lebih dzalim daripada orang yang menyembunyikan syahadat dari Allah.” (QS. al-Baqarah ayat 140).

Syahadat dalam ayat ini berarti persaksian Allah Swt. yang tersebut dalam Taurat dan Injil, bahwa Nabi Ibrahim As. dan anak cucunya bukan penganut agama Yahudi atau Nasrani dan bahwa Allah Swt. akan mengutus Muhammad Saw.

“Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu.” (QS. al-Baqarah ayat 282).

“Katakanlah: “Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?”. Katakanlah: “Allah. Dia menjadi saksi antara aku dan kamu.” (QS. al-An’am ayat 19).

Selanjutnya penggunaan kata syahadat, kata yang ada hubungan dengan kata syahada, dan kata berasal dari kata syahadat dalam al-Quran silakan diteliti dalam ayat-ayat di bawah ini:
1. QS. al-A’raf ayat 36 dan 171
2. QS. al-‘Adiyat ayat 7
3. QS. al-Ahqaf ayat 10
4. QS. al-Ahzab ayat 45 dan 55
5. QS. al-An’am ayat 19, , 44, 73,130 dan 150
6. QS. al-Anbiya ayat 61 dan 78
7. QS. al-‘Ankabut ayat 52
8. QS. al-Baqarah ayat 84, 95, 106, 140, 143, 185, 204, 282 dan 283
9. QS. al-Buruj ayat 3
10. QS. al-Fath ayat 8 dan 28
11. QS. al-Furqan ayat 72
12. QS. al-Hadid ayat 19
13. QS. al-Hajj ayat 8, 28 dan 78
14. QS. al-Hasyr ayat 11 dan 22
15. QS. Hud ayat 18, 54 dan 104
16. QS. Ali Imran ayat 18, 52, 53, 64, 80, 81, 86, 99 dan 140
17. QS. al-Isra’ ayat 78 dan 96
18. QS. al-Kahfi ayat 52
19. QS. an-Nahl ayat 84 dan 89
20. QS. an-Naml ayat 32 dan 49
21. QS. an-Nisa ayat 5, 14, 40, 68, 71, 78, 134, 157 dan 165
22. QS. an-Nur ayat 2, 4, 6, 8, 13 dan 24
23. QS. al-Maidah ayat 9, 47, 110, 111, 114, 116 dan 120
24. QS. Maryam ayat 37
25. QS. al-Mu’minun ayat 93
26. QS. al-Muthaffifin ayat 21
27. QS. al-Munafiqun ayat 1
28. QS. al-Muzammil ayat 15
29. QS. al-Ma’arij ayat 33
30. QS. ar-Ra’d ayat 10 dan 45
31. QS. Hamim as-Sajadah ayat 20, 21, 22 dan 47
32. QS. as-Sajadah Alif Lam Mim ayat 6
33. QS. ash-Shafat ayat 150
34. QS. at-Taubat ayat 18 dan 108
35. QS. at-Taghabun ayat 18
36. QS. ath-Thalaq ayat 2
37. QS. Qaaf ayat 21, 37, 133 dan 143
38. QS. al-Qashash ayat 44 dan 75
39. QS. Yasin ayat 65
40. QS. Yusuf ayat 26 dan 81
41. QS. Yunus ayat 29
42. QS. az-Zukhruf ayat 19 dan 86
43. QS. az-Zumar ayat 46.

Wallahu A’lam

Mohon dikoreksi kembali dengan merujuk kepada kitab-kitab Tafsir al-Quran. Jazakumullah ahsanal jaza’

Senin, 03 Februari 2014

PRINSIP-PRINSIP TAUHID DALAM PANDANGAN KAUM SUFI



Ketahuilah, para syeikh dari kaum Sufi
telah membangun kaidah-kaidah mereka di
atas prinsip tauhid yang shalih.

Mereka telah
membuat kaidah ini jauh dari bid’ah,
relevan dengan ajaran tauhid yang telah
diwariskan oleh generasi Salaf dan Ahi
Sunnah.
Tak ada rekayasa atau
penyimpangan di dalamnya.

Mereka
mengetahui yang menjadi Hak Allah, dan
mereka telah membuktikan hal-hal yang
menjadi predikat Wujud, dari segala yang
tiada.

Karena itu al-Junayd r.a. berkata : “Tauhid adalah
menunggalkan Yang Maha Dahulu (qadim)
dari yang datang kemudian (huduts).

Para Syeikh itu membangun aturan
dasar tauhid dengan argumentasi yang jelas
dan bukti yang layak.

Sebagaimana
dikatakan Ahmad bin Muhammad al-Jurairy
r.a. “ Siapa yang berpijak pada ilmu tauhid
yang tidak didasari oleh pembuktian dari
bukti argumentasinya, akan disirnakan oleh
bujuk yang mendahului dalam hasrat
kebinasaan .” Maksud Syeikh ini, barang
siapa bertaklid dan tidak merenungkan dalil-
dalil/bukti tauhid, ia gugur dari tradisi yang
menyelamatkannya. Ia akan terjerumus
dalam jurang kehancuran.

Sementara orang
yang mau merenungkan tulisan dan
keunggulan kalimat-kalimat mereka; ia akan
menemukan kumpulan ucapan dan
rinciannya yang memberikan kekuatan
kontemplatif; bahwa sanya kalangan mana
pun tidak bisa membatasi diri lewat angan
–angan dalam pembuktian, dan tidak
memasuki tahapan pencarian secara
menyimpang.

KEWAJIBAN ISTRI DALAM ISLAM ***


Kedudukan seorang istri dalam Islam adalah menempati posisi yang mulia. Namun orang-orang yang tidak suka akan kemuliaan Islam senantiasa berusaha untuk meruntuhkan sendi dasar dalam kehidupan sebuah rumah tangga dengan berbagai macam cara.Ada yang disebut dengan emansipasi wanita dan sejenisnya yang dibalut dengan kata-kata yang manis. Dan semoga mengetahui beberapa kewajiban istri ini akan dapat bermanfaat.

Keberadaan seorang wanita sebagai istri dan juga sebagai seorang ibu dalam lingkungan sebuah keluarga memiliki arti yang sangat penting, bahkan bisa dikatakan istri merupakan satu tiang yang menegakkan kehidupan keluarga dan termasuk pemeran utama dalam mencetak "orang-orang besar". Sehingga tepat sekali bila ada yang mengatakan bahwa : "Di balik setiap orang besar ada seorang wanita yang mengasuh dan mendidiknya". Demikian pula dengan kewajiban istri dalam Islam

Berikut beberapa kewajiban seorang istri dalam sebuah rumah tangga adalah :

Taat kepada suami dalam hal serta perkara bukan dalam rangka maksiat kepada Allah. Taat ini karena seorang suami adalah pemimpin dalam rumah tangga. Dan ketaatan ini lebih didahulukan daripada melakukan ibadah sunnah. Rasulullah bersabda :"Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempat kecuali setelah mendapatkan izin suaminya."(HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026). Kewajiban dalam menaati suami ini dalam perkara yang ia perintahkan sebatas kemampuan seorang istri , karena hal ini juga merupakan keutamaan seorang lelaki terhadap kaum wanita.

Mengerjakan pekerjaan rumah sebagai seorang ibu rumah tangga seperti halnya memasak, mencuci, membersihkan rumah dan sebagainya. Seorang istri sudah semestinya melakukan pekerjaan rumah tangga seperti di atas dengan penuh kerelaan dan kelapangan hati dan kesadaran bahwa hal itu merupakan salah satu ibadah kepada Allah.

Menjaga harta suami. Dalam hal menjaga harta suami ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :"Sebaik-baik wanita penunggang unta, wanita Quraisy yang baik, adalah yang sangat penyayang terhadap anaknya ketika kecilnya dan sangat menjaga suami dalam apa yang ada di tangannya." (HR. Al-Bukhari no. 5082 dan Muslim no. 2527)

Menjaga rahasia suami dan juga kehormatannya sehingga hal tersebut akan menumbuhkan kepercayaan sang suami secara penuh terhadapnya.

Bergaul dengan suami dengan cara yang baik. Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara membuatnya ridha ketika suami marah, menunjukkan rasa cinta dan sayang kepadanya dan juga penghargaan, mengucapkan kata-kata yang baik dan wajah yang selalu penuh senyuman, dan memaafkan kesalahan suami bila ia bersalah.Hal yang tidak kalah penting adalah dalam hal memperhatikan makanan,minuman, serta pakaian dari suami.

Mengatur waktu dengan sebaik mungkin. Sehingga dengan mengatur waktu ini semua pekerjaan terselesaikan pada waktunya, menjaga kebersihan dan juga keteraturan didalam rumah sehingga selalu tampak rapi dan juga bersih hingga hal tersebut menimbulkan sesuatu yang menyenangkan pandangan bagi sang suami dan membuat buah hati menjadi betah di dalam rumah.

Bersikap dan berkata jujur terhadap suami dalam segala sesuatu. Khususnya ketika ada sesuatu yang terjadi sementara suami tidak berada dalam rumah. Jauhi sifat dusta karena hal ini akan menghilangkan kepercayaan suami.
Sumber : Muhasabah
— bersama Idda Unigha dan 44 lainnya.

Minggu, 02 Februari 2014

Perjalanan Mencari Yang Haq


Ada dua jalan yang ditempuh orang dalam mencari yang haq dengan masing-masing dalilnya :
1. Man `arafa nafsahu faqad `arafa rabbahu :
Barang siapa mengenal dirinya maka pasti dia akan kenal Tuhannya. (Dalil ini yang sangat populer dikalangan sufi, meditator , filosof, teolog)
2. Man `arafa rabbahu faqad `arafa nafsahu :
Barang siapa yang kenal Tuhannya pasti dia akan kenal dirinya.

JALAN PERTAMA,
Biasanya di lakukan oleh para PENCARI MURNI, mereka belum memiliki panduan tentang tuhan dengan jelas. Dia hanya berfikir dari yang sangat sederhana …yaitu ketika ia melihat sebuah alam tergelar, muncul pemikiran pasti ada yang membuatnya atau ada yang berkuasa dibalik alam ini, mustahil alam ini ada begitu saja dan alam merupakan jejak-jejak penciptanya … Dengan filsafat inilah orang akhirnya menemukan kesimpulan bahwa Tuhan itu ada.
Sebagian meditator atau ahli sufi menggunakan pendekatan filsafat ini dalam mencari Tuhan, yaitu tahapan mengenal diri dari segi wilayah-wilayah alam pada dirinya, misalnya mengenali hatinya dan suasananya, pikiran, perasaannya, dan lain-lain sehingga dia bisa membedakan dari mana intuisi itu muncul, apakah dari fikirannya, dari perasaannya, atau dari luar dirinya… ?

Akan tetapi penggunaan jalur seperti ini sering kali membuat orang mudah tersesat, karena pada tahapan-tahapan wilayah ini manusia sering terjebak pada ‘kegaiban’ yang dia lihat dalam perjalanannya, yang kadang-kadang membuat hatinya tertarik dan berhenti sampai disini, karena kalau tidak mempunyai tujuan yang kuat kepada Allah pastilah orang itu menghentikan perjalanannya. Karena disana dia bisa melihat fenomena / keajaiban alam-alam dan mampu melihat dengan Kasyaf apa yang tersembunyi pada alam ini, akhirnya mudah muncul ‘keakuannya’ bahwa dirinyalah yang paling hebat …akan tetapi jika dia kuat terhadap Tuhan adalah tujuannya, pastilah dia selamat sampai tujuannya…..

Teori yang dilakukan tersebut adalah jalan terbalik, karena dalam pencariannya ia telusuri jejak atau tanda-tanda yang ditinggalkannya (melalui ciptaan / alam), … ibarat seseorang mencari kuda yang hilang, yang pertama di telusuri adalah jejak tanda kaki kuda, kemudian memperhatikan suara ringkik kuda dan akhirnya di temukan kandang kuda dan yang terakhir dia menemukan wujud kuda yang sebenarnya. Hal ini sebenarnya sangat menyulitkan para pelaku pencari Tuhan, karena terlalu lama di dalam mengidentifikasi alam-alam yang akan di laluinya ….

JALAN KEDUA :
Adalah melangkah kepada yang paling dekat dari dirinya, yaitu Yang Maha Dekat, langkah ini yang paling cepat di tempuh dibanding dalil pertama. Karena dalil pertama banyak dipengaruhi oleh para filosof pada jaman pertengahan dalam hal ini filsafat Yunani. Teologi Kristen dan Hindu telah banyak mempengaruhi filsafat ini. sehingga Al Ghazali gencar mengkritik kaum filosof dengan menulis kitab tentang tidak setujunya dengan ide filsafat masa itu yaitu Tahafut Al Falasifah / kerancuan filsafat ….
Al-ghazali membantah pemikiran yang dimulai dengan rangkaian berfikir TERBALIK, beliau mengajukan gagasan bahwa ummat islam harus memulai pemikirannya dari sumber pangkal ilmu pengetahuan yaitu Tuhan, BUKAN dimulai dari luar yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya, artinya sangat berbahaya karena di dalam filsafat memulai berfikirnya dari tahapan yang real menuju esensi dibalik semuanya berasal.

Sedangkan di dalam Islam menunjukkan keadaan Tuhan serta jalan yang akan di tempuh sudah di tulis dalam Alqur’an agar ummat manusia tidak tersesat oleh rekaan-rekaan pikiran yang belum tentu kebenarannya…
Pencarian kita telah di tulis dalam Alqur’an dan Allah menunjukkan jalannya dengan sangat sederhana dan mudah tidak menunjukkan alam-alam yang mengakibatkan menjadi rancu dan bingung karena alam-alam itu sangat banyak dan kemungkinan menyesatkan kita amat besar…

Mari kita perhatikan cara Tuhan menunjukkan para hamba yang mencari Tuhannya .
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perinta-Ku) dan hendaklah mereka itu beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186)

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan menusia dan mengetahui apa yang di bisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya.” (QS. Al Qaaf: 16)

Ayat-ayat diatas, mengungkapkan keberadaan Allah sebagai wujud yang sangat dekat, dan kita diajak untuk memahami pernyataan tersebut secara utuh. Alqur’an mengungkapkan jawaban secara dimensional dan dilihat dari perspektif seluruh sisi pandangan manusia seutuhnya. Saat pertanyaan itu terlontar, dimanakah Allah ? Maka Allah menjawab: Aku ini dekat, kemudian jawaban meningkat sampai kepada, Aku lebih dekat dari urat leher kalian .atau dimana saja kalian menghadap di situ wujud wajah-Ku dan Aku ini maha meliputi segala sesuatu ….
Sebenarnya tidak ada alasan bagi kita jika dalam mencari tuhan melalui tahapan terbalik.

Tahap pertama beliau nampak alam dan segala kejadian adalah satu bersama Allah SWT. dan pada
Tahap kedua nampak alam sebagai bayangan Allah; dan pada
Tahap ke tiga beliau nampak Allah SWT adalah berasingan dari pada segala sesuatu di alam ini.

Kalau hal ini hanya sebatas penjelasan terstruktur kepada muridnya, saya anggap hal ini tidak menjadi persoalan, akan tetapi jika tahapan-tahapan ini merupakan METODOLOGI dalam mencari tuhan, saya kira ini BERBAHAYA, karena yang akan berjalan adalah fikirannya atau gagasannya, yang akhirnya timbul khayalan atau halusinasi.

Di dalam islam memulainya dengan pengenalan kepada Allah terlebih dahulu yaitu dengan dzikrullah (mengingat Allah), kemudian kita di perintah langsung mendekati-Nya, karena Allah sudah sangat dekat..tidak perlu anda mencari jauh-jauh melalui alam-alam yang amat luas dan membingungkan ..alam itu sangat banyak dan bertingkat-tingkat. Tidak perlu kita memikirkannya…cukupkan jiwa ini mendekat secara langsung kepada Allah karena orang yang telah berjumpa alam-alam belum tentu ia tunduk kepada Allah, karena alam disana tidak ada bedanya dengan alam di dunia ini karena semua adalah ciptaan-Nya !!

Akan tetapi jika anda memulai dengan cara mendekatkan diri kepada Allah, maka secara otomatis anda akan diperlihatkan / dipersaksikan kepada kerajaan Tuhan yang amat luas. Maka saya setuju dengan dalil yang KEDUA, barang siapa kenal TUHANNYA (ALLAH SWT)maka dia akan kenal dirinya. Sebab kalau kita kenal dengan pencipta-Nya, maka kita akan kenal dengan keadaan diri kita dan alam-alam dibawahnya, karena semua berada dalam genggaman-Nya…karena Dia meliputi segala sesuatu …karena Dia ada dimana saja kita ada, … dan Dia sangat dekat.

dan bagi yang tidak kenal Alqur’an akan mudah sekali berhenti dan tersesat kepada alam-alam itu karena intuisi itu amat banyak yang muncul dari segala suara alam-alam tersebut

(Kesimpulan (buat my best Friend Josie Boleh Dong Kalo Saya Menyimpulkan, tapi jangan Diketawain ya:

Islam mengajarkan didalam mencari tuhan, telah diberi jalan yang termudah dengan dalil barang siapa kenal Tuhannya maka dia akan kenal dirinya … hal ini telah ditunjukkan oleh Allah bahwa Allah itu sangat dekat, atau dengan dalil …

“barang siapa yang sungguh-sungguh datang kepada Kami, pasti kami akan tunjukkan jalan-jalan Kami… (QS: Al ankabut: 69 )
“Wahai orang-orang yang beriman jika kamu bertakwa kepada Allah niscaya dia akan menjadikan bagimu furqan (pembeda).“ (QS : Al Anfaal: 29)

Ayat-ayat ini membuktikan di dalam mendekatkan diri kepada Allah tidak perlu lagi melalui proses pencarian atau menelusuri jalan-jalan yang di temukan oleh kaum filsafat atau ahli spiritual di luar islam, karena mereka di dalam perjalanannya harus melalui tahapan-tahapan alam-alam. Islam di dalam menemuhi Tuhannya harus mampu memfanakan alam-alam selain Allah dengan konsep laa ilaha illallah … laa syai’un illallah … laa haula wala quwwata illa billah … tidak ada ilah kecuali Allah … tidak ada sesuatu (termasuk alam-alam) kecuali Allah, … tidak ada daya dan upaya kecuali kekuatan Allah semata ….maka berjalanlah atau melangkahlah kepada yang paling dekat dari kita terlebih dahulu bukan melangkah dari yang paling jauh dari diri kita ….

Mari kita endapkan keterikatan kita terhadap ‘isme’ yang kita miliki sekarang, sebab tidak akan objektif jika hal ini masih anda sandang karena kebenaran itu akan tetap benar walaupun keluar dari kotoran anjing. (maaf saya tidak bermaksud mengeluarkan keimanan anda). Saya ingin anda melihat sesuatu itu apa adanya, tidak bercampur dengan anggapan / mitos, karena kebenaran itu meliputi segala sesuatu Tidak ada yang terbebas dari kekuasaan yang maha mutlak. Walaupun saya mengungkapkan dengan kata-kata wahyu dalam alqur’an , saya akan tetap berbicara keuniversalan.

Sebelum kita memasuki kepada persoalan kebenaran MUTLAK, saya akan mengajak anda untuk memperhatikan gejala-gejala yang dialami oleh manusia, mulai dari gejala fisik, anda akan melihat sesuatu yang sama pada diri manusia. Fisik merupakan miniatur alam jagad raya, dimana dia tercipta dari untaian materi yang saling mengikat, bergerak, berevolusi, kemudian tumbuh dan berkembang. Juga anda perhatikan degup jantung, desah nafas, kedipan mata, yang bergerak bukan kemauan dirinya, semua ada diluar kekuasaan dirinya, itulah kebenaran adanya “kekuasaan” yang meliputi dirinya. Satu hal kebenaran yang bisa dirasakan bersama, baik orang hindu, islam, budha, atau kristen…( Allah meliputi orang-orang kafir ; QS. Al Baqarah:19).

Dari segi kejiwaan, dalam dirinya ada rasa, senang, cinta, bahagia, kebencian, dan kepuasan. Jika kesadaran akan kejiwaannya berkembang maka akan ditemui keistimewaan jiwa yang amat luas, misalnya seorang meditator mampu melihat jarak jauh dengan kekuatan fikiran (telepati), tidak terbakar oleh panasnya api dll, semua nya adalah fenomena yang bisa terjadi kepada siapa saja jika digali dengan latihan kesadaran yang benar … Kebenaran itu juga telah terjadi kepada orang yang tekun melatih kejiwaannya maupun fisik dengan baik, sehingga muncul kekuatan yang timbul seperti mukjizat (jika hal ini terjadi kepada seorang yang terdoktrin dengan suatu agama maka dia akan menyandarkan kekuatan itu kepada apa yang menjadi kepercayaannya)

Seperti halnya orang yang melatih pernafasan dengan baik, ia mengolah energi bioelektrik dalam tubuhnya sehingga mampu memberikan kekuatan yang luar biasa. Tidak heran jika seorang yang telah mahir menghimpun daya elektrik ia mampu memecahkan balok es, mematahkan besi baja, mampu mendeteksi barang yang tersembunyi, tahan pukul benda keras maupun senjata tajam ..dll
Semua itu ada terjadi kepada manusia penganut agama apapun, akan tetapi mereka menyandarkan kekuataan itu kepada apa yang di yakininya apakah itu kepada Yesus, Hyang Widhi, Tao, Sang Budha, Allah, dewa-dewa, dll, tergantung kepada doktrin kepercayaannya, tetapi pada hakikatnya kekuatan itu ada, tidak bisa dipungkiri.

Pada tatanan fenomena fisik dan psikhis, mungkin kita akan mengalami kesamaan dengan perjalanan meditator..penyembuh, pastor atau pendeta, biksu yang tekun berkonsentrasi kepada apa yang diyakininya (dalam hal ini Tuhan/ dewa-dewa) atau kadang juga sama dengan penggali olah jiwa yang tidak menggunakan pengertian ketuhanan sama sekali seperti orang-orang yang mengembangkan kekuatan psikologisnya telepati, hipnotisme dan olah rasa. Pengalaman-pengalaman ini bukanlah penentu sebuah klaim kebenaran agama tertentu, sehingga menganggap agama lain tidak mampu berbuat demikian, tidak !! Akan tetapi hal ini sebagaimana ilmu-ilmu yang lainnya bersifat universal, seperti perasaan rindu, cinta, sedih, bahagia dan ketenangan.

Keadaan ini bisa disebut sebagian dari pengalaman perasaan rohani. Yang tidak bisa di klaim sebagai milik orang islam saja, atau orang Kristen dan yang lain. Banyak pendeta yang berdoa digereja memohon kesembuhan bagi sipenderita sakit parah ia bisa sembuh, pendeta budha pun demikian, dan tidak sedikit pula dari kalangan islam yang bukan kyai bisa berdoa untuk yang sakit, iapun bisa sembuh !!

Lalu apakah sebenarnya yang terjadi terhadap mereka ini, sehingga apa yang mereka lakukan tampak tidak ada bedanya walaupun cara mereka berbeda dalam melakukan ritual, bahkan berbeda kepercayaan ketuhanannya !!

GURU RUHANI


Wahai Saudaraku………

Benarlah apa yang sudah ditetapkan bahwa untuk menuju kepada Maqom Ma’rifatullah itu kita harus melewati Mursyid yang membimbing mulai dari Syari’at lalu naik kepada Thoriqot kemudian menuju kepada Hakikat. Kemudian pada Hakikat itulah berkah dari pada Nurun Ala Nurin menyinari Qolbu menembus kepada Sir Otak pada Akal lalu terbukalah Sir Ma’rifat pada Diri.

Di Maqom Ma’rifat itu Qolbunya lebih Dominan daripada Akalnya, Akal berperan mengikuti Suasana Qolbunya.

Katakanlah apa yang saya tulis ini hanya sebagai Sharing untuk sama-sama berbagi pengetahuan yang pada Hakikatnya Pengetahuan Ilmu itu hanyalah milik Allah Swt. Dan tidaklah di Dunia yang Fana ini kita adalah Saudara se Iman dan se Keyakinan yang walaupun mungkin ada beda pendapat tetapi tujuannya tetap SATU dan kembali kepada yang SATU. Dan juga saya harap Saudaraku Sufi Muda juga tidak segan-segan untuk memberikan masukkannya kepada Saya, itulah hikmahnya sebagai Saudara saling isi mengisi. Karena pada Zahirnya manusia itu ada kekurangan dan kelebihannya.

Wahai Saudaraku…………

Engkau telah mengatakan bahwa Posisi Mursyid itu sangatlah penting bagi sang Salik untuk mendapatkan Pencerahan Nur Muhammad Saw, sehingga wajib bagi kita untuk ta’at, hormat, tunduk, cinta, memuliakan dll kepada Mursyid. Karena dengan keta’atan kepada Mursyid sama halnya ta’at kepada Rosulullah Saw dan Ta’at kepada Rosulullah Saw sama halnya kita Ta’at kepada Allah Swt.

Jika kita kembali kepada Sejarah bahwa sebagian Sufi ada yang mendapatkan Pencerahan itu melalui Mursyid yang mempunyai silsilah Ilmu (mata rantai) seperti yang Anda kupas di Blog Sufi Muda. Tetapi kita tidak bisa membantah bahwa ada juga sebagian para Sufi yang mendapatkan Pencerahan itu tidak melalui Mursyid yang mempunyai Silsilah Ilmu (Mata Rantai), akan tetapi dengan Kepasrahan diri serta keikhlasan diri maka mereka juga mendapatkan Pencerahan di Dirinya.

Bagi Saya itu menunjukkan Maha Adil dan Maha Bijaksanya Allah Swt. Kebenaran itu di dapat tidak hanya melalui Mursyid yang mempunyai Silsilah Ilmu melainkan juga melalui Mursyid yang mempunyai silsilah Spiritual/Rasa. Walaupun sekilas sama antara Silsilah ilmu dengan silsilah Spiritula/Rasa akan tetapi ada perbedaan yang sangat tipis diantara keduanya.

Kemudian Naiknya Maqom seseorang menuju Alam Robbani/Alam Lahut tentu ia melalui pendidikan/sekolah dengan Mursyid yang berbeda secara Zahir tetapi pada Hakikatnya Satu.

Awalnya kita memandang kepada Mursyid Zahir, sebagaimana yang dikatakan Imam Al-Ghozali bahwa jika Engkau tidak bisa mengingat Allah Swt maka ingatlah engkau kepada Guru yang sangat berpengaruh di jiwamu maka hakikat gurumu itu akan menyampaikan ke hadirat Allah. Lalu apakah kita hanya stop sampai disitu saja? Tentu tidak! jika kita hanya sebatas Poin ke-1, dari sisi “kacamata” Spiritual itu masih Sekolah Dasar (SD) walaupun dari sisi “kacamata” orang Awam itu sudah luar biasa tingkatannya. Pada Maqom ini menurut Silsilah Spiritual adalah “MAQOM THORIQOTULLAH”.
Pada Posisi ini Ia tidak menuntut Ilmu kepada Mursyid Zahir lagi tetapi kepada Sir yang pada Mursyid (Rosulullah). Pandangan Zahirnya ia tetap menghormati Mursyid Zahirnya layaknya seorang Anak kepada Orang Tuanya tetapi Pendiriannya sudah tidak kepada Mursyid itu lagi tetapi kepada Rosulullah. Syekh Abdul Qodir Al-Jailani dalam Kitab Fathul Ghoibi mengatakan : “Bahwa pada diri Nabi dan Rosul itu ada suatu Rahasia yang tidak diketahui oleh siapapun begitu juga pada diri seorang Murid terkadang menyimpan suatu Rahasia yang tidak diketahui oleh Gurunya, sebaliknya Sang Guru pun menyimpan suatu rahasia yang tidak diketahui oleh Muridnya walaupun Maqom Sang Murid telah hampir sampai kepada Maqom Sang Guru. Tatkala Maqom si Murid sampai kepada Maqom Sang Guru maka tahulah ia akan Rahasia Gurunya. Lalu Tuhan mengatakan pada dirinya ; Aku putuskan dirimu dengan segala Makhluk, dengan segala isi dunia ini, dan juga Aku putuskan dirimu dengan Gurumu, Cukuplah Engkau berdialog dengan Tuhanmu Saja”. Pada Maqom ini Guru/Mursyid Zahir tak ubahnya hanya sebagai Inang Pengasuh saja yang jika telah sampai umur 2 tahun maka ia tidak menyusu lagi kepadanya. Dan dipandangnya Sir pada Mursyid zahirnya tadi ada pada dirinya, yang Hidup di diri Mursyid itu adalah yang Hidup di Dirinya Juga. Karena itu Fokus pandangannya tidak kepada yang diluar dirinya lagi melainkan pandangannya tertuju kepada yang Hidup yang ada pada Dirinya. Itulah Hakikat Muhammad pada Diri. Itulah Maqom menurut Silsilah Spiritual adalah “MAQOM HAKIKATULLAH”.
Jika ia sudah tidak memandang dan tidak memfokuskan Qolbunya kepada Mursyid Zahir lagi dan hanya tertuju kepada Hakikat Muhammad yang ada pada Diri terus dan terus dan tetap di dalam Musyahadahnya (tapi bukan berarti ia cuek kepada mursyid zahirnya, Tidak! Ia tetap cinta dan hormat kepadanya tetapi hanya sebatas Zahir layaknya anak kepada orangtuanya) maka Allah Swt akan membukakan Tirai/Hijab yang sangat halus sekali sehingga akan diketahuinya dan dikenalnya serta dirasakannya Tuhan sebenarnya Tuhan atau Allah “Baqobillah”. Pada Maqom ini menurut Silsilah Spiritual adalah “MAQOM MA’RIFATULLAH”.

JANGAN BIARKAN HATIMU MATI


“Diantara tanda-tanda matinya hati adalah jika anda tidak merasa susah ketika kehilangan keselarasan taat kepada Allah, dan tidak menyesali perbuatan dosa anda.”

Hati yang mati disebabkan oleh berbagai penyakit kronis yang menimpanya. Manakala hati seseorang tidak sehat, maka hati tentu sedang terserang penyakit-penyakit hati. Penyakit hati itu begitu banyak yang terkumpul dalam organisasi Al-Madzmumat, dengan platform gerakan yang penuh dengan ketercelaan dan kehinaan, seperti takabur, ujub, riya’, hubbuddunya, kufur, syirik, dan sifat-sifat tercela lainnya.

Ketika sikap-sikap mazmumat ini dihadapan pada kepentingan Allah, maka akan muncul tiga hal:

Manusia semakin lari dari Allah, atau
dia justru memanfaatkan simbol-simbol Allah untuk kepentingan hawa nafsunya, atau
yang terakhir dia dibuka hatinya oleh Allah melalui HidayahNya.

Ibnu Ajibah menyimpulkan dari al-Hikam di atas, bahwa kematian hati (qalbu) karena tiga hal:
1. Mencintai dunia,
2. Alpa dari mengingat Allah,
3. Membiarkan dirinya bergelimang maksiat.

Faktor yang menyebabkan hati hidup, juga ada tiga:
1. Zuhud dari dunia
2. Sibuk dizikrullah
3. Bersahabat dengan Kekasih-kekasih Allah

Tanda-tanda kematian hati juga ada tiga:

Jika anda tidak merasa susah ketika kehilangan keselarasan taat kepada Allah.
Tidak menyesali dosa-dosanya.
Bersahabat dengan manusia-manusia yang lupa pada Allah yang hatinya sudah mati.

Kenapa demikian?

Karena munculnya kepatuhan kepada Allah merupakan tanda kebahagiaan hamba Allah, sedang munculnya hasrat kemaksiatan merupakan tanda kecelakaan hamba.

Apabila hati hidup dengan ma’rifat dan iman maka faktor yang menyiksa hati adalah segala bentuk yang membuat hati menderita berupa kemaksiatan hati kepada Allah.

Yang membuatnya gembira adalah faktor ubudiyah dan kepatuhannya kepada Allah.
Boleh saja anda mengatakan :
Jika seorang hamba Allah bisa taat dan melaksanakan ubudiyah, itulah tanda bahwa hamba mendapat Ridlo Allah. Hati yang hidup senantiasa merasakan Ridlo Allah, lalu bergembira dengan ketaatan padaNya.

Jika seorang hamba Allah bermaksiat kepadaNya, itulah pertanda Allah menurunkan amarahNya.

Hati yang mati tidak merasakan apa-apa, bahkan sentuhan taat dan derita maksiat tidak membuatnya gelisah. Sebagaimana yang dirasakan oleh mayit, tak ada rasa hidup atau rasa mati.
Rasulullah saw, bersabda,

“Orang yang beriman adalah orang yang digembirakan oleh kebajikannya, dan dideritakan oleh kemaksiatannya.”

Soal Respon Terhadap Dosa
Namun, Ibnu Athaillah mengingatkan, agar dosa dan masa lalu, jangan sampai membelenggu hamba Allah, yang menyebabkan sang hamba kehilangan harapan kepada Allah. Karena itu, rasa bersalah yang berlebihan yang terus menerus menghantui hamba harus dibebaskan dari dalam dirinya. Sang hamba harus tetap optimis pada masa depan ruhaninya di depan Allah.

Kebesaran ampunan Allah tidak bisa didilampaui oleh seluruh dosa-dosa hambaNya. Ampunan Allah lebih agung, lebih besar dan lebih kinasih, pada hambaNya yang bertobat. Karena itu Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertobat dan menyucikan diri.”
Oleh sebab itu jangan sampai perbuatan maksiat itu membuat hamba-hamba Allah menjadi Su’udzon kepada Allah.
“Dosa besar apa pun, jangan sampai menghalangi Husnudzon (baik sangka) anda kepada Allah.”

Wacana ini sekaligus mengingatkan kita pada pembuka kitab Al-Hikam,

“Diantara tanda-tanda bergantung atau mengandalkan amal adalah rasa pesimis kepada rahmat Allah ketika sang hamba berbuat dosa.”
Jika anda masih mengandalkan amal, bukan mengandalkan Allah, berarti anda akan pesimis jika kesalahan menimpa anda. Padahal kita harus menggantungkan diri pada Allah, mengandalkan Allah, bukan mengandalkan amal. Karena mengandalkan amal, bisa menciptakan rasa arogansi spiritual, dengan merasa paling banyak beramal dan taat, kemudian merasa paling benar, paling dekat dengan Allah.

Dalam soal harapan dan ketakutan, biasanya hamba terbagi menjadi tiga golongan;

Golongan pemula, biasanya terliputi oleh rasa khawatir dan takut, dibanding dorongan harapan.
Golongan menengah, biasanya seimbang natara harapan dan ketakutannya.
Golongan yang sudah sampai kepada Allah, lebih didominasi rasa harapan yang optimis kepada Allah.

Inilah yang tergambar pada saat gurunya Al-Junaid, Sarry as-Saqathy dalam kondisi Maqbudl (terhimpit oleh suasana ruhaninya dalam Genggaman Allah).

“Ada apa gerangan wahai paman?” Tanya Junaid.

“Oh, anakku, ada seorang pemuda datang kepadaku, kemudian bertanya padaku, “Apakah hakikat taubat itu?”.

Aku jawab, “hendaknya engkau tidak melupakan dosa-dosamu…”.

Tapi pemuda itu mengatakan sebaliknya, “Tidak. Tapi justru hendaknya engkau melupakan dosa-dosamu..” Lalu pemuda itu keluar begitu saja.
Kemudian al-Junayd menegaskan, “Ya, menurutku yang benar adalah kata-kata si pemuda tadi. Karena itu jika aku berada di musim panas, lalu mengingat musim dingin, berarti aku berada di musim dingin.”
Pandangan As-Sary, benar, bagi para pemula. Sedangkan pandangan al-Junaid untuk mereka yang sudah sampai kepada Allah.
Bagaimana respon mereka yang mencapai tahap Ma’rifatullah?
“Siapa yang ma’rifat kepada Allah maka semua dosa adalah kecil di sisi KemahamurahanNya.”

Maksudnya, jika kita mengenal sifat dan Asma Allah yang Maha Murah, para hamba akan terus optimis terhadap ampunan Allah, karena tidak ada yang melebihi kebesaran dan keagungan ampunan Allah.

Sampai-sampai Rasul Allah SAW, menegaskan dalam hadits,

“Jika kalian semua berdosa, sampai dosa itu memenuhi langit, kemudian kalian bertobat, Allah pun mengampuni kalian. Jika sudah tidak adalagi hambaNya yang berbuat dosa, lalu datang para hamba Allah yang berbuat dosa, para hamba ini pun memohon ampun kepada Allah, maka Allah juga mengampuni mereka….. Karena sesungguhnya Allah Maha Ampun lagi Mengasihi.”
Namun, seorang hamba tidak boleh terjebak oleh ghurur, dengan alibi, mengabaikan dosa, dan menganggap enteng dosa-dosa itu.

Hal demikian ditegaskan lagi oleh Ibnu Athaillah:
“Tak ada dosa kecil jika anda berhadapan dengan KeadilanNya, dan tak ada dosa besar jika anda berhadapan dengan FadhalNya.”

Hikmah ini harus difahami di dunia ini dengan penafsiran demikian:
Apabila seorang hamba berbuat kepatuhan, ketaatan, ubudiyah, berarti itulah tanda bahwa sang hamba mendapatkan limpahan FadhalNya Allah. Sebaliknya jika sang hamba bermaksiat, menuruti hawa nafsunya, berarti merupakan pertanda bahwa si hamba berhadapan dengan KeadilanNya.
Tak ada yang lebih kita takutkan dibanding kita menghadapi Keadilan Allah, dan tak ada yang lebih dahsyat harapan kita dibanding kita menyongsong Fadhal dan RahmatNya.