Hidup pastikan aman tenteram dunia wal akhirat kalau saja kita selalu bertafakur untuk mengingat Allah dan mengingat kehidupat akhirat, minimal 5 menit dalam sehari semalam
Selasa, 12 April 2016
Jiwa
Jiwa/Diri adalah kehidupan yang ada pada setiap diri, dalam Bahasa Arab disebutkan dengan kata : “ NAFS ” yang artinya ; Jiwa/Diri.
Sebagaimana Allah berfirman :
“Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan Ridho serta di Ridhoi. Masuklah ke dalam golongan hamba–hamba Ku. Dan masuklah kedalam Syurga Ku”. (QS, Al- Fajr : 27-30)
Jiwa/Diri adalah suatu kesatuan antara Ruh dan Jasad, di mana tatkala Ruh nasab/misra kepada sekalian batang tubuh/Jasad maka bernamalah ia dengan Jiwa/Diri.
Syech Muhammad Arsyad Al-Banjari seorang Awliya Allah dan termasuk Ulama Besar di Kalimantan Selatan Kalampaian yang berguru kepada Syech Mursyid Muhammad Saman Al-madani Al-hasani di Kota Madinah salah seorang zuriat daripada Baginda Rosulullah Saw yang juga sebagai penjaga Maqom Nabi, mengatakan :
Bahwa sebenar-benarnya Diri itu adalah Ruh
Sebenar-benarnya Ruh itu adalah Nafs/Jiwa
Sebenar-benarnya Nafs/Jiwa itu adalah Naik Turun Nafas
Naik Turun Nafas itu adalah Sir/Rahasia
rasakanlah Naik tutunnya Nafas itu, karena Nafas itu adalah Sir/Rahasia antara Insan dengan Tuhannya. dengan sering2nya bermusyahadah maka Anda akan semakin sadar bahwa diri Anda adalah sangat dekat dengan Tuhan
Mengenai matikan diri sebelum Mati.
Rosulullah Saw bersabda : “Matikan diri kamu sebelum Mati”
Sungguh Manusia itu tidak akan sampai kepada Tuhannya selama ke DIRI an/ke EGO an/ke AKU an nya masih melekat pada dirinya.
Karenanya matikan lah ke DIRI an/ke EGO an/ke AKU an itu hingga tumbuh kesadaran bahwa saya tidak bisa melakukan ini dan itu melainkan serta Allah.
Lalu bagaimana agar ke DIRI an/ke EGO an/ke AKU an mati???
yaitu dengan Mengenal diri sebenar2nya diri.
Jika sudah dikenal diri sebenar2nya diri maka akan di kenalilah Tuhan yang bernama ALLAH itu.
Dan adapun yang dikatakan Sir/Rahasia itu adalah Nur Muhammad Saw.
Dan adapun yang dikatakan Sir/Rahasia itu adalah Nur Muhammad Saw.
Adalah benar. Saya hanya ingin tambahkan untuk menjaddi bahan renungan mengenai fungsinya.
Saya menganggap tiga ciptaan Allah: AKAL,
ROH DAN JIWA; sebagai three ini one dan masing mempunyi fungsi.
1. AKAL berfungsi untuk membedakan yang HAK dan BATHIL
2. ROH berfungsi sebagai penghubung Allah dan HambaNya
3. JIWA berfungsi untuk menyalurkan hasrat dan keinginan (Nafsu).
Bersih Diri
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku. (Al Fajr :27-30)
Saya sangat terkesan dengan ayat ini. Ada kerinduan untuk dipanggil oleh Allah dengan mesra. Tapi mungkinkah? Karena jiwa masih pekat dengan kabut dosa, sangatlah sulit untuk membuatnya menjadi cemerlang. Masih sering terngiang di telinga akan pesan Allah lewat firman-Nya :
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Asy Syams:9-10)
Defenisi Jiwa
Didalam sebuah artikel dijelaskan bahwa jiwa mampu menyimpan semua memori dari semenjak sejak lahir sampai jasad meninggal. Ibarat sebuah server yang besar, mampu menyimpan data yang besar pula. Tidak ada yang luput dari server ini, semua tersimpan dengan baik. Baik itu data kejahatan maupun data kebaikan. Berbeda dengan memori otak yang sangatlah terbatas. Misalnya kita disuruh untuk menghapal type mobil dan warnanya yang kita jumpai sepanjang perjalanan dari rumah ke kantor. Sudah tentu terbatas sekali yang dapat kita hapalkan. Namun kalau jiwa yang merekam, sangatlah akurat. Jangankan type mobil dan warnanya. No. Polisinya pun terekam dengan baik bahkan dijalan apa dan pada jam berapa kita menjumpainya.
Data kejahatan membuat jiwa menjadi redup cahayanya atau bahkan padam sama sekali. Sedangkan data kebaikan membuat jiwa menjadi bersinar terang. Dan sinar ini mampu menghalau cahaya gelap.
Dan di akherat kelak data di server ini akan di tampilkan semua. Didalam DOS kita biasa mengetik perintah DIR, maka semua polder akan muncul. Begitu pula dengan jiwa, semua akan ditampilkan sedetail-detailnya dari yang sekecil-kecilnya.
Namun sebenarnya file kejahatan tidak semuanya akan ditampilkan. Karena ada fasilitas Delete File atau Hidden File. Siapa yang bisa melakukan ini. Ya…pasti pemilik server tentunya. Allah Rabbal Alamin. Dia mengampuni siapa yang di kehendakinya.
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Az Zumar:53)
Semakin terang cahaya jiwa, semakin dekatlah ia kepada Allah. Dan semakin berat pula godaan iblis. Karena iblis akan selalu mengirimkan pasukannya silih berganti untuk melalailkan sang jiwa ini. Dan jangan tanya berapa banyaknya. Semakin bersih jiwa semakin kuat iblis yang dikirimkan.
Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). (Al A’raaf:16-17)
Banyak yang rancu antara JIWA (nafs) dan RUH. Banyak yang menganggapnya sama, padahal sesungguhnya keduanya sangat berbeda.
Yang seperti apakah Jiwa itu? Jiwa adalah badan halus manusia, yang bisa bepergian – keluar dari Jasad wadag, ketika manusia sedang bermimpi, atau ketika ber ’OBE’ ria (Out of Body Experience) atau PLB – Perjalanan Luar Badan. Jiwa, merupakan tubuh halus manusia. Jiwa memiliki perangkat-perangkat yang menyebabkan manusia dicap sebagai makhluk sosial, makhluk cerdas (Aqal), makhluk spiritual (Qolbu). Jiwa yang menanggung semua akibat perbuatan tubuh fisik dan tubuh eterik.
Jiwa diciptakan sempurna tanpa cacat. Tidak ada yang terlahir sakit jiwa. Nggak ada bayi edan. Jiwa adalah putih bersih ketika dilahirkan, lingkungan dan pengalamanlah yang membuatnya bisa tetap putih atau kotor.
Komponen-Komponen Jiwa
Komponen yang dimiliki jiwa: Nafsu (sahwat, emosi), Hasrat (keinginan, ego), Aqal, Qolbu, dll.
Indera Jiwa
Indera Jiwa sering disebut pula sebagai Indera bathin. Jiwa juga memiliki indra penglihatan dan pendengaran. Dari situlah setan (dan jin) memberikan pengaruhnya ke jiwa, berupa suara-suara dihati kita yang mengajak ke perbuatan negatif.
Qolbu
Qolbu adalah Jantungnya Jiwa. Qolbulah yang menentukan baik-buruknya Jiwa. Gelap-terangnya Jiwa.Sesungguhnya Ruh itu selalu mengajak Jiwa ke jalan yang lurus, tetapi setan sangat gigih mengobok-obok instrumen-instrumen Jiwa agar sesat.[Firman Allah dalam Al-Qur’an: Setan adalah musuh yang nyata]
Suara-suara di Qolbu (hati)• Suara si jiwa sendiri• Suara Ruh kita• Suara makhluk lain
Tingkatan Kesadaran Jiwa
Secara garis besar, ada 7 (tujuh) lapisan yang membatasi antara Jiwa dan Ruh, yang berkorelasi dengan tingkatan kesadaran Jiwa.Lapisan tersebut hanya bisa ‘terbuka’ dengan melalui sedikit cara. Salah satu caranya adalah dengan ‘serius’ berupaya membersihkan diri, membersihkan Jiwa, membersihkan Qolbu (hati) dengan NIAT mendekatkan diri kepada ALLAH SWT – Sang Khalik. Atau merupakan sebuah anugrah karunia-NYA (given).
Lapisan ini berubah menjadi hijab kalau kotor. Bila pada lapisan 1 yang kotor (hijab) berakibat komunikasi antara Jiwa dengan Ruh terganggu. Muncullah penyakit non-fisik / kejiwaan (nafs) seperti pemarah, kejam, nafsuan, dll).
Nafs Lawwamah, Ammarah-bissu, dan nafs muthmainah.
Terbukanya (bersihnya) masing-2 lapisan tersebut, akan menumbuhkan kesadaran dan kemampuan Jiwa yang lebih tinggi [orang bilang ilmu laduni – ’ngkali].
Kesadaran Ruhiah – Ilahiah
Kesadaran tertinggi dari Jiwa adalah Kesadaran Ruhiah. Inilah yang didambakan oleh para pejalan spiritual. Tujuan akhir
Ruh
Al-Israa’(17): 85
”Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’ “.
Ruh adalah suci, ciptaan Allah, sehingga dikategorikan sebagai Makhluk. Jadi ruh dalam diri jasad manusia bukanlah Allah itu sendiri.
“Maka apabila telah Aku menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan kedalamnya Ruh-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud “ (Al Hijr:29)
Pengertian “roh KU”? Roh milik Allah. Roh ciptaan dan milik Allah, yang ditiup masuk oleh Allah ke dalam Jasad manusia. Bila manusia meninggal maka ruh ini akan kembali ke Sang Pencipta.
“akan tetapi di dalam diri manusia ada bashirah (yang tahu)”(QS 75:14).
Kata bashirah ini disebut sebagai yang tahu atas segala gerak manusia yang sekalipun sangat rahasia. Ia biasa menyebut diri (wujud)-nya adalah “Aku”.
Tidak ada yang namanya Ruh (Roh) jahat, gentayangan, ataupun lainnya. Sesungguhnya Ruh itu selalu mengajak jiwa ke jalan yang lurus, tetapi setan sangat gigih mengobok-obok instrumen-instrumen yang dimiliki jiwa agar sesat. (Firman ALLAH dalam Al-Qur’an: Setan adalah musuh yang nyata)
Kemana Tubuh Fisik, Eterik, Jiwa dan RUH Pergi Ketika Meninggal Dunia?
Kembalinya Ruh
RUH, yang saya tidak tahu sedikitpun esensinya, akan langsung kembali kepada Sang Pencipta.
Kembalinya Tubuh Fisik
Tubuh Fisik yang tersusun dari materi duniawi akan kembali menjadi materi-materi tanah. Tidak ada lagi kesadaran yang tersisa. Tak ada lagi cerita.
Tubuh Jiwa, kemana perginya?
Kemana perginya sangat tergantung dengan Keyakinan dan Laku Amal-Ibadah yang dilakoninya selama hidup didunia. Ketika kita memuja (membuka hati kepada) mahluk lain bukan kepada Allah SWT, kita mempersembahkan energi kita kepada sesama mahluk, baik manusia ataupun mahluk lain walau mereka berada di dimensi yang lebih tinggi, maka secara langsung kita membatasi diri kita sendiri dan potensi spiritual kita. Setiap saat kita membuka hati kita untuk hal/mahluk lain selain untuk berhubungan langsung dengan Allah SWT, maka kita tersesat dari tujuan hidup yang sebenarnya.
Orang yang menghambakan diri, menggadaikan diri kepada selain Allah Yang Maha Esa, akan ditarik janji gadainya. Orang yang mencari pesugihan lewat gunung abc, akan ditagih jiwanya sebagai balasan kekayaan materi yang didapatnya selama hidup oleh penunggu gunung abc. Orang atheis, kafir yang tidak percaya adanya Allah SWT, apalagi suka berbuat dzalim, Jiwanya gelap matanya buta dan telinganya tuli. Tidak bisa melihat dan mendengar apa-apa. Jiwanya akan menunggu dalam dimensi kegelapan, hingga sangkakala berbunyi.
Orang yang beriman, yang berserah diri, yang suci, Yang mati sahid, Jiwanya akan langsung terbang, entah menuju dan menunggu dilangit yang mana. Tingginya langit yang bisa disambangi, tingginya surga yang akan didiami, berbanding lurus dengan Kemurnian Tauhid yang diyakini dan dijalani.
Dengan demikian terserah kepada diri kita masing-masing. Apakah kita tega mengotori jiwa kita atau justru membersihkannya?
Minggu, 10 April 2016
Nasehat Ibnu Athailah tentang Dzikrullah
Nasehat Ibnu Athailah tentang Dzikrullah
“Jangan engkau tinggalkan zikir kepada Allah, sebab lalaimu terhadap Allah tanpa adanya zikir adalah lebih berbahaya daripada lalaimu kepada Allah dengan masih tertinggal zikir di hatinya. Mudah-mudahan Allah mengingat kamu untuk berzikir dari suka melalaikan kepada sadar melaksanakan zikir. Dari zikir yang sadar meniadi zikir yang penuh kehadiran hati. Dari zikir dengan hadimya hati kepada zikir yang masuk kepada kegaiban. Tidaklah ada kesukaran bagi Allah tentang hal-hal seperti itu.”
.Zikir itu sebenarnya tidak hanya dengan lisan. Setiap perilaku, tindakan untuk mengingatAllah boleh disebut zikir. Ada zikir dengan hati, ada dengan lisan, ada dengan pikiran dan ada dengan perbualgn. Boleh zikir dengan berjalan, dengan duduk, dengan bekerja, dengan berbaring, atau zikir dengan tegak, duduk, dan beberapa cara sehrnatidakbertentangan dengan sunah Nabi Muhammad Saw. Dijelaskan hal ini dalam surat Ali Imran ayat 191,
Zikir adalah jalan menuju Allah yang rahman, untuk mendalami wujud- Nya dengan mengingat dan menyebut sifat-sifat-Nya. Zikir dengan bermacam-macam cara, menghendaki agar zikir itu dilakukan dengan kehendak yang kuat, untuk mencari kekuatan yang dapat memberi ketenangan bagi manusia. Atau dapat menjadi’obat dan penawar bagi kesejukan hati sanubari. Allah Ta’ala menyebut zikir ini dalam Al Qur’an,
Ingat kepada Allah dengan sungguh-sungguh dengan konsentrasi jiwa dan hati, akan membentuk manusia yang tenang, dan hamba Allah yang istiqamah, dengan hidup yang tertempa, serta banyak lagi fadilah zikir yang akan diperoleh dan dirasakan oleh hamba yang suka berzikir (mengingat terus menerus). Maqam tertinggi yang diperoleh oleh hamba yang berzikir, adalah zikir yang hidup dengan sendirinya di dalam dirinya, yang sudah menjadi satu di sekujur anggota badannya. Setiap gerakannya adalah zikir, setiap ucapannya adalah zikir, senyum dan kerdipan mata, naikf turunnya napas adalah zikir. Antara Allah Ta’ala dengan hamba-Nya yang berzikir tidak ada batasnya, tidak dibatasi waktu, masa, jarak, antara si hamba dengan Allah Jalla Jalaluh.
Dalam suatu hadis Qudsi, Allah Swt. mengingatkan hamba-hamba-Nya yang berzikir:
Ibnu Abbas ra. berkata,
Abu Qasim Al Qusairy mengingatkan,
Dalam salah satu hadits Qudsi disebutkan,
Zikir itu berjalan sepanjang masa tanpa batas wakfu atau halangan, sebab ia diperbolehkan pada semua waktu.
“Jangan engkau tinggalkan zikir kepada Allah, sebab lalaimu terhadap Allah tanpa adanya zikir adalah lebih berbahaya daripada lalaimu kepada Allah dengan masih tertinggal zikir di hatinya. Mudah-mudahan Allah mengingat kamu untuk berzikir dari suka melalaikan kepada sadar melaksanakan zikir. Dari zikir yang sadar meniadi zikir yang penuh kehadiran hati. Dari zikir dengan hadimya hati kepada zikir yang masuk kepada kegaiban. Tidaklah ada kesukaran bagi Allah tentang hal-hal seperti itu.”
.Zikir itu sebenarnya tidak hanya dengan lisan. Setiap perilaku, tindakan untuk mengingatAllah boleh disebut zikir. Ada zikir dengan hati, ada dengan lisan, ada dengan pikiran dan ada dengan perbualgn. Boleh zikir dengan berjalan, dengan duduk, dengan bekerja, dengan berbaring, atau zikir dengan tegak, duduk, dan beberapa cara sehrnatidakbertentangan dengan sunah Nabi Muhammad Saw. Dijelaskan hal ini dalam surat Ali Imran ayat 191,
Zikir adalah jalan menuju Allah yang rahman, untuk mendalami wujud- Nya dengan mengingat dan menyebut sifat-sifat-Nya. Zikir dengan bermacam-macam cara, menghendaki agar zikir itu dilakukan dengan kehendak yang kuat, untuk mencari kekuatan yang dapat memberi ketenangan bagi manusia. Atau dapat menjadi’obat dan penawar bagi kesejukan hati sanubari. Allah Ta’ala menyebut zikir ini dalam Al Qur’an,
Ingat kepada Allah dengan sungguh-sungguh dengan konsentrasi jiwa dan hati, akan membentuk manusia yang tenang, dan hamba Allah yang istiqamah, dengan hidup yang tertempa, serta banyak lagi fadilah zikir yang akan diperoleh dan dirasakan oleh hamba yang suka berzikir (mengingat terus menerus). Maqam tertinggi yang diperoleh oleh hamba yang berzikir, adalah zikir yang hidup dengan sendirinya di dalam dirinya, yang sudah menjadi satu di sekujur anggota badannya. Setiap gerakannya adalah zikir, setiap ucapannya adalah zikir, senyum dan kerdipan mata, naikf turunnya napas adalah zikir. Antara Allah Ta’ala dengan hamba-Nya yang berzikir tidak ada batasnya, tidak dibatasi waktu, masa, jarak, antara si hamba dengan Allah Jalla Jalaluh.
Dalam suatu hadis Qudsi, Allah Swt. mengingatkan hamba-hamba-Nya yang berzikir:
Ibnu Abbas ra. berkata,
Abu Qasim Al Qusairy mengingatkan,
Dalam salah satu hadits Qudsi disebutkan,
Zikir itu berjalan sepanjang masa tanpa batas wakfu atau halangan, sebab ia diperbolehkan pada semua waktu.
MAKNA MATI DALAM HIDUP
Rasulullah s.a.w bersabda:
Bila hati seorang sudah dimasuki Nur, maka itu akan menjadi lapang dan terbuka.” Setelah mendengar ucapan Rasulullah s.a.w. itu orang banyak bertanya: “Apakah tandanya hati yang lapang dan terbuka itu ya Rasulullah..? Rasulullah menjawab:
“Ada perhatiannya terhadap kehidupan yang kekal di akherat nanti, dan timbul kesadaran dan pengertian terhadap tipu daya kehidupan dunia sekarang ini, lalu dia bersedia menghadapi mati sebelum datangnya mati.” (H.R. Ibnu Jurair) Bersedia menghadapi mati sebelum datangnya mati adalah pelajaran luar biasa berhikmahnya dari hadits ini.
Statement ini mengisyaratkan kepada kita untuk berlatih mati dalam rangka menghadapi proses kematian, agar dapat mati dalam keadaan sukses. Lalu bagaimanakah bentuk sukses dari sebuah kematian itu? Berbicara mengenai hal ini, Nabi Ibrahim berpesan kepada anak-anaknya: “Janganlah sampai kamu meninggal dunia padahal kamu tidak menyerahkan dirimu (Total Submission) kepada ALLAH.” (Q.S. Ibrahim : 152)
Orang yang menyerahkan diri secara total kepada ALLAH adalah orang yang dekat kepada-NYA, oleh karena itu kematiannya adalah sebuah kesuksesan. “Adapun bila yang meninggal itu adalah orang-orang yang mendekatkan diri (kepada ALLAH). Maka (kematian baginya) adalah lega, semerbak dan nikmat sekali.” (QS. Waqi’ah : 89-90)
Ibrahim a.s. mengisyaratkan bahwa kematian yang sukses adalah kematian dalam keadaan “penyerahan diri secara total kepada ALLAH semata”. Karena memang: “Sesungguhnya hidupku dan matiku hanyalah untuk ALLAH semata. (QS. Al An’am : ) Tentang Sukses Kematian, Rasulullah bersabda: “Siapa yang suka menemui ALLAH, ALLAH suka menemuinya, dan barang siapa benci menemui ALLAH, ALLAH benci pula menemuinya.”
Setelah mendengar sabda Rasulullah ini banyak para sahabat yang menangis. Melihat itu Rasulullah bertanya kepada mereka, kenapa menangis..? Mereka menjawab: “Semua kami membenci mati ya Rasulullah. Maka berkatalah Rasulullah: “Bukan demikian yang dimaksud, tetapi adalah ketika menghadapi sakaratil maut.”
Sebagaimana kehidupan yang indah, kematian yang indah adalah kematian dengan kondisi jiwa penuh dengan ke-“Tauhid”-an. Jiwa yang dipenuhi dengan menafikan segala bentuk penuhanan terhadap sesuatu selain ALLAH dan terus-menerus meneguhkan (isbatkan) penuhanan kepada ALLAH semata-mata. Karena:
Lailaha ilalloh adalah ucapan AKU
Lailaha ilalloh adalah AKU
Lailaha ilalloh adalah benteng AKU.
Siapa yang masuk dalam benteng AKU dengan mengucap Lailaha ilalloh lepas dari aniaya-KU. (Hadits Qudsi)
Dalam hidup berbekal Tauhid, dalam menghadapi sakaratul maut berbekal Tauhid, jiwa pergi dari jasad membawa Tauhid. Jika kesadaran telah dipenuhi dengan “Tauhid” kehidupan kita akan bebas dari aniaya ALLAH, demikian juga dengan kematian kita. Oleh karena itu seperti diriwayatkan oleh Muslim dari Sa’id Al-Khudri r.a beliau berkata : “Saya mendengar Rasulullah s.a.w bersabda:
“Talkinkanlah olehmu orang yang mati di antara kamu dengan kalimat La ilaha illallah. Karena sesungguhnya, seseorang yang mengakhiri ucapannya dengan itu ketika matinya, maka itulah bekalnya menuju surga.” Masuk ke dalam benteng SANG AKU: Lailaha ilalloh, tentunya bukan sekedar ucapan lisan saja. Akan tetapi telah diyakini dengan qalbu dan telah disaksikan dengan sepenuh jiwa.
Dengan kondisi kesadaran yang demikian maka qalbu menjadi terbersihkan dari segala kotoran-kotoran dosa, selalu terisi dengan keimanan, ingatan selalu tertuju kepada ALLAH dan sikap jiwa dalam keadaan berserah diri total kepada ALLAH, sebagai pemilik hidup kita. Penyerahan diri dengan kesadaran kepada ALLAH Yang Maha Esa.
Seperti dikatakan oleh Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali (wafat 1111): “At Tauhid al-khalis an layaraha fii kulli syai’in ilallah” (Tauhid sejati adalah penglihatan atas Tuhan dalam segala sesuatu). Dengan Tauhid ini, manusia menjadi sadar kedudukannya bahwa tubuhnya adalah semata-mata bentuk Kuasa ALLAH (melihat Tuhan dalam tubuhnya), sebagaimana alam semesta raya.
Harus kembali kepada-NYA dalam posisi tunduk patuh sebagaimana tunduk patuhnya alam semesta. Semua adalah bentuk Kuasa ALLAH, Energi ALLAH, Daya ALLAH karena sesungguhnya: La haula walaa quwwata illa billahil aliyyil adziem. Dengan Tauhid pula manusia sadar bahwa, hidup yang ada didalam dirinya (melihat Tuhan tidak terpisahkan dari hidupnya),
yang menyebabkan badan bisa hidup bergerak serta membuatnya menjadi makhluk sadar adalah roh yang berasal dari-NYA – “Min Ruhi” atau Roh SANG AKU. Milik-NYA semata-mata dan aksioma akan kembali kepada-NYA. Tidak ada rasa peng-“aku” an atas hidup, jiwa dan roh yang ada di dalam badan ini. Ia adalah milik-NYA dan akan kembali kepada-NYA.
Dengan kondisi psikologis yang demikian orang akan lebih tenang dengan bertawakal kepada ALLAH semata dalam menghadapi situasi kritis saat ajal menjemput. Karena ia telah sadar bahwa: o Mati adalah untuk kembali ke Asal atau Sumber dari hidup, yaitu ALLAH o Mati adalah perjalanan menuju ALLAH o Mati adalah saat menemui ALLAH o Mati adalah Bersaksinya roh atas Wajah ALLAH o Mati adalah untuk Merasakan Kedekatan/ Kesatuan dengan ALLAH
Pelatihan Mati Sukses, Seperti Jawaban Rasulullah kepada para Sahabatnya: “Ada perhatiannya terhadap kehidupan yang kekal di akherat nanti, dan timbul kesadaran dan pengertian terhadap tipu daya kehidupan dunia sekarang ini, lalu dia bersedia menghadapi mati sebelum datangnya mati.” Jika kita simak hadits nabi tersebut, Rasulullah telah memberikan motivasi kepada kita tentang bagaimana hendaknya umatnya melakukan latihan untuk menghadapi mati sebelum datangnya kematian, agar dapat sukses ketika menghadapinya nanti.
Mengenai hal ini, Haji Slamet Oetomo Blambangan berkenan berbagi pengetahuan dan best practicenya kepada kita dalam menghadapi kematian. Saya senang menyebutnya dengan istilah pelatihan mati khusyuk. Proses pelatihan ini berangkat dari filosofi tentang Hakikat manusia yang diajarkan Tuhan melalui al qur’an.
- Yang pertama, kematian itu adalah proses kembali menemui Tuhan sama dengan sholat, dzikir atau itikaf. Oleh karena itu kita posisikan Kesadaran sesuai dengan surat: Al ‘Araf : 29 : ” Dan (katakanlah): “Luruskanlah muka (diri)mu di setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya).”
Meluruskan muka atau diri adalah menumpahkan dan memusatkan seluruh perhatian kepada ALLAH semata. Dan dibekali dengan keikhlasan dengan tingkat kesadaran seperti dinyatakan qur’an : “Katakanlah: sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS Al An’am : 162).
Dan seperti dijadikan pada mulanya yaitu bayi lahir, bayi itu suci, tidak merasa bisa tidak merasa pandai bahkan dipanggil namanya tidak tahu/bodoh. Semua yang ada nikmat ALLAH, kepunyaan ALLAH harus kembali kepadaNYA seperti pada mulanya yaitu seperti bayi lahir suci, perasaan tidak bisa apa-apa. Berserah diri total.
- Yang kedua, Tahu Tujuan Kematian. Tidak lain adalah Tuhan Semesta Alam – ALLAH. Tuhan seperti yang dijelaskan dalam surat Al Iklash: “Tuhan ALLAH Yang Maha Esa. Tuhan ALLAH tempat meminta. Dia tidak beranak dan tidak pula dilahirkan sebagai anak. Dan tidak ada sesuatupun yang ada persamaannya dengan DIA.” (Al –Iklash ) Al Fajr 27-28 dan Tuhan yang dijelaskan dalam surat Fushilat : 54 : “Bukankah mereka masih dalam keraguan tentang pertemuan dengan Tuhannya,,? Bukankah DIA-NYA meliputi segala sesuatu.”
- Yang ketiga, mati adalah proses menemui ALLAH. Tidak lain adalah proses mendekatkan diri kepada ALLAH. Proses mendekatkan diri kepada ALLAH adalah proses menjalankan jiwa kepada tujuannya , yaitu ALLAH. Dalam proses kematian, yang berjalan adalah jiwa dengan min ruhinya, bukan pikiran atau hati. Seperti Firman ALLAH: “Wahai jiwa yang tenang masuklah kedalam Surga-KU”. Adalah jiwa dengan min ruhinya, bukan badan, pikiran dan hati. Saat kematian, seyogya nya jiwa dijalankan kepada ALLAH dengan terus mengingat ALLAH .
Dengan ingat kepada ALLAH, jiwa akan semakin meluncur mendekat kepada ALLAH. Pada posisi in, dalam batin hendaknya juga dikembangkan “Baik Sangka” kepada ALLAH, sebab sikap yang demikian akan menuntun kepada keadaan yang menjadi persangkaan kita. Sesuai dengan rumus “AKU adalah menurut persangkaan hamba-KU tentang AKU dan AKU bersama dia bila dia memanggil AKU”.
- Yang Keempat, menyadari eksistensi sebagai manusia. Bahwa tubuh manusia sebagai prototipe alam semesta adalah bentuk Kekuasaan ALLAH yang Maha Dasyhat, Maha Luar Biasa. Sedangkan jiwa manusia dengan min ruhinya adalah berasal dari ALLAH, secara ilahiah adalah SATU dengan ALLAH.
Oleh karena itu harus disadari bahwa tubuh ini bukan tubuh milik kita akan tetapi Kuasa ALLAH, dan jiwa ini adalah min ruhi – Roh milik ALLAH. Disini kedirian menjadi lenyap karena yang ada hanya Kuasa ALLAH dan Roh ALLAH keduanya adalah milik ALLAH aspeknya ALLAH. Aksiomatis kembali kepada ALLAH.
- Yang kelima, lihatlah kembali ke diri kita manusia. Perhatikan keluar masuknya nafas itu adalah pertanda adanya hidup adanya roh dalam tubuh sehingga hidup bergerak, itu adalah kinerja-NYA ALLAH, perbuatan-NYA ALLAH. Keluar masuknya nafas adalah tanda adanya hidup-NYA ALLAH yang ada dalam tubuh, adanya min ruhi, Roh ALLAH yang meresapi seluruh tubuh ini. Roh ALLAH yang meresapi seluruh Qudrat ALLAH – tubuh.
Selanjutnya Perhatikan juga sang otak yang netral – sebagai jembatan antara roh yang metafisika dan tubuh yang fisika. Yang bertugas sebagai regulator kesadaran manusia, berikan informasi yang benar kepada otak, install informasi tentang kebenaran ketuhanan. Sehingga hiduplah manusia dengan kesadaran berketuhanan secara benar:”Tiada Tuhan selain ALLAH dan Muhammad adalah utusan ALLAH”.
- Yang Keenam, dengan kesadaran yang telah diperoleh kini serahkanlah, kembalikanlah, dudukkan pada posisi yang sebenarnya – segala eksisensi yang ada kepada SUMBER nya, kepada PUSAT nya, kepada ALLAH.
- Tubuh, Pikiran, Hati adalah Qudrat ALLAH kembali kepada pemilik Qudrat yaitu ALLAH
- Jiwa dengan minruhinya adalah milik ALLAH kembali kepada ALLAH
- Rasa Ingat/ Rasa Jati/ Rasa ber Tuhan kembali kepada ALLAH
- Semua kembali kepada ALLAH.
Jumat, 08 April 2016
kalimah thayyibah
Ungkapan dzikir atau kalimah thayyibah "Subhanallah" sering tertukar
dengan ungkapan "Masya Allah". Ucapkan "Masya Allah" kalau kita merasa
kagum. Ucapkan "Subhanallah" jika melihat keburukan!
SELAMA ini kaum Muslim sering “salah kaprah” dalam mengucapkan Subhanallah (Mahasuci Allah), tertukar dengan ungkapan Masya Allah (Itu terjadi atas kehendak Allah).
Kalau kita takjub, kagum, atau mendengar hal baik dan melihat hal indah, biasanya kita mengatakan Subhanallah. Padahal, seharusnya kita mengucapkan Masya Allah yang bermakna “hal itu terjadi atas kehendak Allah”
Ungkapan Subhanallah tepatnya digunakan untuk mengungkapkan “ketidaksetujuan atas sesuatu”. Misalnya, begitu mendengar ada keburukan, kejahatan, atau kemaksiatan, kita katakan Subhanallah (Mahasuci Allah dari keburukan demikian).
Ucapan Masya Allah
Masya Allah artinya “Allah telah berkehendak akan hal itu”. Ungkapan kekaguman kepada Allah dan ciptaan-Nya yang indah lagi baik. Menyatakan “semua itu terjadi atas kehendak Allah”.
Ungkapan Masya Allah diucapkan bila seseorang melihat hal yang baik dan indah. Ekspresi penghargaan sekaligus pengingat bahwa semua itu bisa terjadi hanya karena kehendak-Nya.
“Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu “Maasya Allah laa quwwata illa billah” (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan?” (QS. Al-Kahfi: 39).
Ucapan Subhanallah
Saat mendengar atau melihat hal buruk/jelek, ucapkan Subhanallah sebagai penegasan: "Allah Mahasuci dari keburukan tersebut".
Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Suatu hari aku berjunub dan aku melihat Rasulullah Saw berjalan bersama para sahabat, lalu aku menjauhi mereka dan pulang untuk mandi junub. Setelah itu aku datang menemui Rasulullah Saw. Beliau bersabd :‘Wahai Abu Hurairah, mengapakah engkau malah pergi ketika kami muncul?’ Aku menjawab: ‘Wahai Rasulullah, aku kotor (dalam keadaan junub) dan aku tidak nyaman untuk bertemu kalian dalam keadaan junub. Rasulullah Saw bersabda:Subhanallah, sesungguhnya mukmin tidak najis” (HR. Tirmizi).
“Sesungguhnya mukmin tidak najis” maksudnya, keadaan junub jangan menjadi halangan untuk bertemu sesama Muslim.
Dalam Al-Quran, ungkapan Subhanallah digunakan dalam menyucikan Allah dari hal yang tak pantas (hal buruk), misalnya:
“Mahasuci Allah dari mempunyai anak, dari apa yang mereka sifatkan, mereka persekutukan”, juga digunakan untuk mengungkapkan keberlepasan diri dari hal menjijikkan semacam syirik." (QS. 40-41).
“Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada malaikat: ”Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?” Malaikat-malaikatitu menjawab: “Mahasuci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka: bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu”. (QS. Saba’: 40-41).
“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau (dari menciptakan hal yang sia-sia), maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran:109).
Jadi, kesimpulannya, ungkapan Subhanallah dianjurkan setiap kali seseorang melihat sesuatu yang tidak baik, bukan yang baik-baik atau keindahan.
Dengan ucapan itu, kita menegaskan bahwa Allah Swt Mahasuci dari semua keburukan tersebut. Masya Allah diucapkan bila seseorang melihat yang indah-indah karena keindahan atas kuasa dan kehendak Allah Ta'ala.
Lalu, apakah kita berdosa karena mengucapkan Subhanallah, padahal seharusnya Masya Allah dan sebalinya?
Insya Allah tidak. Allah Maha Mengerti maksud perkataan hamba-Nya. Hanya saja, setelah tahu, mari kita ungkapkan dengan tepat antara Subhanallah dan Masya Allah.
Wallahu a’lam bish-shawabi.
SELAMA ini kaum Muslim sering “salah kaprah” dalam mengucapkan Subhanallah (Mahasuci Allah), tertukar dengan ungkapan Masya Allah (Itu terjadi atas kehendak Allah).
Kalau kita takjub, kagum, atau mendengar hal baik dan melihat hal indah, biasanya kita mengatakan Subhanallah. Padahal, seharusnya kita mengucapkan Masya Allah yang bermakna “hal itu terjadi atas kehendak Allah”
Ungkapan Subhanallah tepatnya digunakan untuk mengungkapkan “ketidaksetujuan atas sesuatu”. Misalnya, begitu mendengar ada keburukan, kejahatan, atau kemaksiatan, kita katakan Subhanallah (Mahasuci Allah dari keburukan demikian).
Ucapan Masya Allah
Masya Allah artinya “Allah telah berkehendak akan hal itu”. Ungkapan kekaguman kepada Allah dan ciptaan-Nya yang indah lagi baik. Menyatakan “semua itu terjadi atas kehendak Allah”.
Ungkapan Masya Allah diucapkan bila seseorang melihat hal yang baik dan indah. Ekspresi penghargaan sekaligus pengingat bahwa semua itu bisa terjadi hanya karena kehendak-Nya.
“Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu “Maasya Allah laa quwwata illa billah” (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan?” (QS. Al-Kahfi: 39).
Ucapan Subhanallah
Saat mendengar atau melihat hal buruk/jelek, ucapkan Subhanallah sebagai penegasan: "Allah Mahasuci dari keburukan tersebut".
Dari Abu Hurairah, ia berkata: “Suatu hari aku berjunub dan aku melihat Rasulullah Saw berjalan bersama para sahabat, lalu aku menjauhi mereka dan pulang untuk mandi junub. Setelah itu aku datang menemui Rasulullah Saw. Beliau bersabd :‘Wahai Abu Hurairah, mengapakah engkau malah pergi ketika kami muncul?’ Aku menjawab: ‘Wahai Rasulullah, aku kotor (dalam keadaan junub) dan aku tidak nyaman untuk bertemu kalian dalam keadaan junub. Rasulullah Saw bersabda:Subhanallah, sesungguhnya mukmin tidak najis” (HR. Tirmizi).
“Sesungguhnya mukmin tidak najis” maksudnya, keadaan junub jangan menjadi halangan untuk bertemu sesama Muslim.
Dalam Al-Quran, ungkapan Subhanallah digunakan dalam menyucikan Allah dari hal yang tak pantas (hal buruk), misalnya:
“Mahasuci Allah dari mempunyai anak, dari apa yang mereka sifatkan, mereka persekutukan”, juga digunakan untuk mengungkapkan keberlepasan diri dari hal menjijikkan semacam syirik." (QS. 40-41).
“Dan (ingatlah) hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka semuanya kemudian Allah berfirman kepada malaikat: ”Apakah mereka ini dahulu menyembah kamu?” Malaikat-malaikatitu menjawab: “Mahasuci Engkau. Engkaulah pelindung kami, bukan mereka: bahkan mereka telah menyembah jin; kebanyakan mereka beriman kepada jin itu”. (QS. Saba’: 40-41).
“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau (dari menciptakan hal yang sia-sia), maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Ali Imran:109).
Jadi, kesimpulannya, ungkapan Subhanallah dianjurkan setiap kali seseorang melihat sesuatu yang tidak baik, bukan yang baik-baik atau keindahan.
Dengan ucapan itu, kita menegaskan bahwa Allah Swt Mahasuci dari semua keburukan tersebut. Masya Allah diucapkan bila seseorang melihat yang indah-indah karena keindahan atas kuasa dan kehendak Allah Ta'ala.
Lalu, apakah kita berdosa karena mengucapkan Subhanallah, padahal seharusnya Masya Allah dan sebalinya?
Insya Allah tidak. Allah Maha Mengerti maksud perkataan hamba-Nya. Hanya saja, setelah tahu, mari kita ungkapkan dengan tepat antara Subhanallah dan Masya Allah.
Wallahu a’lam bish-shawabi.
DALIL TABARRUK
(Para Sahabat Bertabarruk Dengan Segalanya Yang Berkaitan Rasulullah SAW)
Daripada 'Amir ibn Abdullah ibn Zubair mengisahkan ayahnya pernah menceritakan kepadanya bahawa dia pernah datang kepada nabi ketika baginda sedang dibekam.
Setelah selesai dibekam, Baginda SAW bersabda: "Wahai Abdullah (ibn Zubair)! Pergilah kamu dengan membawa darah ini dan buanglah ia di tempat yang tidak seorang pun dapat melihat kamu."
Setelah meninggalkan Rasulullah SAW, dia mengambil darah itu, lalu meminumnya. Apabila kembali semula, Rasulullah SAW bertanya: "Apakah yang telah kamu lakukan dengan darah itu?" Dia menjawab: "Aku telah sorokkannya di tempat yang sangat tersorok, yang aku tahu ia sememangnya tersembunyi daripada orang ramai."
Baginda SAW bersabda: "Boleh jadi engkau telah meminumnya?" Dia menjawab: "Ya".
Nabi SAW bersabda: "Kenapa kamu minum darah itu? Celakalah manusia daripada kamu dan terselamatlah kamu daripada manusia." (riwayat Al-Hakim, al-Bazzar, Al-Isobah dan oleh Al-Haithami dalam Majma')
Abu Musa mengatakan bahawa Abu 'Asim berkata: "Mereka (para sahabat) berpendapat bahawa kekuatan yang terdapat pada Abdullah ibn Zubair itu disebabkan keberkatan darah tersebut."
Dalam riwayat Imam al Dar Qutni daripada hadis Asma' binti Abu Bakar juga seperti itu. Dalam hadis tersebut dinyatakan: "Dan kamu tidak akan disentuh api neraka".
Dalam kitab al Jauhar al-Maknun fi Zikr al-Qaba'il wa al-Butun disebutkan, bahawa setelah Abdullah ibn Zubair meminum darah Rasulullah SAW, meruap bau wangi kasturi daripada mulut Ibnu Zubair dan bau itu kekal di mulutnya sehingga dia disalib (syahid). (Dalam Al-Mawahib, al-Quatallani, 1:284)
Imam Tabrani meriwayatkan daripada Safinah r.a katanya: Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW berbekam. Setelah itu, baginda bersabda: "Ambillah darah ini dan tanamlah ia daripada (dilihat) oleh binatang, burung dan manusia". Lalu, aku pun menyembunyikannya dan meminumnya. Kemudian, aku memberitahu hal itu kepada Rasulullah SAW, maka baginda pun ketawa. (Al-Haitami dalam Majma' mengatakan bahawa rijal Al-Tabrani adalah thiqah. 8:270)
Dalam Sunan Sa'id ibn Mansur melalui jalan 'Amru ibn Sa'ib disebut: "Telah sampai berita kepadanya bahawa Malik ibn Sinan r.a, bapa Abu Sa'id al Khudri, tatkala muka Nabi Muhammad SAW luka dalam peperangan Uhud, dia menghisap darah baginda SAW sampai bersih dan nampak putih bekas lukanya."
Nabi SAW bersabda: "Muntahkan darah itu!" Malik r.a menjawab: "Aku tidak akan memuntahkannya selama-lamanya." Bahkan, dia menelannya.
Nabi SAW bersabda: "Barang siapa ingin melihat seorang dari ahli syurga, maka lihatlah kepada orang ini." Ternyata, dia gugur syahid dalam peperangan Uhud.
Imam Tabrani juga meriwayatkan hadis seperti itu. Antara lain, disebutkan bahawa Rasulullah SAW bersabda: "Sesiapa yang mencampurkan darahku dengan darahnya, nescaya tidak akan disentuh api neraka". (Al-Haithami mengukuhkan hadis ini dalam Majma'nya, 8:270)
Berkata al-Hafiz Ibnu Hajar: "Telah meriwayatkan Abdul Razzaq daripada Ibnu Juraij, beliau berkata: Aku diberitahu bahawa nabi pernah buang air kecil ke dalam sebuah bekas yang diperbuat daripada tembikar. Kemudian, baginda meletakkannya di bawah katilnya."
Apabila baginda hendak mengambilnya kembali, ternyata bekas itu tidak mengandungi apa-apa. Rasulullah SAW bertanya kepada seorang perempuan yang bernama Barakah, pembantu Ummu Habibah yang datang bersamanya dari Habsyah: "Di manakah air kencing di dalam bekas itu?" Dia menjawab: "Aku telah meminumnya."
Rasulullah SAW bersabda: "Semoga engkau beroleh kesihatan, wahai Ummu Yusuf!" Dia memang digelar dengan gelaran Ummu Yusuf. Selepas peristiwa itu, dia tidak pernah sakit, kecuali sakit yang mengakibatkan kematiannya. (Ibnu Hajar, al-Talkhis al Habir fi Takhrij Ahadith al-Syarh al-Kabir, (2: 32))
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dan al-Nasaei secara ringkas. Berkata al Hafiz al-Suyuti: "Ibnu Abdil Bar telah menyempurnakan penulisan hadis ini di dalam al-Isti'ab." Dalam hadis tersebut, Rasulullah SAW bertanya Barakah tentang air kencing yang terdapat di dalam bekas tersebut. Lalu Barakah berkata: "Aku telah meminumnya, wahai Rasulullah!" Seperti yang disebut oleh hadis. (Al-Suyuti, Sharh Sunan Al-Nasaei, 1:32).
Dalam Bukhari dan Muslim: Para sahabat berebut mendapatkan sisa air wudhu’ Nabi sall-Allahu álayhi wasallam untuk digunakan membasuh muka mereka.Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab sahihnya akan perlakuan para sahabat dalam bertabarruk dengan air bekas wuduk Junjungan Nabi SAW. Demikian dahsyat dan bersungguh-sungguhnya mereka bertabarruk dengannya sehingga Imam al-Bukhari meriwayatkan yang mereka seolah-olah hampir saling berbunuh-bunuhan kerana berebut-rebut mendapatkan bekas jatuhan air wuduk dan air ludah baginda SAW.
Imam Nawawi dalam Syarah Sahih Muslim berkata: “riwayat-riwayat ini merupakan bukti/hujjah untuk mencari barokah dari bekas-bekas para wali” (fihi al-tabarruk bi atsar al-salihin).
Anas berkata: “Nabi sall-Allahu álayhi wasallam tinggal bersama kami, dan begitu beliau tidur, ibuku mulai mengumpulkan air peluhnya dalam suatu botol kecil. Nabi sall-Allahu álayhi wasallam terbangun dan bertanya, “Wahai Ummu Sulaim, apa yang kau lakukan?” Dia (Umm Sulaim) menjawab, “Ini adalah air peluhmu yang akan kami campur dalam minyak wangi kami dan itu akan menjadikannya minyak wangi terbaik.” (Hadits Riwayat Muslim, Ahmad). Perbuatan tersebut tidak dilarang oleh Rasulullah SAW.
Ibnu al-Sakan meriwayatkan lewat Safwan ibn Hubayra dari ayah Safwan: Sabit al-Bunani berkata: Anas ibn Malik berkata kepadaku (di tempat tidurnya saat menjelang wafatnya): “Ini adalah sehelai rambut Rasulullah sall-Allahu álayhi wasallam. Aku ingin kau menempatkannya di bawah lidahku.” Thabit melanjutkan: Aku menaruhnya di bawah lidahnya, dan dia (Anas) dikubur dengan rambut itu berada di bawah lidahnya.”
Ibnu Sirin (seorang tabi’in) berkata: “Sehelai rambut Nabi sall-Allahu álayhi wasallam yang kumiliki lebih berharga daripada perak dan emas dan apa pun yang ada di atas bumi maupun di dalam bumi.” (riwayat Bukhari,Baihaqi dalam Sunan Kubra, dan Ahmad)
Hafiz al-’Ayni berkata dalam ‘Umdat al-Qari, Vol. 18, hlm. 79: “Ummu Salamah memiliki beberapa helai rambut Nabi dalam sebuah botol perak. Jika orang jatuh sakit, mereka akan pergi dan mendapat barokah lewat rambut-rambut itu dan mereka akan sembuh dengan sarana barokah itu. Jika seseorang terkena penyakit mata atau penyakit apa saja, dia akan mengirim isterinya ke Ummu Salamah dengan sebuah bekas air, dan dia (Ummu Salamah) akan mencelupkan rambut itu ke dalam air, dan orang yang sakit itu meminum air tersebut dan dia akan sembuh, setelah itu mereka mengembalikan rambut tersebut ke dalam jiljal.”
[ Ust Iqbal ]
ORANG ZUHUD
ORANG ZUHUD itu mempunyai 3 Syarat :
1. Sedikit sekali menggemari dunia,
sederhana dalam menggunakan segala
miliknya, menerima apa yang ada, juga
tidak merisaukan segala sesuatu yang
tidak ada, akan tetapi giat dalam bekerja,
kerana bekerja adalah mencari rezeki,
sedangkan mencari rezeki, suatu
kewajiban.
2. Pujian dan celaan adalah hal yang sama,
tidak bergembira bila mendapat pujian,
juga tidak bersedih jika mendapat celaan
atau hinaan.
3. Mengutamakan redha Allah swt dari pada
redha manusia atau merasa tenteram
jiwanya bersama Allah swt dan merasa
bahagia sebab dapat mentaati semua
tuntutannya.
IMAM HASSAN BASRI
"Engkau harus berlaku Zuhud, sesungguhnya zuhudnya orang yang zuhud itu lebih baik dari perhiasan yang ada pada tubuh wanita yang menawan.
IMAM SYAFI'E
“Siapa yang merasa bahawa dalam dirinya terkumpul 2 cinta, cinta dunia dan cinta kepada Penciptanya, maka ia telah berdusta.”
IMAM SYAFI'E
“Ketahuilah bahwa orang yang jujur kepada Allah swt, ia akan selamat. Barangsiapa yang bersemangat dengan Agamanya, ia pun akan selamat dari kerusakan, dan barangsiapa yang berlaku zuhud dengan urusan dunianya, niscaya kelak pahala Allah swt, akan nampak indah di matanya.”
IMAM SYAFI'E
“Berlakulah zuhud dalam menjalani hidup di dunia, dan cintailah kehidupan akhirat dan barangsiapa harum bau (badan)nya, maka kecerdasannya akan semakin bertambah.”
IMAM SYAFI'E
“Sangat jauh jika bermaksud memaknai sehat atau kenyang tanpa mengalami sendiri rasa sehat atau kenyang. Mengalami mabuk lebih jelas daripada hanya mendengar tentang arti mabuk, meskipun yang mengalaminya mungkin belum pernah mendengar teori mabuk. Maka mengetahui arti dan syarat-syarat zuhud tidak sama dengan bersifat zuhud.”
IMAM AL GHAZALI
“Kehidupan seorang Muslim tidak dapat dicapai dengan sempurna, kecuali mengikuti jalan Allah SWT yang dilalui secara bertahap. Tahapan-tahapan itu antara lain : Taubat, Sabar, Faqir, Zuhud, Tawakal, Cinta, Makrifat dan Redha. Kerana itu seseorang yang mempelajari Tasawwuf wajib mendidik jiwa dan akhlaknya. Sementara itu, hati adalah cermin yang sanggup menangkap Makrifat. Dan kesanggupan itu terletak pada hati yang suci dan jernih.
IMAM AL GHAZALI
”Tidaklah keabadian itu melainkan dengan perjumpaan dengan Allah swt, sedangkan perjumpaan dengan Allah swt itu adalah seperti kerdipan mata, atau lebih cepat dari itu. Di antara ciri orang yang akan berjumpa dengan Tuhannya adalah tidak terdapat sesuatu yang bersifat fana pada dirinya sama sekali. Sebab keabadian dan fana adalah dua sifat yang saling bertolak belakang.”
SHEIKH ABDUL QADIR AL JILANI
”Makhluk adalah tabir penghalang bagi dirimu, dan dirimu adalah tabir penghalang bagi Tuhanmu. Selama kamu melihat makhluk, selama itu pula kamu tidak melihat dirimu, selama itu pula kamu tidak melihat Tuhanmu.”
SHEIKH ABDUL QADIR AL JILANI
“Dalam segala hal aku selalu mencukupkan diri dengan kemurahan dan kurnia Allah swt. Aku selalu menerima nafkah dari khazanah kedermawanannya. Aku tidak pernah melihat ada yang benar-benar memberi, selain Allah SWT. Jika ada seseorang memberiku sesuatu, kebaikannya itu tidak meninggikan kedudukannya di sisiku, kerana aku menganggap orang itu hanyalah perantara saja."
IMAM QUTB IRSYAD HABIB ABDULLAH BIN ALWI AL HADDAD
“Cabutlah ketajaman dari sarung pedang tabiatmu yang membelah akar cinta dari asalnya. Taburilah tanah dengan benih pohon-pohon kezuhudan, hingga menghasilkan Qurb (kedekatan) kepada Allah swt, air telaga dari celah Wishal ( Persatuan dengan Allah swt ), dan pengetahuan pada puncak tujuan.”
[ Imam Qutb Al-Arif billah Habib Ali
bin Muhammad Al-Habsyi ]
1. Sedikit sekali menggemari dunia,
sederhana dalam menggunakan segala
miliknya, menerima apa yang ada, juga
tidak merisaukan segala sesuatu yang
tidak ada, akan tetapi giat dalam bekerja,
kerana bekerja adalah mencari rezeki,
sedangkan mencari rezeki, suatu
kewajiban.
2. Pujian dan celaan adalah hal yang sama,
tidak bergembira bila mendapat pujian,
juga tidak bersedih jika mendapat celaan
atau hinaan.
3. Mengutamakan redha Allah swt dari pada
redha manusia atau merasa tenteram
jiwanya bersama Allah swt dan merasa
bahagia sebab dapat mentaati semua
tuntutannya.
IMAM HASSAN BASRI
"Engkau harus berlaku Zuhud, sesungguhnya zuhudnya orang yang zuhud itu lebih baik dari perhiasan yang ada pada tubuh wanita yang menawan.
IMAM SYAFI'E
“Siapa yang merasa bahawa dalam dirinya terkumpul 2 cinta, cinta dunia dan cinta kepada Penciptanya, maka ia telah berdusta.”
IMAM SYAFI'E
“Ketahuilah bahwa orang yang jujur kepada Allah swt, ia akan selamat. Barangsiapa yang bersemangat dengan Agamanya, ia pun akan selamat dari kerusakan, dan barangsiapa yang berlaku zuhud dengan urusan dunianya, niscaya kelak pahala Allah swt, akan nampak indah di matanya.”
IMAM SYAFI'E
“Berlakulah zuhud dalam menjalani hidup di dunia, dan cintailah kehidupan akhirat dan barangsiapa harum bau (badan)nya, maka kecerdasannya akan semakin bertambah.”
IMAM SYAFI'E
“Sangat jauh jika bermaksud memaknai sehat atau kenyang tanpa mengalami sendiri rasa sehat atau kenyang. Mengalami mabuk lebih jelas daripada hanya mendengar tentang arti mabuk, meskipun yang mengalaminya mungkin belum pernah mendengar teori mabuk. Maka mengetahui arti dan syarat-syarat zuhud tidak sama dengan bersifat zuhud.”
IMAM AL GHAZALI
“Kehidupan seorang Muslim tidak dapat dicapai dengan sempurna, kecuali mengikuti jalan Allah SWT yang dilalui secara bertahap. Tahapan-tahapan itu antara lain : Taubat, Sabar, Faqir, Zuhud, Tawakal, Cinta, Makrifat dan Redha. Kerana itu seseorang yang mempelajari Tasawwuf wajib mendidik jiwa dan akhlaknya. Sementara itu, hati adalah cermin yang sanggup menangkap Makrifat. Dan kesanggupan itu terletak pada hati yang suci dan jernih.
IMAM AL GHAZALI
”Tidaklah keabadian itu melainkan dengan perjumpaan dengan Allah swt, sedangkan perjumpaan dengan Allah swt itu adalah seperti kerdipan mata, atau lebih cepat dari itu. Di antara ciri orang yang akan berjumpa dengan Tuhannya adalah tidak terdapat sesuatu yang bersifat fana pada dirinya sama sekali. Sebab keabadian dan fana adalah dua sifat yang saling bertolak belakang.”
SHEIKH ABDUL QADIR AL JILANI
”Makhluk adalah tabir penghalang bagi dirimu, dan dirimu adalah tabir penghalang bagi Tuhanmu. Selama kamu melihat makhluk, selama itu pula kamu tidak melihat dirimu, selama itu pula kamu tidak melihat Tuhanmu.”
SHEIKH ABDUL QADIR AL JILANI
“Dalam segala hal aku selalu mencukupkan diri dengan kemurahan dan kurnia Allah swt. Aku selalu menerima nafkah dari khazanah kedermawanannya. Aku tidak pernah melihat ada yang benar-benar memberi, selain Allah SWT. Jika ada seseorang memberiku sesuatu, kebaikannya itu tidak meninggikan kedudukannya di sisiku, kerana aku menganggap orang itu hanyalah perantara saja."
IMAM QUTB IRSYAD HABIB ABDULLAH BIN ALWI AL HADDAD
“Cabutlah ketajaman dari sarung pedang tabiatmu yang membelah akar cinta dari asalnya. Taburilah tanah dengan benih pohon-pohon kezuhudan, hingga menghasilkan Qurb (kedekatan) kepada Allah swt, air telaga dari celah Wishal ( Persatuan dengan Allah swt ), dan pengetahuan pada puncak tujuan.”
[ Imam Qutb Al-Arif billah Habib Ali
bin Muhammad Al-Habsyi ]

Langganan:
Postingan (Atom)