Hidup pastikan aman tenteram dunia wal akhirat kalau saja kita selalu bertafakur untuk mengingat Allah dan mengingat kehidupat akhirat, minimal 5 menit dalam sehari semalam
Rabu, 01 Juni 2016
Sejarah Tentang Perintah Puasa
Sejarah Puasa
Tak terasa, kita telah di penghujung Sya’ban, dan sebentar lagi kita akan memasuki Ramadhan. Bulan yang Penuh berkah dan hikmah. Bulan penuh ampunan, maghfiroh Allah SWT. Bulan yang sangat dinantikan oleh setiap muslim di seluruh permukaan bumi, bahkan dinantikan oleh seluruh makhluk Allah.
“Hai orang—orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa “ (QS. Al-Baqarah : 183)
Menyambut bulan suci Ramadhan yang dinanti, marilah sejenak kita mengkaji sejarah, hakikat dan faedah puasa bagi kita. Merupakan persiapan menuju Ramadhan, sehingga ibadah puasa yang akan kita laksanakan akan menjadi lebih bermakna bagi kita yang melaksanakannya.
Sejarah Puasa
Dalam catatan sejarah (kitab Fiqhus Sunnah : Syaikh Sayyid Sabiq juz I), perintah mengerjakan ibadah puasa sebagaimana tertera dalam QS. Al-Baqarah : 183 di atas, turun secara jelas pada tahun 2 Hijrah atau bertepatan dengan tahun 623 M.
Selain itu QS. Al-Baqarah 183 di atas memberikan gambaran bahwa ibadah puasa merupakan ibadah yang bersifat universal artinya ibadah puasa pernah juga diwajibkan atas umat terdahulu (agama samawi lainnya), dengan syariat atau tata cara pelaksanaan yang berbeda-beda. Atas dasar itu, Prof Dr. Mahmud Syaltut dalam kitabnya “Islam : Aqidah wa syariah” (juz I) mengatakan bahwa puasa merupakan ibadah yang paling tua usianya karena pernah diwajibkan Allah SWT atas bangsa-bangsa terdahulu. Perintah puasa itu ada didalam perjanjian lama, perjanjian baru dan didalam semua kitab suci lain. Satu contoh puasa Nabi Daud AS dilaksanakan secara selang seling setiap 2 hari sekali. Bahkan kaum penyembah berhalapun menjalankan puasa
Puasa dalam kitab-kitab suci itu sangat sulit. Puasa yang paling mudah di berikan kepada umat Nabi Muhammad SAW Bahkan menurut riwayat yang ada, pada awalnya puasa ini sangat sulit. Selama periode awal, para sahabat Rasulullah SAW hanya diperbolehkan membatalkan puasanya antara maghrib dan isya. Setelah Isya mereka diperintahkan untuk berpuasa kembali sehingga mereka berpuasa selama 22 jam. Kemudian Allah membuatnya lebih ringan.
Muncul pertanyaan, bagaimana sikap kita terhadap syariat puasa ummat terdahulu.? Dalam hal ini, menurut Prof. DR. Abu Su’ud, Agama Islam masih mentolerir perilaku puasa yang sudah dilakukan ummat terdahulu (sebelum Islam Nabi Muhammad SAW datang), dengan catatan tidak diniatkan sebagai ibadah. Namun demikian, ada juga sebagian ulama berpendapat bahwa segala bentuk puasa non Islam harus tidak dilakukan, kecuali untuk kepentingan kesehatan, karena ada kemaslahatan didalamnya. Hal yang lebih penting bagi penulis adalah bagaimana puasa dapat dihayati tidak hanya sebagai media pendekatan diri kepada Allah SWT (hablum min Allah) semata, namun pada saat yang sama puasa perlu dijiwai maknanya sebagai sarana memperkuat jalinan hubungan kemanusiaan (hablum minannas).
Hakikat dan Tujuan Puasa
Dikisahkan oleh Imam Al– Ghazali, pada zaman Nabi SAW, ada dua orang perempuan yang sangat kepayahandalam melakukan puasa. Mereka begitu lapar dan dahaga, hampir-hampir pingsan. Mereka minta izin untuk berbuka. Nabi SAW menyuruh mereka muntah. Segera orang-orang melihat kedua wanita itu memuntahkan darah dan daging busuk. Ketika orang-orang menyaksikan peristiwa tersebut merasa heran, lantas Nabi SAW bersabda seketika: ” Mereka berpuasa dari apa yang di haramkan oleh Allah SWT (yakni makan dan minum), tetapi mereka membatalkanpuasanya dengan yang diharamkan oleh Allah SWT. Mereka duduk-duduk sambil megadu domba kejelekan orang lain. Itulah daging busuk yang mereka makan.”
Dilain kisah, pada suatu hari Rasulullah mendengar seorang perempuan sedang memaki-maki jariyah (budak) kepunyaannya, padahal perempuan itu sedang berpuasa. Rasulullah mengambil makanan dan berkata padanya” Makanlah!”. Perempuan itu berkata ; ”Saya sedang berpuasa ya Rasulullah “.Mendengar itu, Rasulullah menjawab: ”Bagaimana mungkin engkau berpuasa, padahal engkau telah memaki-maki jariyah (budak)mu. Puasa bukan hanya menahan makan dan minum saja. Allah SWT telah menjadikan puasa sebagai penghalang (selain makan dan minum), juga dari hal-hal tercela, yaitu perkataan dan perbuatan yang merusak puasa. Alangkah sedikitnya yang puasa, alangkah banyaknya yang lapar (Ma qallasa-shawwam,wa ma aktsaral-jawwa’)”. Ucapan Rasulullah yang terakhir ini menyimpulkan perbedaan “puasa” dengan “ melaparkan diri”.
Dalam definisi Ahli Fiqh (fuqaha), puasa (shawm) adalah menahan diri dari segala perkara yang merusaknya (baik makan, minum, atau dorongan nafsu)dengan tujuan sebagai salah satu sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT(al-imsak anil –mufthirat al-ma’hudat. Dalam definisi tentang shaum (puasa) tersebut, ada kata “al-imsak”. dalam bahasa arab, kata dasar “amsaka/al-imsak“, artinya menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu (self-restraint). Sedangkan “imsak bi” artinya berpegang teguh kepada sesuatu yang dijadikan gantungan atau pegangan. Zainal Abidin (cucu Nabi SAW) berkata :”wa la umsiku illa billahi”(Aku tidak perpegang teguh kecuali pada tali Allah SWT)”
Hakikat puasa sesungguhnya terletak pada “Imsak ‘an” (menahan diri) dan “imsak ‘bi”(berpegang teguh kepada Allah dan rasul_Nya). Kita dapat saja ber-imsak ‘an tapi tidak ber-imsak bi . Kita menahan diri dari makan dan minum, tapi bukan karena berpegang teguh kepada ajaran Tuhan. Bisa saja kita hanya ingin melangsingkan tubuh, mempercantik diri. hal tersebut berarti kita tidak berpuasa. Kita sedang diet. Boleh jadi kita ber-imsak ‘bi, kelihatannya seperti berpegang teguh kepada Al-Quran dan Al-Sunnah, tetapi kita tidak ber- imsak ‘an, Idealnya, orang yang ber –imsak ‘bi, dengan sendiriya berimsak ‘an meski kenyataannya tidak. Ada sementara kita mengaku “ Ahlul Qur’an“ atau berpegang teguh dengan ajaran Al – Qur’an, namun pada saat bersamaan kita tidak mampu menahan diri dari menyalahkan pendapat atau paham lain. Kita sulit memahami pendapat orang lain.
Hal tersebut sama kasusnya dengan menahan lapar dan dahaga dari terbit Fajar sampai tenggelam matahari. Kita kelihatannya perpegang teguh dengan ketentuan puasa. Namun, kita sulit menahan diri dari memfitnah, mengumpat dan memaki – maki. Kata Rasullah SAW anda bukan “Al- Sawam” ( orang yang berpuasa ); anda hanyalah Al – Jawwa ( orang lapar ). Lebih parah lagi ada saja orang yang tidak ber-imsak’an, apalagi ber-imsak’bi.
Inilah manusia yang hanya mempertuhankan hawa nafsunya, ia tidak mempunyai nilai – nilai yang menjadi “ way of life “ dalam hidupnya. Ia mengalami kekosongan hidup yang menurut ahli jiwa ia mengalami existensial vacuum. Hidupnya sama sekali tidak bermakna bagaikan layang – layang putus talinya. Orang semacam ini dalam optik Al – Quran ( surat QS Al – Tiin : 5 ) memiliki derajat lebih rendah dari binatang ternak sekalipun ( Asfala safiliin ).
Pada akhirnya dan yang menjadi harapan kita bersama, ada juga umat islam yang berusaha menjalankan segalanya secara maksimal dalam berpuasa yaitu ber – imsak’an ( menahan diri) dan sekaligus ber – imsak ‘ bi ( berpegang teguh kepada perintah Allah dan Rasul- Nya), merekalah orang – orang yang benar – benar berpuasa “ Al – Sawwam “. Mereka adalah orang – orang yang mendapatkan predikat “Taqwa “, sebuah predikat bergensi di hadapan Allah SWT yang diantaranya diperoleh karena menjalankan ibadah puasa dalam arti yang sebenarnya. Pribadi takwa ( muttaqin ) yang menjadi tujuan puasa.
Menurut Maulana Muhammad Ali dalam tafsirnya “ The Holy Qur’an “ adalah pribadi yang memenuhi kewajiban dan menjaga diri dari kejahatan. Dengan predikat itu juga, memungkinkan manusia dapat mewujudkan perilaku yang luhur, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial.
Karena puasa mengandung banyak rahasia dan jutaan hikmah, sudah sepantasnyalah kalau kita menyambut kedatangan bulan suci ramadhan 1428 H dengan penuh rasa gembira. Dengan kegembiraan itu, akan membuat kita dapat menjalankan ibadah puasa dengan khusu’, tawadhu, dan ikhlas selama sebulan penuh. Bukan dianggap sebagai beban berat sehingga mencari – cari alasan agar tidak berpuasa.
Kegembiraan kita dengan datangnya bulan suci Ramadhan 1428 H ini, harus dapat ditunjukkan dengan berupaya semaksimal mungkin memanfaatkannya sebagai momentum untuk mentalbiah (mendidik) diri sendiri, keluarga, dan masyarakat ke arah pengokohan dan pemantapan taqwa kepada Allah SWT . Sebab, hal tersebut amat diperlukan bagi upaya meraih keberkahan dari Allah SWT bagi bangsa Indonesia. Kita tentu harus perhatikan dengan kondisi bangsa dan masyarakat kita yang masih mengalami krisis-krisis tersebut idealnya diatasi dengan memantapkan iman dan taqwa (terlebih pada bulan ramadhan nantinya ). Bukan dengan menggunakan cara sendiri –sendiri , apalagi dibungkus berbagai kepentingan sesaat yang akhirnya malah memicu dan memacu pertentangan dan perpecahan yang justru menjauhkan kita dari rahmat dan keberkahan Allah SWT, meskipun kita berkoar- koar mengatasnamakan kitab suci-Nya.
“An-Nur” Edisi I Sya’ban 1528 H Oleh: Abdul Fatah, M.Fil.I
Apa itu Khodam menurut Islam
Khodam Jin Dan Khodam Malaikat
Yang dimaksud khodam dalam uraian ini adalah penjaga yang didatangkan dari dunia ghaib untuk manusia, bukan untuk benda bertuah. Didatangkan dari rahasia urusan Ilahiyah yang terkadang banyak diminati oleh sebagian kalangan ahli mujahadah dan riyadlah tetapi dengan cara yang kurang benar.
Para ahli mujahadah itu sengaja berburu khodam dengan bersungguh-sungguh. Mereka melakukan wirid-wirid khusus, bahkan datang ke tempat-tempat yang terpencil. Di kuburan-kuburan tua yang angker, di dalam gua, atau di tengah hutan. Ternyata keberadaan khodam tersebut memang ada, mereka disebutkan di dalam al-Qur’an al-Karim. Diantara mereka ada yang datang dari golongan Jin dan ada juga dari Malaikat, namun barangkali pengertiannya yang berbeda. Karena khodam yang dinyatakan dalam Al- Qur’an itu bukan berupa kelebihan atau linuwih yang terbit dari basyariah manusia yang disebut “kesaktian”, melainkan berupa sistem penjagaan dan perlindungan yang diperuntukkan bagi orang-orang yang beriman dan beramal shaleh sebagai buah ibadah yang mereka lakukan.
Sistem perlindungan tersebut dibangun oleh rahasia urusan Allah s.w.t yang disebut “walayah”, dengan itu supaya fitrah orang beriman tersebut tetap terjaga dalam kondisi sebaik-baik ciptaan. Allah s.w.t menyatakan keberadaan khodam-khodam tersebut dengan
firman-Nya: ﻟَﻪُ ﻣُﻌَﻘِّﺒَﺎﺕٌ ﻣِﻦْ ﺑَﻴْﻦِ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﻭَﻣِﻦْ ﺧَﻠْﻔِﻪِ ﻳَﺤْﻔَﻈُﻮﻧَﻪُ ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﺮِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻟَﺎ ﻳُﻐَﻴِّﺮُ ﻣَﺎ ﺑِﻘَﻮْﻡٍ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﻐَﻴِّﺮُﻭﺍ ﻣَﺎ ﺑِﺄَﻧْﻔُﺴِﻬِﻢْ “Bagi manusia ada penjaga-penjaga yang selalu mengikutinya, di muka dan di belakangnya, menjaga manusia dari apa yang sudah ditetapkan Allah baginya. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka merubahnya sendiri”. (QS. ar-Ra’d; 13/11)
Lebih jelas dan detail adalah sabda Baginda Nabi s.a.w dalam sebuah hadits shahihnya: ﺣَﺪِﻳﺚُ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻪُ ﻗَﺎﻝَ : ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﺇِﺫَﺍ ﺃَﺣَﺐَّ ﻋَﺒْﺪًﺍ ﺩَﻋَﺎ ﺟِﺒْﺮِﻳﻞَ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺇِﻧِّﻲ ﺃُﺣِﺐُّ ﻓُﻠَﺎﻧًﺎ ﻓَﺄَﺣِﺒَّﻪُ ﻗَﺎﻝَ ﻓَﻴُﺤِﺒُّﻪُ ﺟِﺒْﺮِﻳﻞُ ﺛُﻢَّ ﻳُﻨَﺎﺩِﻱ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﻓَﻴَﻘُﻮﻝُ ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳُﺤِﺐُّ ﻓُﻠَﺎﻧًﺎ ﻓَﺄَﺣِﺒُّﻮﻩُ ﻓَﻴُﺤِﺒُّﻪُ ﺃَﻫْﻞُ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ ﻗَﺎﻝَ ﺛُﻢَّ ﻳُﻮﺿَﻊُ ﻟَﻪُ ﺍﻟْﻘَﺒُﻮﻝُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭ ﻣﺴﻠﻢ * “Hadits Abi Hurairah r.a berkata: Rasulullah s.a.w bersabda: “Sesungguhnya Allah apabila mencintai seorang hamba, memanggil malaikat Jibril dan berfirman : “Sungguh Aku mencintai seseorang ini maka cintailah ia”. Nabi s.a.w bersabda: “Maka Jibril mencintainya”. Kemudian malaikat Jibril memanggil- manggil di langit dan mengatakan: “Sungguh Allah telah mencintai seseorang ini maka cintailah ia, maka penduduk langit mencintai kepadanya. Kemudian baginda Nabi bersabda: “Maka kemudian seseorang tadi ditempatkan di bumi di dalam kedudukan dapat diterima oleh orang banyak”. (HR Bukhori dan Muslim )
Dan juga sabdanya: ﺣَﺪِﻳﺚُ ﺃَﺑِﻲ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻪُ : ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻗَﺎﻝَ ﻳَﺘَﻌَﺎﻗَﺒُﻮﻥَ ﻓِﻴﻜُﻢْ ﻣَﻠَﺎﺋِﻜَﺔٌ ﺑِﺎﻟﻠَّﻴْﻞِ ﻭَﻣَﻠَﺎﺋِﻜَﺔٌ ﺑِﺎﻟﻨَّﻬَﺎﺭِ ﻭَﻳَﺠْﺘَﻤِﻌُﻮﻥَ ﻓِﻲ ﺻَﻠَﺎﺓِ ﺍﻟْﻔَﺠْﺮِ ﻭَﺻَﻠَﺎﺓِ ﺍﻟْﻌَﺼْﺮِ ﺛُﻢَّ ﻳَﻌْﺮُﺝُ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺑَﺎﺗُﻮﺍ ﻓِﻴﻜُﻢْ ﻓَﻴَﺴْﺄَﻟُﻬُﻢْ ﺭَﺑُّﻬُﻢْ ﻭَﻫُﻮَ ﺃَﻋْﻠَﻢُ ﺑِﻬِﻢْ ﻛَﻴْﻒَ ﺗَﺮَﻛْﺘُﻢْ ﻋِﺒَﺎﺩِﻱ ﻓَﻴَﻘُﻮﻟُﻮﻥَ ﺗَﺮَﻛْﻨَﺎﻫُﻢْ ﻭَﻫُﻢْ ﻳُﺼَﻠُّﻮﻥَ ﻭَﺃَﺗَﻴْﻨَﺎﻫُﻢْ ﻭَﻫُﻢْ ﻳُﺼَﻠُّﻮﻥَ “Hadits Abi Hurairah r.a Sesungguhnya Rasulullah s.w.t bersabda: “Mengikuti bersama kalian, malaikat penjaga malam dan malaikat penjaga siang dan mereka berkumpul di waktu shalat fajar dan shalat ashar kemudian mereka yang bermalam dengan kalian naik (ke langit), Tuhannya bertanya kepada mereka padahal sesungguhnya Dia lebih mengetahui keadaan mereka: di dalam keadaan apa hambaku engkau tinggalkan?, mereka menjawab: mereka kami tinggalkan sedang dalam keadaan shalat dan mereka kami datangi sedang dalam keadaan shalat”. (HR Buhori dan Muslim)
Setiap yang mencintai pasti menyayangi. Sang Pecinta, diminta ataupun tidak pasti akan menjaga dan melindungi orang yang disayangi. Manusia, walaupun tanpa susah-susah mencari khodam, ternyata sudah mempunyai khodam-khodam, bahkan sejak dilahirkan ibunya. Khodam-khodam itu ada yang golongan malaikat dan ada yang golongan Jin. Diantara mereka bernama malaikat Hafadhoh (penjaga), yang dijadikan tentara- tentara yang tidak dapat dilihat manusia.menurut sebuah riwayat jumlah mereka 180 malaikat. Mereka menjaga manusia secara bergiliran di waktu ashar dan subuh, hal itu bertujuan untuk menjaga apa yang sudah ditetapkan Allah s.w.t bagi manusia yang dijaganya. Itulah sistem penjagaan yang diberikan Allah s.w.t kepada manusia yang sejatinya akan diberikan seumur hidup, yaitu selama fitrah manusia belum berubah. Namun karena fitrah itu terlebih dahulu dirubah sendiri oleh manusia, hingga tercemar oleh kehendak hawa nafsu dan kekeruhan akal pikiran, akibat dari itu, matahati yang semula cemerlang menjadi tertutup oleh hijab dosa-dosa dan hijab-hijab karakter tidak terpuji, sehingga sistem penjagaan itu menjadi berubah.
KHODAM JIN DAN KHODAM MALAIKAT
‘Setan’,menurut istilah bahasa Arab berasal dari kata syathona yang berarti ba’uda atau jauh. Jadi yang dimaksud ‘setan’ adalah makhluk yang jauh dari kebaikan. Oleh karena hati terlebih dahulu jauh dari kebaikan, maka selanjutnya cenderung mengajak orang lain menjauhi kebaikan. Apabila setan itu dari golongan Jin, berarti setan Jin, dan apabila dari golongan manusia, berarti setan manusia. Manusia bisa menjadi setan manusia, apabila setan Jin telah menguasai hatinya sehingga perangainya menjelma menjadi perangai setan. Rasulullah s.a.w menggambarkan potensi tersebut dan sekaligus memberikan peringatan kepada manusia melalui sabdanya: ﻟَﻮْﻻَ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴْﻦَ ﻳَﺤُﻮْﻣُﻮْﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﻗُﻠُﻮْﺏِ ﺑَﻨِﻰ ﺁَﺩَﻡَ ﻟَﻨَﻈَﺮُﻭْﺍ ﺍِﻟَﻰ ﻣَﻠَﻜُﻮْﺕِ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ “Kalau sekiranya setan tidak meliputi hati anak Adam, pasti dia akan melihat alam kerajaan langit”. Di dalam hadits lain Rasulullah s.a.w bersabda: ﺇِﻥَّ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥَ ﻟَﻴَﺠْﺮِﻯ ﻣِﻦِ ﺍﺑْﻦِ ﺁَﺩَﻡَ ﻣَﺠْﺮَﻯ ﺍﻟﺪَّﻡِ ﻓَﻀَﻴِّﻘُﻮْﺍ ﻣَﺠَﺎِﺭﻳَﻪُ .ِﻉْﻮُﺠْﻟﺎﺑِ “Sesungguhnya setan masuk (mengalir) ke dalam tubuh anak Adam mengikuti aliran darahnya, maka sempitkanlah jalan masuknya dengan puasa”. Setan jin menguasai manusia dengan cara mengendarai nafsu syahwatnya. Sedangkan urat darah dijadikan jalan untuk masuk dalam hati, hal itu bertujuan supaya dari hati itu setan dapat mengendalikan hidup manusia.
Supaya manusia terhindar dari tipu daya setan, maka manusia harus mampu menjaga dan mengendalikan nafsu syahwatnya, padahal manusia dilarang membunuh nafsu syahwat itu, karena dengan nafsu syahwat manusia tumbuh dan hidup sehat, mengembangkan keturunan, bahkan menolong untuk menjalankan ibadah. Dengan melaksanakan ibadah puasa secara teratur dan istiqomah, di samping dapat menyempitkan jalan masuk setan dalam tubuh manusia, juga manusia dapat menguasai nafsu syahwatnya sendiri, sehingga manusia dapat terjaga dari tipudaya setan. Itulah hakekat mujahadah.
Jadi mujahadah adalah perwujudan pelaksanaan pengabdian seorang hamba kepada Tuhannya secara keseluruhan, baik dengan puasa, shalat maupun dzikir. Mujahadah itu merupakan sarana yang sangat efektif bagi manusia untuk mengendalikan nafsu syahwat dan sekaligus untuk menolak setan. Allah s.w.t berfirman: ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺍﺗَّﻘَﻮْﺍ ﺇِﺫَﺍ ﻣَﺴَّﻬُﻢْ ﻃَﺎﺋِﻒٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥِ ﺗَﺬَﻛَّﺮُﻭﺍ ﻓَﺈِﺫَﺍ ﻫُﻢْ ﻣُﺒْﺼِﺮُﻭﻥَ “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka berdzikir kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat”. (QS.al- A’raaf.7/201) Firman Allah s.w.t di atas, yang dimaksud dengan lafad “Tadzakkaruu” ialah, melaksanakan dzikir dan wirid-wirid yang sudah diistiqamahkan, sedangkan yang dimaksud “Mubshiruun”, adalah melihat.
Maka itu berarti, ketika hijab-hijab hati manusia sudah dihapuskan sebagai buah dzikir yang dijalani, maka sorot matahati manusia menjadi tajam dan tembus pandang. Jadi, berdzikir kepada Allah s.w.t yang dilaksanakan dengan dasar Takwa kepada-Nya, di samping dapat menolak setan, juga bisa menjadikan hati seorang hamba cemerlang, karena hati itu telah dipenuhi Nur ma’rifatullah. Selanjutnya, ketika manusia telah berhasil menolak setan Jin, maka khodamnya yang asalnya setan Jin akan kembali berganti menjadi golongan malaikat. ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﺭَﺑُّﻨَﺎ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺛُﻢ
َّ ﺍﺳْﺘَﻘَﺎﻣُﻮﺍ ﺗَﺘَﻨَﺰَّﻝُ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢُ ﺍﻟْﻤَﻠَﺎﺋِﻜَﺔُ ﺃَﻟَّﺎ ﺗَﺨَﺎﻓُﻮﺍ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺤْﺰَﻧُﻮﺍ ﻭَﺃَﺑْﺸِﺮُﻭﺍ ﺑِﺎﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﺍﻟَّﺘِﻲ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗُﻮﻋَﺪُﻭﻥَ(30)ﻧَﺤْﻦُ ﺃَﻭْﻟِﻴَﺎﺅُﻛُﻢْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺤَﻴَﺎﺓِ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻭَﻓِﻲ ﺍﻟْﺂﺧِﺮَﺓِ ﻭَﻟَﻜُﻢْ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻣَﺎ ﺗَﺸْﺘَﻬِﻲ ﺃَﻧْﻔُﺴُﻜُﻢْ ﻭَﻟَﻜُﻢْ ﻓِﻴﻬَﺎ ﻣَﺎ ﺗَﺪَّﻋُﻮﻥَ “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan) “Janganlah kamu merasa takut janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu dengan memperoleh surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”(30)Kamilah pelindung- pelindungmu di dalam kehidupan di dunia maupun di akherat”. (QS. Fushilat; 41/30-31) Firman Allah s.w.t di atas yang artinya: “Kami adalah pelindung-pelindungmu di dalam kehidupan di dunia maupun di akherat”, itu menunjukkan bahwa malaikat- malaikat yang diturunkan Allah s.w.t kepada orang yang istiqamah tersebut adalah untuk dijadikan khodam- khodam baginya. Walhasil, bagi pengembara-pengembara di jalan Allah, kalau pengembaraan yang dilakukan benar dan pas jalannya, maka mereka akan mendapatkan khodam- khodam malaikat. Seandainya orang yang mempunyai khodam Malaikat itu disebut wali, maka mereka adalah waliyullah. Adapun pengembara yang pas dengan jalan yang kedua, yaitu jalan hawa nafsunya, maka mereka akan mendapatkan khodam Jin. Apabila khodam jin itu ternyata setan maka pengembara itu dinamakan walinya setan.
Jadi Wali itu ada dua (1) Auliyaaur-Rohmaan (Wali- walinya Allah), dan (2) Auliyaausy-Syayaathiin (Walinya setan). Allah s.w.t menegaskan dengan firman-Nya: ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﻟِﻲُّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺀَﺍﻣَﻨُﻮﺍ ﻳُﺨْﺮِﺟُﻬُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻈُّﻠُﻤَﺎﺕِ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻨُّﻮﺭِ ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻛَﻔَﺮُﻭﺍ ﺃَﻭْﻟِﻴَﺎﺅُﻫُﻢُ ﺍﻟﻄَّﺎﻏُﻮﺕُ ﻳُﺨْﺮِﺟُﻮﻧَﻬُﻢْ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨُّﻮﺭِ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻈُّﻠُﻤَﺎﺕِ ﺃُﻭﻟَﺌِﻚَ ﺃَﺻْﺤَﺎﺏُ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﻫُﻢْ ﻓِﻴﻬَﺎ ﺧَﺎﻟِﺪُﻭﻥَ “Dan orang-orang yang tidak percaya, Wali-walinya adalah setan yang mengeluarkan dari Nur kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (QS.al-Baqoroh.2/257) Dan juga firman-Nya: ﺇِﻧَّﺎ ﺟَﻌَﻠْﻨَﺎ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴﻦَ ﺃَﻭْﻟِﻴَﺎﺀَ ﻟِﻠَّﺬِﻳﻦَ ﻟَﺎ ﻳُﺆْﻣِﻨُﻮﻥَ “Sesungguhnya kami telah menjadikan setan-setan sebagai Wali-wali bagi orang yang tidak percaya “. (QS. Al- A’raaf; 7/27) Seorang pengembara di jalan Allah, baik dengan dzikir maupun wirid, mujahadah maupun riyadlah, kadang- kadang dengan melaksanakan wirid-wirid khusus di tempat yang khusus pula, perbuatan itu mereka lakukan sekaligus dengan tujuan untuk berburu khodam-khodam yang diingini.
Khodam-khodam tersebut dicari dari rahasia ayat-ayat yang dibaca. Semisal mereka membaca ayat kursi sebanyak seratus ribu dalam sehari semalam, dengan ritual tersebut mereka berharap mendapatkan khodamnya ayat kursi. Sebagai pemburu khodam, mereka juga kadang-kadang mendatangi tempat-tempat yang terpencil, di kuburan- kuburan yang dikeramatkan, di dalam gua di tengah hutan belantara. Mereka mengira khodam itu bisa diburu di tempat-tempat seperti itu. Kalau dengan itu ternyata mereka mendapatkan khodam yang diingini, maka boleh jadi mereka justru terkena tipudaya setan Jin.
Artinya, bukan Jin dan bukan Malaikat yang telah menjadi khodam mereka, akan tetapi sebaliknya, tanpa disadari sesungguhnya mereka sendiri yang menjadi khodam Jin yang sudah didapatkan itu. Akibat dari itu, bukan manusia yang dilayani Jin, tapi merekalah yang akan menjadi pelayan Jin dengan selalu setia memberikan sesaji kepadanya. Sesaji-sesaji itu diberikan sesuai yang dikehendaki oleh khodam Jin tersebut. Memberi makan kepadanya, dengan kembang telon atau membakar kemenyan serta apa saja sesuai yang diminta oleh khodam- khodam tersebut, bahkan dengan melarungkan sesajen di tengah laut dan memberikan tumbal.
Mengapa hal tersebut harus dilakukan, karena apabila itu tidak dilaksanakan, maka khodam Jin itu akan pergi dan tidak mau membantunya lagi. Apabila perbuatan seperti itu dilakukan, berarti saat itu manusia telah berbuat syirik kepada Allah s.w.t. Kita berlindung kepada Allah s.w.t dari godaan setan yang terkutuk. Memang yang dimaksud khodam adalah “rahasia bacaan” dari wirid-wirid yang didawamkan manusia. Namun, apabila dengan wirid-wirid itu kemudian manusia mendapatkan khodam, maka khodam tersebut hanya didatangkan sebagai anugerah Allah s.w.t dengan proses yang diatur oleh-Nya. Khodam itu didatangkan dengan izin-Nya, sebagai buah ibadah yang ikhlas semata-mata karena pengabdian kepada-Nya, bukan dihasilkan karena sengaja diusahakan untuk mendapatkan khodam.
Apabila khodam-khodam itu diburu, kemudian orang mendapatkan, yang pasti khodam itu bukan datang dari sumber yang diridlai Allah s.w.t, walaupun datang dengan izin-Nya pula. Sebab, tanda-tanda sesuatu yang datangnya dari ridho Allah, di samping datang dari arah yang tidak disangka-sangka, bentuk dan kondisi pemberian itu juga tidak seperti yang diperkiraan oleh manusia.
Demikianlah yang dinyatakan Allah s.w.t: ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﺘَّﻖِ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳَﺠْﻌَﻞْ ﻟَﻪُ ﻣَﺨْﺮَﺟًﺎ(2)ﻭَﻳَﺮْﺯُﻗْﻪُ ﻣِﻦْ ﺣَﻴْﺚُ ﻟَﺎ ﻳَﺤْﺘَﺴِﺐُ “Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah. Allah akan menjadikan jalan keluar baginya (untuk menyelesaikan urusannya) (2) Dan memberikan rizki kepadanya dari arah yang tidak terduga”. (QS. ath-Tholaq; 65/2-3) Khodam-khodam tersebut didatangkan Allah s.w.t sesuai yang dikehendaki-Nya, dalam bentuk dan keadaan yang dikehendaki-Nya pula, bukan mengikuti kehendak hamba-Nya. Bahkan juga tidak dengan sebab apa-apa, tidak sebab ibadah dan mujahadah yang dijalani seorang hamba, tetapi semata sebab kehendakNya. Hanya saja, ketika Allah sudah menyatakan janji maka Dia tidak akan mengingkari janji-janji-Nya.
Ilmu Khodam
Khodam adalah merupakan manifestasi energi pintar yang terlahir dari sebuah doa, mantra dan tatalaku ritual spiritual tertentu yang mengandung tingkatan konsentrasi yang tinggi kepada sang pencipta alam dibarengi doa doa atau cita – cita agar terkabulnya suatu maksud dan tujuan.
khodam adalah bahasa arab yang memiliki arti yaitu pembantu. ( khodam = pembantu wanita. khadam = pembantu pria ).
Kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh orang yang melakukan olah batin seperti puasa, bertapa, semedi, membaca mantra atau wirid amalan tertentu sebetulnya adalah dari Khodam. Disadari ataupun tidak, setiap olah batin yang dilakukan manusia selalu menimbulkan energi-energi yang memiliki kesadaran/kecerdasan sendiri. Inilah peran dari khodam.
Mereka diciptakan Tuhan sebagai perantara yang membawa kekuatan supranatural bagi orang-orang yang dikehendaki.Sebagian orang beranggapan bahwa memiliki khodam (atau ilmu spiritual yang ada khodamnya) adalah sebuah kesyirikan atau dosa besar. Bagi kami, pendapat ini adalah pendapat yang “membabi buta” karena pengertian khodam sangat luas. Sedangkan khodam sendiri terdiri dari berbagai jenis yang tidak mampu disamakan. Berikut ini pembahasan panjang mengenai khodam.
Istilah “khodam” berasal dari bahasa arab yang berarti pembantu, penjaga atau pengawal yang selalu mengikuti. Dalam bahasa arab pembantu rumah tangga, sopir, tukang kebun dan satpam juga mampu disebut sebagai khodam. Namun dalam konteks ilmu spiritual, istilah “khodam” digunakan khusus untuk menyebut makhluk gaib yang mengikuti pemilik ilmu spiritual atau yang mendiami suatu benda pusaka. Dalam konsep spiritual jawa, khodam disebut sebagai “prewangan” yang artinya adalah orang yang membantu.
Khodam dalam konsep mistik islam dan jawa diyakini sebagai “jiwa” suatu ilmu. Khodam memberi energi pada pemilik ilmu sehingga mampu melakukan hal-hal diluar kewajaran. Tentu saja ada khodam yang minta imbalan ada pula yang “gratis” karena khodam ini datang karena kehendak Allah, bukan “dipaksakan” oleh manusia. Yang dimaksud “dipaksakan” adalah khodam ini datang karena seseorang melakukan ritual pemanggilan yang ditujukan untuk meminta tolong kepada khodam dari golongan jin.
Mengenai siapakah sebernarnya khodam, para spiritualist berpendapat berbeda-beda. Kelompok pertama mengatakan khodam adalah jenis makhluk tertentu yang khusus diciptakan Tuhan sebagai “pembawa” kekuatan bagi para pemilik ilmu dan benda pusaka. Kelompok ini tidak punya dalil yang kuat untuk mendukung pendapatnya, jadi pendapat ini boleh kita abaikan.
Kelompok kedua berpendapat bahwa khodam hanyalah sebutan atau julukan bagi Jin, Qorin dan Malaikat yang membantu manusia. Seperti istilah “setan” yang sebetulnya bukanlah jenis mahluk, melainkan hanya julukan bagi jin atau manusia yang suka berbuat kejahatan. Dalam kitab Al-Quran pun diterangkan bahwa Tuhan hanya menciptakan hambanya yang berakal dalam tiga bentuk saja, yaitu: Malaikat, Manusia dan Jin.
Ustadz Firman sendiri lebih meyakini pendapat kedua ini.
Mengapa Khodam membantu manusia?
Karena khodam terdiri dari tiga jenis makhluk yaitu Jin, Qorin dan Malaikat, maka alasan mereka bersedia membantu manusia juga berbeda-beda. agar Anda lebih paham, kami jelaskan satu per satu dibawah ini:
1. Khodam Jin
Pelu Anda ketahui bahwa kehidupan sosial jin sama seperti manusia. Mereka terdiri dari bermacam-macam ras dan kelompok yang sangat kompleks. Setiap jin punya sifat dan kebutuhan yang berbeda-beda seperti pada manusia. Begitu pula dalam dalam membantu manusia, mereka punya alasan yang berbeda-beda. Namun secara garis besar, ada 5 alasan mengapa jin mau membantu manusia.
#Ingin menyesatkan manusia. Kelompok jin ini adalah tentara ilbis yang ditugaskan untuk membantu para tukang sihir dan penganut ilmu hitam. Orang yang ingin memiliki khodam jenis ini harus melakukan perbuatan atau ritual yang melanggar aturan Tuhan. Misalnya untuk medapatkan ilmu sihir mereka harus menyediakan sesaji, makan darah, membunuh, melakukan dosa besar dan sebagainya. Jin jenis ini sangat senang jika manusia yang didampinginya jauh dari agama.
Bukan hanya penganut ilmu hitam saja yang dibantu oleh jin tentara iblis ini. Para penganut thariqoh (orang yang menapaki jalan spiritual menuju Tuhan) dan orang soleh yang kurang waspada pun disesatkan oleh jin golongan ini. Awalnya jin mengaku sebagai guru spiritual yang sudah meninggal atau malaikat yang akan membimbingnya dan membantu segala usahanya. Seketika seorang ahli thariqoh pun memiliki banyak “kesaktian”. Namun perlahan-lahan jin cerdas ini memperdaya ahli thariqoh hingga dia melanggar aturan agama.
#Ingin mendapat keuntungan dari manusia. Khodam Jin jenis ini selalu meminta imbalan dalam bentuk sesaji, persembahan, korban, bahkan ada yang mengadakan perjanjian, jika sudah sampai waktu yang ditentukan pemilik ilmu bersedia menjadi budak/pengikut di alam jin. Orang yang menjadi budak jin, meniggalkan jasadnya, kemudian jiwanya dibawa ke alam jin. Sehingga dia tampak mati bagi orang awam, padahal dia sebetulnya belum mati. Nanti ketika sudah sampai batas usianya, malaikat maut baru menjemputnya untuk dihadapkan kepada Tuhan. Oleh karena itu jangan pernah berniat untuk mendapatkan pesugihan atau “harta gaib” yang datang tiba-tiba dengan bantuan jin.
Keadaan ini sesuai dengan Al-Quran surah Al-Jin ayat 6, yang terjemahnya: Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan.
#Karena mencintai manusia. Kadang kami menemui ada jin yang mengikuti manusia dengan alasan cinta. Cinta yang kami maksud adalah seperti cinta pria kepada wanita. Umumnya jin yang seperti ini selalu berusaha membantu manusia yang dicintainya, sekaligus mengganggu. Bentuk bantuannya mampu berupa kemampuan mengobati, perlindungan dari kejahatan, kemampuan mengetahui rahasia orang dan sebagainya. Sedangkan gangguannya biasanya berupa: merasa diikuti seseorang, sulit mencintai, hubungan cinta selalu gagal, kesurupan/kerasukan dan sering mimpi bersetubuh. Bahkan kadang ada jin yang datang dalam wujud manusia untuk menyetubuhi manusia dalam keadaan sadar.
#Persahabatan. Bagi sebagian orang yang memiliki ilmu spiritual tertentu, bersahabat dengan jin bukanlah hal mustahil. Idealnya hubungan persahabatan adalah saling membantu dan berbagi. Namun kenyataannya hubungan persahabatan dengan jin mampu menguntungkan atau merugikan Anda, bahkan kadang juga menyesatkan Anda. hal ini sama jika kita bersahabat dengan sesama manusia. Jika sahabat kita adalah orang baik, maka kita pun terbawa menjadi baik. Tapi jika kita berteman dengan penjahat, maka kita pun mampu dirugikan atau malah bergabung menjadi penjahat. Semua itu tergantung sifat dan kepribadian Anda. Hubungan persahabatan inilah yang menjadi dasar
MENGENALI KHODAM
Setiap manusia sesungguhnya sudah dibekali Allah s.w.t dengan teman (qorin) dari golongan Jin, bahkan sejak manusia dilahirkan oleh ibunya. Rasulullah s.a.w telah menegaskan hal itu dengan sabdanya:
مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ وَقَدْ وَكَّلَ قََرِيْنَهُ مِنَ الْجِنِّ . قَاُلْوا أَاَنْتَ يَارَسُوْلَ اللهِ . قَالَ: وَإِيَّايَ إِلاَّ أَنَّ اللهَ قَدْ أَعَانَنِي عَلَيْهِ فَأَسْلَمَ فَلاَ يَأْمُرُنِي إِلاَّ بِالْخَيْرِ . رواه مسلم.
“Tidaklah dari salah satu diantara kalian kecuali sesungguhnya Allah telah mewakilkan temannya dari jin, mereka bertanya: “Apakah engkau juga ya Rasulullah?”, Rasul s.a.wmenjawab: “Dan juga kepadaku, hanya saja sesungguhnya Allah telah menolongku mengalahkannya, maka ia masuk Islam, maka ia tidak memerintah kepadaku kecuali dengan kebaikan”. (HR Muslim)
Rasulullah s.a.w meskipun dibekali teman dari Jin, namun Allah memberikan pertolongan kepada Beliau sehingga Jin yang menyertai Nabi s.a.w masuk Islam. Dengan itu jin tersebut tidak memberikan bisikan kepada Baginda Nabi kecuali dalam kebaikan, demikianlah yang disampaikan dalam sabdanya di atas. Maka hadits ini menjadi bukti bahwa bagian dari fungsi khodam Jin itu adalah mempengaruhi manusia dengan perintahnya.
Hanya saja, oleh karena Allah s.w.t telah memberikan pertolongan kepada Baginda Nabi s.a.w, meskipun jin itu memberikan perintah, namun itu hanya dalam kebaikan. Melalui hadits ini juga terbukti, ternyata khodam yang baik itu tidak hanya dari golongan malaikat saja, akan tetapi juga ada yang dari golongan Jin. Lebih jelas lagi dari apa yang telah disabdakan oleh Baginda Nabi s.a.w di dalam hadits yang lain:
فُضِّلْتُ عَلَى آَدَمَ بِخَصْلَتَيْنِ. اَلأَوَّلُ: إِنَّ الشَّيْطَانِي كَانَ كَافِرًا فَأَعَانَنِيَ اللهُ عَلَيْهِ حَتَّى أَسْلَمَ. وَالثَّانِيَةُ: إِنَّ أَزْوَاجِيْ كُنَّ عَوْنًا لِي فِي خَيْرٍ . وَأَنَّ الشَّيْطَانَ آَدَمَ كَانَ كَافِرًا وَزَوْجَتُهُ كَانَتْ عَوْنًا عَلَيْهِ.
“Aku diutamakan melebihi Adam dengan dua keadaan: pertama, sesungguhnya setanku adalah kafir, kemudian Allah memberi pertolongan kepadaku sehingga setanku masuk Islam, dan yang kedua, sesungguhnya adalah istri-istriku selalu menolong kepadaku di dalam kebaikan, sedangkan Adam, setannya adalah kafir dan istrinya adalah menolong kepada setannya”.
Walhasil, dari sekian uraian di atas, baik yang bersumber dari firman-firman Allah s.w.t maupun hadits-hadits Nabi s.a.w dapat diambil beberapa kesimpulan: Bahwa keberadaankhodam-khodam itu ternyata memang ada, bahkan ada yang yang sudah diikutkan manusia sejak dilahirkan oleh ibunya. Di antara khodam-khodam itu ada yang menguntungkan ada yang merugikan. Namun demikian, adanya khodam itu tidak didapatkan dengan cara diburu ke sana ke mari, melainkan didatangkan oleh Allah s.w.t sebagai bonus ibadah, baik secara langsung mengikuti hikmah yang dikehendaki-Nya atau melalui proses dan sebab-sebab yang berkaitan dengan ikhtiar serta amal ibadah.
Di antara khodam-khodam itu ternyata ada yang sudah diikutsertakan Allah kepada manusia sejak ia dilahirkan ibunya. Padahal dalam kenyataannya tidak semua orang dapat merasakan keberadaannya terlebih mengenalinya. Bagaimana¬kah yang demikian itu dapat dinalar secara rasional?
Manusia dengan khodamnya, ibarat manusia dengan bayang-bayangnya sendiri. Bayang-bayang itu menjadi ada, bukan karena ada dengan sendirinya, namun karena ada sinar yang menyinari manusia.
Seperti malam ketika sedang berkabut hingga menjadi gelap gulita, jangankan bayang-bayang, gunung di pelupuk mata pun tidak tampak. Demikian itu karena tidak adanya sinar yang menerangi persada. Namun ketika matahari mulai memancarkan sinar, seiring fajar pagi kian terang, maka sedikit demi sedikit gunung yang tadinya tidak kelihatan mulai menampakkan diri.
Yang asalnya seperti gundukan asap hitam, semakin lama menjadi semakin terang, dan ketika matahari semakin tinggi, tidak ada kabut dan mendung yang menghalangi, maka gunung itupun semakin menampakkan diri. Ketika sinar matahari telah sempurna memancar pada titik kulminasi, maka gunung itu semakin kelihatan indah karena bayang-bayang pemisah antara dua celah yang semula tidak kelihatan kini ikut mempercantik wajahnya. Seperti itulah cara mengenali khodam.
Artinya,khodam itu tidak harus dicari ke sana ke mari, melainkan didapatkan dengan jalan mendekatkan dirinya kepada titik pancaran sinar matahari.
Yang dimaksud sinar matahari itu adalah Nur langit dan Nur bumi, yaitu Nur dan HidayahAllah s.w.t yang menerangi rongga dada seorang hamba sehingga matahati yang ada di dalamnya menjadi tembus pandang. Maka mendekatkan diri kepada sinar matahari itu berarti mendekatkan diri kepada Allah s.w.t supaya dengan itu seorang hamba mendapatkan hidayah-Nya.
Supaya orang dapat sinar matahari, dia harus mendekatkan diri kepada sumber sinar, sekaligus menghilangkan sesuatu yang dapat menghalangi dirinya dari sinar tersebut. Seperti itulah cara orang mengenali khodam-khodamnya, di samping ia harus mendekatkan diri kepada Allah s.w.t, juga harus menghilangkan dan menghapus hijab-hijab yang menutupi matahatinya, sehingga mampu menangkap pancaran Nur danHidayah dengan sempurna.
Dengan sinar hidayah itu alam yang semula gelap gulita menjadi terang benderang karena matahati seorang hamba menjadi tembus pandang. Hamparan dada yang semula sempit dan dangkal itu kini menjadi dalam dan luas karena bagian rahasia alam telah tersingkapkan. Dengan semakin luasnya ilmu dan pengenalan diri, baik kepada diri sendiri dan lingkungan, terlebih pemahaman akan rahasia urusan Tuhannya, maka dengan izin-Nya seorang hamba akan semakin mengenali apa-apa yang ada di sekelilingnya. Mereka dapat menngenali dimensi-dimensi lain yang ada di alam semesta, di antaranya adalah dimensi rahasia khodam-khodam yang menyertai hidupnya.
Ini adalah ‘kunci rahasia’ untuk membuka pintu rahasia yang selama ini seakan tertutup rapat itu. Merupakan password yang dapat menguak dimensi alam yang seakan terhalang. Kunci permasalahan yang dapat dijadikan dasar kajian sekaligus bekal utama supaya seorang hamba mampu mambangun amal untuk melatih diri membakarhijab dan menembus sekat yang menghalangi, mengadakan pengembaraan dan bermi’raj menuju dimensi yang diselimuti. Menyelesaikan tahapan, menempuh tanjakan, menyiasati jebakan dan menyingkirkan rintangan, supaya perjalanan tidak tersesat di tengah jalan, sehingga seorang pejalan mendapatkan apa-apa yang sudah disiapkan.
Jadi, berburu khodam itu tidak harus melakukan perjalanan pergi kesana-kemari, akan tetapi dengan gerakan diam.
Artinya melakukan amal dalam pengabdian hakiki, baik dzikir dan wirid, maupun mujahadah dan riyadlah, semuanya itu dilakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Hal tersebut bisa dilakukan dimana saja, baik di dunia rame maupun sepi, asal hanya untuk mengharapkan ridla-Nya. Selanjutnya berserah diri kepada-Nya terhadap apa-apa yang yang diharapkan. Demikian itu, karena Allah tidakl jauh dari hamba-Nya. Allah sangat dekat dan bahkan lebih dekat dari urat lehernya. Allah adalah Dzat Yang Maha Mengetahui terhadap apa-apa yang dikerjakan hamba-Nya, baik dari perbuatan taat maupun maksiat dan Allah juga Maha Kuasa membalas amal ibadah yang dikerjakan hamba-hamba-Nya itu.
Terlebih urusan khodam yang hanya dapat dikenali dengan ilmu rasa. Padahal tidak ada jalan untuk menghasilkan ilmu rasa kecuali dengan amal (praktek), maka tidak mungkin uraian tentang khodam ini dapat diperpanjang lagi. Oleh karena itu, bagi para pembaca yang ingin melanjutkan pencarian, silahkan meneruskan sendiri semampu mungkin dengan mencari bahan tambahan, baik dari ayat-ayat al-Qur’an maupun Hadits-Hadits Nabi s.a.w yang tentunya harus didampingi para Ulama’ ahlinya sebagai guru dan pembimbing, sambil memohon petunjuk dan taufiq kepada Allah s.w.t agar kita semua terjaga dari segala tipudaya kehidupan.
Minggu, 29 Mei 2016
SAIDINA ALI BIN ABI TALIB KARAMALLAHU WAJHAH
Saiyidina Ali R.A. bukan sahaja seorang sahabat besar Rasullullah S.A.W. serta yang paling dicintai oleh baginda bahkan beliau juga seorang manusia luarbiasa yang memiliki ilmu bagaikan lautan, kefasihan lidahnya yang tiada bandingan sebagai seorang ahli sastera dan pidato, di samping seorang pahlawan yang tiada seorangpun dapat menafikan kehandalannya di antara barisan pahlawan-pahlawan yang terbilang.
Beliau telah
memeluk Islam ketika berumur 8 tahun dan merupakan kanak-kanak yang
mula-mula sekali memeluk Islam. Setengah riwayat menyatakan bahawa
beliaulah yang paling dahulu Islam dari Saiyidina Abu Bakar Al-Siddiq
R.A. Saiyidina Ali Bin Abu Talib termasuk ahli keluarga Rasulullah
S.A.W. sendiri kerana beliau adalah sepupu baginda yang membesar dalam
asuhan dan pemeliharaan Nabi S.A.W. Saiyidina Ali R.A. dilahirkan dalam
Kaabah, kiblat yang menjadi kerinduan ummat Islam. Mula-mula yang
dilihatnya ialah Muhammad S.A.W. dan Siti Khadijah sedang sembahyang.
Ketika beliau ditanyakan kenapa memeluk Islam tanpa lebih dahulu
mendapat izin ayahnya, Ali R.A. menjawab, "Apa perlunya aku bermesyuarah
dengan ayah demi untuk mengabdi kepada Allah?
Pada mulanya agama Islam hanya berkembang di sekitar lingkungan rumah Rasulullah S.A.W. sahaja, yakni berkisar pada diri Rasulullah S.A.W., isterinya Siti Khadijah, Ali dan Zaid Bin Haritsah. Pada suatu hari Nabi Muhammad S.A.W. telah mengundang sekelian sanak saudaranya pada satu jamuan di rumahnya. Setelah mereka itu datang maka Rasulullah S.A.W. pun menerangkan kepada mereka itu tentang agama Islam yang dibawanya itu. Maka Abu Lahab memutuskan pembicaraannya serta menyuruh hadirin yang lain supaya meninggalkan jamuan makan itu. Pada keesokan harinya Rasulullah S.A.W. mengadakan pula jamuan makan, dan setelah selesai bensantap, maka bersabdalah Rasul S.A.W.
"Saya rasa tak ada seorang yang membawa sesuatu yang lebih mulia daripada yang ku bawa sekarang. Maka siapakah di antara kalian yang akan menolongku? Tatkala mendengarkan rayuan Rasul itu mereka semua marah lalu bangkit untuk meninggalkan rumah itu. Tetapi Ali yang masih lagi belum baligh ketika itu lantas bangun seraya berkata, "Hai Rasulullah, akulah yang akan menolongmu. Aku akan memerangi sesiapa sahaja yang akan memerangimu , lalu disambut oleh hadirin dengan tertawa sambil melihat-lihat Abu Talib dan anaknya itu. Kemudian meneka meninggalkan rumah Rasul itu sambil mengejek-ejek.
Saiyidina Ali R.A. pernah benkata, "Aku telah menyembah Allah S.W.T. lima tahun sebelum disembah sesiapapun dari ummat Muhammad ini. Bahkan beliau adalah salah seorang yang pertama bersembahyang bersama Rasulullah S.A.W. Dalam hubungan ini Anas Bin Malik R.A. pernah berkata, "Muhammad diangkat menjadi Rasulullah pada hari Isnin, sedang Ali Bin Abu Talib sudah ikut sembahyang bersama baginda Rasul pada keesokan harinya.
Abu Talib, bapa saudara Rasul adalah seorang yang miskin lagi susah hidupnya serta mempunyai ramai anak. Maka dengan maksud untuk meringankan beban Abu Talib itulah atas fikiran. Nabi S.A.W., Saiyidina Abbas Bin Abu Muttalib telah mengambil Ja'afar menjadi tanggungannya sedang Rasul sendiri mengambil Ali. Dengan hal demikian tumbuhlah Ali Bin Abu Talib sebagai seorang pemuda di tengah-tengah keluarga Rasulullah dan langsung memperoleh asuhan dan baginda. Saiyidina Ali R.A. banyak mengambil tabi'at Nabi S.A.W. dan beliaulah yang terdekat sekali hubungannya dengan Rasul serta yang paling dicintainya. Demikian akrabnya Saiyidina Ali R.A. dengan Rasulullah S.A.W. hinggakan beliau hampir-hampir tidak pernah berpisah sejengkal pun dari Rasulullah S.A.W. baik di waktu suka mahupun di waktu susah. Pergonbanannya terhadap Islam dan Rasulnya adalah demikian besar sekali dan akan selamanya menjadi contoh keutamaan yang tiada bandingannya dalam sejarah ummat Islam.
Tatkala Rasulullah S.A.W. melakukan hijrah ke Madinah di atas penintah Allah S.W.T. bagi menyelamatkan dirinya dari rencana pihak musyrikin Quraisy yang bertujuan hendak membunuhnya, maka kepada Saiyidina Ali R.A. ditugaskan oleh baginda untuk tidur di tempat tidurnya pada malam yang sangat genting itu. Walaupun tugas itu sangat berat dan merbahaya sekali namun Saiyidina Ali R.A. sebagai sifatnya seorang pejuang yang sejati, telah menyanggupi tugas tersebut dengan hati yang ikhlas dan gembira, kerana beliau mengerti bahawa berpeluang menyerahkan nyawanya demi untuk menebus seorang Rasul. Bahkan beliau juga mengerti bahawa tugas yang dilaksanakannya itu akan merupakan pengorbanan yang tidak ada tolok bandingannya di kemudian hani.
Setelah Rasulullah S.A.W. selamat sampai ke Madinah, tidak lama kemudiannya tibalah pula rombongan Saiyidina Ali R.A. Apakala ramai kaum Muhajinin sampai di kota Madinah itu, Rasullullah S.A.W. telah mempersaudarakan antana golongan Muhajirin dengan golongan Ansar. Tetapi anihnya dalam hubungan ini Rasulullah tidak mempersaudarakan Saiyidina Ali R.A. dengan sesiapapun juga, hanya baginda berkata kepada Saiyidina Ali, demikian sabdanya, "Wahai Ali, engkau adalah saudaraku di dunia dan saudaraku juga di Akhirat. Demikian jelaslah bahawa baginda telah mempersaudarakan Saiyidina Ali dengan diri baginda sendiri. Kesayangan Rasulullah S.A.W. terbukti dengan menjodohkan Saiyidina Ali R.A. dengan puteri yang paling disayanginya iaitu Fatimah AzZahrah, seorang wanita yang paling utama di syurga, padahal sebelum itu Fatimah sudah pernah dilamar oleh Saiyidina Abu Bakar dan Saiyidina Umar Al Khattab R.A. tetapi Rasul menolaknya dengan lemah lembut dan dengan cara yang bijaksana.
Sebagai seorang yang gagah berani dan sahabat yang paling disayangi baginda Rasul, Saiyidina Ali R.A. tidak pernah ketinggalan dalam mana-mana peperangan baik besar mahupun kecil yang dilakukan oleh Rasulullah S.A.W. Beliau telah melakukan peranan yang penting dalam Peperangan Badar yang terkenal itu. Ketika itu beliau merupakan seorang pemuda yang gagah dan tampan masih dalam lingkungan 20an lagi. Dalam peperangan itulah buat pertama kalinya Rasulullah S.A.W. telah menyerahkan panji-panji peperangan kepada Saiyidina Ali R.A. dimana beliau telah menjalankan tugasnya dalam peperangan tersebut dengan cemerlang sekali. Setelah peperangan tamat para sahabat tidak menemui Nabi S.A.W. di tengah-tengah mereka. Dalam keadaan mereka tertanya-tanya itu tiba-tiba muncul Rasulullah S.A.W. bersama Saiyidina Ali R.A. seraya baginda bersabda, "Saya sebenarnya ada di belakang kalian sedikit kerana merawati perut Ali yang luka. Dari peristiwa ini dapatlah dilihat betapa besarnya kecintaan baginda tenhadap Saiyidina Ali R.A. dan bagaimana pula besarnya pengorbanan Ali R.A. dalam menegakkan kemuliaan Agama Islam.
Dalam apa jua peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah S.A.W., Saiyidina Ali R.A. tetap berada di samping baginda. Pada suatu ketika iaitu dalam Perang Tabuk, tiba-tiba Rasulullah S.A.W. tidak membenarkan Saiyidina Ali R.A. untuk menyertai baginda hingga sikap Rasulullah S.A.W. itu telah dijadikan modal fitnah oleh pihak musuh-musuh Islam serta kaum munafik konon baginda tidak senang hati terhadap Saiyidina Ali R.A. Jika tidak demikian masakan baginda menegahnya menyertai perang. Sebagai seorang yang benar dan mencintai kebenaran Saiyidina Ali R.A. kurang berasa senang mendengar desas-desus yang kurang menyenangkan itu lantas beliau terus menjumpai Rasul untuk meminta penjelasan. Sebagai menghilangkan keraguan beliau itu, Rasul lalu bersabda kepadanya, "Tidakkah engkau rela hai Ali, kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa ?" Mendengankan kata-kata Rasulullah s.a.w yang menyejukkan jiwanya itu maka barulah puas Saiyidina Ali R.A.
Perkataan Rasul itu terang memperlihatkan betapa besarnya kecintaan dan penghormatan baginda terhadap dirinya.
Dalam Perang Khaibar pula di mana sebuah ibu kota kaum Yahudi sukar dapat ditakluki oleh angkatan tentera Islam, Saiyidina Ali R.A. telah memainkan peranannya yang utama sekali. Pada mulanya pihak Islam gagal untuk menakluki kota tersebut sekalipun telah dilakukan pengepungan beberapa hari lamanya. Dalam detik-detik yang sukar itulah akhirnya Rasulullah S.A.W. bersabda"Saya akan menyerahkan panji-panji peperangan esok pada seorang lelaki yang mencintai Allah dan RasulNya dan dicintai oleh Allah dan RasulNya".
Sekelian panglima pasukan masing-masing mengharapkan agar dirinya akan diserahkan panji-panji tersebut kerana setiap mereka bercita-cita hendak mendapatkan kemuliaan yang begitu besar sebagai seorang yang mencintai Allah dan RasulNya dan dicintai pula oleh Allah dan RasulNya. Pada keesokan harinya, setelah selesai sembahyang subuh Rasulullah S.A.W. lantas mencari-cari Saiyidina Ali R.A. Nyatalah bahawa Saiyidina Ali R.A. tidak ada di situ kenana ketika itu Ali R.A. mengidap sakit mata. Kemudian bersabdalah Rasul "Panggillah Ali ke mari menjumpai saya, Saiyidina Ali R.A. yang sedang sakit kedua matanya itu lalu datang mengadap Rasulullah S.A.W. seraya baginda pun meludah kepada mata beliau yang sakit itu. Maka dengan serta merta sahaja sembuhlah mata beliau. Kemudian Rasul pun menyerahkan panji-panji kepada Saiyidina All R.A. Maka benteng yang sudah berhani-hari tidak dapat ditembus itu akhirnya dapat dikalahkan di bawah pimpinan panglima Ali Bin Abu Talib R.A.
Satu lagi peperangan di mana Saiyidina Ali Bin Abu Talib R.A. memperlihatkan kegagahan dan keberaniannya yang luarbiasa ialah tatkala berlakunya Perang Khandak atau Ahzab. Perang ini adalah antara pihak Islam dengan angkatan musyrik Mekah yang mendapat bantuan dari puak-puak Arab yang lain serta orang-orang Yahudi. Orang-orang Islam telah menggali parit-parit yang digelarkan Khandak di sekeliling kota Madinah sebagai jalan untuk membendung kemaraan pihak musuh danipada memasukinya. Jumlah pihak musuh adalah kira-kira 10,000 orang tetapi mereka tidak dapat masuk kerana tenhalang oleh parit-parit. Namun begitu mereka terus mengepung kota itu selama 15 hari lamanya. Kemudian Allah S.W.T. turunkan angin ribut dari tentera Allah yang tak kelihatan memukul dan menerbangkan khemah-khemah serta alat perang musuh sehingga mereka pun mengundurkan diri dengan penuh kekecewaan.
Semasa peperangan inilah diriwayatkan bahawa beberapa pahlawan musynik Quraisy telah dapat menyeberangi parit dengan mengenderai kuda. Di antara mereka ialah Amru Bin Abdi Wid, Ikrimah Bin Abu Jahal dan Dhiraar Ibnul Khattab. Apakala mereka itu telah berada di seberang parit, tiba-tiba Amru Bin Wid telah bertempik meminta lawan untuk beradu kekuatan dengan pihak pahlawan-pahlawan Islam. Dia mencabar seraya berkata, "Siapa di antara kalian yang berani berlawan denagan aku, silakan! Cabaran itu lantas disambut oleh Saiyidma Ali R.A. yang kemudiannya terus meminta izin dari Rasulullah S.A.W. untuk melawan pahlawan musyrik itu. Kata Ali R.A., "Saya akan melawan dia, ya Nabi Allah, Izinkanlah saya. Tetapi Rasulullah S.A.W. telah menahannya dengan sabdanya, "Duduklah engkau hai Ali! Tidakkah engkau tahu dia Amru.
Amru kemudian minta lawan lagi berulang-ulang hingga dua kali. Setiap ia mencabar, Saiyidina Ali R.A. telah berdiri menyahutnya tetapi Rasulullah senantiasa menyuruhnya duduk sambil mengingatkan bahawa lawannya itu bukan padannya kenana Amru itu memang terkenal gagah lagi perkasa. Namun begitu Saiyidina Ali R.A. tetap juga mengatakan, "Sekalipun dia itu Amru, hai Nabi Allah, saya tidak takut melawannya. Izinkanlah saya menemuinya. Akhinnya Rasulullah S.A.W. mengizinkannya untuk melawan musuh yang keadaan orangnya lebih tua, lebih besar lagi lebih berpengalaman dari dirinya itu. Sebelum Saiyidina Ali R.A. pergi mendapatkan musuhnya yang menanti itu, Rasulullah S.A.W. telah membekalnya dengan pedangnya lalu kemudian berdoa ke hadrat Allah S.W.T. untuk keselamatan Saiyidina Ali Bin Abu Talib R.A.
Tidak lama kemudian tampillah Saiyidina Ali R.A. ke hadapan. Manakala Amru melihatnya dia tidak dapat mengenalinya kerana muka dan kepala Saiyidina Ali R.A. bertopeng besi lalu ditanyainya:
“Siapa engkau, hai pahlawan?”
Jawapnya, "Ali!”
Tanya Amru lagi, "Ali, anak Abdul Manaf?”
Jawab Ali R.A. "Ali, anak Abu Talib”
Mendengar nama itu Amru enggan hendak melawannya seraya katanya untuk memperkecilkan kehandalan Ali R.A. "Wahai anak saudaraku! Lebih baik orang lain sahaja engkau suruh melawan aku. Panggillah paman-pamanmu yang lebih kuat daripadamu. Aku benci menumpahkan darahmu, kerana aku memandang ayahmu seorang sahabat baikku.
Saiyidina Ali R.A. lalu menjawab, "Tetapi aku, demi Allah, tak benci menumpahkan darahmu. Demi mendengarkan jawapan itu maka menjadi marahlah Amru dan mulalah ia hendak menyerangnya. Tetapi Saiyidina Ali R.A. lalu benkata, "Macamana aku hendak bertempur denganmu padahal engkau di atas kuda. Turunlah ke mari sama-sama aku di bawah.”
Mendengar itu Amru telah menghambur dari kudanya, dihunusnya pedangnya itu dan untuk menunjukkan garangnya ditetak kudanya dicencangnya mukanya supaya tak boleh lari. Kemudian ía mara ke hadapan mendapatkan Saiyidina Ali R.A. yang disambut pula olehnya dengan mengacukan perisainya yang dibuat daripada kulit. Amru telah menetaknya, perisainya tersiat sedang pedangnya pula melekat di situ dan mengenai kepala Saiyidina Ali R.A. Maka Saiyidina Ali R.A. pun membalas menetak bahu Amru. Ia lalu tersungkur rebah serta mati di situ juga. Saiyidina Ali R.A. lantas memekikkan takbir, "Allahu Akbar yang disambut pula dengan pekikan takbir yang bengemuruh di angkasa oleh kaum Muslimin yang menyasikannya, sebagai tanda kesyukunan di atas kemenangannya. Dan dengan kematian Amru itu kawan-kawannya yang lain bertempiaran lari mengundurkan diri.
Rasulullah S.A.W. selalu memilih Saiyidina Ali R.A. untuk diberikan tugas dalam pekerjaan-pekerjaan yang amat berat, yang memerlukan keberanian yang luarbiasa serta ketabahan yang besar. Pada suatu masa, Rasulullah S.A.W. telah mengutus pahlawan Islam Khalid Bin Walid ke negeri Yaman untuk melaksanakan tugas sebagai pemenintah dan mubaligh Islam di negeri itu. Setelah bekerja selama enam bulan ternyata Khalid tidak berjaya memperoleh hasil yang diharapkan walaupun setelah bekerja bertungkus lumus. Kemudian Rasulullah S.A.W. pun mengutus pula Saiyidina Ali R.A. untuk menggantikan tempat Khalid Bin Walid sebagai mubaligh dan pemenintah di sana. Demi apakala penduduk Yaman mendengar bahawa Saiyidina Ali R.A. yang telah mereka kenal Sebagai Harimau Padang Pasir itu ditugaskan sebagai pemerintah yang baru maka bersegeralah mereka berkumpul hingga akhirnya Saiyidina Ali R.A. dapat melakukan sembahyang subuh bersama-sama mereka itu.
Setelah selesai sembahyang subuh, Saiyidina Ali R.A. pun membacakan surat dakwah di hadapan para hadirin. Maka seluruh penduduk dan kaum Hamdan sekeliannya memeluk Islam pada hari itu. Dalam laporan yang dikirimkan oleh beliau kepada Rasulullah S.A.W. Saiyidina Ali R.A. telah mengisahkan peristiwa yang telah terjadi itu. Setelah Rasul S.A.W. membaca laporan tersebut segeralah baginda sujud menyembah Allah sebagai tanda syukur atas kejadian itu senaya bersabda, "Sejahteralah penduduk Hamdan.
Selaku pemerintah dan mubaligh di Yaman, Saiyidina Ali R.A. juga telah diperintahkan untuk menjadi hakim dalam bidang pengadilan. Oleh kenana beliau berasa dirinya kurang ahli dalam bidang pengadilan itu maka dengan terus-terang dan ikhlas beliau berkata kepada Rasul S.A.W., "Ya Rasul Allah, saya tidak mengerti dan tidak mempunyai keahlian yang cukup mengenai hal pengadilan ini.
Mendengar perkataan Saiyidina Au R.A. itu segeralah Rasulullah S.A.W. menyapu dada beliau dengan tangan Rasulullah S.A.W. sendiri sambil bersabda, "Ya Allah, bukalah dada Ali untuk menerima ilmu dan lapangkanlah ucapannya dalam soal pengadilan". Adalah diriwayatkan bahawa berkat doa Nabi Muhammad S.A.W. itu Saiyidina Ali Bin Abu Talib R.A. kemudiannya menjadi seorang hakim yang bijak lagi adil hukumannya. Baik di zaman Saiyidina Abu Bakar Al-Siddiq R.A. mahupun di zaman Saiyidina Umar Al Khattab R.A. selalulah Saiyidina Ali R.A. diajak bermesyuarah dalam memutuskan sesuatu masalah yang dihadapi oleh Khalifah-Khalifah itu. Bahkan Saiyidina Umar Al Khattab R.A. biasanya enggan memutuskan sesuatu keputusan sebelum lebih dahulu Saiyidina Ali R.A. diajaknya berunding.
Demikianlah beberapa kisah riwayat tentang peranan yang pernah dilakukan oleh Saiyidina Ali Bin Abu Talib di zaman hidupnya Rasulullah S.A.W. Ketika Rasulullah S.A.W. wafat, Saiyidina Ali R.A. tidak mempunyai kesempatan untuk menyertai pertemuan para sahabat dan golongan Muhajirin dan Ansar di Balai Bani Saidah hingga terpilihnya Saiyidina Abu Bakar Al-Siddiq sebagai Khalifah. Sebabnya ialah ketika itu beliau sibuk menguruskan jenazah Rasulullah S.A.W. Pada hari yang penuh dukacita itu, beliau sama sekali tidak menghiraukan permesyuaratan yang berlangsung di Balai Bani Saidah itu kerana beliau sibuk dengan tugas-tugas pengkebumian jenazah Rasulullah S.A.W. serta mententeramkan sekelian keluarga Rasul S.A.W.
Permesyuaratan di Balai Bani Saidah hampir-hampir sahaja menimbulkan keadaan yang kacau tetapi akhirnya dapat ditenteramkan dengan terpilihnya Saiyidina Abu Bakar R.A. sebagai Khalifah pertama sesudah Rasulullah S.A.W. Pada mulanya Saiyidina Ali R.A. enggan memberikan persetujuannya terhadap pemilihan Abu Bakar Al-Siddiq R.A. sebagai Khalifah, bukan kerana benci atau kurang senang terhadap Saiyidina Abu Bakar R.A. bahkan kerana rasa hati beliau yang sedang remuk redam disebabkan hilangnya Rasulullah S.A.W. Enam bulan kemudian setelah isteri beliau iaitu Siti Fatimah meninggal dunia, maka baharulah Saiyidina Ali Bin Abu Talib R.A. memberikan persetujuannya secara rasmi terhadap pengangkatan Saiyidina Abu Bakar R.A. sebagai Khalifah. Saiyidina Abu Bakar R.A. pun selaku pemerintah ummat yang agung, tidak pernah meninggalkan Saiyidina Ali R.A. di dalam permesyuaratan penting.
Apakala Saiyidina Umar Al Khattab menjadi Khalifah yang kedua, Saiyidina Ali R.A. tetap memperoleh kemuliaan dan penghormatan dan Saiyidina Umar R.A. sepertimana yang dinikmatinya semasa pemenintah Abu Bakar R.A. Walaupun diketahui bahawa Umar Al Khattab terkenal sebagai sahabat yang sangat ahli dan bijak dalam bidang hukum, namun baginda sering minta bantuan kepada Saiyidina Ali R.A. di dalam menyelesaikan beberapa hal yang sulit-sulit bahkan pernah diriwayatkan orang bahawa Saiyidina Umar Al Khattab R.A. tidak suka merundingkan soal-soal yang sulit tanpa dihadiri oleh Saiyidina Ali Bin Abu Talib.
Setelah wafat Saiyidina Umar Al Khattab jawatan Khalifah akhirnya jatuh pula ke tangan Saiyidina Uthman Bin Affa'n R.A. Namun begitu Saiyidina Ali R.A. tetap memberikan persetujuannya serta ketaatannya kepada Khalifah Uthman R.A. sekalipun dirinya juga bercita-cita agar terpilih sebagai Khalifah. Sungguhpun demikian, kesayangan Khalifah Uthman yang berlebih-lebihan terhadap kaum kerabatnya sendiri menyebabkan pandangan Saiyidina Ali R.A. dalam beberapa hal berubah terhadap Khalifah. Bahkan sebahagian danipada penduduk melihat seolah-olah terdapat keretakan dalam hubungan antara dua tokoh besar itu. Keadaan inilah yang menyebabkan setengah-setengah pihak yang memusuhi Saiyidina Ali R.A. menuduh Saiyidina Ali R.A. terlibat dalam pembunuhan Saiyidina Uthman Bin Affan R.A. Padahal yang sebenarnya Saiyidina Ali R.A. sama sekali tidak bertanggungjawab dalam perkara yang terjadi ke atas Khalifah Uthman R.A. Bahkan beliaulah sahabat yang paling mengambil berat terhadap keselamatan Khalifah. Ketika rumah Khalifah Uthman R.A. dikepung oleh puak pemberontak, Saiyidina Ali R.A. segera mengirim puteranya Saiyidina Hasan R.A. supaya menjaga keselamatan Khalifah. Tetapi ketika Saiyidina Hasan Bin Ali R.A. datang ke rumahnya untuk menawarkan bantuan, Khalifah Uthman R.A. menolak bantuannya serta menyuruhnya pulang. Lebih dari itu, apakala Saiyidina Ali R.A. mendengar khabar tentang pembunuhan Khalifah Uthman R.A. beliau telah memukul anaknya Hasan R.A. serta mengancam Muhammad Bin Talhah kerana dianggapnya kurang rapi menjalankan tugas menjaga keselamatan Saiyidina Uthman R.A.
Saiyidina Ali R.A. akhinnya telah dipilih kemudiannya sebagai Khalifah selepas kewafatan Khalifah Uthman R.A. sedang ketika itu sebahagian besar para sahabat Rasulullah S.A.W. sudah berselerak di pelusok kota-kota di seluruh wilayah Islam. Yang masih tinggal di Madinah hanya sebahagian kecil sahaja.
Setelah jawatan Khalifah jatuh kepadanya maka baharulah Saiyidina Ali R.A. cuba bemtindak untuk membawa garis politik seperti yang pernah dijalankan oleh Rasulullah S.A.W., Khalifah Abu Bakar R.A. dan Khalifah Umar Al Khattab R.A. Tetapi keadaan masyarakat dan ummat sudah jauh berubah disebabkan perkembangan ekonomi dan pembangunan yang diakibatkan oleh perluasan takluk Islam. Cita-cita Saiyidina Ali R.A. untuk membawa kembali dasar pemerintahan ummat sebagaimana zaman Rasulullah dan Saiyidina Abu Bakan R.A. dan Umar R.A. telah menghadapi rintangan dari pihak-pihak yang bersimpati dengan Saiyidina Uthman R.A. yang menuduhnya bentanggungjawab dalam penistiwa pembunuhan itu.
Disebabkan adanya golongan yang keras rnenentang sikapnya itu seperti Muawiyah Bin Abu Sufyan dan pembantunya Amru Bin Al As maka tenjadilah satu penbalahan yang sengit antana dua golongan itu. Satu pertelingkahan yang panjang yang mengakibatkan pertumpahan darah di antana sesama ummat Islam. Muawiyah berkeras enggan mengakui Saiyidina Ali Bin Abu Talib sebagai Khalifah senta menuntut baginda mengenakan hukuman tenhadap orang-orang yang bertanggungjawab dalam pembunuhan Saiyidina Uthman R.A. Sedang Saiyidina Ali R.A. pula terlebih dahulu telah memecat Muawiyah sebagai gabenor Syam dan juga tokoh-tokoh yang pemnah dilantik oleh Khalifah Uthman R.A. atas dasan kekeluargaan. Akibatnya maka berlakulah peperangan yang berpanjangan antara pihak Khalifah Ali R.A. dengan pihak penyokong Muawiyah Bin Abu Sufyan yang terdiri dari penduduk negeri Syam. Kesudahan dari perbalahan yang panjang itu Saiyidina Ali Bin Abu Talib akhirnya telah mati terbunuh oleh pengikut golongan Khawarij.
Pada mulanya agama Islam hanya berkembang di sekitar lingkungan rumah Rasulullah S.A.W. sahaja, yakni berkisar pada diri Rasulullah S.A.W., isterinya Siti Khadijah, Ali dan Zaid Bin Haritsah. Pada suatu hari Nabi Muhammad S.A.W. telah mengundang sekelian sanak saudaranya pada satu jamuan di rumahnya. Setelah mereka itu datang maka Rasulullah S.A.W. pun menerangkan kepada mereka itu tentang agama Islam yang dibawanya itu. Maka Abu Lahab memutuskan pembicaraannya serta menyuruh hadirin yang lain supaya meninggalkan jamuan makan itu. Pada keesokan harinya Rasulullah S.A.W. mengadakan pula jamuan makan, dan setelah selesai bensantap, maka bersabdalah Rasul S.A.W.
"Saya rasa tak ada seorang yang membawa sesuatu yang lebih mulia daripada yang ku bawa sekarang. Maka siapakah di antara kalian yang akan menolongku? Tatkala mendengarkan rayuan Rasul itu mereka semua marah lalu bangkit untuk meninggalkan rumah itu. Tetapi Ali yang masih lagi belum baligh ketika itu lantas bangun seraya berkata, "Hai Rasulullah, akulah yang akan menolongmu. Aku akan memerangi sesiapa sahaja yang akan memerangimu , lalu disambut oleh hadirin dengan tertawa sambil melihat-lihat Abu Talib dan anaknya itu. Kemudian meneka meninggalkan rumah Rasul itu sambil mengejek-ejek.
Saiyidina Ali R.A. pernah benkata, "Aku telah menyembah Allah S.W.T. lima tahun sebelum disembah sesiapapun dari ummat Muhammad ini. Bahkan beliau adalah salah seorang yang pertama bersembahyang bersama Rasulullah S.A.W. Dalam hubungan ini Anas Bin Malik R.A. pernah berkata, "Muhammad diangkat menjadi Rasulullah pada hari Isnin, sedang Ali Bin Abu Talib sudah ikut sembahyang bersama baginda Rasul pada keesokan harinya.
Abu Talib, bapa saudara Rasul adalah seorang yang miskin lagi susah hidupnya serta mempunyai ramai anak. Maka dengan maksud untuk meringankan beban Abu Talib itulah atas fikiran. Nabi S.A.W., Saiyidina Abbas Bin Abu Muttalib telah mengambil Ja'afar menjadi tanggungannya sedang Rasul sendiri mengambil Ali. Dengan hal demikian tumbuhlah Ali Bin Abu Talib sebagai seorang pemuda di tengah-tengah keluarga Rasulullah dan langsung memperoleh asuhan dan baginda. Saiyidina Ali R.A. banyak mengambil tabi'at Nabi S.A.W. dan beliaulah yang terdekat sekali hubungannya dengan Rasul serta yang paling dicintainya. Demikian akrabnya Saiyidina Ali R.A. dengan Rasulullah S.A.W. hinggakan beliau hampir-hampir tidak pernah berpisah sejengkal pun dari Rasulullah S.A.W. baik di waktu suka mahupun di waktu susah. Pergonbanannya terhadap Islam dan Rasulnya adalah demikian besar sekali dan akan selamanya menjadi contoh keutamaan yang tiada bandingannya dalam sejarah ummat Islam.
Tatkala Rasulullah S.A.W. melakukan hijrah ke Madinah di atas penintah Allah S.W.T. bagi menyelamatkan dirinya dari rencana pihak musyrikin Quraisy yang bertujuan hendak membunuhnya, maka kepada Saiyidina Ali R.A. ditugaskan oleh baginda untuk tidur di tempat tidurnya pada malam yang sangat genting itu. Walaupun tugas itu sangat berat dan merbahaya sekali namun Saiyidina Ali R.A. sebagai sifatnya seorang pejuang yang sejati, telah menyanggupi tugas tersebut dengan hati yang ikhlas dan gembira, kerana beliau mengerti bahawa berpeluang menyerahkan nyawanya demi untuk menebus seorang Rasul. Bahkan beliau juga mengerti bahawa tugas yang dilaksanakannya itu akan merupakan pengorbanan yang tidak ada tolok bandingannya di kemudian hani.
Setelah Rasulullah S.A.W. selamat sampai ke Madinah, tidak lama kemudiannya tibalah pula rombongan Saiyidina Ali R.A. Apakala ramai kaum Muhajinin sampai di kota Madinah itu, Rasullullah S.A.W. telah mempersaudarakan antana golongan Muhajirin dengan golongan Ansar. Tetapi anihnya dalam hubungan ini Rasulullah tidak mempersaudarakan Saiyidina Ali R.A. dengan sesiapapun juga, hanya baginda berkata kepada Saiyidina Ali, demikian sabdanya, "Wahai Ali, engkau adalah saudaraku di dunia dan saudaraku juga di Akhirat. Demikian jelaslah bahawa baginda telah mempersaudarakan Saiyidina Ali dengan diri baginda sendiri. Kesayangan Rasulullah S.A.W. terbukti dengan menjodohkan Saiyidina Ali R.A. dengan puteri yang paling disayanginya iaitu Fatimah AzZahrah, seorang wanita yang paling utama di syurga, padahal sebelum itu Fatimah sudah pernah dilamar oleh Saiyidina Abu Bakar dan Saiyidina Umar Al Khattab R.A. tetapi Rasul menolaknya dengan lemah lembut dan dengan cara yang bijaksana.
Sebagai seorang yang gagah berani dan sahabat yang paling disayangi baginda Rasul, Saiyidina Ali R.A. tidak pernah ketinggalan dalam mana-mana peperangan baik besar mahupun kecil yang dilakukan oleh Rasulullah S.A.W. Beliau telah melakukan peranan yang penting dalam Peperangan Badar yang terkenal itu. Ketika itu beliau merupakan seorang pemuda yang gagah dan tampan masih dalam lingkungan 20an lagi. Dalam peperangan itulah buat pertama kalinya Rasulullah S.A.W. telah menyerahkan panji-panji peperangan kepada Saiyidina Ali R.A. dimana beliau telah menjalankan tugasnya dalam peperangan tersebut dengan cemerlang sekali. Setelah peperangan tamat para sahabat tidak menemui Nabi S.A.W. di tengah-tengah mereka. Dalam keadaan mereka tertanya-tanya itu tiba-tiba muncul Rasulullah S.A.W. bersama Saiyidina Ali R.A. seraya baginda bersabda, "Saya sebenarnya ada di belakang kalian sedikit kerana merawati perut Ali yang luka. Dari peristiwa ini dapatlah dilihat betapa besarnya kecintaan baginda tenhadap Saiyidina Ali R.A. dan bagaimana pula besarnya pengorbanan Ali R.A. dalam menegakkan kemuliaan Agama Islam.
Dalam apa jua peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah S.A.W., Saiyidina Ali R.A. tetap berada di samping baginda. Pada suatu ketika iaitu dalam Perang Tabuk, tiba-tiba Rasulullah S.A.W. tidak membenarkan Saiyidina Ali R.A. untuk menyertai baginda hingga sikap Rasulullah S.A.W. itu telah dijadikan modal fitnah oleh pihak musuh-musuh Islam serta kaum munafik konon baginda tidak senang hati terhadap Saiyidina Ali R.A. Jika tidak demikian masakan baginda menegahnya menyertai perang. Sebagai seorang yang benar dan mencintai kebenaran Saiyidina Ali R.A. kurang berasa senang mendengar desas-desus yang kurang menyenangkan itu lantas beliau terus menjumpai Rasul untuk meminta penjelasan. Sebagai menghilangkan keraguan beliau itu, Rasul lalu bersabda kepadanya, "Tidakkah engkau rela hai Ali, kedudukanmu di sisiku seperti kedudukan Harun di sisi Musa ?" Mendengankan kata-kata Rasulullah s.a.w yang menyejukkan jiwanya itu maka barulah puas Saiyidina Ali R.A.
Perkataan Rasul itu terang memperlihatkan betapa besarnya kecintaan dan penghormatan baginda terhadap dirinya.
Dalam Perang Khaibar pula di mana sebuah ibu kota kaum Yahudi sukar dapat ditakluki oleh angkatan tentera Islam, Saiyidina Ali R.A. telah memainkan peranannya yang utama sekali. Pada mulanya pihak Islam gagal untuk menakluki kota tersebut sekalipun telah dilakukan pengepungan beberapa hari lamanya. Dalam detik-detik yang sukar itulah akhirnya Rasulullah S.A.W. bersabda"Saya akan menyerahkan panji-panji peperangan esok pada seorang lelaki yang mencintai Allah dan RasulNya dan dicintai oleh Allah dan RasulNya".
Sekelian panglima pasukan masing-masing mengharapkan agar dirinya akan diserahkan panji-panji tersebut kerana setiap mereka bercita-cita hendak mendapatkan kemuliaan yang begitu besar sebagai seorang yang mencintai Allah dan RasulNya dan dicintai pula oleh Allah dan RasulNya. Pada keesokan harinya, setelah selesai sembahyang subuh Rasulullah S.A.W. lantas mencari-cari Saiyidina Ali R.A. Nyatalah bahawa Saiyidina Ali R.A. tidak ada di situ kenana ketika itu Ali R.A. mengidap sakit mata. Kemudian bersabdalah Rasul "Panggillah Ali ke mari menjumpai saya, Saiyidina Ali R.A. yang sedang sakit kedua matanya itu lalu datang mengadap Rasulullah S.A.W. seraya baginda pun meludah kepada mata beliau yang sakit itu. Maka dengan serta merta sahaja sembuhlah mata beliau. Kemudian Rasul pun menyerahkan panji-panji kepada Saiyidina All R.A. Maka benteng yang sudah berhani-hari tidak dapat ditembus itu akhirnya dapat dikalahkan di bawah pimpinan panglima Ali Bin Abu Talib R.A.
Satu lagi peperangan di mana Saiyidina Ali Bin Abu Talib R.A. memperlihatkan kegagahan dan keberaniannya yang luarbiasa ialah tatkala berlakunya Perang Khandak atau Ahzab. Perang ini adalah antara pihak Islam dengan angkatan musyrik Mekah yang mendapat bantuan dari puak-puak Arab yang lain serta orang-orang Yahudi. Orang-orang Islam telah menggali parit-parit yang digelarkan Khandak di sekeliling kota Madinah sebagai jalan untuk membendung kemaraan pihak musuh danipada memasukinya. Jumlah pihak musuh adalah kira-kira 10,000 orang tetapi mereka tidak dapat masuk kerana tenhalang oleh parit-parit. Namun begitu mereka terus mengepung kota itu selama 15 hari lamanya. Kemudian Allah S.W.T. turunkan angin ribut dari tentera Allah yang tak kelihatan memukul dan menerbangkan khemah-khemah serta alat perang musuh sehingga mereka pun mengundurkan diri dengan penuh kekecewaan.
Semasa peperangan inilah diriwayatkan bahawa beberapa pahlawan musynik Quraisy telah dapat menyeberangi parit dengan mengenderai kuda. Di antara mereka ialah Amru Bin Abdi Wid, Ikrimah Bin Abu Jahal dan Dhiraar Ibnul Khattab. Apakala mereka itu telah berada di seberang parit, tiba-tiba Amru Bin Wid telah bertempik meminta lawan untuk beradu kekuatan dengan pihak pahlawan-pahlawan Islam. Dia mencabar seraya berkata, "Siapa di antara kalian yang berani berlawan denagan aku, silakan! Cabaran itu lantas disambut oleh Saiyidma Ali R.A. yang kemudiannya terus meminta izin dari Rasulullah S.A.W. untuk melawan pahlawan musyrik itu. Kata Ali R.A., "Saya akan melawan dia, ya Nabi Allah, Izinkanlah saya. Tetapi Rasulullah S.A.W. telah menahannya dengan sabdanya, "Duduklah engkau hai Ali! Tidakkah engkau tahu dia Amru.
Amru kemudian minta lawan lagi berulang-ulang hingga dua kali. Setiap ia mencabar, Saiyidina Ali R.A. telah berdiri menyahutnya tetapi Rasulullah senantiasa menyuruhnya duduk sambil mengingatkan bahawa lawannya itu bukan padannya kenana Amru itu memang terkenal gagah lagi perkasa. Namun begitu Saiyidina Ali R.A. tetap juga mengatakan, "Sekalipun dia itu Amru, hai Nabi Allah, saya tidak takut melawannya. Izinkanlah saya menemuinya. Akhinnya Rasulullah S.A.W. mengizinkannya untuk melawan musuh yang keadaan orangnya lebih tua, lebih besar lagi lebih berpengalaman dari dirinya itu. Sebelum Saiyidina Ali R.A. pergi mendapatkan musuhnya yang menanti itu, Rasulullah S.A.W. telah membekalnya dengan pedangnya lalu kemudian berdoa ke hadrat Allah S.W.T. untuk keselamatan Saiyidina Ali Bin Abu Talib R.A.
Tidak lama kemudian tampillah Saiyidina Ali R.A. ke hadapan. Manakala Amru melihatnya dia tidak dapat mengenalinya kerana muka dan kepala Saiyidina Ali R.A. bertopeng besi lalu ditanyainya:
“Siapa engkau, hai pahlawan?”
Jawapnya, "Ali!”
Tanya Amru lagi, "Ali, anak Abdul Manaf?”
Jawab Ali R.A. "Ali, anak Abu Talib”
Mendengar nama itu Amru enggan hendak melawannya seraya katanya untuk memperkecilkan kehandalan Ali R.A. "Wahai anak saudaraku! Lebih baik orang lain sahaja engkau suruh melawan aku. Panggillah paman-pamanmu yang lebih kuat daripadamu. Aku benci menumpahkan darahmu, kerana aku memandang ayahmu seorang sahabat baikku.
Saiyidina Ali R.A. lalu menjawab, "Tetapi aku, demi Allah, tak benci menumpahkan darahmu. Demi mendengarkan jawapan itu maka menjadi marahlah Amru dan mulalah ia hendak menyerangnya. Tetapi Saiyidina Ali R.A. lalu benkata, "Macamana aku hendak bertempur denganmu padahal engkau di atas kuda. Turunlah ke mari sama-sama aku di bawah.”
Mendengar itu Amru telah menghambur dari kudanya, dihunusnya pedangnya itu dan untuk menunjukkan garangnya ditetak kudanya dicencangnya mukanya supaya tak boleh lari. Kemudian ía mara ke hadapan mendapatkan Saiyidina Ali R.A. yang disambut pula olehnya dengan mengacukan perisainya yang dibuat daripada kulit. Amru telah menetaknya, perisainya tersiat sedang pedangnya pula melekat di situ dan mengenai kepala Saiyidina Ali R.A. Maka Saiyidina Ali R.A. pun membalas menetak bahu Amru. Ia lalu tersungkur rebah serta mati di situ juga. Saiyidina Ali R.A. lantas memekikkan takbir, "Allahu Akbar yang disambut pula dengan pekikan takbir yang bengemuruh di angkasa oleh kaum Muslimin yang menyasikannya, sebagai tanda kesyukunan di atas kemenangannya. Dan dengan kematian Amru itu kawan-kawannya yang lain bertempiaran lari mengundurkan diri.
Rasulullah S.A.W. selalu memilih Saiyidina Ali R.A. untuk diberikan tugas dalam pekerjaan-pekerjaan yang amat berat, yang memerlukan keberanian yang luarbiasa serta ketabahan yang besar. Pada suatu masa, Rasulullah S.A.W. telah mengutus pahlawan Islam Khalid Bin Walid ke negeri Yaman untuk melaksanakan tugas sebagai pemenintah dan mubaligh Islam di negeri itu. Setelah bekerja selama enam bulan ternyata Khalid tidak berjaya memperoleh hasil yang diharapkan walaupun setelah bekerja bertungkus lumus. Kemudian Rasulullah S.A.W. pun mengutus pula Saiyidina Ali R.A. untuk menggantikan tempat Khalid Bin Walid sebagai mubaligh dan pemenintah di sana. Demi apakala penduduk Yaman mendengar bahawa Saiyidina Ali R.A. yang telah mereka kenal Sebagai Harimau Padang Pasir itu ditugaskan sebagai pemerintah yang baru maka bersegeralah mereka berkumpul hingga akhirnya Saiyidina Ali R.A. dapat melakukan sembahyang subuh bersama-sama mereka itu.
Setelah selesai sembahyang subuh, Saiyidina Ali R.A. pun membacakan surat dakwah di hadapan para hadirin. Maka seluruh penduduk dan kaum Hamdan sekeliannya memeluk Islam pada hari itu. Dalam laporan yang dikirimkan oleh beliau kepada Rasulullah S.A.W. Saiyidina Ali R.A. telah mengisahkan peristiwa yang telah terjadi itu. Setelah Rasul S.A.W. membaca laporan tersebut segeralah baginda sujud menyembah Allah sebagai tanda syukur atas kejadian itu senaya bersabda, "Sejahteralah penduduk Hamdan.
Selaku pemerintah dan mubaligh di Yaman, Saiyidina Ali R.A. juga telah diperintahkan untuk menjadi hakim dalam bidang pengadilan. Oleh kenana beliau berasa dirinya kurang ahli dalam bidang pengadilan itu maka dengan terus-terang dan ikhlas beliau berkata kepada Rasul S.A.W., "Ya Rasul Allah, saya tidak mengerti dan tidak mempunyai keahlian yang cukup mengenai hal pengadilan ini.
Mendengar perkataan Saiyidina Au R.A. itu segeralah Rasulullah S.A.W. menyapu dada beliau dengan tangan Rasulullah S.A.W. sendiri sambil bersabda, "Ya Allah, bukalah dada Ali untuk menerima ilmu dan lapangkanlah ucapannya dalam soal pengadilan". Adalah diriwayatkan bahawa berkat doa Nabi Muhammad S.A.W. itu Saiyidina Ali Bin Abu Talib R.A. kemudiannya menjadi seorang hakim yang bijak lagi adil hukumannya. Baik di zaman Saiyidina Abu Bakar Al-Siddiq R.A. mahupun di zaman Saiyidina Umar Al Khattab R.A. selalulah Saiyidina Ali R.A. diajak bermesyuarah dalam memutuskan sesuatu masalah yang dihadapi oleh Khalifah-Khalifah itu. Bahkan Saiyidina Umar Al Khattab R.A. biasanya enggan memutuskan sesuatu keputusan sebelum lebih dahulu Saiyidina Ali R.A. diajaknya berunding.
Demikianlah beberapa kisah riwayat tentang peranan yang pernah dilakukan oleh Saiyidina Ali Bin Abu Talib di zaman hidupnya Rasulullah S.A.W. Ketika Rasulullah S.A.W. wafat, Saiyidina Ali R.A. tidak mempunyai kesempatan untuk menyertai pertemuan para sahabat dan golongan Muhajirin dan Ansar di Balai Bani Saidah hingga terpilihnya Saiyidina Abu Bakar Al-Siddiq sebagai Khalifah. Sebabnya ialah ketika itu beliau sibuk menguruskan jenazah Rasulullah S.A.W. Pada hari yang penuh dukacita itu, beliau sama sekali tidak menghiraukan permesyuaratan yang berlangsung di Balai Bani Saidah itu kerana beliau sibuk dengan tugas-tugas pengkebumian jenazah Rasulullah S.A.W. serta mententeramkan sekelian keluarga Rasul S.A.W.
Permesyuaratan di Balai Bani Saidah hampir-hampir sahaja menimbulkan keadaan yang kacau tetapi akhirnya dapat ditenteramkan dengan terpilihnya Saiyidina Abu Bakar R.A. sebagai Khalifah pertama sesudah Rasulullah S.A.W. Pada mulanya Saiyidina Ali R.A. enggan memberikan persetujuannya terhadap pemilihan Abu Bakar Al-Siddiq R.A. sebagai Khalifah, bukan kerana benci atau kurang senang terhadap Saiyidina Abu Bakar R.A. bahkan kerana rasa hati beliau yang sedang remuk redam disebabkan hilangnya Rasulullah S.A.W. Enam bulan kemudian setelah isteri beliau iaitu Siti Fatimah meninggal dunia, maka baharulah Saiyidina Ali Bin Abu Talib R.A. memberikan persetujuannya secara rasmi terhadap pengangkatan Saiyidina Abu Bakar R.A. sebagai Khalifah. Saiyidina Abu Bakar R.A. pun selaku pemerintah ummat yang agung, tidak pernah meninggalkan Saiyidina Ali R.A. di dalam permesyuaratan penting.
Apakala Saiyidina Umar Al Khattab menjadi Khalifah yang kedua, Saiyidina Ali R.A. tetap memperoleh kemuliaan dan penghormatan dan Saiyidina Umar R.A. sepertimana yang dinikmatinya semasa pemenintah Abu Bakar R.A. Walaupun diketahui bahawa Umar Al Khattab terkenal sebagai sahabat yang sangat ahli dan bijak dalam bidang hukum, namun baginda sering minta bantuan kepada Saiyidina Ali R.A. di dalam menyelesaikan beberapa hal yang sulit-sulit bahkan pernah diriwayatkan orang bahawa Saiyidina Umar Al Khattab R.A. tidak suka merundingkan soal-soal yang sulit tanpa dihadiri oleh Saiyidina Ali Bin Abu Talib.
Setelah wafat Saiyidina Umar Al Khattab jawatan Khalifah akhirnya jatuh pula ke tangan Saiyidina Uthman Bin Affa'n R.A. Namun begitu Saiyidina Ali R.A. tetap memberikan persetujuannya serta ketaatannya kepada Khalifah Uthman R.A. sekalipun dirinya juga bercita-cita agar terpilih sebagai Khalifah. Sungguhpun demikian, kesayangan Khalifah Uthman yang berlebih-lebihan terhadap kaum kerabatnya sendiri menyebabkan pandangan Saiyidina Ali R.A. dalam beberapa hal berubah terhadap Khalifah. Bahkan sebahagian danipada penduduk melihat seolah-olah terdapat keretakan dalam hubungan antara dua tokoh besar itu. Keadaan inilah yang menyebabkan setengah-setengah pihak yang memusuhi Saiyidina Ali R.A. menuduh Saiyidina Ali R.A. terlibat dalam pembunuhan Saiyidina Uthman Bin Affan R.A. Padahal yang sebenarnya Saiyidina Ali R.A. sama sekali tidak bertanggungjawab dalam perkara yang terjadi ke atas Khalifah Uthman R.A. Bahkan beliaulah sahabat yang paling mengambil berat terhadap keselamatan Khalifah. Ketika rumah Khalifah Uthman R.A. dikepung oleh puak pemberontak, Saiyidina Ali R.A. segera mengirim puteranya Saiyidina Hasan R.A. supaya menjaga keselamatan Khalifah. Tetapi ketika Saiyidina Hasan Bin Ali R.A. datang ke rumahnya untuk menawarkan bantuan, Khalifah Uthman R.A. menolak bantuannya serta menyuruhnya pulang. Lebih dari itu, apakala Saiyidina Ali R.A. mendengar khabar tentang pembunuhan Khalifah Uthman R.A. beliau telah memukul anaknya Hasan R.A. serta mengancam Muhammad Bin Talhah kerana dianggapnya kurang rapi menjalankan tugas menjaga keselamatan Saiyidina Uthman R.A.
Saiyidina Ali R.A. akhinnya telah dipilih kemudiannya sebagai Khalifah selepas kewafatan Khalifah Uthman R.A. sedang ketika itu sebahagian besar para sahabat Rasulullah S.A.W. sudah berselerak di pelusok kota-kota di seluruh wilayah Islam. Yang masih tinggal di Madinah hanya sebahagian kecil sahaja.
Setelah jawatan Khalifah jatuh kepadanya maka baharulah Saiyidina Ali R.A. cuba bemtindak untuk membawa garis politik seperti yang pernah dijalankan oleh Rasulullah S.A.W., Khalifah Abu Bakar R.A. dan Khalifah Umar Al Khattab R.A. Tetapi keadaan masyarakat dan ummat sudah jauh berubah disebabkan perkembangan ekonomi dan pembangunan yang diakibatkan oleh perluasan takluk Islam. Cita-cita Saiyidina Ali R.A. untuk membawa kembali dasar pemerintahan ummat sebagaimana zaman Rasulullah dan Saiyidina Abu Bakan R.A. dan Umar R.A. telah menghadapi rintangan dari pihak-pihak yang bersimpati dengan Saiyidina Uthman R.A. yang menuduhnya bentanggungjawab dalam penistiwa pembunuhan itu.
Disebabkan adanya golongan yang keras rnenentang sikapnya itu seperti Muawiyah Bin Abu Sufyan dan pembantunya Amru Bin Al As maka tenjadilah satu penbalahan yang sengit antana dua golongan itu. Satu pertelingkahan yang panjang yang mengakibatkan pertumpahan darah di antana sesama ummat Islam. Muawiyah berkeras enggan mengakui Saiyidina Ali Bin Abu Talib sebagai Khalifah senta menuntut baginda mengenakan hukuman tenhadap orang-orang yang bertanggungjawab dalam pembunuhan Saiyidina Uthman R.A. Sedang Saiyidina Ali R.A. pula terlebih dahulu telah memecat Muawiyah sebagai gabenor Syam dan juga tokoh-tokoh yang pemnah dilantik oleh Khalifah Uthman R.A. atas dasan kekeluargaan. Akibatnya maka berlakulah peperangan yang berpanjangan antara pihak Khalifah Ali R.A. dengan pihak penyokong Muawiyah Bin Abu Sufyan yang terdiri dari penduduk negeri Syam. Kesudahan dari perbalahan yang panjang itu Saiyidina Ali Bin Abu Talib akhirnya telah mati terbunuh oleh pengikut golongan Khawarij.
Jumat, 27 Mei 2016
TERNYATA JUMLAH RASUL TERKANDUNG DALAM LAFAZ "MUHAMMAD"
Jika kita bicara sosok
Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak akan pernah habis
kita ungkapkan. Begitu banyak keistimewaan yang Allahanugerahkan kepada
beliau. Semoga sholawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada
beliau, keluarganya, dan para shohabatnya, serta bagi orang-orang yang
senantiasa mengikutinya sampai akhir zaman. Aamiin.Tahukah anda, bahwa
jumlah para rosul itu terkandung dalam lafazh “Muhammad” (محمد) ??? Maka
kali ini kita akan mengungkap rahasia di balik lafazh tersebut.Perlu
kita ketahui, sebelum ada angka-angka 1, 2, 3, 4, 5, dan seterusnya,
manusia menggunakan simbol-simbol untuk menyatakan suatu jumlah
tertentu. Kita mengenal angka romawi I untuk melambangkan angka 1, atau V
untuk melambangkan angka lima, atau X untuk melambangkan angka
10.Begitu pula dengan huruf-huruf Arab, setiap hurufnya mengandung
simbol angka tertentu.Berikut daftar simbol-simbol angka tersebut:ﺃ = 1;
ب= 2; ج = 3; د = 4; ﻫ = 5 ; و = 6; ز = 7; ح = 8; ط= 9; ي = 10; ك = 20; ل
= 30; م = 40; ن = 50; س = 60; ع= 70; ف = 80; ص = 90; ق = 100; ر = 200; ش
= 300; ت= 400; ث = 500; خ = 600; ذ = 700; ض = 800; ظ = 900; غ =
1000Susunan huruf diatas bukan berdasarkan urutan yang kita kenal, yaitu
a ba ta tsa’, dst, akan tetapi berdasarkan susunan “Abjad” seperti yang
terlihat dalam urutan di atas (ﺃ, ب , ج , د = dibaca “Abjad”). Dan itu
semua berasal dari bangsa Arab terdahulu.Sekarang, mari kita hitung
jumlah angka yang terkandung pada lafazh محمد. Hitungan ini sudah pernah
dilakukan oleh Syaikh al-Malawi yang telah dikutip oleh Imam al-Bajuri
(wafat 1277 H):“Syaikh al-Malawi berkata: “Sebagian ulama telah
beristinbath dari nama mulia ini (Muhammad) bahwa ia mengandung jumlah
para rosul, yaitu 314. Di dalam kata محمد, terdapat 3 mim. Huruf mim
jika dijabarkan, maka terdapat huruf م ي م (dari kataميم). Satu م
bernilai 40 dan ي bernilai 10. Maka dalam satu huruf mim bernilai 90.
Dalam kata محمد, terdapat 3 huruf mim, maka totalnya 90 x 3 = 270.
Kemudian ia terdapat huruf ha’ yang jika dijabarkan, terdapatح dan ﺃ
(dari kata ﺤﺄ). Maka dalam huruf ha’ bernilai 8 + 1 = 9. Begitu juga
huruf dal, terdapat د ا ل, maka nilanya 4 + 1 + 30 = 35. Jika
dijumlahkan semuanya, maka totalnya 270 + 9+ 35 = 314. Maka pada nama
beliau yang mulia itu, terdapat isyarat bahwa semua kesempurnaan yang
ada pada seluruh rosul, semuanya ada pada diri beliau.” Selesai
perkataan Syaikh al-Malawi.Oleh karena itu, sebagian ulama bersyair:ﺇن
شئت عدة رسل كلها جمعا * محمد سيد الكونين من فضلاخذ لفظ ميم ثلاثا ثم حا و
كذا * دال تجد عددا للمرسلين علا“Jika engkau menghendaki jumlah sekalian
rosul, Maka dia telah dikumpulkan dalam lafazh Muhammad yang merupakan
pemimpin dunia dan akhirat, yakni Nabi yang memiliki keutamaan.Ambillah
huruf mim tiga kali, kemudian huruf ha’ dan begitu juga huruf dal,
Niscaya engkau dapatkan jumlah para rosul itu.”(Hasyiyah al-Bajuri ‘ala
Kifayatil ‘Awam, halaman 17– 18)Jumlah di atas sesuai dengan yang
dinyatakan oleh Syaikh Zainuddin al-Malibari dalam kitabnya, Fathul
Mu’in:“Telah shohih sebuah hadits bahwasannya jumlah para nabi
‘alaihimus sholatu was salam adalah 124.000 sedangkan jumlah para rosul
adalah 315 (314 + Nabi Muhammad).”(Fathul Mu’in lis Syaikh Zainuddin
al-Malibari, halaman 33)Begitulah keistimewaan Rosulullah shollallahu
‘alaihi wa sallam. Semua kesempurnaan yang ada pada seluruh rosul, ada
pada diri beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu,
janganlah pernah bosan untuk senantiasa bersholawat dan merindukan
beliau. Semoga kita semua termasuk yang diberi syafa’at oleh beliau di
hari akhir nanti. Aamiin.
DIALOG DENGAN ROSULULLAH MELALUI SHOLAT
Oleh : Guru Kidzs Gsp
Bismillahirrohmaanirrohiim
As'salamualaikum Wr Wb
*
Pada malam itu Jibril AS mengantarkan Rasulullah SAW naik ke Sidratul Muntaha. Namun karena Jibril AS tidak diperkenankan untuk mencapai Sidratul Muntaha, maka Jibril AS pun mengatakan kepada Rasulullah SAW untuk melanjutkan perjalanan sendiri tanpa dirinya…
**
Rasulullah SAW melanjutkan perjalanan perlahan sambil terkagum-kagum melihat indahnya istana Allah SWT hingga tiba di Arsy…
***
Setelah sekian lama menjadi seorang Rasul, inilah pertama kalinya Muhammad SAW berhadapan dan berbincang secara langsung dengan Allah Azza wa Jalla…
****
Bayangkanlah betapa indah dan luar biasa dahsyatnya moment ini, Maasya Allah…
*
PERCAKAPAN Antara Muhammad Rasulullah SAW dengan ALLAH Subhanahu wata’ala :
**
a). Rasulullah SAW pun mendekat dan memberi salam penghormatan kepada Allah SWT :
ATTAHIYYAATUL MUBAARAKAATUSH SHALAWATUTH THAYYIBAATU LILLAAH…
(Semua ucapan penghormatan, pengagungan dan pujian hanyalah milik Allah).
***
b). Kemudian Allah SWT menjawab sapaannya :
ASSALAAMU ‘ALAIKA AYYUHAN NABIYYU WARAHMATULLAAHI WABARAKAATUH.
(Segala pemeliharaan dan pertolongan Allah untukmu wahai Nabi, begitu pula rahmat Allah dan segala karunia-Nya).
****
c). Mendapatkan jawaban sperti ini, Rasulullah SAW tidak merasa jumawa atau berbesar diri, justru beliau tidak lupa dengan umatnya (ini yang membuat kita sangat terharu)…
Beliau menjawab dengan ucapan :
ASSALAAMU ‘ALAINAA WA ‘ALAA ‘IBADADILLAAHISH SHAALIHIIN.
(Semoga perlindungan dan pemeliharaan diberikan kepada kami dan semua hamba Allah yang shalih).
Bacalah percakapan mulia itu sekali lagi… itu adalah percakapan Sang Tuhan dan hamba-Nya, Sang Pencipta dan ciptaan-Nya dan mereka saling mnghormati satu sama lain, menghargai satu sama lain dan lihat betapa Rasulullah SAW mencintai kita umatnya, bahkan beliau tidak lupa dengan kita ketika dia dihadapan Allah SWT…
*****
d). Melihat peristiwa ini, para malaikat yang menyaksikan dari luar Sidratul Muntaha tergetar dan ter-kagum2 betapa Rakhman dan Rakhimnya Allah SWT, betapa mulianya Muhammad SAW…
Kemudian para malaikat pun mengucap dengan penuh keyakinan :
ASYHADU ALLAA ILAAHA ILLALLAAH. WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAR RASUULULLAAH.
(Kami bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan kami bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan Rasul Allah).
Jadilah rangkaian percakapan dalam peristiwa ini menjadi suatu bacaan dalam SHOLAT yaitu pada posisi TAHIYAT Awal dan Akhir, yang kita ikuti dengan shalawat kepada Nabi sebagai sanjungan seorang individu yang menyayangi umatnya…
MENEMBUS ALAM RUHANIAH (MENGENAL BISIKAN)
Asy-Syekh Abdul Qodir al-Jailani R.A di dalam kitabnya al-Ghunyah; 1/101, menyebutkan: “Di dalam hati manusia terdapat dua ajakan: Pertama ajakan malaikat. Ajakan malaikat itu mengajak kepada kebaikan dan membenarkan kepada yang benar (haq); dan kedua, ajakan musuh. Ajakan musuh itu mengajak kepada kejahatan, mengingkari kebenaran dan melarang kepada kebajikan”. Yang demikian telah diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud R.A.
Al-Hasan al-Bashri R.A berkata: “Sesungguhnya kedua ajakan itu adalah
kemauan yang selalu mengitari hati manusia, kemauan dari Allah dan dari
musuh, hanya dengan sebab Rahmat Allah, seorang hamba mampu mengontrol
kemauan-kemauannya tersebut. Oleh karena itu, apa-apa yang datang dari
Allah hendaknya dipegang oleh manusia dengan erat-erat dan apa yang
datang dari musuh, dilawannya kuat-kuat “.
Mujahid R.A berkata; Firman Allah s.w.t:
مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ
“Dari kejahatan bisikan setan yang biasa bersembunyi”. (QS. an-Nas; 114/4)
Bisikan itu mencengkram hati manusia, apabila manusia berdzikir kepada Allah, maka setan itu akan melepaskan cengkramannya namun apabila manusia kembali lupa, maka setan itu akan kembali mencengkram hatinya. Muqotil R.A berkata: “Dia adalah setan yang berbentuk babi hutan yang mulutnya selalu menempel di hati manusia, dia masuk melalui jalan darah untuk menguasai manusia lewat hatinya. Apabila manusia melupakan Allah Ta’ala, dia menguasai hatinya dan apabila manusia sedang berdzikir kepada Allah dia melepaskan dan keluar dari jasad manusia itu“.
Asy-Syekh Abdul Qodir al-Jailani R.A berkata, bahwa di dalam hati ada enam bisikan (khotir): (1) Bisikan nafsu syahwat; (2) Bisikan setan; (3) Bisikan ruh; (4) Bisikan malaikat; (5) Bisikan akal; dan (6) Bisikan keyakinan.
1. Bisikan Nafsu Syahwat
Bisikan nafsu syahwat adalah bisikan yang secara qudroti tercipta untuk memerintah manusia mengerjakan kejelekan dan memperturutkan hawa nafsu.
2. Bisikan Setan
Bisikan setan itu adalah perintah agar manusia menjadi kafir dan musyrik (menyekutukan Allah), berkeluh-kesah, ragu terhadap janji Allah s.w.t cenderung berbuat maksiat, menunda-nunda taubat dan apa saja yang menyebabkan kehidupan manusia menjadi hancur baik di dunia maupun di akherat. Ajakan setan ini adalah ajakan paling tercela dari jenis ajakan jelek tersebut.
3. Bisikan Ruh
Bisikan ruh adalah bisikan yang mengajak manusia mengikuti kebenaran dan ketaatan kepada Allah s.w.t dan juga kepada apa saja yang bersesuaian dengan ilmu pengetahuan sehingga menyebabkan keselamatan dan kemuliaan manusia, baik di dunia maupun di akherat. Ajakan ini adalah dari jenis ajakan yang baik dan terpuji.
4. Bisikan Malaikat
Bisikan malaikat sama seperti bisikan ruh, mengajak manusia mengikuti kebenaran dan ketaatan kepada Allah s.w.t dan segala yang bersesuaian dengan ilmu pengetahuan dan juga kepada apa saja yang menyebabkan keselamatan dan kemuliaan.
5. Bisikan Akal
Bisikan akal adalah bisikan yang cenderung mengarahkan pada ajakan bisikan ruh dan malaikat. Dengan bisikan akal tersebut sekali waktu manusia mengikuti nafsu dan setan, maka manusia terjerumus kepada perbuatan maksiat dan mendapatkan dosa. Sekali waktu manusia mengikuti bisikan ruh dan malaikat, maka manusia beramal sholeh dan mendapatkan pahala. Itulah hikmah yang dikehendaki Allah s.w.t terhadap kehidupan manusia. Dengan akalnya, supaya manusia mempunyai kebebasan untuk memilih jalan hidup yang dikehendaki namun kemudian manusia juga harus mampu mempertanggungjawabkan atas kesalahan dan kejahatan dengan siksa dan neraka dan menerima balasan dari amal sholeh dengan pahala dan surga.
6. Bisikan Keyakinan
Bisikan yakin adalah Nur Iman dan buah ilmu dan amal yang datangnya dari Allah s.w.t dan dipilihkan oleh Allah s.w.t. Ia diberikan khusus hanya kepada para kekasih-Nya dari para Nabi, ash-Shiddiq, asy-Shuhada’ dan para Wali-wali-Nya. Bisikan yakin itu berupa ajakan yang selalu terbit dari dalam hati untuk mengikuti kebenaran walau seorang hamba itu sedang dalam lemah wiridnya. Bisikan yakin itu tidak akan sampai kepada siapapun, kecuali terlebih dahulu manusia menguasai tiga hal; (1) Ilmu Laduni; (2) Ahbārul Ghuyūb (khabar dari yang gaib); (3) Asrōrul Umur (rahasia segala urusan).
Bisikan yakin itu hanya diberikan oleh Allah Ta’ala kepada orang-orang yang dicintai-Nya, dikehendaki-Nya dan dipilih-Nya. Yaitu orang-orang yang telah mampu fana di hadapan-Nya. Yang telah mampu gaib dari lahirnya. Yang telah berhasil memindahkan ibadah lahir menjadi ibadah batin, baik terhadap ibadah fardhu maupun ibadah sunnah. Orang-orang yang telah berhasil menjaga batinnya untuk selama-lamanya. Allah s.w.t yang mentarbiyah mereka. Sebagaimana yang telah dinyatakan dengan firman-Nya:
إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِي
“Sesungguhnya Waliku adalah Allah, dan Dia mentarbiyah (memberikan Walayah) kepada orang-orang yang sholeh”. (QS. al-A’raaf; 7/196)
Orang tersebut dipelihara dan dicukupi dengan sebab-sebab yang dapat menyampaikan kepada keridlaan-Nya dan dijaga serta dilindungi dari sebab-sebab yang dapat menjebak kepada kemurkaan-Nya. Orang yang setiap saat ilmunya selalu bertambah. Yaitu ketika terjadi pengosongan alam fikir, maka yang masuk ke dalam bilik akalnya hanya yang datangnya dari Allah s.w.t. Seorang hamba yang ma’rifatnya semakin hari semakin kuat. Nurnya semakin memancar. Orang yang selalu dekat dengan yang dicintainya dan yang disembahnya. Dia berada di dalam kenikmatan yang tiada henti. Di dalam kesenangan yang tiada putus dan kebahagiaan tiada habis. Surga baginya adalah apa yang ada di dalam hatinya.
Ketika ketetapan ajal kematiaannya tiba, disebabkan karena masa baktinya di dunia fana telah purna, maka untuk dipindahkan ke dunia baqo’, mereka akan diberangkatkan dengan sebaik-baik perjalanan. Seperti perjalanan seorang pengantin dari kamar yang sempit ke rumah yang luas. Dari kehinaan kepada kemuliaan. Dunia baginya adalah surga dan akherat adalah cita-cita. Selama-lamanya mereka akan memandang wajah-Nya yang Mulia, secara langsung tanpa penghalang yang merintangi. Allah s.w.t menegaskan hal tersebut dengan firman-Nya:
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ (54) فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَلِيكٍ مُقْتَدِرٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu, berada di taman-taman dan sungai-sungai – Di tempat yang disenangi di sisi Tuhannya yangMaha Kuasa” .
(QS. al-Qomar; 54/54)
Dan firman Allah s.w.t:
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik dan tambahan “. (QS. Yunus; 10/26)
Firman Allah s.w.t di atas: “Ahsanuu”, artinya berbuat baik dengan menta’ati Allah s.w.t dan Rasul-Nya, serta selalu mensucikan hatinya dengan meninggalkan amal ibadah yang selain untuk-Nya. Allah s.w.t akan membalasnya di akherat dengan surga dan kemuliaan. Diberi kenikmatan dan keselamatan. Ditambahi dengan pemberian yang abadi. Yaitu selama-lamanya memandang kepada wajah-Nya yang Mulia.
“Nafsu dan Ruh” adalah dua tempat bagi setan dan malaikat. Keadaannya seperti pesawat penerima yang setiap saat siap menerima signal yang dipancarkan oleh dua makhluk tersebut. Malaikat menyampaikan dorongan ketakwaan di dalam ruh dan setan menyampaikan ajakan kefujuran di dalam nafsu. Oleh karena itu, nafsu selalu mengajak hati manusia untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan fujur.
Di antara keduanya ada Akal dan Hawa. Dengan keduanya supaya terjadi proses hikmah dari rahasia kehendak dan keputusan Allah yang azaliah. Yaitu supaya ada pertolongan bagi manusia untuk berbuat kebaikan dan dorongan untuk berbuat kejelekan. Kemudian akal menjalankan fungsinya, memilih menindaklanjuti pertolongan dan menghindari ajakan kejelekan, dengan itu supaya tidak terbuka peluang bagi hawa untuk menindaklanjuti kehendak nafsu dan setan. Sedangkan di dalam hati ada dua pancaran Nur, “Nur Ilmu dan Nur Iman”. itulah yang dinamakan yakin. Kesemuanya indera tersebut merupakan alat-alat atau anggauta masyarakat hati. Hati bagaikan seorang raja terhadap bala tentaranya, maka hati harus selalu mampu mengaturnya dengan aturan yang sebaik-baiknya. (Asy-Syekh Abdul Qodir al-Jailani, “Al-Ghunyah”; 1/101)
Walhasil, yang dimaksud alam ruhaniah itu bukan alam jin atau alam ghaib, tetapi alam-alam batin yang ada dalam jiwa manusia. Alam batin yang menyertai alam lahir manusia secara manusiawi. Dengan alam batin, manakala indera-indera yang ada di dalam alam batin itu hidup, maka manusia bisa mengadakan interaksi dengan makhluk batin dengan segala rahasia kehidupan yang ada di dalamnya sebagaimana dengan alam lahir manusia dapat mengadakan komunikasi dengan makhluk lahir dengan segala urusannya.
Untuk menghidupkan indera-indera yang ada di alam batin tersebut, manusia harus mampu mencapainya dengan jalan melaksanakan mujahadah dan riyadhoh di jalan Allah. Mengharapkan terbukanya matahati (futuh) dengan menempuh jalan ibadah (thoriqoh) dengan bimbingan seorang guru mursyid sejati. Perjalanan tersebut bukan menuju suatu tempat yang tersembunyi, melainkan menembus pembatas dua alam yang di dalamnya penuh mesteri. Dengan itu supaya ia mencapai suatu keadaan yang ada dalam jiwa yang dilindungi, supaya dengan keadaan itu ia dapat menemukan rahasia jati diri yang terkadang orang harus mencari setengah mati. Itulah perjalanan tahap awal yang harus dicapai seorang salik dengan sungguh hati. Lalu, dengan mengenal jati diri itu, dengan izin Allah selanjutnya sang pengembara sejati dapat menemukan tujuan akhir yang hakiki, yakni menuju keridhoan Ilahai Rabbi.
Mujahid R.A berkata; Firman Allah s.w.t:
مِنْ شَرِّ الْوَسْوَاسِ الْخَنَّاسِ
“Dari kejahatan bisikan setan yang biasa bersembunyi”. (QS. an-Nas; 114/4)
Bisikan itu mencengkram hati manusia, apabila manusia berdzikir kepada Allah, maka setan itu akan melepaskan cengkramannya namun apabila manusia kembali lupa, maka setan itu akan kembali mencengkram hatinya. Muqotil R.A berkata: “Dia adalah setan yang berbentuk babi hutan yang mulutnya selalu menempel di hati manusia, dia masuk melalui jalan darah untuk menguasai manusia lewat hatinya. Apabila manusia melupakan Allah Ta’ala, dia menguasai hatinya dan apabila manusia sedang berdzikir kepada Allah dia melepaskan dan keluar dari jasad manusia itu“.
Asy-Syekh Abdul Qodir al-Jailani R.A berkata, bahwa di dalam hati ada enam bisikan (khotir): (1) Bisikan nafsu syahwat; (2) Bisikan setan; (3) Bisikan ruh; (4) Bisikan malaikat; (5) Bisikan akal; dan (6) Bisikan keyakinan.
1. Bisikan Nafsu Syahwat
Bisikan nafsu syahwat adalah bisikan yang secara qudroti tercipta untuk memerintah manusia mengerjakan kejelekan dan memperturutkan hawa nafsu.
2. Bisikan Setan
Bisikan setan itu adalah perintah agar manusia menjadi kafir dan musyrik (menyekutukan Allah), berkeluh-kesah, ragu terhadap janji Allah s.w.t cenderung berbuat maksiat, menunda-nunda taubat dan apa saja yang menyebabkan kehidupan manusia menjadi hancur baik di dunia maupun di akherat. Ajakan setan ini adalah ajakan paling tercela dari jenis ajakan jelek tersebut.
3. Bisikan Ruh
Bisikan ruh adalah bisikan yang mengajak manusia mengikuti kebenaran dan ketaatan kepada Allah s.w.t dan juga kepada apa saja yang bersesuaian dengan ilmu pengetahuan sehingga menyebabkan keselamatan dan kemuliaan manusia, baik di dunia maupun di akherat. Ajakan ini adalah dari jenis ajakan yang baik dan terpuji.
4. Bisikan Malaikat
Bisikan malaikat sama seperti bisikan ruh, mengajak manusia mengikuti kebenaran dan ketaatan kepada Allah s.w.t dan segala yang bersesuaian dengan ilmu pengetahuan dan juga kepada apa saja yang menyebabkan keselamatan dan kemuliaan.
5. Bisikan Akal
Bisikan akal adalah bisikan yang cenderung mengarahkan pada ajakan bisikan ruh dan malaikat. Dengan bisikan akal tersebut sekali waktu manusia mengikuti nafsu dan setan, maka manusia terjerumus kepada perbuatan maksiat dan mendapatkan dosa. Sekali waktu manusia mengikuti bisikan ruh dan malaikat, maka manusia beramal sholeh dan mendapatkan pahala. Itulah hikmah yang dikehendaki Allah s.w.t terhadap kehidupan manusia. Dengan akalnya, supaya manusia mempunyai kebebasan untuk memilih jalan hidup yang dikehendaki namun kemudian manusia juga harus mampu mempertanggungjawabkan atas kesalahan dan kejahatan dengan siksa dan neraka dan menerima balasan dari amal sholeh dengan pahala dan surga.
6. Bisikan Keyakinan
Bisikan yakin adalah Nur Iman dan buah ilmu dan amal yang datangnya dari Allah s.w.t dan dipilihkan oleh Allah s.w.t. Ia diberikan khusus hanya kepada para kekasih-Nya dari para Nabi, ash-Shiddiq, asy-Shuhada’ dan para Wali-wali-Nya. Bisikan yakin itu berupa ajakan yang selalu terbit dari dalam hati untuk mengikuti kebenaran walau seorang hamba itu sedang dalam lemah wiridnya. Bisikan yakin itu tidak akan sampai kepada siapapun, kecuali terlebih dahulu manusia menguasai tiga hal; (1) Ilmu Laduni; (2) Ahbārul Ghuyūb (khabar dari yang gaib); (3) Asrōrul Umur (rahasia segala urusan).
Bisikan yakin itu hanya diberikan oleh Allah Ta’ala kepada orang-orang yang dicintai-Nya, dikehendaki-Nya dan dipilih-Nya. Yaitu orang-orang yang telah mampu fana di hadapan-Nya. Yang telah mampu gaib dari lahirnya. Yang telah berhasil memindahkan ibadah lahir menjadi ibadah batin, baik terhadap ibadah fardhu maupun ibadah sunnah. Orang-orang yang telah berhasil menjaga batinnya untuk selama-lamanya. Allah s.w.t yang mentarbiyah mereka. Sebagaimana yang telah dinyatakan dengan firman-Nya:
إِنَّ وَلِيِّيَ اللَّهُ الَّذِي نَزَّلَ الْكِتَابَ وَهُوَ يَتَوَلَّى الصَّالِحِي
“Sesungguhnya Waliku adalah Allah, dan Dia mentarbiyah (memberikan Walayah) kepada orang-orang yang sholeh”. (QS. al-A’raaf; 7/196)
Orang tersebut dipelihara dan dicukupi dengan sebab-sebab yang dapat menyampaikan kepada keridlaan-Nya dan dijaga serta dilindungi dari sebab-sebab yang dapat menjebak kepada kemurkaan-Nya. Orang yang setiap saat ilmunya selalu bertambah. Yaitu ketika terjadi pengosongan alam fikir, maka yang masuk ke dalam bilik akalnya hanya yang datangnya dari Allah s.w.t. Seorang hamba yang ma’rifatnya semakin hari semakin kuat. Nurnya semakin memancar. Orang yang selalu dekat dengan yang dicintainya dan yang disembahnya. Dia berada di dalam kenikmatan yang tiada henti. Di dalam kesenangan yang tiada putus dan kebahagiaan tiada habis. Surga baginya adalah apa yang ada di dalam hatinya.
Ketika ketetapan ajal kematiaannya tiba, disebabkan karena masa baktinya di dunia fana telah purna, maka untuk dipindahkan ke dunia baqo’, mereka akan diberangkatkan dengan sebaik-baik perjalanan. Seperti perjalanan seorang pengantin dari kamar yang sempit ke rumah yang luas. Dari kehinaan kepada kemuliaan. Dunia baginya adalah surga dan akherat adalah cita-cita. Selama-lamanya mereka akan memandang wajah-Nya yang Mulia, secara langsung tanpa penghalang yang merintangi. Allah s.w.t menegaskan hal tersebut dengan firman-Nya:
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَهَرٍ (54) فِي مَقْعَدِ صِدْقٍ عِنْدَ مَلِيكٍ مُقْتَدِرٍ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu, berada di taman-taman dan sungai-sungai – Di tempat yang disenangi di sisi Tuhannya yangMaha Kuasa” .
(QS. al-Qomar; 54/54)
Dan firman Allah s.w.t:
لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ
“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik dan tambahan “. (QS. Yunus; 10/26)
Firman Allah s.w.t di atas: “Ahsanuu”, artinya berbuat baik dengan menta’ati Allah s.w.t dan Rasul-Nya, serta selalu mensucikan hatinya dengan meninggalkan amal ibadah yang selain untuk-Nya. Allah s.w.t akan membalasnya di akherat dengan surga dan kemuliaan. Diberi kenikmatan dan keselamatan. Ditambahi dengan pemberian yang abadi. Yaitu selama-lamanya memandang kepada wajah-Nya yang Mulia.
“Nafsu dan Ruh” adalah dua tempat bagi setan dan malaikat. Keadaannya seperti pesawat penerima yang setiap saat siap menerima signal yang dipancarkan oleh dua makhluk tersebut. Malaikat menyampaikan dorongan ketakwaan di dalam ruh dan setan menyampaikan ajakan kefujuran di dalam nafsu. Oleh karena itu, nafsu selalu mengajak hati manusia untuk melaksanakan perbuatan-perbuatan fujur.
Di antara keduanya ada Akal dan Hawa. Dengan keduanya supaya terjadi proses hikmah dari rahasia kehendak dan keputusan Allah yang azaliah. Yaitu supaya ada pertolongan bagi manusia untuk berbuat kebaikan dan dorongan untuk berbuat kejelekan. Kemudian akal menjalankan fungsinya, memilih menindaklanjuti pertolongan dan menghindari ajakan kejelekan, dengan itu supaya tidak terbuka peluang bagi hawa untuk menindaklanjuti kehendak nafsu dan setan. Sedangkan di dalam hati ada dua pancaran Nur, “Nur Ilmu dan Nur Iman”. itulah yang dinamakan yakin. Kesemuanya indera tersebut merupakan alat-alat atau anggauta masyarakat hati. Hati bagaikan seorang raja terhadap bala tentaranya, maka hati harus selalu mampu mengaturnya dengan aturan yang sebaik-baiknya. (Asy-Syekh Abdul Qodir al-Jailani, “Al-Ghunyah”; 1/101)
Walhasil, yang dimaksud alam ruhaniah itu bukan alam jin atau alam ghaib, tetapi alam-alam batin yang ada dalam jiwa manusia. Alam batin yang menyertai alam lahir manusia secara manusiawi. Dengan alam batin, manakala indera-indera yang ada di dalam alam batin itu hidup, maka manusia bisa mengadakan interaksi dengan makhluk batin dengan segala rahasia kehidupan yang ada di dalamnya sebagaimana dengan alam lahir manusia dapat mengadakan komunikasi dengan makhluk lahir dengan segala urusannya.
Untuk menghidupkan indera-indera yang ada di alam batin tersebut, manusia harus mampu mencapainya dengan jalan melaksanakan mujahadah dan riyadhoh di jalan Allah. Mengharapkan terbukanya matahati (futuh) dengan menempuh jalan ibadah (thoriqoh) dengan bimbingan seorang guru mursyid sejati. Perjalanan tersebut bukan menuju suatu tempat yang tersembunyi, melainkan menembus pembatas dua alam yang di dalamnya penuh mesteri. Dengan itu supaya ia mencapai suatu keadaan yang ada dalam jiwa yang dilindungi, supaya dengan keadaan itu ia dapat menemukan rahasia jati diri yang terkadang orang harus mencari setengah mati. Itulah perjalanan tahap awal yang harus dicapai seorang salik dengan sungguh hati. Lalu, dengan mengenal jati diri itu, dengan izin Allah selanjutnya sang pengembara sejati dapat menemukan tujuan akhir yang hakiki, yakni menuju keridhoan Ilahai Rabbi.
Rabu, 25 Mei 2016
DZIKIR ZAHAR
Cara melakukan dzikir jahar (dzikir dengan suara yang keras) ialah
bahwa orang yg berdzikir itu memulai dengan ucapan LAA dari bawah pusat
dan d angkatnya sampai ke otak dalam kepala,
Sesudah itu ucapkan ILAAHA dari otak dengan menurunkannya perlahan-lahan bahu kanan.
Lalu memulai lagi mengucap ILLALLAAH dari bahu kanan dengan menurunkan kepala kepada pangkal dada di sebelah kiri dan berkesudahan pada hati sanubari di bawah tulang rusuk lambung dengan menghembuskan lapadz nama Allah sekuat mungkin sehingga terasa geraknya pada seluruh badan seakan-akan di seluruh bagian badan amal yang rusak itu terbakar dan memancarkan Nur Tuhan.
Sesudah itu ucapkan ILAAHA dari otak dengan menurunkannya perlahan-lahan bahu kanan.
Lalu memulai lagi mengucap ILLALLAAH dari bahu kanan dengan menurunkan kepala kepada pangkal dada di sebelah kiri dan berkesudahan pada hati sanubari di bawah tulang rusuk lambung dengan menghembuskan lapadz nama Allah sekuat mungkin sehingga terasa geraknya pada seluruh badan seakan-akan di seluruh bagian badan amal yang rusak itu terbakar dan memancarkan Nur Tuhan.
Getaran itu meliputi seluruh bidang LATIFAH sehingga dengan demikian tercapai makna tahlil yang artinya:
(TIDAK ADA YANG DI MAKSUD MELAINKAN ALLAH).
Kalimat nafi melenyapkan seluruh wujud sesuatu yang baru dari pada pandangan dan ibarat,lalu berubah menjadi pandangan fana dari kalimat isbat di tegakkanlah dengan tegak dalam hati dan kepada DZAT yang Maha Besar,lalu memandang wujud Dzat Allah dengan pandangan yg BAQA.
Setelah selesai Dzikir dengan bilangan ganjil,dapatlah kita pada Akhirnya membaca:
SAYYIDUNA MUHAMMADUR RASULULLAH SHOLLALLOHU'ALAIHI WASALLAM.
Diantara syarat"nya,yaitu bahwa orang yg berDzikir itu:
1.Dalam wudhu yang sempurna.
2.berDzikir dengan pukulan gema yang kuat.
3.suara keras yang dapat menghasilkan NUR DZIKIR dalam rongga batin mereka yang berDzikir,sehingga hati mereka itu hidup dengan Nur Hidup yang abadi yang bersifat keakhiratan.
yaitu mencapai Mati sebelum Mati.
(TIDAK ADA YANG DI MAKSUD MELAINKAN ALLAH).
Kalimat nafi melenyapkan seluruh wujud sesuatu yang baru dari pada pandangan dan ibarat,lalu berubah menjadi pandangan fana dari kalimat isbat di tegakkanlah dengan tegak dalam hati dan kepada DZAT yang Maha Besar,lalu memandang wujud Dzat Allah dengan pandangan yg BAQA.
Setelah selesai Dzikir dengan bilangan ganjil,dapatlah kita pada Akhirnya membaca:
SAYYIDUNA MUHAMMADUR RASULULLAH SHOLLALLOHU'ALAIHI WASALLAM.
Diantara syarat"nya,yaitu bahwa orang yg berDzikir itu:
1.Dalam wudhu yang sempurna.
2.berDzikir dengan pukulan gema yang kuat.
3.suara keras yang dapat menghasilkan NUR DZIKIR dalam rongga batin mereka yang berDzikir,sehingga hati mereka itu hidup dengan Nur Hidup yang abadi yang bersifat keakhiratan.
yaitu mencapai Mati sebelum Mati.
Langganan:
Postingan (Atom)