Laman

Jumat, 05 Juli 2013

Menyembah Ka’bah Bag-1

Syukur alhamdulillah di pagi Jum’at yang penuh berkah dan karunia yang melimpah ini, saya berkesempatan menulis tulisan ini, tulisan yang sudah lama ingin saya tulis sebuah judul yang menarik untuk kita telaah dan kita renungi bersama. “Menyembah Ka’bah” adalah tulisan yang saya buat bersambung karena memang pembahasannya panjang dan tidak mungkin selesai dalam sekali menulis. Tulisan ini hendaknya dibaca secara perlahan, dengan pikiran terbuka untuk menerima perbedaan-perbedaan dan membaca sampai selesai sehingga tidak menimbulkan salah tafsir. Dalam tulisan yang akan anda baca bersambung ini akan saya uraikan tentang banyak hal yang berhubungan dengan hakikat dan makrifat. Menyembah Ka’bah adalah judul yang menarik untuk dijadikan bahan bacaan dan bahan renungan untuk kita semua.
 
Ka’bah adalah titik sentral ibadah seluruh ummat Islam di dunia. Ibadah apapun di dalam Islam menjadikan ka’bah sebagai pusatnya. Shalat sebagai ibadah wajib yang dilaksanakan 5 kali sehari, menghadapkan wajah mengarah kepada ka’bah yang ada di makkah. Ketika dikuburpun wajah seorang muslim dihadapkan kepada ka’bah. Begitu penting posisi ka’bah sebagai rumah Allah sehingga seluruh ibadah dianggap tidak sah apabila dilakukan tidak menghadap ka’bah.
Seluruh ummat Islam dalam melaksanakan shalat meskipun badan dan wajah dihadapkan kepada ka’bah sebagai syarat wajib, tapi seluruhnya sepakat bahwa kita tidak sekali-kali menyembah ka’bah, yang kita sembah adalah Allah pemilik dari ka’bah.
Ummat Islam menghadapkan wajah ke arah ka’bah adalah sebagai wasilah antara hamba dengan Tuhannya. Orang-orang yang menentang wasilah tanpa sadar dalam keseharian melakukan tawasul dalam beribadah kepada Allah. 

Syahadat adalah Wasilah
Mengucapkan Kalimah Syahadah adalah syarat utama seseorang bisa disebut sebagai orang Islam, ini adalah pondasi, rukun Islam yang pertama. Syahadat terdiri dua kalimat, pertama mengakui Allah sebagai Tuhan dan kedua mengakui Muhammad sebagai utusan-Nya. Kalau hanya mengakui Allah sebagai Tuhan dan tidak mengakui Muhammad sebagai Rasul-Nya maka syahadatnya tidak sah. Kenapa?
Karena dari zaman jahiliyah sebelum muncul Islam, masyarakat di mekkah mengakui Allah sebagai Tuhan dari segala tuhan, dan mereka meyakini bahwa berhala yang mereka sembah adalah sebagai penghubung atau media bagi mereka untuk menyembah Allah. Nama-nama Allah seperti ar-Rahman, ar-Rahim dan lain-lain memang sudah dikenal di dalam masyarakat jahiliyah. Keterangan lengkap anda bisa telesuri dibeberapa karya yang membahas tentang masyarakat Arab Pra Islam, salah satunya ada di buku History of The Arabs karya Prof Philip K. Hitti.

Masyarakat jahiliyah tidak menolak Allah sebagai Tuhan, tapi mereka tidak mau menerima Muhammad sebagai utusan Allah, mereka lebih yakin kepada berhala-berhala yang sebenarnya tidak ada hubungan sama sekali dengan Allah. Menyakini berhala sebagai penghubungan manusia dengan Allah inilah yang di sebut syirik, menyekutukan Allah karena memang tidak ada hubungan sedikitpun dengan Allah. Inilah wasilah yang dilarang di dalam agama.
Kalau orang mengaku bertauhid menyembah Tuhan Yang Esa tapi tidak mengenal yang disembah, dalam ibadah yang dilakukan hadir tuhan-tuhan lain, apakah itu masalah duniawi, harta, wajah manusia dan lain-lain itu sama dengan melakukan syirik tersembunyi, menyembah Allah tapi masih menyimpan berhala dalam pikiran dan hatinya.

Kalau kita menelusuri dengan teliti, diseluruh dunia sebenarnya tidak ada yang disembah manusia selain Tuhan, seluruh manusia menyembah Tuhan, menyembah suatu kekuatan di luar manusia yang mempunyai kemampuan tidak terbatas. Agama Majusi sekalipun yang konon katanya mereka menyambah api sebenarnya mereka tidak menyembah api. Bagi mereka api adalah simbol keabadian, memberikan manfaat yang sangat besar dalam kehidupan manusia, api adalah anugerah dari Tuhan yang memberikan mereka nafas kehidupan. Api bisa juga mendatangkan bala atau kemurkaan bila digunakan dengan cara salah. Jadi mereka menghormati api dengan sebuah keyakinan itu ada hubungan dengan Tuhan, jadi mereka bukan menyembah api tapi menyembah Tuhan yang mereka yakini bisa terhubungan lewat api. Ini juga salah satu bentuk wasilah yang dilarang menurut Islam, karena api bukanlah Allah dan Allah juga bukan api, keduanya sangat berbeda.

Kalau kita lihat fokus ummat Islam kepada ka’bah dengan segala jenis ritual yang dilakukan, mungkin bisa jadi masyarakat non muslim akan menganggap ummat Islam menyembah ka’bah. Hal ini pernah dikemukan oleh salah seorang teman saya non muslim, dalam pandangannya ummat Islam dalam beribadah seperti menyembah ka’bah. Saya menjelaskan bahwa seluruh ummat Islam menyakini bahwa ka’bah adalah rumah Allah, karena itu seluruh ibadah difokuskan ke ka’bah sebagai wasilah ummat Islam, bukan menyembah ka’bah. Kalau kita  sedikit kritis maka ka’bah juga tidak bisa dijadikan sebagai wasilah karena ka’bah adalah buatan manusia. Allah Maha Suci dari segala sifat-sifat terbatas dan terkurung.
Menarik kita telusuri dari pengalaman beberapa tokoh sufi ketika menunaikan ibadah haji, salah satunya adalah Mansur Al-Halaj. Ketika dia menunaikan ibadah haji pertama dia melihat ka’bah dan tidak menemukan Allah disana. Al-Halaj berkata, “Ibadah haji aku tidak sempurna, aku datang kemari bukan untuk menemui ka’bah tapi menemui pemiliknya”. Pada haji berikutnya, yang dia temui adalah ka’bah dan juga pemiliknya yaitu Allah swt. Kemudian dia berkata, “Haji aku masih belum sempurna, yang aku kemui Allah dan ka’bah”. Kemudian dilain kesempatan ketika dia menunaikan ibadah haji, yang dilihat hanya Allah, tidak ada selain itu termasuk ka’bah, baru dengan gembira dia berkata, “Sekarang barulah sempurna ibadah haji yang aku lakukan, aku tidak melihat apapun selain Allah”.
Pengalaman serupa bukan hanya dialami oleh Mansur Al-Halaj, tapi juga dialami oleh tokoh sufi yang lain yang intinya mereka menganggap ibadah haji nya tidak sempurna kalau mareka belum menjumpai Allah disana.

Guru Sufi mengatakan, “Ka’bah itu bukan tempat untuk dikurung Allah, Maha Suci Allah dalam segala sifat-sifat itu, ka’bah adalah sebagai simbol persatuan ummat Islam seluruh dunia, maka kesanalah kita menghadapkan wajah”. Jadi Allah tidak berada di ka’bah, itu hanya sebagai simbol persatuan, sebagai pemersatu ummat, semua meyakini itu sebagai rumah Allah.

Hamzah Fanshuri salah seorang penyair dan juga tokoh sufi pernah menulis, “Pergi ke makkah mencari Allah, pulang ke rumah bertemu Dia”. Pengalaman yang dialami oleh Hamzah Fanshuri sama dengan al-Halaj, dia tidak menemukan Allah di ka’bah. Hamzah Fanshuri menjumpai Allah yang adalah dalam “rumah” yaitu dalam dirinya sendiri. Kalau Allah telah dijumpai dalam diri maka dimanapun Dia bisa dijumpai.

Kalau di Indonesia, dirumah kita sendiri tidak pernah bisa menjumpai Allah, maka pergi ke ka’bah sekalipun tetap juga tidak bisa menjumpai Allah. Sama halnya dengan berenang, “Kalau di Jakarta tidak bisa berenang, maka disamudera atlantik juga tidak bisa karena berenangnya sama-sama di air”. Kalau di Jakarta atau ditempat kita tinggal bisa berenang, maka dimanapun bisa beranang karena kuncinya adalah berenang di air, selama tempatnya adalah air apakah dikolam, di sungai, danau bahkan samudera atlantik sekalipun tetap bisa berenang.

Kalau manusia tidak mengenal Allah di dalam dirinya, tidak mengenal Allah ketika masih hidup di dunia, maka di akhirat pun tetap Allah tidak dikenal karena Allah yang ada di dunia dengan akhirat adalah sama.
Saya sudahi dulu tulisan ini, setelah shalat Jum’at nanti akan saya lanjutkan lagi. Semoga Allah SWT selalu membimbing dan menuntun kita ke jalan-Nya yang lurus dan benar, Amin ya Rabbal ‘Alamin
Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar