Laman

Jumat, 05 Juli 2013

Menyembah Ka’bah Bag-2

  by SufiMuda 

Kalau di Undang Oleh Allah, kenapa tidak berjumpa?


ka'bah

Menarik untuk dibahas, bahwa haji sebagai puncak ibadah ummat Islam, tempat seluruh manusia berkumpul, melaksanakan ibadah dengan satu tujuan agar bisa merasakan kedekatan dengan Allah, bisa berjumpa dengan Allah. Wukuf di Arafah bukan sekedar menunggu kekosongan, bukan menunggu waktu habis, tapi menunggu turun nur Allah SWT yang Maha Agung.

Kalau kita diundang oleh Bupati misalnya, yang membuat undangan bupati, di undang ke pendopo atau rumahnya, tentu bisa dipastikan kita akan berjumpa dengan bupati. Begitu juga kalau kita diundang oleh Presiden, yang membuat undangan presiden dan itu merupakan undangan resmi dan kita di undang ke istana negara, bisa dipastikan bahwa kita akan berjumpa dengan presiden. Kita tidak berjumpa dengan presiden ada kemungkinan undangan yang kita terima palsu, presiden tidak pernah mengundang kita atau kita tidak mengenal sama sekali sosok presiden.

Sama halnya dengan menunaikan ibadah haji menemui undangan Allah, berapa banyak di antara jamaah haji yang konon kabarnya memenui undangan Allah tapi tidak pernah berjumpa dengan Allah disana. Dimana salahnya?
Apakah undangan yang kita terima palsu atau kita tidak mengenal Allah sama sekali. Bisa jadi kedua-duanya benar. Orang yang memenuhi undangan Allah, datang sebagai tamu Allah di Baitullah tentu akan disambut oleh Allah dengan suka cita, Allah akan memperlakukan tamu-Nya dengan sangat baik. Permohonan para tamu akan dikabulkan sebagai wujud kasih dan sayang-Nya. Namun dari seluruh orang yang menunaikan ibadah haji, berapa orang yang benar-benar memiliki pengalaman berjumpa dengan Allah, berdialog dengan sang pemilik ka’bah, TUAN yang dituju oleh segenap hamba.

Seluruh orang yang datang menunaikan ibadah haji tentu saja akan disambut oleh Allah SWT tanpa kecuali. Tapi pertemuan dengan Allah antara satu dengan lainnya memiliki tingkatan yang berbeda. Sebagian merasakan Allah begitu dekat ketika mereka berdekatan dengan ka’bah, ketika mencium hajarul aswad atau ketika berada di padang arafah, mereka menangis merasakan kehadiran Allah. Perasaan itu yang sulit untuk dijelaskan tapi semua meyakini dan merasakan akan perasaan tersebut. Bagi yang sudah mencapai tahap makrifat kepada Allah, perasaan itu bukan sekedar perasaan tapi bisa berupa kepada pertemuan yang begitu di dambakan.
Harus di ingat bahwa Allah itu tidak berada di ka’bah, tidak berada di mesjid atau tempat suci lainnya di muka bumi, dia berada di hati hamba-Nya yang lembut dan tenang. Dia bersemayam dalam diri hamba yang dikasihi-Nya, disanalah Dia berada.

Kiblat ada 4
Tentang Kiblat atau arah pandangan dalam beribadah memiliki 4 tingkatan yang berbeda :
Kiblat Syariat adalah Ka’bah, kesana seluruh muslim menghadapkan wajah ketika beribadah.
Kiblat Tarikat adalah Qalbu, disamping menghadapkan wajah kepada ka’bah, seorang yang telah menekuni tarekat, menemukan metode untuk menyebut nama Allah, maka Qalbu menjadi kiblatnya, dari sana terpancar cahaya Allah yang terus menerus dirasakannya. Dalam Qalbu yang berada dalam dirinya tersebut dia menemuka Sang Maha Sempurna. Benar ucapan Rasulullah SAW, “Barang siapa yang mengenal dirinya maka dia akan mengenal Tuhannya”. Barangsiapa yang telah mengenal dirinya, telah mengetahui letak Qalbunya, kemudian dari sana dia menyebut nama Allah maka dia telah mengenal Tuhannya secara perlahan-lahan.

Kiblat Hakikat adalah Mursyid. Disamping menghadapkan wajah kepada ka’bah sebagai syarat utama di dalam syariat dan merasakan getaran Ilahi di dalam Qalbu, maka seorang yang ingin memasuki alam hakikat wajib memiliki pembimbing rohani, wajib memfokuskan pandanganya kepada Mursyid yang membimbing rohaninya menuju kehadirat Allah SWT. Junaidi Al-Baghdadi berkata, “Makrifat kepada Guru Mursyid adalah mukadimah Makrifat kepada Allah”, mengenal Guru Mursyid adalah awal atau pembuka dalam mengenal Allah SWT.

Berzikir tanpa adanya pembimbing maka seseorang tidak akan sampai kepada alam hakikat, akan tersesat ditengah perjalanan. Abu Yazid mengingatkan akan bahaya orang yang menuntun ilmu hakikat tanpa memiliki guru, hanya dengan membaca atau mendengar.  “Barangsiapa yang menuntun ilmu tanpa memiliki Syekh, maka wajib setan Syekh nya”.

Guru dan Mursyid itu sebenarnya dua unsur yang terpisah, yang satu berhubungan dengan jasmani dan yang satu lagi berhubungan dengan rohani. Guru akan membimbing jasmani para murid, mengajarkan tentang kebaikan, memberikan arahan tentang tata cara ibadah yang benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Mursyid adalah pembimbing rohani murid. Mursyid adalah rohani Guru yang telah diberi izin oleh Guru sebelumnya dan jalur keguruannya bersambung sampai pada Rasulullah SAW sehingga hakikat izin yang diterima oleh Guru Mursyid adalah berasal dari Rasulullah langsung untuk membimbing ummat menuju kehadirat Allah swt. Mursyid ini sering disebut sebagai khalifah Rasul, yang melayani ummat dengan membimbing mereka secara zahir dan bathin.

Karena Guru dan Mursyid itu berkumpul dalam satu pribadi maka sering disebut dengan Guru Mursyid atau Syekh Mursyid. Guru Mursyid sudah pasti harus mempunyai kualitas seorang Wali Allah, dan seorang Wali Allah belum tentu mempunyai kualitas sebagai Mursyid, banyak Wali Allah yang ilmu diperolehnya bukan untuk disebarkan tapi cukup untuk diamalkan sendiri.
Imam al Ghazali berpendapat bahwa sangat penting bagi seseorang yang menempuh perjalan rohani mempunyai seorang Guru Mursyid yang membimbing agar tidak tersesat sebagaimana yang beliau kemukakan :

Di antara hal yang wajib bagi para salik yang menempuh jalan kebenaran adalah bahwa dia harus mempunyai seorang Mursyid dan pendidikan spiritual yang dapat memberinya petunjuk dalam perjalanannya, serta melenyapkan akhlak yang tercela. Yang dimaksud pendidikan di sini, hendaknya seorang pendidik spiritual menjadi seperti petani yang merawat tanamannya. Setiap kali melihat batu atau tumbuhan yang membahayakan tanamannya, maka dia langsung mencabut dan membuangnya. Dia juga selalu menyirami tanamannya agar dapat tumbuh dengan baik dan terawat, sehingga menjadi lebih baik dari tanaman lainnya. Apabila engkau telah mengetahui bahwa tanaman membutuhkan perawat, maka engkau akan mengetahui bahwa seorang salik harus mempunyai seorang mursyid. Sebab Allah mengutus para Rasul kepada umat manusia untuk membimbing mereka ke jalan lurus. Dan sebelum Rasulullah SAW`wafat, Beliau telah menetapkan para Khalifah sebagai wakil Beliau untuk menunjukkan manusia ke jalan Allah. Begitulah seterusnya, sampai hari kiamat. Oleh karena itu, seorang salik mutlak membutuhkan seorang Mursyid.

Tentang Kiblat ke empat yang sangat penting untuk kita ketahui dan menjadi kunci dalam beribadah akan saya uraikan pada tulisan berikutnya. Silahkan anda baca dulu 9 tulisan di atas yang menjelaskan secara lengkap tentang Guru Mursyid dan Hakikat Ibadah. Semoga Allah senantiasa menuntun dan membimbing kita ke jalan-Nya yang lurus dan benar, Amin.
Bersambung…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar