Laman

Jumat, 05 Juli 2013

Menyembah Ka’bah Bag-5 (Selesai)

Semua Harus Melewati Tahapan.

rasulullah-saw 

Kalau harus mencapai tahap makrifat terlebih dulu baru bisa mengingat Allah dengan benar, lalu bagaimana dengan para pemula, orang yang baru menekuni tarekat sementara mereka belum mencapai tahap makrifat?. Jawabanya sangat sederhana, dzikir yang diajarkan oleh Guru kepada anda bukan bacaan biasa, itu adalah bacaan yang ketika diucapkan akan tersambung langsung kehadirat Allah swt karena bacaan itu diucapkan dengan menggabungkan rohani murid dengan rohani Sang Guru. Tahap awal setiap kita diajarkan Dzikir, menyebut nama Allah, dengan melakukan rabithah kepada Guru Mursyid.
Rabithah atau merabit dalam tarekat dimaknai dengan sederhana yaitu mengingat. Merabit mursyid artinya mengingat Mursyid. Dari segi bahasa Rabithah bermakna menggabungkan, dalam hal ini yang digabungkan adalah rohani dengan rohani. Jasmani dengan jasmani tidak bisa digabungkan karena jasmani adalah benda padat sedangkan rohani yang tersusun dari unsur yang sangat halus bisa saling bergabung. Sama hal dengan air, antara satu yang lain bisa bergabung karena sifatnya cari dan gas bisa bergabung karena sifatnya lebih halus demikian juga dengan roh.
Manusia dilarang bersekutu dengan Allah karena memang itu merupakan hal yang mustahil. Antara manusia dengan Allah memiliki sifat yang sangat berbeda, tidak mungkin yang diciptakan bisa bergabung dengan Sang Maha Pencipta Yang Maha Suci lagi Maha Mulia. Karena itulah Allah mengutus Rasul, dengan Rasul lah kita bersekutu, menggabungkan diri rohani kita, lewat penggabungan itulah yang kemudian mengantarkan rohani sampai kehadirat Allah swt. Kalau dipahami secara mendalam hubungan ini bukanlah hubungan perantara akan tetapi hubungan Langsung.

Bagi yang sudah memiliki Guru Mursyid maka dia telah memulai perjalanan menuju kehadirat Allah swt dengan di temani oleh sahabat setia yang senantiasa menuntun dan membimbingnya dalam perjalanan yaitu Guru Mursyid. Guru Mursyid akan mengetahui dimana lembah, dimana tempat berbahaya, dimana gunung yang terjal sehingga murid selama dari bahaya selama dalam perjalanan.
Sangat keliru kalau ada yang menganggap bahwa Guru adalah perantara kepada Allah swt. Guru Mursyid adalah pembawa wasilah yang berasal dari Allah swt, dengan wasilah itulah kita bisa sampai kehadirat Allah swt. Wasilah itu bukan manusia, bukan Guru Mursyid, bukan pula Nabi, Wasilah adalah sesuatu yang berasal dari Allah yang telah ada sejak sebelumnya ada. Wasilah adalah Nur Ala Nurin, Nur Muhammad, Cahaya Allah yang dijelaskan dalam surat an-Nur ayat 35.
Wasilah adalah frekwensi atau gelombang Allah yang dengan kita menemukan frewensi tersebut maka kita akan bisa sampai kehadirat Allah swt. Ibarat menonton TV, ketika TV dihidupkan dan chanel atau frekwensinya tepat maka di layar televisi akan kita saksikan sesuatu yang ada diluar TV. Walaupun kita berada dalam rumah, maka lewat TV kita seolah-olah telah berada diseluruh dunia, bisa menyaksikan tempat-tempat yang jauh pada saat itu juga. Ini teknologi buatan manusia yang canggih, namun wasilah adalah teknologi Allah yang super canggih, dalam detik per detik rohani bisa tersambung kepada arwahul muqadasah Rasulullah dan otomatis akan tersambung kepada Allah swt.
Inilah warisan yang sangat berharga dari Rasulullah yang selama ini mulai dilupakan orang. Tarekat dianggap bid’ah bahkan tanpa rasa bersalah memasukkan ke dalam aliran sesat.

Karena ilmu yang terbatas, referensi hanya dari golongan yang tidak menyukai tarekat akhirnya sebagian orang yang tidak paham kemudian setuju memasukkan tarekat sebagai perbuatan bid’ah. Kemudian barulah muncul kebingungan ketika berhadapan dengan istilah Wajah Allah, Memandang Wajah Allah, Makrifat, kemudian mencari dalil-dalil untuk menghindari istila tersebut atau menggantikan dengan makna yang sama sekali berbeda.
Karena metode berhubungan Allah berupa Tarekatullah ini ditinggalkan, maka manusia menyembah Allah dalam kekosongan, hanya merasa yakin doa di dengar, merasa yakin dekat dengan Allah. Ketika metode ini tidak dipakai maka tanpa sadar yang kita sembah bukan Allah melainkan ka’bah atau dinding di depan kita atau sajadah.
Ketika metode ini ditinggalkan maka putuslah hubungan manusia dengan Allah, putuslah Tali yang bersambung dengan Allah sehingga manusia menyembah dalam kekosongan. Semua kita setuju bahwa di dalam ibadah kita tidak sekali-kali menyembah ka’bah tapi menyembah Allah, pertanyaan sederhana Allah yang mana yang kita sembah? Nama Allah yang berupa tulisan, Allah yang kita dengarkan nama-Nya atau?
Pertanyaan ini harus bisa terjawab dengan tuntas, karena setiap nama memiliki sosok dibalik nama, begitu juga dengan Allah.
Semoga tulisan ini bermanfaat hendaknya, amin ya Rabbal ‘Alamin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar