Laman

Selasa, 28 Januari 2014

Bahasa cinta untuk mengingatNya

Pada suatu kesempatan salah seorang dari mereka bertanya kepada kami, apakah kami masih suka mendengarkan radio dakta, kenapa belum beralih ke radio rodja ?

Jika harus memilih di antara dua pilihan yakni radio dakta atau radio rodja, memang kami memilih radio dakta walaupun di radio dakta ada juga pendapat-pendapat dari ulama yang mengaku mengikuti salafush sholeh. Namun salah satu kelebihan radio dakta adalah menyiarkan pengejawantahan (implementasi) ilmu agama dalam kehidupan sehari-hari termasuk memperdengarkan lagu yang lirik atau syairnya mengantarkan kita untuk mengingat Allah.

Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan kalau seseorang hanya mendalami ilmu syariat atau ilmu fiqih saja tanpa mengamalkan tasawuf (tentan ihsan) maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa

Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat), maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]

Imam Malik ~rahimahullah menasehatkan agar kita menjalankan perkara syariat sekaligus menjalankan tasawuf agar tidak menjadi manusia yang rusak atau tidak menjadi manusia berakhlak tidak baik.

Imam Malik ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fiqih (menjalankan syariat) rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fiqih (menjalankan syariat) tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar“

Bagi kami radio Rodja sebagian besar “memperlihatkan” Allah Azza wa Jalla sebagai sosok yang hanya “memerintah” dan “melarang” saja. Masih kurang “memperlihatkan” Allah Azza wa Jalla dalam sosok “Ar Rahmaan Ar Rahiim” atau “memperlihatkan” hubungan cinta Allah kepada hambaNya dan sebaliknya.

Pada hakikatnya perintahNya dan laranganNya adalah wujud kasih sayang Allah ta’ala kepada hambaNya.

Begitu pula larangan orang tua kepada anaknya adalah wujud kasih sayang orang tua kepada anaknya. Bagi anak yang telah “mengenal” orangtuanya, dia akan menjauhi apa yang dilarang orang tuanya, karena dia paham bahwa orang tua melarangnya merupakan wujud rasa sayang orang tua kepadanya. Jadi anak itu ikhlas menjauhi apa yang dilarang orangtuanya tanpa peduli dengan akibat jika larangan itu dilanggar.

Salah satu cara “memperlihatkan” suasana saling mencintai adalah dengan memperdengarkan lagu yang lirik atau syairnya yang bermuatan “bahasa cinta” yang dapat mengingat Allah.

Contohnya pagi ini kami melalui radio dakta dapat mendengarkan kembali lagu karya Ebiet G Ade berjudul Isyu dengan lirik lagu sebagai berikut

Engkau pasti menuduhku
telah bersekutu dengan setan
Menyangka apa yang kumiliki
aku dapat dari dusta

Engkau mulai kasak-kusuk,
bergunjing ke sana-sini
melilitkan isyu di leherku
mengipaskan suasana panas

Entah apa yang harus kujelaskan
Aku enggan bicara

yang penting suara dalam jiwaku
adalah kebenaran

Biarpun hanya Tuhan yang mendengar

Du du du du du du du du du du
Ho ho ho ho ho ho ho ho ho
Engkau pasti menduga-duga
aku telan yang bukan milikku

Coba buka catatan di langit
di sana kusimpan kebenaran

Entah apa yang harus kujelaskan
Aku enggan bicara
yang penting suara dalam jiwaku
adalah kebenaran

Biarpun hanya Tuhan yang mendengar

Du du du du du du du du du du
Ho ho ho ho ho ho ho ho ho
Du du du du du du du du du du du
Ho ho ho ho ho ho ho ho ho
Du du du du du du du du du du du
Ho ho ho ho ho ho ho ho ho
Du du du du du du du du du du du
Ho ho ho ho ho ho ho ho ho
Isyu, isyu, isyu, semua hanya isyu
Isyu, isyu, isyu, semua hanya isyu

Lirik lagu tersebut bermuatan “bahasa cinta” yang tidak dapat dipahami dengan makna dzahir/harfiah/tersurat/tertulis. Bahasa cinta hanya dapat dipahami dengan hati atau akal qalbu bersandarkan pada makna bathin atau makna dibalik yang tertulis atau makna yang tersirat.

Contohnya

“melilitkan isyu di leherku mengipaskan suasana panas”
“Engkau pasti menduga-duga, aku telan yang bukan milikku”

“Coba buka catatan di langit di sana kusimpan kebenaran”
“Aku enggan bicara, yang penting suara dalam jiwaku adalah kebenaran”

“Catatan di langit” kaitannya dengan kebenara”
“suara dalam jiwaku” kaitannya dengan kebenaran

Firman Allah ta’ala yang artinya,

“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya“. (QS Asy Syams [91]:8)

“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan” (QS Al Balad [90]:10)

Wabishah bin Ma’bad r.a. berkata: Saya datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda, “Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebaikan?” Saya menjawab, “Benar.”Beliau bersabda, “Mintalah fatwa kepada hatimu sendiri. Kebaikan adalah apa-apa yang menenteramkan jiwa dan hati, sedangkan dosa adalah apa-apa yang mengusik jiwa dan meragukan hati, meskipun orang-orang memberi fatwa yang membenarkanmu.” hadits diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dan Imam Ad-Darami dengan sanad hasan

Nawas bin Sam’an r.a. meriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wasallam., beliau bersabda, “Kebaikan adalah akhlak yang baik, sedangkan dosa adalah segala hal yang mengusik jiwamu dan engkau tidak suka jika orang lain melihatnya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim).

Sebuah lagu yang merupakan karya manusia mengandung bahasa cinta yang dipahami dengan makna bathin/tersirat tidak dapat dimaknai secara dzahir/harfiah/tertulis/tersurat apalagi diturunkan Al-Qur’an diturunkan Allah Sang Pemilik Cinta dan disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi

Coba kita simak kembali bagaiamana ulama panutan mereka ulama Ibnu Taimiyyah dalam Ar Risalah Al ‘Arsyiyah berkata :

“Sesungguhnya Arsy tidak kosong; karena dalil-dalil tentang bersemayamnya Allah di atas Arsy adalah muhkam (tidak memerlukan takwil karena kejelasan maknanya), dan hadits tentang turun-Nya Allah muhkam pula. Sedangkan sifat-sifat Allah Suybhanahu Wa Ta’ala tidak bisa dikiaskan dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Maka wajib bagi kita untuk menetapkan nash-nash tentang istiwa (bersemayam) berdasarkan kedudukannya yang muhkam, begitu pula tentang turunnya Allah. Kita katakan bahwa Allah bersemayam di atas arsy, Allah juga turun ke langit dunia. Dia lebih mengetahui tentang bagaimana Dia bersemayam dan bagaimana Dia turun, sedangkan akal kita sangat terbats, sempit dan hina untuk mengetahui ilmu Allah Subhanahu Wa Ta’ala.”

Boleh jadi ketika ulama Ibnu Taimiyyah mengatakan “Sesungguhnya Arsy tidak kosong” menjawab kebimbangannya ketika beliau memaknai secara dzahir/harfiah/tertulis/tersurat hadits “Rabb Tabaraka wa Ta’la turun ke langit dunia pada setiap malam“. Lalu beliau menyatakan “Kita katakan bahwa Allah bersemayam di atas arsy, Allah juga turun ke langit dunia. Dia lebih mengetahui tentang bagaimana Dia bersemayam dan bagaimana Dia turun”

Artinya Ibnu Taimiyyah beri’tiqod bahwa Allah ta’ala berada atau bertempat di atas ‘Arsy , Arsy tidak kosong walaupun Allah ta’ala turun ke langit dunia.

Pada hakikatnya beliau menemukan pertentangan di antara pendapatnya sendiri dikarenakan memahami dengan makna secara dzahir/harfiah/tertulis/tersurat atau memahaminya dengan metodologi “terjemahkan saja” dari sudut arti bahasa (lughot) dan istilah (terminologi) saja

Allah ta’ala berfirman “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS An Nisaa [4] : 82)

Firman Allah ta’ala dalam (QS An Nisaa 4 : 82) menjelaskan bahwa dijamin tidak ada pertentangan di dalam Al Qur’an. Jikalau manusia mendapatkan adanya pertentangan di dalam Al Qur’an maka pastilah yang salah adalah pemahamannya.

Dengan arti kata lain segala pendapat atau pemahaman yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits tanpa bercampur dengan akal pikiran sendiri atau hawa nafsu maka pastilah tidak ada pertentangan di dalam pendapat atau pemahamannya.

Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 menjelaskan dalam kitab-kitab beliau seperti ‘al-Khiththah al-Mardhiyah fi Raddi fi Syubhati man qala Bid’ah at-Talaffuzh bian-Niyah’, ‘Nur al-Syam’at fi Ahkam al-Jum’ah’ bahwa pemahaman Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qoyyim Al Jauziah menyelisihi pemahaman Imam Mazhab yang empat yang telah diakui dan disepakati oleh jumhur ulama yang sholeh dari dahulu sampai sekarang sebagai pemimpin atau imam ijtihad kaum muslim (Imam Mujtahid Mutlak)

Berikut kutipannya

وقال ايضا ما نصه : واياك ان تصغي الى ما في كتب ابن تيمية وتلميذه ابن القيم الجوزية وغيرهما ممن اتخذ الهه هواه واضله الله على علم و ختم على سمعه وقلبه وجعل على بصره غشاوة فمن يهديه من بعدالله.

Beliau (Syaikh Ibnu Hajar) juga berkata ” Maka berhati-hatilah kamu, jangan kamu dengarkan apa yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dan selain keduanya dari orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah telah menyesatkannya dari ilmu serta menutup telinga dan hatinya dan menjdaikan penghalang atas pandangannya. Maka siapakah yang mampu member petunjuk atas orang yang telah Allah jauhkan?. (Al-Fatawa Al-Haditsiyyah : 203)

Seharusnya karya-karya ulama Ibnu Taimiyyah telah terkubur sejak lama karena dilarang untuk dibaca oleh ulama-ulama terdahulu namun entah mengapa 350 tahun kemudian setelah beliau wafat, karya-karya beliau sampai dan dipelajari kembali oleh ulama Muhammad bin Abdul Wahhab dan menjadikan ulama Ibnu Taimiyyah sebagai panutannya.

Bahkan dalam beberapa tulisan tentang riwayat ulama Muhammad bin Abdul Wahhab dikatakan bahwa “Demikian meresapnya pengaruh dan gaya Ibnu Taimiyah dalam jiwanya, sehingga Muhammad bin ‘Abdul Wahab bagaikan duplikat(salinan) Ibnu Taimiyah. Khususnya dalam aspek ketauhidan, seakan-akan semua yang diidam-idamkan oleh Ibnu Taimiyah semasa hidupnya yang penuh ranjau dan tekanan dari pihak berkuasa, semuanya telah ditebus dengan kejayaan Ibnu ‘Abdul Wahab yang hidup pada abad ke 12 Hijriyah itu”.

Hal yang dikatakan bahwa “ulama Ibnu Taimiyah semasa hidupnya yang penuh ranjau dan tekanan dari pihak berkuasa” sebenarnya adalah ulama Ibnu Taimiyyah diadili oleh para qodhi dan para ulama ahli fiqih dari empat madzhab dan diputuskan hukuman penjara agar ulama Ibnu Taimiyyah tidak menyebarluaskan kesalahapahamannya dalam i’tiqod sehingga beliau wafat di penjara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar