Laman

Jumat, 29 Agustus 2014

SANG ZAHID ITU


Seorang kiai yang perlente, dengan celana bermerk sangat mahal, baju yang necis, dan sepatu mengkilat, tiba-tiba jadi bahan diskusi di majlis kedai kopi Cak San. Pasalnya, kemarin sang kiai yang sangat dihormati itu baru saja bertemu dengan sejumlah kiai lain di Muktamar NU, tetapi tidak digolongkan oleh para muktamirin sebagai kiai Khos, atau kiai
dengan dunia metafisika khusus yang memiliki kelebihan batin.
“Bagaimana dengan muktamar para kiai kemarin, Di….punya kesan-kesan khusus?” tanya Dulkamdi pada Pardi.
“Wah, soal kesan khusus ada Dul. Tapi saya ini kan penggembira. Saya juga hanya senang beramai-ramai, nguping sana, nguping sini, sambil mencari berkah. Siapa tahu saya nanti bisa menjadi pengganti Gus Dur yang sebenarnya…haaa..ha…ha…”
“Kamu jadi Banser saja Di!”
“Maksudmu banserep atau banseser.”
“Wah, jangan mentang-mentang ada anak PMII yang menuntut pembubaran Banser, kamu menghina singkatan Banser. Kalau nggak
ada Banser, Indonesia ini bisa berbahaya Di…” ucap Dulkamdi sedikit emosi.
“Iya, deh. Saya hanya bercanda. Tapi ketahuilah wahai umat manusia, saya benar-benar menyaksikan suatu teater yang sangat menyedihkan. Kisah-kisah pahit dan kezaliman, yang mengingatkan tragedi perang Uhud di masa lalu…”
Pardi yang semula bicara sambil cengengesan itu tiba-tiba jadi serius dan suaranya terputus-putus seperti nyantol di kerongkongan. Ia sulit mengungkapkan bahasa kepahitan, kecuali hanya bisa dirasakan sendiri, ketika luka-luka hatinya harus tergores lagi oleh duri yang masih mengganjal dalam dagingnya.
“Maksudmu bagaimana Di…”
“Banyak pelajaran yang kita terima di sana Dul. Bayangkan, ada model banyak kiai menurut istilah muktamirin, tetapi menurut hati saya tidak demikian. Kiai yang perlente yang sedang kita bicarakan itu, sebenarnya malah menjadi mbahnya kiai Khos, tetapi karena soal penampilan para muktamirin mengabaikan. Mereka juga masih ada yang mengagungkan keangkeran, jubah, jenggot dan atribut yang berbau religius. Saya nggak tahu, dunia para kiai pun bisa keblinger, apalagi dunia awam seperti kita….”
Kang Soleh sedari tadi yang mengepulkan asap-asap rokoknya saja, sambil memperhatikan Cak San yang asyik menggiling kopinya di pagi itu. Dia tahu ke mana arah pembicaraan Pardi, dan bagaimana seharusnya bersikap terhadap tragedi kemunafikan hati itu sendiri…
“Bagaimana sih Kang, saya malah jadi sumpek melihat wolakwaliking zaman ini…” tanya Pardi kepada Kang Soleh.
“Nggak usah gelisah. Kita harus bisa berdamai dengan diri sendiri dan berbaik sangka kepada Tuhan. Memang Allah masih menakdirkan kondisi hati para kiai seperti itu kok, kita mau apa. Kalau kita susah, itu berarti kita ikut campur urusan Tuhan. Soal hidayah itu urusan Tuhan. Bukan urusan kita-kita ini.”
“Ya, tapi mestinya, mereka ini kan menjadi pemuka umat…”
“Itu kan karepmu, tapi karepe Gusti Allah tidak begitu, kok…”
“Jadi bagaimana dong…:”
“Ya, kita mulai dari diri sendiri. Allah memberi petunjuk kepada kita, untuk meneladani hati seseorang. Bukan pada penampilannya. Kiai perlente yang jadi pembicaraan kita itu, sebenarnya, hatinya lebih perlente di hadapan Allah.
Sepatu, jas, dasi, pakaian yang sangat mahal dan bermerk itu, sama sekali tidak berpengaruh pada hatinya. Nilainya sama dengan suwal bodol dan kolor dobol kamu… Itulah Zuhud yang sebenarnya…”
“Nah, itu yang saya tunggu Kang!” potong Dulkamdi. “Kita ini kadang tertipu oleh penampilan seseorang. Coba, banyak umat kita terpedaya hanya karena popularitas kehebatan seseorang dengan jubah ahli hikmah, ahli batin, dan kehebatan atau pun kharisma. Lalu umat berbondong-bondong mencari berkah.
“Ya, tapi kamu tidak boleh emosi menghadapi kenyataan seperti itu. Yang penting harus kita pegang bersama, bahwa yang disebut Zuhud dalam tasawuf itu bukan berarti kita tinggalkan dunia ini, lalu kita jadi jembel, kita terlantarkan keluarga dan masyarakat kita, kita abaikan hiruk pikuk dunia dini. Tidak. Zuhud yang hakiki adalah lahiriyah kita tetap dalam gerak gerik duniawi, fisik kita tetap di kandang babi, tapi hati kita bersemai damai di Rumah Ilahi sana, di Arasy sana, tanpa peduli dengan gejolak atau tragedi, sekalipun kemunafikan menimpa para tokoh umat kita.”
Kang Soleh lalu diam. Wajahnya juga tampak duka. Tidak jelas apakah ia juga turut bersalah diri karena berduka atas kenyataan Ilahi yang ditakdirkan pada para tokoh umat ini, atau sekadar tidak mampu menahan haru melihat kepedulian teman-temannya di kedai itu. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar