Ilmu di dunia ini bersifat
universal artinya siapapun dengan sungguh-sungguh menekuni akan mencapai
hasil sesuai dengan tujuan ilmu tersebut. Fakultas Kedokteran hadir
untuk mencetak manusia menjadi dokter sedangkan fakultas Teknik dibuat
untuk mencetak manusia menjadi seorang Insyiur, ahli teknologi. Akan
keliru jika orang bercita-cita menjadi dokter masuk ke Fakultas Teknik,
sesunguh apapun usahanya tidak akan membuat dia menjadi seorang dokter.
Pernah suatu hari sambil guyon Guru berkata, “Jangan kau potong besi
memakai dzikir!”.
Seorang murid dengan polos bertanya, “Kenapa Guru besi tidak boleh dipotong memakai dzikir?”
Guru tertawa, “Memang bisa putus besi kamu potong dengan dzikir? Besi
dipotong dengan gergaji besi sedangkan dzikir untuk membersihkan hati”
Maksud Guru sebenarnya adalah segala sesuatu harus diletakkan pada
tempatnya, digunakan menurut fungsi masing-masing. Karena ilmu bersifat
universal maka siapa saja yang memenuhi rukun syarat dalam menuntut ilmu
akan memperoleh hasil yang sama, siapapun orangnya.
Ada sebuah
guyonan dari Almarhum KH, Hasyim Muzadi “Ilmu itu universal, bukan soal
agama. Kristen belajar kedokteran ya jadi dokter. Orang NU gak belajar,
ya jadi dukun.” Apa yang Beliau sampaikan ada benarnya seperti saya
kemukakan di awal tulisa tadi bahwa ilmu itu bersifat universal. Anda
rajin belajar akan menjadi pandai sedangkan tidak rajin akan menjadi
bodoh, tidak ada hubungan dengan ibadah yang anda lakukan.
Orang
rajin ibadah tapi malas bekerja maka hukum alam membuat dia menjadi
miskin atau hidup dibawah rata-rata, sedangan orang rajin bekerja dan
berusaha andai dia seorang yahudi pun akan menjadi kaya dan sukses. Coba
perhatikan orang-orang sukses di dunia, kebanyakan dari kalangan non
muslim, bukan faktor agamanya tapi karena kesungguhan. Seorang muslim
yang sukses juga banyak, kaya raya juga banyak, mereka mencapainya bukan
lewat ibadah dan keshalehan tapi lewat ketekunan.
“Tuhan tidak
pernah mau melanggar hukum-Nya” begitu Guru menasehati saya. Tuhan
menciptakan hukum yang kita sebut sunatullah, lewat hukum tersebut maka
keadilan Tuhan terlaksana dengan seadil-adilnya di dunia ini. Tuhan
memberi ilham tentang Hukum Gravitasi kepada Newton, hal yang belum
pernah terfikirkan oleh manusia sebelumnya, meskipun berulang kali orang
menyaksikan apel jatuh, ini tidak ada hubungan dengan ketaatan.
Kita bangga memiliki Harun Yahya yang sangat tekun menemukan ayat-ayat
tentang apapun rahasia alam. Kalau anda nanya ke Harun Yahya tentang
dalil komputer di al-Qur’an pasti dia punya ayatnya. Tapi saya pribadi
berpendapat bahwa tidak semua fenomena alam harus bisa dijelaskan
memakai dalil-dalil karena keduanya memiliki fungsi berbeda. Al-Qur’an
berfungsi sebagai petunjuk hidup manusia, jalan kepada-Nya, sebagai
sumber kebaikan universal, tidak harus disana memuat segala keinginan
dan kebutuhan kita, terutama bidang teknologi. Kalau anda cari dalil
tentang handphone, laptop, pesawat, internet dan teknologi terbaru
lainnya di al-Qur’an, nanti anda hanya sekedar mencocok-cocokkan saja
ayatnya, sesuai persepsi anda.
Masyarakat kita terbiasa dengan
dalil-dalil tapi terkadang melupakan esensinya. Kebanyakan dari kelompok
yang suka membid’ahkan amalan orang lain suka mencari dalil tapi bukan
dalil untuk beribadah tapi dalil agar ibadah menjadi ringan atau mencari
dalil agar ibadah orang lain menjadi salah. Gus Dur adalah sosok yang
suka membicarakan esensi bukan dalil. Ketika ditanya kenapa demikian,
dengan santai Beliau bilang “ngapain? lha kok kayak orang Arab saja
dikit-dikit ndalil”.
Ketika saya menulis esensi di sufimuda.net
ada orang bertanya dimana ayat dan hadistnya? Giliran saya tulis hadist
mereka nanya hadis shahih gk? Giliran saya cantumkan hadist Bukhari
Muslim yang menurut mereka sangat shahih, mereka kembali ngeyel, “Ah
maksud hadits bukan seperti itu”. Makanya saya tidak terlalu meladeni
orang-orang yang masih sibuk dengan dalil-dalil.
Imam al-Ghazali
berkata, “Kitab ibarat tongkat untuk membantu orang bisa berjalan,
ketika sudah pandai berjalan maka tongkat itu akan menjadi penghalang
dalam perjalanan”. Maksud imam al-Ghazali, dalil itu berfungsi sebagai
langkah awal seorang untuk menempuh jalan kebenaran ketika sudah paham
maka yang dilakukan adalah melaksanakannya bukan terlena dengan
dalil-dalil.
Pada level terendah sebagai pelaksana, seorang Polantas
sangat hapal dengan ayat-ayat KUHP berhubungan dengan pelanggaran di
jalan. Ketika anda tidak memakai helm, tanpa membuka buku panduan
langsung Pak Polantas berkata,“Mohon Maaf, anda telah melanggar
Undang-Undang Pasal 291 ayat 1”. Begitu juga kerja seorang ustad,
menghapal dalil-dalil diluar kepala, hanya sampai disitu yang bisa dia
lakukan. Seorang prof hukum tidak lagi berbicara tentang pasal-pasal
KUHP, dia sudah berbicara esensi dari hukum tersebut. Hukum helm dibuat
agar melindungi pengendara dari benturan, menghindari gegar otak, hukum
helm suatu saat tidak diperlukan jika kesadaran masyarakat meningkat,
itu esensi dari hukum memakai helm, hal yang tidak harus dipahami oleh
seorang petugas Kepolisian.
Maka ada sebuah sindiran dikalangan
sufi, “Keledai yang membawa tumpukan kitab tetap akan menjadi seorang
keledai”. Kalau anda tidak memahami hakikat sesuatu maka dalil-dalil
tidak memberikan manfaat kepada anda. Sebagaimana halnya ada ingin
membuat kue, dalil-dalil dan petunjuk berguna agar anda bisa membuat
kue, tapi kalau anda hanya membaca buku itu berulang-ulang walau seribu
kali tanpa mempraktekkan, sampai kiamat pun kue tidak akan pernah
terwujud.
Karena ilmu bersifat universal maka ikutilah rukun syarat
yang ditetapkan oleh ilmu tersebut. Kalau anda ingin menemukan Allah,
selalu beserta dengan Allah, bukan dalil yang diperlukan, tapi seorang
pemandu yang telah berjalan bolak-balik kehadirat-Nya, dengan cara itu
akan menemukan kepastian. Sebagaimana hadist Nabi, “…Jika engkau belum
beserta Allah, jadikanlah dirimu beserta orang yang telah beserta Allah,
niscaya dialah yang mengantarkan engkau kehadirat Allah”.
“Ikutilah orang yang tiada meminta upah kepada mu itu, karena mereka mendapat pimpinan yang benar” (Q.S Yasin, 23)
“Mereka itulah orang yang telah diberi Allah petunjuk, maka ikutilah Dia dengan petunjuk itu”. (QS. Al-An Am, 90)
“Dan kami jadikan mereka menjadikan ikutan untuk menunjuki manusia dari
perintah Kami dengan sabar serta yakin dengan keterangan Kami” (QS.
Asajadah, 24).
Ayat-ayat diatas adalah petunjuk tentang Ulama
Pewaris Nabi, dengan bimbingan Beliau maka manusia akan berhampiran
kepada Allah SWT, dalil itu akan tetap menjadi dalil dan tidak
memberikan manfaat sama sekali kepada anda, sampai anda menemukan
Pembimbing Jalan Kepada-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar