Ilahi Anta Maqshudi
Dalam praktik-praktik
keruhanian Tasawuf, selalu ada unsur-unsur yang tidak memberi ruang yang
bisa dijangkau akal-rasional. Karena dimensi “operatif” dari Tasawuf
ini sebagian besar berlangsung di wilayah batin yang tidak berurusan
dengan dimensi empiris, maka akal-rasional, pada level tertentu, tidak
bisa dijadikan dasar untuk memverifikasi kebenaran suatu doktrin Sufi.
Artinya, walaupun pada taraf tertentu akal tetaplah harus hidup dan
dipakai, tetapi ada masa-masa ketika akal dan nalar-rasional harus
diistirahatkan sepenuhnya, dan beralih secara bertahap ke penggunaan
“mata hati yang bercahaya” atau qalb. Sebab, seperti firman Allah dalam
hadis qudsi, “hanya hati (qalb) orang beriman yang mampu menampung-Ku,
alam semesta tidak bisa.” Juga, “Allah tidak melihat pada bentukmu,
tetapi pada hati-Mu.”
Dari ungkapan ini setidaknya ada dua hal
penting. Karena tujuan utama dari Sufi adalah Allah, yang dikatakan
“bertahta” di dalam hati (qalb), maka perhatian utama dari Sufi adalah
pada hati sebagai organ spiritual yang memendam misteri-misteri ilahi.
Dan dalam hati inilah berlangsung perjalanan menuju kesempurnaan diri,
sebagai sebuah diri yang utuh.
Hati itu perangainya tidak tetap,
sebab ia bisa condong kepada kebaikan atau kepada kejahatan—”Hati putra
Adam berada di antara dua jari Yang Mahakuasa.” Hati berada di antara
dua kekuatan, ruh yang suci dan ilahiah, dan jiwa (nafs) yang rendah dan
kotor—Demi jiwa dan penyempurnaannya, lalu Tuhan mengilhamkan setiap
jiwa keburukan dan kebaikan (QS. 91:7-8).
Ketika hati mendekati ruh,
maka ruh akan mengalahkan jiwa. Sebagai “Tahta” Tuhan, hati memiliki
bentuk dan realitas (hakikat). Bentuk lahiriahnya adalah segumpal daging
yang terdapat di dada kiri. Sedangkan realitas sejatinya adalah
kelembutan ilahi (lathifah rabbaniyyah). Pada kelembutan (lathifah)
inilah zikir Sufi difokuskan . Zikir Sufi dimaksudkan untuk memperkuat
cahaya ruh, agar bisa mengalahkan jiwa “yang menyeru kepada kejahatan”
(nafs al-amarah) dan bisa membangkitkan potensi cahaya ruh dalam setiap
lathifah rabbaniyyah yang berhubungan dengan Allah, sehingga mencapai
jiwa yang tenang (nafs al-muthmainah).Ketika pikiran dan keinginan
duniawi muncul dalam diri kita, maka hati akan bergerak ke jiwa rendah
sehingga memperkuat nafs al-amarah. Mereka akan memunculkan hijab yang
menyelimuti lathifah rabbaniyah yang bening bercahaya dan suci. Dosa
akan menyebabkan muncul noda hitam di cermin hati, demikian nabi pernah
bersabda. Seperti sampah, jika tak bersihkan setiap hari, noda itu akan
makin banyak dan tebal. Karenanya Cahaya ilahi itu hanya menyala di
lubuk hati saja, dan hati menjadi gelap. Dan inilah awal dari tabir
pemisah antara Allah dengan manusia.
hati yang berkarat, atau
bernoda, bisa dibersihkan dengan zikir. Nabi saw berkata bahwa
“pembersih hati adalah zikir.” Melakukan zikir adalah seperti menggosok
cermin yang buram hingga bisa bening dan terang, sehingga mampu
memantulkan bayangan dengan jelas. Zikir adalah cahaya. Ia adalah
seperti pelita ilahi yang menerangi ruang-ruang hati yang gelap,
sehingga dengan cahayanya itu tampaklah semua “isi” hati. Dengan zikir,
cahaya ilahi yang tersimpan dalam lathifah-lathifah akan menyala dan
membawa hati “masuk” ke realitas Tahta hati itu sendiri, yang darinya ia
akan masuk ke wilayah-wilayah dunia yang tak terlihat oleh indra
eksternal. Dengan kata lain, dengan zikir, misteri dari hati, yakni
rahasia-rahasia ilahi, akan kelihatan dengan jelas.
Syekh Abdul
Qadir Al-Jailani menjelaskan rahasia dari efek zikir ini dalam sebuah
surat yang menjadi pembuka salah satu kitab karyanya yang luar biasa,
Sirrul Asrar. Penjelasan ini berkaitan dengan tafsir “ayat cahaya” dalam
Surah An-Nur: 35:
Hatimu adalah cermin. Bersihkan cermin itu dari
debu yang menabirinya, sebab cermin itu ditakdirkan untuk memantulkan
cahaya rahasia ilahi. Ketika cahaya dari Allah (Dzat) yang merupakan
Cahaya langit dan bumi mulai menyinari wilayah hatimu, maka pelita hati
akan menyala. Pelita hati itu ada dalam kaca; kaca yang laksana bintang
yang bersinar terang … Kemudian di dalam hati muncul sinar makna yang
bukan muncul dari Timur dan juga dari Barat, yang menyala berkat pohon
zaitun yang diberkati … yang memancarkan cahaya menerangi pohon
pencerahan, begitu jernihnya sehingga bersinar walau tak disentuh oleh
api. Lalu menyalalah pelita kearifan. Mana mungkin pelita itu tak
menyala bila cahaya rahasia Allah menyinarinya? … Langit-langit gelap
ketidaksadaran akan jadi terang berkat kehadiran ilahi dan kedamaian
serta keindahan purnama yang akan muncul dari cakrawala yang memancarkan
cahaya di atas cahaya.
Menurut kaum Sufi, seseorang tak bisa
mencapai Allah tanpa mengingat-Nya (zikir) terus-menerus. Zikir adalah
langkah dasar dalam Tasawuf, dan bahkan paling penting. Seorang wali
Allah adalah hamba yang paling utama, yang oleh Rasulullah disebut
“hamba yang paling banyak berzikir”. Hati yang kosong dari mengingat
Allah tidak akan memiliki “magnet” spiritual untuk menyerap cahaya
ilahi. Allah berfirman, “Ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengingat
kalian” (QS. 2: 152).
ayat ini menunjukkan adanya hubungan
timbal-balik antara zikir dengan Allah. Allah adalah Cahaya, dan
karenanya menyebut atau mengingat Nama-Nya akan memunculkan “kandungan”
cahaya yang ada dalam setiap Asma atau ayat Al-Quran yang dibaca dan
disebut-sebut. Ketika orang berzikir maka ia akan mengeluarkan cahaya
dari lathifah rabbaniyah yang meliputi dirinya, mempengaruhi hati, dan
menerangi dirinya. Menurut seorang ahl al-kasyaf yang pernah penulis
temui, cahaya yang memancar dari pezikir bukan sekadar metafora, tetapi
“nyata” dari sudut pandang mukasyafah. Bagi banyak orang yang sudah
kasyaf, baik itu yang sudah sampai kedudukan wali atau belum, mereka
bisa melihat perubahan cahaya dalam diri sang pezikir. Tetapi cahaya ini
harus dibedakan dari “aura” sebab cahaya zikir lebih halus dan dalam,
karena bersumber dari lubuk hati yang suci (sirr). Bahkan seorang wali
yang telah mencapai kedudukan tinggi tanpa diberi tahu lewat lisan bisa
mengetahui zikir macam apa yang diamalkan seorang murid hanya
berdasarkan cahaya yang memancar dari lathaif (bentuk jamak dari
lathifah) di dalam dirinya. Semakin intens seorang berzikir sehingga
melampaui semua tahapan dalam berzikir, semakin terang cahayanya
dirinya.
Orang mesti melewati beberapa tahap agar cahaya dirinya
bisa menarik cahaya ilahi. Pertama orang berzikir dengan lisan, kemudian
meningkat menjadi zikir qalb (kalbu). Saat lisan seseorang berzikir,
maka ia melakukan zikir seperti benda-benda mati—nabi bersabda bahwa
batu juga berzikir, tetapi kita, orang awam, tidak bisa mendengarkannya.
Inilah tahap awal zikir. Kemudian dia berzikir dengan qalb, maka
seseorang meningkat ke zikir alam semesta (makhluk bernyawa dan tak
bernyawa). Tetapi zikir qalb masih ada lanjutannya, yakni zikir nafs,
kemudian zikir ruh, dan zikir sirr. Masing-masing tingkatan akan membuat
seorang pezikir menyadari bahwa zikirnya selalu diiringi oleh alam yang
bertingkat-tingkat. Alam semesta, zikir malaikat, zikir makhluk di alam
arwah, arasy, dan akhirnya yang tertinggi, sirr. Ini adalah tahap
ketika singgasana (arasy) bergetar akibat zikir seseorang dan ikut
berzikir mengiringi zikir orang itu. Tetapi ketika zikir itu sampai ke
zikir sirr yang paling tersembunyi (akhfa al-khafi) atau mendekati
sempurna, maka zikir itu tak bisa didengar lagi bahkan oleh malaikat
sekalipun. Sebab, ketika arasy bergetar maka zikir seseorang akan
langsung tersambung dengan Dzat Allah. Ketika segala sesuatu telah
“menyentuh” pada taraf Dzat-Nya, yakni pada tahap ahadiyyah, yang tak
bisa dipahami , sesuatu itu akan sirna di dalam Tuhan. Demikian pula
zikir itu akan gaib dari pendengaran malaikat, bahkan dari perasaan dan
pemahaman si pezikir itu sendiri.
Pada saat inilah proses kimiawi
ruhani, yang menyalakan sumber cahaya dalam hati, mencapai puncaknya.
Cahaya si pezikir bukan lagi aspek eksternal dari seorang pezikir,
tetapi menjadi substansinya sendiri, yang muncul dari dalam dirinya,
sebab ia telah bersambung dengan Dzat Sumber Segala Cahaya. Hati
sepenuhnya berubah menjadi cahaya.
Karena diri seorang pezikir telah
“menjelma” menjadi sumber cahaya, maka pancaran cahayanya tidak akan
pudar, selama ia istiqamah dalam berzikir, dan cahaya itu terus melesat
ke langit menyongsong sumber dari segala sumber dari cahaya itu, yakni
Allah karena Dialah Cahaya langit dan bumi. Pada saat inilah substansi
cahaya pezikir akan sama dengan substansi dari Yang Maha Bercahaya. Lalu
dalam seketika substansi cahaya di langit (Allah) itu akan merindukan
cahaya dari hati hamba-hambanya—”ingatlah kepada-Ku, niscaya Aku akan
mengingat kalian.” Maka, cahaya hati dari hamba melesat naik, dan Cahaya
dari Arasy melesat turun ke bawah. Kedua cahaya saling
menyongsong—cahaya dari atas (Tuhan) menyongsong cahaya dari bawah
(hamba)—dan jadilah cahaya di atas cahaya! (QS. 24: 35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar