Laman

Rabu, 15 Januari 2014

Jadilah Kunci Kunci Kebaikan


Oleh: Ustadz Abu Ahmad Said Yai, Lc.
LAFAZ HADÎTS:
ﻋﻦ ﺃﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﻗﺎﻝ : ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ:
ﺇِﻥَّ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻣَﻔَﺎﺗِﻴﺢَ ﻟِﻠْﺨَﻴْﺮِ ﻣَﻐَﺎﻟِﻴﻖَ ﻟِﻠﺸَّﺮِّ ﻭَﺇِﻥَّ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻣَﻔَﺎﺗِﻴﺢَ ﻟِﻠﺸَّﺮِّ
ﻣَﻐَﺎﻟِﻴﻖَ ﻟِﻠْﺨَﻴْﺮِ ﻓَﻄُﻮﺑَﻰ ﻟِﻤَﻦْ ﺟَﻌَﻞَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻣَﻔَﺎﺗِﻴﺢَ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮِ ﻋَﻠَﻰ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﻭَﻭَﻳْﻞٌ ﻟِﻤَﻦْ
ﺟَﻌَﻞَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻣَﻔَﺎﺗِﻴﺢَ ﺍﻟﺸَّﺮِّ ﻋَﻠَﻰ ﻳَﺪَﻳْﻪِ
Dari Anas bin Mâlik radhiallâhu ‘anhu, dia
berkata, “Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda, “Sesungguhnya di antara
manusia ada kunci-kunci pembuka kebaikan dan
gembok-gembok penutup keburukan. Di antara
manusia ada gembok-gembok penutup kebaikan
dan kunci-kunci pembuka keburukan.
Beruntunglah orang-orang yang Allah letakkan
kunci-kunci pembuka kebaikan di tangannya dan
celakalah orang-orang yang Allah letakkan kunci-
kunci pembuka keburukan di tangannya.”
TAKHRÎJ:
Hadîts ini diriwayatkan oleh Ibnu Mâjah di Sunan-
nya di Pembukaan Kitab Sunan Ibnu Mâjah, bab
Man Kâna miftâhan lilkhair (no. 237) dan Ibnu Abi
‘Âshim di As-Sunnah (no. 232).
Hadîts ini dihasankan oleh Syaikh Al-Albâni di
Ash-Shahîhah (1332) dan Dzhilâlul-jannah
(297/299) dengan syawâhid-nya.
SYARH (PENJELASAN) HADÎTS:
Sesungguhnya di antara manusia ada (pemilik)
kunci-kunci pembuka (pintu-pintu) kebaikan dan
(pemilik) gembok-gembok penutup (pintu-pintu)
keburukan (yaitu orang-orang yang dijadikan oleh
Allah sebab, dimana orang-orang lain bisa
mengerjakan kebaikan dan meninggalkan
keburukan, seperti ulama, pemegang kekuasaan,
mujahid dll). Di antara manusia ada (pemilik)
gembok-gembok penutup (pintu-pintu) kebaikan
dan (pemilik) kunci-kunci pembuka (pintu-pintu)
keburukan (yaitu orang-orang yang dijadikan oleh
Allah sebab, dimana orang-orang tidak bisa
mengerjakan kebaikan dan tidak bisa
meninggalkan keburukan).[1]
FAIDAH-FAIDAH Yang berhubungan dengan
HADÎTS
Sesungguhnya Allâh-lah yang membuka dan
menutup segala segala sesuatu yang dikehendaki-
Nya. Allah memiliki ism (nama) Al-Fattâh. Di
dalam Al-Qur’an dan Al-Hadîts Al-Fattah memiliki
tiga makna, yaitu: Al-Hâkim (Yang Maha
Memutuskan Perkara), An-Nâshir (Yang Maha
Menolong) dan Al-Fattâh (Yang Maha Membuka).
[2]
Berkata Ibnul-Qayyim rahimahullâh, “Kunci semua
kebaikan adalah keinginan bertemu dengan Allah
dan mendapatkan akhirat (surga). Kunci semua
keburukan adalah cinta dunia dan panjangnya
angan-angan. Mengetahui hal ini adalah suatu hal
yang sangat agung dan termasuk ilmu yang paling
bermanfaat di antara ilmu-ilmu yang lain, yaitu
mengetahui kunci-kunci kebaikan dan keburukan.
Tidaklah ada orang-orang yang mengenal dan
memperhatikan hal ini kecuali orang-orang yang
sangat beruntung dan mendapatkan taufik”[3]
Berkata Syaikh Abdurrazzâq Al-’Abbâd
hafidzhahullah, “Ketahuilah! Orang-orang yang
terjatuh ke dalam kemaksiatan tidak akan
membiarkan dirinya terjatuh sendirian di dalam
kemaksiatan. Dia akan mengajak orang lain
bersamanya. Oleh karena itu, berhati-hatilah!”[4]
Pintu-pintu kebaikan itu banyak sekali. Barang
siapa yang telah dibukakan salah satu pintu
kebaikan maka janganlah mengejek atau
merendahkan orang lain yang telah dibukakan
pintu kebaikan yang lain. Ada kisah yang menarik
sekali, “Abdullah Al-’Umari seorang ahli ibadah
mengirim surat ke Imam Mâlik (yang isinya)
menyarankan agar sang Imam menyendiri (dari
orang-orang) dan beramal. Maka sang Imam pun
membalas surat tersebut, “Sesungguhnya Allah
membagi amalan-amalan sebagaimana membagi
rezeki. Banyak orang yang dibukakan baginya
pintu shalat, tetapi tidak dibukakan baginya pintu
puasa. Begitu pula yang lainnya, dibukakan pintu
sedekah tidak dibukakan pintu puasa. Dan yang
lainnya lagi, dibukakan pintu jihad. Menyebarkan
ilmu termasuk diantara amalan-amalan yang
sangat afdhal. Saya telah rida dengan apa yang
telah Allah bukakan untuk saya. Saya mengangap
apa yang sekarang saya jalani tidaklah lebih
rendah dari apa yang Anda amalkan. Saya
berharap kita berdua berada dalam kebaikan dan
ketakwaan.“[5]
Miftâhul-khair (kunci kebaikan) tidak hanya para
ustadz atau para dai, tetapi juga meliputi setiap
orang yang bisa mengajak orang-orang lain untuk
taat dan menjauhi perbuatan maksiat, seperti:
pemimpin daerah atau suatu organisasi, guru,
orang tua, mujâhid (orang yang berjihad), orang
kaya yang memanfaatkan hartanya untuk kebaikan
dll.
Menjadi miftâhul-khair termasuk salah satu cara
untuk menjadi orang yang bermanfaat untuk orang
lain dan menjadi orang yang paling dicintai oleh
Allah. Rasûlullâh shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
ﺃَﺣَﺐُّ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃَﻧْﻔَﻌُﻬُﻢْ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ
Artinya: “Orang yang paling dicintai oleh Allah
adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.”[6]
Bagaimana caranya agar kita bisa menjadi
miftâhul-khair?
Orang-orang yang ingin menjadi miftâhul-khair
harus memiliki atau mengerjakan hal-hal sebagai
berikut:
- Al-’azm (tekad yang bulat) dan niat yang benar
Hendaknya kita tanamkan di dalam hati kita
keinginan yang kuat untuk mengubah dan
mengajak orang-orang di sekeliling kita kepada
kebaikan. Dengan demikian, kita akan senantiasa
berpikir bagaimana cara yang tepat untuk
mewujudkan hal tersebut. Terkadang kita agak
malu, tapi ingatlah bahwa “malu itu tidak datang
kecuali untuk kebaikan.” Jika kita malu untuk
berbuat baik, maka ketahuilah itu datangnya dari
setan.
Allah ta’âla berfirman:
Artinya: “Jika kamu telah ber-’azm maka
tawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang bertawakkal.” (QS Ali
‘Imran : 159)
- Ilmu
Dengan ilmu kita bisa mengetahui mana yang
merupakan miftâhul-khair dan mana yang
merupakan miftâhus-syarr (kunci keburukan).
Dengan ilmu kita bisa membedakaan yang mana
termasuk perbuatan taat dan yang mana termasuk
perbuatan maksiat. Dengan ilmu kita mengetahui
halal dan haram. Semakin tinggi ilmu seseorang
maka perkara-perkara yang menurutnya syubhat
akan semakin berkurang.
Di antara dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan
ilmu adalah hadits berikut:
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺧَﻴْﺮُ ﻣَﺎ ﻳَﺨْﻠُﻒُ ﺍﻟْﻤَﺮْﺀُ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﺛَﻠَﺎﺛًﺎ : ﻭَﻟَﺪًﺍ ﺻَﺎﻟِﺤًﺎ ﻳَﺪْﻋُﻮ ﻟَﻪُ ﻓَﻴَﺒْﻠُﻐُﻪُ ﺩُﻋَﺎﺅُﻩُ ، ﺃَﻭْ
ﺻَﺪَﻗَﺔً ﺗَﺠْﺮِﻱ ﻓَﻴَﺒْﻠُﻐُﻪُ ﺃَﺟْﺮُﻫَﺎ ، ﺃَﻭْ ﻋِﻠْﻤًﺎ ﻳُﻌْﻤَﻞُ ﺑِﻪِ ﺑَﻌْﺪَﻩُ
Artinya: “Sebaik-baik yang ditinggalkan oleh
seseorang setelah dia meninggal ada tiga: (1)
Anak yang soleh yang selalu berdoa kepadanya,
sehingga sampailah kepadanya apa yang di
doakan, (2) sedekah yang pahalanya mengalir
kepadanya, dan (3) ilmu yang diamalkan (oleh
orang lain) setelahnya.“[7]
Qatadah rahimahullâh berkata,
ﺑَﺎﺏٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢِ ﻳَﺤْﻔَﻈُﻪُ ﺍﻟَّﺮﺟُﻞُ ﻟِﺼَﻠَﺎﺡِ ﻧَﻔْﺴِﻪِ ﻭَﺻَﻠَﺎﺡِ ﻣَﻦْ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﺃَﻓْﻀَﻞُ ﻣِﻦْ ﻋِﺒَﺎﺩَﺓِ
ﺣَﻮْﻝٍ
Artinya: “Seseorang yang menghapal satu bab
ilmu (diniatkan) untuk kesolehan dirinya dan
kesolehan orang-orang setelahnya, lebih afdhal
daripada beribadah sepanjang tahun.”[8]
- Beramal dengan ilmu
Mungkin di antara kita pernah mengeluh, “Saya
sudah lama berdakwah, tetapi mengapa tidak
banyak memberikan pengaruh?” Kita harus sadar
dan muhâsabah (introspeksi) diri kita sendiri.
Bagaimana mungkin orang yang tidak memiliki
kesolehan akan “menularkan” kesolehannya
kepada orang lain? Oleh karena itu, kerjakanlah
kewajiban-kewajiban dan jauhilah larangan-
larangan Allah dan Rasul-Nya! Adapun amalan-
amalan yang sifatnya nâfilah (sunnah) maka kita
amalkan semampu kita dan kita pertimbangkan
manakah di antara amalan-amalan tersebut yang
lebih mudah dan lebih afdhal untuk diri kita dari
yang amalan-amalan lainnya.[9]
Sebagian dari kita mungkin memandang bahwa
amalan itu hanya dikhususkan pada amalan yang
dzhâhir saja. Pandangan ini salah. Amalan-amalan
itu meliputi amalan-amalan zhâhir dan juga batin.
Bahkan amalan yang paling besar menurut Allah
adalah tauhid. Sedangkan tauhid, sebagaimana
kita ketahui, termasuk amalan batin.
- Mengikuti cara yang dicontohkan oleh Nabi
shallallâhu ‘alaihi wa sallam
Syaikh Rabî’ Al-Madkhali telah menulis buku
khusus tentang ini.[10]
- Menjadi An-Nâshih (Orang yang selalu
menasihati)
Menjadi An-Nâshih (Orang yang selalu
menasehati) adalah nikmat yang sangat besar
sekali. Coba bayangkan, seandainya kita sedang
melakukan perbuatan dosa, kemudian ditegur atau
dilarang oleh seseorang, maka betapa senangnya
hati kita, karena tidak jadi melakukan maksiat
kepada Allah. Begitu pula, ketika di suatu masjid
tidak hidup amalan-amalan sunnah kemudian
datang seseorang menasihati dan menganjurkan
untuk beramal dan menghidupkan sunnah, maka
betapa senangnya hati kita. Senantiasa kita akan
mengucapkan kepada orang tersebut “terima
kasih” atau paling tidak, kita akan selalu
mendoakan kebaikan untuknya.
Selama ada orang-orang yang seperti itu, maka
Allah akan senantiasa menurunkan keberkahan-
Nya.
Allah subhânu wa ta’âla menceritakan perkataan
Nabi ‘Isa ‘alaihis-salâm,
Artinya: “Dan Dialah (Allah) yang telah menjadikan
saya mubarak (penuh dengan keberkahan) di
mana pun saya berada.” (QS Maryam : 31)
Di antara tafsiran ayat ini sebagaimana disebutkan
oleh Ibnu Katsîr rahimahullâh di dalam tafsirnya
adalah “menjadi mubârak yaitu dengan ber-amr
bil-ma’rûf wa nahi ‘anil-munkar (Menyuruh kepada
kebaikan dan melarang dari kemungkaran).”
- Berakhlak yang mulia dan menjaga murû’ah[11]
(wibawa, citra atau kehormatan diri)
Meskipun menjaga murû’ah bukanlah sesuatu
yang wajib, tetapi hal ini sangat memberikan
pengaruh terhadap orang-orang di sekeliling kita.
Imam As-Syafi’i rahimahullâh pernah berkata,
ﻟَﻮْ ﺃَﻥَّ ﺍﻟْﻤَﺎﺀَ ﺍﻟْﺒَﺎﺭِﺩَ ﻳَﺜْﻠَﻢُ ﻣِﻦْ ﻣُﺮُﻭْﺀَﺗِﻲ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻣَﺎ ﺷَﺮِﺑْﺖُ ﺍﻟْﻤَﺎﺀَ ﺇِﻟَّﺎ ﺣَﺎﺭًّﺍ
Artinya : “Seandainya air yang dingin (dapat)
merusak sesuatu dari kewibawaanku
(kehormatanku) maka saya tidak akan minum air
kecuali yang panas.”[12]
- Berteman dengan orang-orang yang telah dikenal
sebagai miftâhul-khair
Ketahuilah! Hewan-hewan saja bisa memberikan
pengaruh terhadap watak seseorang, jika dia
sering bersamanya. Padahal hewan-hewan
tersebut tidak bisa berbicara. Apalagi jika yang
sering bersamanya adalah orang-orang yang bisa
berbicara, tentu pengaruhnya akan semakin besar.
Janganlah malu mendekati miftâhul-khair meski
umur kita masih terlalu muda! Begitu pula orang
yang sudah diberi hidayah oleh Allah sebagai
miftâhul-khair, janganlah gengsi bergaul dengan
yang lebih muda. Bisa jadi kebaikan-kebaikan
“mengalir” melalui yang lebih muda.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah
berkata,
ﺍﻟْﻔَﺨْﺮُ ﻭَ ﺍﻟْﺨُﻴَﻠَﺎﺀُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻔَﺪَّﺍﺩِﻳْﻦَ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻮَﺑَﺮِ ﻭَ ﺍﻟﺴَّﻜِﻴْﻨَﺔُ ﻓِﻲ ﺃَﻫْﻞِ ﺍﻟْﻐَﻨَﻢِ
Artinya : “Kesombongan dan keangkuhan terdapat
pada pengembala-pengembala (yang meninggikan
suaranya terhadap hewan-hewan) dari kalangan
pengembala-pengembala unta. Sedangkan
ketenangan terdapat pada pengembala kambing
”[13]
- Hikmah dalam berdakwah
Allah ta’ala berfirman:
Artinya: “Berdakwahlah ke jalan Rab-mu dengan
berhikmah dan nasihat yang baik. Serta debatlah
mereka dengan yang lebih baik.” (QS An-Nahl:
125)
Al-Ustâdz Abdullah Zaen hafidzhahullâh telah
menulis buku khusus dalam permasalahan ini.
Silahkan merujuknya.[14]
- Berlemah lembut terhadap yang lain
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam pernah
berkata,
ﻣَﻦْ ﻳُﺤْﺮَﻡِ ﺍﻟﺮِّﻓْﻖَ ﻳُﺤْﺮَﻡِ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮَ
Artinya: “Barang siapa dijauhkan dari kelemah-
lembutan maka akan dijauhkan dari kebaikan.”[15]
- Sabar
Menjadi miftâhul-khair tidaklah mudah. Tentu ada
saja hambatan-hambatan dan rintangan-rintangan
baik dari dalam diri kita sendiri ataupun dari orang
lain. Perjuangan dakwah kita belumlah seberapa
bila dibanding para Nabi ‘alaihimush-shalâtu
wassalâm. Rasululullah shallallâhu ‘alaihi wa
sallam pernah ditanya oleh Saad bin Abi Waqqâsh
radhiallâhu ‘anhu
ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃَﻯُّ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺃَﺷَﺪُّ ﺑَﻼَﺀً ﻗَﺎﻝَ ﺍﻷَﻧْﺒِﻴَﺎﺀُ ﺛُﻢَّ ﺍﻷَﻣْﺜَﻞُ ﻓَﺎﻷَﻣْﺜَﻞُ ﻓَﻴُﺒْﺘَﻠَﻰ
ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﻋَﻠَﻰ ﺣَﺴَﺐِ ﺩِﻳﻨِﻪِ ﻓَﺈِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﺩِﻳﻨُﻪُ ﺻُﻠْﺒًﺎ ﺍﺷْﺘَﺪَّ ﺑَﻼَﺅُﻩُ ﻭَﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻓِﻰ ﺩِﻳﻨِﻪِ
ﺭِﻗَّﺔٌ ﺍﺑْﺘُﻠِﻰَ ﻋَﻠَﻰ ﺣَﺴَﺐِ ﺩِﻳﻨِﻪِ
Artinya: “Ya Rasulullah! Manusia manakah yang
paling berat ujiannya? Beliau menjawab, “Para
Nabi kemudian orang-orang yang semisalnya.
Seseorang akan diuji sesuai kadar
keberagamaannya. Jika agamanya kuat maka akan
ditambahkan ujian itu. Jika agamanya lemah maka
akan diuji sesuai kadar keberagamaannya.”[16]
- Banyak berdoa
Jangan lupa banyak berdoa kepada Allah agar
dijadikan miftâhul-khair dan mendoakan kebaikan
untuk orang-orang di sekitar kita di waktu-waktu
yang mustajab. Hal ini banyak dilupakan oleh
kebanyakan orang.
Mudah-mudahan tulisan ini bermanfaat untuk
semua. Billâhit-taufîq walhamdulillâh.
[1] Lihat Syarh Sunan Ibn Mâjah li As-Sindi dan li
As-Suyûthi
[2] Lihat Shifâtullah ‘Azza wa jalla Al-Wâridah fil-
Kitâb was-Sunnah li As-Seggâf Hal. 270
[3] Hâdil-arwâh hal. 39. Beirut: Dârul-kutub
Al-’ilmiyah
[4]Ceramah umum beliau di Universitas Islam
Madinah yang berjudul ‘Kaifa takûnu miftâhan
lilkhair?‘. Jazâhullah khairan.
[5] Siyar A’lâm An-Nubalâ’ tentang Imam Malik
rahimahullah
[6] Diriwayatkan oleh Ath-Thabrâni dari hadis Ibnu
‘Umar dengan lafaz, “Bahwasanya seseorang
mendatangi Rasululah shallallahu ‘alahi wa sallam.
Kemudian dia bertanya, ‘Ya Rasulullah, siapakah
manusia yang paling dicintai oleh Allah? Dan
Amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah?’
Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam pun
menjawab, ‘Manusia yang paling dicintai oleh
Allah adalah yang paling bermanfaat di antara
mereka. Amalan yang paling dicintai oleh Allah
adalah kebahagiaan yang engkau berikan kepada
seorang muslim, engkau menghilangkan kesusahan
dari dirinya, engkau membayarkan hutangnya,
atau engkau menghilangkan kelaparan darinya.
Berjalan bersama saudaraku untuk suatu
keperluan, lebih saya sukai daripada ber-i’tikaf di
masjid ini –yaitu masjid nabawi- selama sebulan.
Barang siapa yang menahan marahnya, maka
Allah akan menutupi auratnya. Barang siapa yang
mengekang marahnya, walaupun sebenarnya dia
mampu untuk melampiaskan, maka Allah ‘Azza
wa Jalla akan mengisi hatinya dengan keamanan
pada hari kiamat. Barang siapa yang berjalan
bersama saudaranya untuk suatu keperluan
sampai saudaranya mendapatkannya, maka Allah
akan menetapkan kakinya di atas Ash-Shirat
(jembatan) di hari banyak orang-orang terpeleset
di atasnya.”
Lihat Al-Mu’jam Al-Kabir no. 13646 (12/453), Al-
Mu’jam Al-Ausath no. 6026 (6/139-140), Al-
Mu’jam Ash-Shaghir no. 861 hal. 106, dan di Al-
Ausath juga diriwayatkan dari hadis Jabir no. 5787
(6/58), dangan lafaz, “Sebaik-baik manusia adalah
yang paling bermanfaat untuk manusia.”
Hadis ini dihasankan oleh Syaikh Al-Albani di
Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 906 (2/573),
dan no. 426 (1/787), dan di Shahihul-Jami’ no.
4289 dan di Shahih At-Targhib wa At-Tarhib no.
2623.
[7] HR Ibnu Mâjah No. 241 dan Ibnu Khuzaimah
No. 2495. Di-shahîh-kan oleh Syaikh Al-Albâni di
At-Ta’lîq (1/58), Ahkâmul-janâ’iz Hal. 176 dan Ar-
Raudh hal. 1013
[8] Jâmi’ bayan al-’ilmi wa fadhlihi jilid I hal 111.
Dâr Ibnil-Jauzi
[9] Syaikh Ibrâhim Ar-Ruhaili telah menulis buku
berjudul ‘Tajrîdul-ittibâ’ fi bayâni asbâb tafâdhulil-
a’mâl‘. Silakan merujuknya.
[10]Judul bukunya Manhajul-anbiyâ’ fid-da’wah
ilallâh fîhi alhikmah wal-’aql’
[11] Murû’ah adalah kehormatan atau citra diri
atau sesuatu yang sudah sepantasnya ada pada
seseorang, sebagai contoh: Di suatu daerah
sesuatu yang aib sekali jika seorang thalibul-ilmi
shalat dengan memakai celana, maka untuk
menjaga murû’ah-nya dia shalat dengan memakai
sarung. Hukumnya kembali kepada adat masing-
masing daerah.
[12] Manâqib Asy-Syafî li-Ar-Râzy hal 85 dinukil
dari Ma’âlim fî tharîq thalabil’ilm hal 166
[13] HR Al-Bukhâri No. 3499 dan Muslim No. 187.
Ahlul-wabar dapat diartikan orang-orang
pedalaman (baduwi) karena rumah-rumah mereka
dulunya terbuat dari al-wabr atau bulu. Adapun
makna hadits di atas penulis ambilkan dari Syarh
Shahih Muslim li An-Nawawi
[14] Judul bukunya ’14 CONTOH PRAKTEK
HIKMAH DALAM BERDAKWAH’
[15] HR Muslim No. 2592
[16] HR At-Tirmidzi No. 2398 dan Ibnu Mâjah No.
4523

Tidak ada komentar:

Posting Komentar