Laman

Rabu, 12 Februari 2014

Maqam dan Haal


Al-Haal (kondisi ruhani) menurut banyak
orang merupakan arti yang intuitif dalam hati;
tanpa adanya unsur sengaja, usaha menarik,
dan usaha lainnya, dari rasa senang atau
sedih, leluasa atau tergenggam, rindu atau
berontak, rasa takut atau suka cinta, maka
setiap al-Haal merupakan karunia.

Dan stiap
Maqam adalah upaya.

Pada al-Haal datang
dari Wujud itu sendiri, sedang al-Maqam
diperoleh melalui upaya perjuangan.

Orang
yang memilik Maqam, menempati maqamnya,
dan orang yang berada dalam Haal, bebas
dari kondisinya.

Salah seorang guru berkata : “Beberapa
al-Haal seperti kilatan kalau menetap, itu
sekedar omongan nafsu.”

Mereka berkata : “Al-Haal sebagaimana
namanya, yakni al-Haal seperti ketika
menempati dalam kalbu, kemudian hilang.
Kalau tidak menempati, pasti tidak
dinamakan haal.
Dan setiap yang menempati, pastilah
hilang,
Lihatlah pada bayangan ketika sampai
ujungnya
Berkuranglah ketika ia memanjang
Beberpa kalangan mengisyaratkan
abadinya al-Haal.

Mereka berkata :
“Sebenarnya jika al-Haal tidak abadi dan tidak
terdelegasi, itu hanyalah kilatan belaka.
Pelakunya tidak sampai pada al-Haal yang
sebenarnya. Apabila predikat tersebut
menetap terus, Baru dinamkan al-Haal.”

Di sinilah Abu Utsman al-Hiry berkata
“Aku tidak pernah benci terhadap maqam
yang telah diberikan Allah swt. kepadaku.”
Ia
mengisyaratkan ketetapan abadinya dalam
ridha. Dan ridha merupakan bagian dari al-
Haal.

Seharusnya dikatakan : Orang yang
mengisyaratkan abadinya al-Haal, maka apa
yang dikatakannya benar.

Terkadang al-Haal
berarti bagian dari seseorang kemudian
terpelihara di dalamnya. Tetapi yang memiliki
al-Haal ini memiliki beberapa ihwal, yaitu
jalan-jalan yang tak menetap di atas ihwal-
ihwalnya yang menjadi bagiannya.
Bila jalan-
jalan yang ditempuh menetap secara
konsisten, seperti menetapnya ihwal-ihwal
tersebut, ia naik ke ihwal lain yang lebih
lembut. Dan begitu selanjutnya, naik ke tahap
seterusnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar