Laman

Rabu, 12 Februari 2014

MASA MUDA

Bismillaah..
LirdhaIllaahita'ala wali syafa'ati rasulillaah wali
karamati aulia illaah..
Al faatihah..

MASA MUDA

Sejak kecil, ia pendiam, nrimo, bertafakur dan
sering melakukan agar lebih baik, apa yang
disebut “pengalaman-pengalaman mistik.” Ketika
berusia delapan belas tahun, kehausan akan ilmu
dan kegairahan untuk bersama para saleh, telah
membawanya ke Baghdad, yang kala itu
merupakan pusat ilmu dan peradaban.
Kemudian, beliau digelari orang Ghaust Al-Azam
atau Wali Ghaust terbesar. Dalam terminologi
kaum Sufi, seorang Ghaust menduduki jenjang
rohani dan keistimewaan kedua dalam hal
memohon ampunan dan ridha Allah bagi umat
manusia setelah para Nabi. Seorang Ulama
besar di masa kini, telah menggolongkannya ke
dalam Shiddiqin, sebagaimana sebutan Al-
Qur’an bagi orang semacam itu.
Ulama ini
mendasarkan pandangannya pada peristiwa yang
terjadi pada perjalanan pertama Sayid Abdul
Qadir ke Baghdad.

Diriwayatkan bahwa menjelang
keberangkatannya ke Baghdad, ibunya yang
sudah menjanda, membekalinya delapan puluh
keping emas yang dijahitkan pada bagian dalam
mantelnya, persis di bawah ketiaknya, sebagai
bekal. Uang ini adalah warisan dari almarhum
ayahnya, dimaksudkan untuk menghadapi masa-
masa sulit. Kala hendak berangkat, sang Ibu,
diantaranya, berpesan agar jangan berdusta
dalam segala keadaan. Sang anak berjanji untuk
senantiasa mencamkan pesan tersebut. Begitu
kereta yang ditumpanginya tiba di Hamadan,
menghadanglah segerombolan perampok. Kala
menjarahi, para perampok samak sekali tak
memperhatikannya, karena ia tampak begitu
sederhana dan miskin. Kebetulan salah seorang
perampok menanyainya apakah ia mempunyai
uang atau tidak.

Ingat akan janjinya kepada sang
Ibu, si kecil Abdul Qadir segera menjawab : “Ya,
aku punya delapan puluh keping emas yang
dijahitkan di dalam baju oleh ibuku.” Tentu, para
perampok terperanjat keheranan. Merekaheran,
ada manusia sejujur ini. Mereka membawanya
kepada pemimpin mereka, lalu menanyainya,
dan jawabannya pun sama. Begitu jahitan pada
baju Abdul Qadir dibuka, didapatilah delapan
puluh keping emas, sebagaimana dinyatakannya.
Sang kepala perampok terhenyak kagum. Ia
kisahkan segala yang terjadi antara dia dan
ibunya pada saat berangkat, dan
ditambahkannya jika ia berbohong, maka akan
tak bermakna upayanya menimba ilmu agama.

Mendengar hal ini, menagislah sang kepala
perampok, jatuh terduduk di kaki Abdul Qadir,
dan menyesali segala dosa yang pernah
dilakukannya. Diriwiyatkan, bahwa kepala
perampok ini adalah murid pertamanya.
Peristiwa ini menunjukkan proses menjadi
Shiddiq. Andaikata ia tak benar, maka
keberanian kukuh semacam itu demi kebenaran,
dalam saat-saat kritis, tak mungkin baginya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar