Laman

Kamis, 06 Maret 2014

Keutamaan Tawakkal Kepada Allah dan Larangan Tawakkal Kepada Selain Allah.


Sahabat Quran
Masalah bertawakkal atau menyerahkan segenap urusan kepada Allah merupakan masalah yang berkenaan dengan keyakinan atau ’aqidah Islamiyyah. Barangsiapa yang senantiasa menyerahkan segenap urusan hidupnya hanya dan hanya kepada Allah, maka selamatlah dia. Sebab sikap demikian merupakan perintah langsung dari Allah sendiri. Dan sikap tawakkal kepada Allah merupakan indikasi iman yang sebenarnya.

وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (QS AlMaidah ayat 23)



Ajaran Tauhid mengarahkan seorang hamba Allah agar senantiasa menggantungkan harapannya hanya kepada Allah. Islam melarang manusia untuk menggantungkan harapan kepada selain Allah. Mengapa? Karena selain Allah Sang Pencipta, maka semua yang ada di dunia hanyalah merupakan makhluk ciptaan Allah. Bagaimana mungkin seorang manusia yang telah mengimani bahwa Allah merupakan Pencipta segala sesuatu yang Maha Kuasa lagi Maha Perkasa akan berfikir untuk mengalihkan tempat bergantungnya kepada makhluk ciptaan Allah yang lemah dan juga sama-sama bergantung dan berharap kepada Allah?

Namun dalam mengarungi kehidupan fana di dunia tidak sedikit orang yang telah mengaku beriman kemudian menjadi terkecoh. Ada sebagian di antara mereka menyangka bahwa kemuliaan, kehormatan, kejayaan dan kemenangan dapat diraih melalui sikap menggantungkan harapan kepada selain Allah. Mereka kemudian menjadikan sebagian perhiasan dunia sebagai andalan utamanya. Mulailah mereka kemudian turut berlomba memperebutkan dunia sebagaimana orang-orang kafir memperebutkannya. Jika orang-orang kafir memperebutkan dunia karena berkeyakinan bahwa tanpa dunia ia tidak akan berjaya, maka ini sudah merupakan hal yang sewajarnya. Kenapa? Karena mereka memang tidak tahu apa-apa kecuali mengenai hal-hal lahiriah dari kehidupan dunia ini. Mereka samasekali tidak peduli bahkan tidak percaya adanya Allah sebagai tempat berharap yang semestinya. Mereka juga tidak meyakini adanya kehidupan lain yang lebih hakiki dan lebih pantas diperebutkan, yaitu kampung akhirat.

يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ

”Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS ArRuum ayat 7)

Jika orang-orang kafir memiliki sikap tawakkal kepada selain Allah, maka hal ini dapat dimengerti. Karena demikianlah Allah gambarkan ciri-ciri mereka. Namun yang kita sulit untuk fahami ialah bilamana ada sebagian orang yang mengaku beriman namun bersikap sebagaimana orang-orang kafir tersebut. Mereka menyerahkan ketergantungan mereka kepada dunia, kepada harta, popularitas dan kekuasaan untuk meraih kejayaan dan kehormatan. Mereka mengira bahwa kemenangan dan kejayaan ummat Islam hanya akan berhasil diraih bilamana sudah memiliki resources alias sumber-daya yang banyak (tanpa peduli bagaimana cara memperolehnya). Mereka menyangka bahwa hanya dengan jalan berkuasalah ummat Islam dapat dikatakan meraih kehormatan dan kemuliaan. Logika yang mereka kembangkan persis mirip logika orang-orang kafir. Hanya bedanya semua itu mereka bungkus dengan legitimasi yang bersumber dari ayat dan hadits.

Bahkan yang lebih memprihatinkan ialah sikap orang-orang ini dalam hal memperlakukan jalan hidup atau agama Allah, Al-Islam. Mereka tidak lagi memiliki keyakinan penuh bahwa dienullah (jalan hidup Allah) merupakan solusi tunggal untuk mengatasi berbagai problem hidup. Mereka tetap mengaku Muslim, namun dalam menerima Islam mereka memandang perlu untuk memberikan ajaran atau faham tambahan sebagai ”pelengkap” jalan hidup Allah. Mereka takut dan tidak sepenuhnnya yakin bahwa Islam merupakan dien syamil (komprehensif), kamil (sempurna) dan mutakaamil (saling menyempurnakan). Sehingga kadang-kadang mereka merasa perlu untuk menyatakan bahwa Islam yang diperjuangkan sejalan dengan Nasionalisme, Demokrasi, Humanisme atau Pluralisme. Berbagai faham bikinan manusia tadi disandingkan bersama Islam yang katanya mereka perjuangkan karena mereka perlu mendapatkan pengakuan dari manusia-manusia penganut sejati faham-faham bikinan manusia tersebut. Mereka sangat khawatir mendapat tuduhan kaum fanatik, ekstrimis, fundamentalis dan anti-HAM bilamana mengatakan Islam saja ideologi perjuangannya. Seolah mereka tidak yakin bahwa agama Allah sudah cukup untuk menjadi solusi tunggal problema kehidupan. Sikap ini sangat mirip dengan gambaran Allah mengenai kaum munafiqun dan orang-orang berpenyakit di dalam hatinya.

إِذْ يَقُولُ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ غَرَّ هَؤُلَاءِ

دِينُهُمْ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَإِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

”(Ingatlah), ketika orang-orang munafik dan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya berkata: “Mereka itu (orang-orang mu’min) ditipu oleh agamanya”. (Allah berfirman): “Barangsiapa yang tawakkal kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS Al-Anfal ayat 49)



Ayat di atas turun berkenaan dengan sikap tawakkal orang-orang beriman kepada Allah Subhaanahu wa ta’aala saat akan berperang menghadapi pasukan musyrikin yang jumlahnya lebih banyak daripada orang-orang beriman. Maka dalam keadaan seperti itu kaum munafiqun dan orang-orang berpenyakit di dalam hatinya memandang orang-orang beriman sebagai menempuh jalan konyol karena tetap bersikeras hendak menghadapi kekuatan musuh yang tidak berimbang. Orang-orang beriman dianggap sebagai berlaku ”tidak realistik”. Sedemikian rupa cara pandang mereka sampai-sampai tega mengatakan: ”Mereka itu (orang-orang mu’min) ditipu oleh agamanya”. Tetapi pada saat itu Allah justru berfihak kepada sikap orang-orang beriman dengan firmanNya: “Barangsiapa yang tawakkal kepada Allah, maka sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Allah memberikan jaminan ketenteraman batin kepada orang-orang beriman dengan menegaskan bahwa barangsiapa menggantungkan harapannya (bertawakkal) kepada Allah berarti ia telah menyerahkan dirinya kepada Yang Maha Perkasa. Adakah fihak lain yang sanggup mengalahkan Yang Maha Perkasa? Tentunya tidak ada…!!!

Di zaman modern (baca: di zaman penuh fitnah) dewasa ini tidak sedikit kita jumpai kaum muslimin yang sedemikian rupa telah terjebak ke dalam logika berfikir kaum kuffar yang Allah taqdirkan sedang mendominasi dunia pada skala global. Mereka kehilangan sikap tawakkal-nya kepada Allah sehingga keyakinan bahwa Islam merupakan solusi tunggal berbagai problema hidup telah digantikan dengan sikap tawakkal kepada faham bikinan manusia seperti Demokrasi, Nasionalisme, Humanisme dan bahkan Pluralisme. Memang sih, mereka masih tetap menyatakan bahwa Islam merupakan jalan keselamatan. Namun bersama dengan ucapan itu mereka merasa wajib untuk menyatakan bahwa berbagai faham bikinan manusia tersebut tidaklah bertentangan alias selaras dengan ajaran Allah Al-Islam.

Lalu mereka memandang aneh kelompok orang-orang beriman yang tetap bersikeras dengan sikap Islam is the only solution. Bila orang-orang beriman berjuang dan berda’wah dengan menyatakan bahwa hanya dengan kembali kepada Allah sajalah, kembali kepada Syariat Islam sajalah kita akan selamat apalagi diiringi dengan ajakan untuk meninggalkan berbagai faham bikinan manusia, maka hal ini oleh kelompok tadi akan dikatakan sebagai sikap ”tidak realistik”. Mereka akan segera berkata: ”Bagaimana mungkin kita berjuang tanpa demokrasi dan nasionalisme? Ini kan sudah menjadi pandangan umum masyarakat… Bagaimana perjuangan kita akan didukung masyarakat luas bilamana kita belum apa-apa sudah menolak faham umum yang sudah berlaku…?” Tidakkah mereka menyadari bahwa ketika pertama kali Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mengajak kaum Quraisy kepada kalimat Tauhid Laa ilaha illa Allah mereka segera menunjukkan penentangan akan ajakan beliau tersebut? Sampai-sampai ada yang berkata: ”Hai Muhammad, urusan ini (kalimat Tauhid) sangat dibenci oleh para raja-raja…!”



Oleh karenanya Allah mengabadikan bagaimana para Rasul berjuang. Dalam perjuangan da’wah Islam para rasul samasekali tidak menggunakan bukti-bukti melainkan yang diridhai dan diizinkan Allah. Sedikitpun para Rasul tidak bertawakkal melainkan kepada Allah semata. Sebab mereka merasa berhutang budi kepada Allah yang telah menunjuki mereka ke jalan yang benar.

قَالَتْ لَهُمْ رُسُلُهُمْ إِنْ نَحْنُ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَمُنُّ عَلَى

مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَمَا كَانَ لَنَا أَنْ نَأْتِيَكُمْ بِسُلْطَانٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ

وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ وَمَا لَنَا أَلَّا نَتَوَكَّلَ عَلَى اللَّهِ وَقَدْ هَدَانَا سُبُلَنَا

وَلَنَصْبِرَنَّ عَلَى مَا آَذَيْتُمُونَا وَعَلَى اللَّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ

”Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka: “Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakkal. Mengapa Kami tidak akan bertawakkal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami, dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakkal itu berserah diri”. (QS Ibrahim ayat 11-12)



Ya Allah, masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang hanya bertawakkal kepadaMu, orang-orang yang merasa cukup dengan Islam sebagai jalan hidup dan orang-orang yang merasa cukup menjadikan jalan perjuangan NabiMu Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam sebagai teladan utama. Amiin ya Rabb.



رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا

“Aku ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai dien dan Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam sebagai Nabi.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar