Laman

Senin, 24 Maret 2014

Yang menetapkan ada didahulukan atas yang meniadakan

 Hal yang perlu kita ingat selalu bahwa Al-Qur’an dan As-Sunnah diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan disampaikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam bahasa Arab yang fushahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertiannya luas dan dalam, mengandung hukum yang harus diterima. Sehingga dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah yang perlu diketahui dan dikuasai bukan hanya arti bahasa tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa arab itu seperti ilimu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’).

Selain itu perlu mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqh, sebab kalau tidak, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari al-Qur’an dan as-Sunnah padahal tidak menguasai sifat lafad-lafad dalam al-Qur’an dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam yang masing-masing mempengaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain sebagainya.

Tidak sempurna pula jika hanya mengetahui dan menguasai ilmu nahwu dan sharaf tanpa mengetahui dan menguasai ilmu balaghah atau ilmu sastra Arab sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/07/penyebab-ketidakseimbangan/ atau pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/07/10/ilmu-sastra-arab/

Fungsi sastra adalah fungsi rekreatif, didaktif, estetis, moralitas dan religius yang semua itu berhubungan dengan hati sehingga dapat membuka mata hati yang berujung dapat menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh).

Kalau dalam berijtihad dan beristinbat atau menggali hukum dari Al Qur’an dan As Sunnah tanpa ilmu maka akan sesat dan menyesatkan

Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Abu Uwaisnberkata, telah menceritakan kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Abdullah bin ‘Amru bin Al ‘Ash berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan (HR Bukhari 98)

Contoh salah satu kaidah ushul fiqih

المثبت مقدم على النافى    

Artinya: “ Yang menetapkan ada didahulukan atas yang meniadakan “.

Kita telah melihat kenyataan bahwa para pengikut ajaran atau pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab yang mengikuti pola pemahaman Ibnu Taimiyyah atau firqah  Wahabi yang telah memerintah Kerajaan Saudi Arabia sejak tahun 1925 telah menetapkan bahwa imam shalat tidak membaca "Bismillah" pada permulaan Fatihah dan juga tidak membaca qunut dalam shalat shubuh, tetapi kalau shalat tarawih 23 raka'at (termasuk witir).

Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/20/tetaplah-sebagai-ormas/ bahwa Prof. Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA menyampaikan slogan “Muhammadiyah bukan Dahlaniyah” artinya Muhammadiyah hanyalah sebuah organisasi kemasyarakatan atau jama’ah minal muslimin bukan sebuah sekte atau firqoh yang mengikuti pemahaman KH Ahmad Dahlan karena KH Ahmad Dahlan sebagaimana mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham ) pada masa sekarang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.

Prof.Dr Yunahar Ilyas, Lc, MA  menyampaikan pada http://www.sangpencerah.com/2013/08/profdr-yunahar-ilyas-lc-ma-ini.html bahwa Kyai Haji Ahmad Dahlan pada masa hidupnya mengikuti fiqh mahzab Syafi’i, termasuk mengamalkan qunut dalam shalat subuh dan shalat tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdiriya Majelis Tarjih, ormas Muhammadiyah tidak lagi mengikuti apa yang telah diteladani oleh pendirinya Kyai Haji Ahmad Dahlan

Jadi ketika sebuah jama’ah minal muslimin atau sebuah kelompok kaum muslim atau sebuah ormas menetapkan untuk mengikuti pemahaman seseorang atau pemahaman sebuah majlis dari kelompok tersebut terhadap Al Qur’an dan As Sunnah dan tidak berkompetensi sebagai Imam Mujtahid Mutlak atau ahli istidlal maka berubahlah menjadi sebuah sekte atau firqah.

Sedangkan Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qoyyim Al Jauziah, Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Abduh ataupun Albani maupun Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, mereka bukanlah Imam Mujtahid Mutlak sehingga tidak patut untuk ditaklidi (diikuti) oleh kaum muslim

Ulama yang sholeh terdahulu kita dari kalangan Sunni Syafei yang ternama sampai Semenanjung Tanah Melayu, Brunei Darussalam, Singapur sampai Pathani, negeri Siam atau Thailand yakni KH. Sirajuddin Abbas (lahir 5 Mei 1905, wafat 23 Ramadhan 1401H atau 5 Agustus 1980) dalam buku berjudul I’tiqad Ahlussunah Wal Jamaah yang diterbitkan oleh Pustaka Tarbiyah Baru, Jl Tebet Barat XA No.28, Jakarta Selatan 12810 dalam cetakan ke 8, 2008 tercantum dua buah sekte atau firqoh dalam Islam yakni firqoh berdasarkan pemahaman Ibnu Taimiyyah dari halaman 296 sampai 351 dan firqoh berdasarkan pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab dari halaman 352 sampai 380.

Sebagaimana tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/22/kabar-waktu-lampau/ bahwa di dalam kitab “Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah” karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan pendiri organisasi Nahdhatul Ulama) halaman 9-10 menasehatkan untuk tidak mengikuti pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab , Ibnu Taimiyah, dan kedua muridnya, Ibnul Qoyyim dan Ibnu Abdil Hadi

Begitupula wasiat ulama dari Malaysia, Syaikh Abdullah Fahim sebagaimana contohnya yang termuat pada http://hanifsalleh.blogspot.com/2009/11/wasiat-syeikh-abdullah-fahim.html

***** awal kutipan *****
Supaya jangan berpecah belah oleh bangsa Melayu sendiri.Sekarang sudah ada timbul di Malaya mazhab Khawarij yakni mazhab yang keluardari mazhab 4 mazhab Ahlis Sunnah wal Jama`ah. Maksud mereka itu hendak mengelirukan faham awam yang sebati dan hendak merobohkan pakatan bangsa Melayuyang jati. Dan menyalahkan kebanyakan bangsa Melayu.

Hukum-hukum mereka itu diambil daripada kitab Hadyur-Rasulyang mukhtasar daripada kitab Hadyul-’Ibad dikarang akan dia oleh Ibnul Qayyim al-Khariji, maka Ibnul Qayyim dan segala kitabnya ditolak oleh ulama AhlisSunnah wal Jama`ah.
***** akhir kutipan *****

Sebagaimana wasiat di atas, para ulama memasukkan mazhab atau pemahaman Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya yang bertemu langsung seperti Ibnu Qoyyim Al Jauziyah maupun yang tidak bertemu langsung seperti Muhammad bin Abdul Wahhab sebagai mazhab khawarij artinya mazhab yang menyempal keluar (kharaja) dari mazhab Imam Mazhab yang empat.

Marilah kita mengikuti sunnah Rasulullah untuk menghindari firqah-firqah yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham).

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan (menyempal), maka ia menyeleweng (menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)

Mayoritas kaum muslim pada masa generasi Salafush Sholeh adalah orang-orang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in

Sedangkan pada masa sekarang mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) adalah bagi siapa saja yang mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.

Perbedaan di antara Imam Mazhab yang empat semata-mata dikarenakan terbentuk setelah adanya furu’ (cabang), sementara furu’ tersebut ada disebabkan adanya sifat zanni dalam nash. Oleh sebab itu, pada sisi zanni inilah kebenaran bisa menjadi banyak (relatif), mutaghayirat disebabkan pengaruh bias dalil yang ada. Boleh jadi nash yang digunakan sama, namun cara pengambilan kesimpulannya berbeda.

Jadi perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat tidak dapat dikatakan pendapat yang satu lebih kuat (arjah atau tarjih) dari pendapat yang lainnya atau bahkan yang lebih ekstrim mereka yang mengatakan pendapat yang satu yang benar dan yang lain salah.

Perbedaan pendapat di antara Imam Mazhab yang empat yang dimaksud dengan “perbedaan adalah rahmat”. Sedangkan perbedaan pendapat di antara bukan ahli istidlal adalah kesalahpahaman semata yang dapat menyesatkan orang banyak.

Silahkan baca serangkaian tulisan sebelumnya yang terkait pada

1. http://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/02/27/dibalik-ajakan/  tulisan tentang salah satu fitnah akhir zaman adalah orang-orang pada masa kini (khalaf) yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh namun pada kenyataannya tentu mereka tidak bertemu dengan Salafush Sholeh untuk mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh.

2. http://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/03/10/abaikan-kaidah-tafsir/ tentang akibat memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun perkataan ulama salaf (terdahulu) bersandarkan arti bahasa saja dapat terjerumus bertasyabuh kepada kaum Nasrani yang ghuluw (melampaui batas) dalam beragama yakni melarang yang sebenarnya tidak dilarangNya atau mengharamkan yang sebenarrnya tidak diharamkanNya atau mewajibkan yang sebenarnya tidak diwajibkanNya

3. http://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/03/12/cara-membuat-fatwa/ tentang  akibat memahami Al Qur’an dan As Sunnah maupun perkataan ulama salaf (terdahulu) selalu berpegang pada nash secara dzahir atau pemahamannya selalu dengan makna dzahir dari sudut arti bahasa saja adalah dapat terjerumus kekufuran dalam i’tiqod

4. http://mutiarazuhud.wordpress.com/2014/03/14/penguasa-memaksakan-kehendak/ tentang kemudharatan seperti konflik yang dialami oleh umat Islam sehingga terjadi pertumpahan darah diakibatkan karena penguasa negeri tidak lagi mentaati nasehat ulil amri yang sebenarnya

Sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/12/21/terhasut-mengikuti-shahafi/ bahwa mereka adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Yahudi atau yang kita kenal sekarang dengan Zionis Yahudi

Firman Allah ta’ala yang artinya,

“orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik” (QS Al Maaidah [5]: 82)

Mereka terhasut untuk membuang-buang waktu atau menyibukkan diri mengulang kembali apa yang telah dikerjakan dan dihasikan oleh Imam Mazhab yang empat namun mereka tidak berkompetensi sebagai mujtahid mutlak.

Protokol Zionis yang ketujuhbelas

…Kita telah lama menjaga dengan hati-hati upaya mendiskreditkan para ulama non-Yahudi (termasuk Imam Mazhab yang empat) dalam rangka menghancurkan misi mereka, yang pada saat ini dapat secara serius menghalangi misi kita. Pengaruh mereka atas masyarakat mereka berkurang dari hari ke hari. Kebebasan hati nurani yang bebas dari paham agama telah dikumandangkan dimana-mana. Tinggal masalah waktu maka agama-agama itu akan bertumbangan…..

Salah satu upaya mengdiskreditkan Imam Mazhab yang empat adalah menyalahgunakan perkataan atau pendapat Imam Mazhab yang empat yang jsutru untuk meninggalkan apa yang telah dikerjakan dan dihasilkan oleh Imam Mazhab yang empat sebagaimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada  http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/12/13/tidak-bermazhab/

Mereka yang “kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah” secara otodidak (shahafi) meninggalkan Imam Mazhab yang empat dengan alasan seperti “kita harus mengikuti hadits shahih bukan mengikuti ulama.

Mereka mengingatkan bahwa Al-Imam Al-Syafi’i sendiri berkata, “Idza shahha al-hadits fahuwa mazhabi (apabila suatu hadits itu shahih, maka hadits itulah mazhabku)”.

Banyak kalangan yang tidak memahami dengan benar perkataan Beliau. Sehingga, jika yang bersangkutan menemukan sebuah hadits shahih yang menurut pemahaman mereka bertentangan dengan pendapat mazhab Syafi’i maka yang bersangkutan langsung menyatakan bahwa pendapat mazhab itu tidak benar, karena Imam Syafi’i sendiri mengatakan bahwa hadits shahih adalah mazhab beliau. Atau ketika seseorang menemukan sebuah hadits yang shahih, yang bersangkutan langsung mengklaim, bahwa ini adalah mazhab Syafi’i.

Imam Al-Nawawi sepakat dengan gurunya ini dan berkata, “(Ucapan Al-Syafi’i) ini hanya untuk orang yang telah mencapai derajat mujtahid madzhab. Syaratnya: ia harus yakin bahwa Al-Syafi’i belum mengetahui hadits itu atau tidak mengetahui (status) kesahihannya. Dan hal ini hanya bisa dilakukan setelah mengkaji semua buku Al-Syafi’i dan buku murid-muridnya. Ini syarat yang sangat berat, dan sedikit sekali orang yang mampu memenuhinya. Mereka mensyaratkan hal ini karena Al-Syafi’i sering kali meninggalkan sebuah hadits yang ia jumpai akibat cacat yang ada di dalamnya, atau mansukh, atau ditakhshish, atau ditakwil, atau sebab-sebab lainnya.”

Al-Nawawi juga mengingatkan ucapan Ibn Khuzaimah, “Aku tidak menemukan sebuah hadits yang sahih namun tidak disebutkan Al-Syafii dalam kitab-kitabnya.” Ia berkata, “Kebesaran Ibn Khuzaimah dan keimamannya dalam hadits dan fiqh, serta penguasaanya akan ucapan-ucapan Al-Syafii, sangat terkenal.” ["Majmu' Syarh Al-Muhadzab" 1/105]

Asy-Syeikh Abu Amru mengatakan: ”Barang siapa menemui dari Syafi’i sebuah hadits yang bertentangan dengan mazhab beliau, jika engkau sudah mencapai derajat mujtahid mutlak, dalam bab, atau maslah itu, maka silahkan mengamalkan hal itu“

Kajian qoul Imam Syafi’i yang lebih lengkap, silahkan membaca tulisan, contohnya pada http://generasisalaf.wordpress.com/2013/06/15/memahami-qoul-imam-syafii-hadis-sahih-adalah-mazhabku-bag-2/

Perlu kita ingat bahwa hadits yang telah terbukukan dalam kitab-kitab hadits jumlahnya jauh di bawah jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hafidz (minimal 100.000 hadits) dan jauh lebih kecil dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah (minimal 300.000 hadits). Sedangkan jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Imam Mazhab yang empat, jumlahnya lebih besar dari jumlah hadits yang dikumpulkan dan dihafal oleh Al-Hujjah

Mereka pada umumnya juga salah memahami pendapat seperti Imam Syaukani yang berkata: “Seseorang yang hanya mengandalkan taqlid (mengikut pandangan tertentu) seumur hidupnya tidak akan pernah bertanya kepada sumber asli yaitu “Qur’an dan Hadits”, dan ia hanya bertanya kepada pemimpin mazhabnya. Dan orang yang senantiasa bertanya kepada sumber asli Islam tidak dikatagorikan sebagai Muqallid (pengikut)”.

Mereka salah memahami perkataan Imam Syaukani yang terbatas bagi siapa saja yang mampu mencapai tingkatan mujtahid mutlak

Penjelasan tentang derajat mujtahid mutlak dan tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i, silahkan baca tulisan pada http://almanar.wordpress.com/2010/09/21/tingkatan-mufti-madzhab-as-syafi’i/

Berikut kutipannya

****** awal kutipan ******
Definisi madzhab adalah apa-apa yang dipilih oleh Imam As Syafi’i dan para pengikutnya terhadap hukum dalam berbagai masalah, sebagaimana disebutkan Imam Al Mahalli dalam Syarh beliau terhadap Al Minhaj. (lihat, Hasyiyatani Qalyubi wa Umairah, 1/7)

Dengan definisi di atas, otomatis madzhab As Syafi’i tidak hanya mencakup pendapat Imam As Syafi’i saja, namun, juga pendapat para pengikutnya. Nah, siapa para pengikut yang berhak memberi kontribusi kepada madzhab? Pendapatnya diperhitungkan sebagai pendapat madzhab? Tentu, itu bisa terjawab dengan pemaparan tingkatan para mufti yang dianggap mu’tabar dalam madzhab.

Imam An Nawawi menyatakan dalam Al Majmu’  Syarh Al Muhadzdzab (1/71), mengenai tingkatan mufti dalam madzhab As Syafi’i. Merujuk kepada pendapat Al Hafidz Ibnu Shalah, beliau membagi mufti dalam madzhab menjadi beberapa kelompok:

1. Mufti Mustaqil

Mufti mustaqil adalah mufti yang berada dalam peringkat tertinggi dalam madzhab, Ibnu Shalah juga menyebutkannya sebagai mujtahid mutlaq. Artinya, tidak terikat dengan madzhab. Bahkan mujtahid inilah perintis madzhab. Tentu dalam Madzhab As Syafi’i, mufti mustaqil adalah Imam As Syafi’i. Imam An Nawawi sendiri menyebutkan pendapat beberapa ulama ushul bahwa tidak ada mujtahid mustaqil setelah masa As Syafi’i. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72)

Keistimewaan mufti mustaqil yang tidak dimiliki oleh tingkatan mufti di bawahnya adalah kemampuannya menciptakan metode yang dianut madzhabnya.

2. Mujtahid Madzhab

Yakni, mufti yang tidak taklid kepada imamnya, baik dalam madzhab (pendapat) atau dalilnya namun tetap menisbatkan kepada imam karena mengikuti metode imam. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, 1/72)

Contoh ulama Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah Imam Al Muzani dan Al Buwaithi, sebagaimana disebutkan Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)

Sedangkan Imam An Nawawi juga menyebutkan bahwa Abu Ishaq As Syairazi yang masa hidupnya jauh dari masa Imam As Syafi’i mengaku sampai pada derajat ini. ( lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzadzab, 1/72)

Di kalangan muta’akhirin Imam As Suyuthi juga mengaku sampai pada derajat ini, sebagaimana disebutkan Syeikh Ba’alawi. (lihat, Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 7)

Mufti golongan inilah yang relevan bagi mereka perkataan Imam As Syafi’i yang melarang taklid, baik kepada beliau maupun kepada para imam lainnya, sebagaimana disebutkan Imam An Nawawi (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).

Dan hal itu tidak berlaku kepada ulama yang berada di bawah level ini, sebab itulah Ibnu Shalah sendiri berpendapat bahwa pelarangan taklid dari para imam tidak bersifat mutlak. (lihat, Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/72).

Golongan ini pula yang menurut Ibnu Shalah dan Imam An Nawawi yang berhak mengoreksi pendapat Imam, di saat mereka mengetahui ada hadits shahih yang bertantangan dengan pendapat imam. Kenapa harus mereka? Karena bisa jadi imam sengaja meninggalkan hadits walau ia shahih dikarenakan manshukh atau ditakhsis, dan hal ini tidak akan diketahui kecuali yang bersangkutan telah menela’ah semua karya As Syafi’i dan para pengikutnya, dan hal ini amatlah sulit, menurut penilaian ulama sekaliber Imam An Nawawi sekalipun. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/99 dan Ma’na Al Qaul Al Imam Al Muthallibi Idza Shahah Al Hadits fa Huwa Madzhabi)

Jika sesorang sampai pada derajat ini, ia bisa menyelisihi pendapat imamnya sendiri, dan hal ini tidaklah jadi persoalan, karena sudah sampai pada derajat mujtahid walau tetap memakai kaidah imam. Tak heran jika beberapa pendapat Imam Al Muzani berbeda dengan pendapat Imam As Syafi’i seperti dalam masalah masa nifas, Imam As Syafi’i berpendapat bahwa maksimal masa nifas 60 hari sedangkan Al Muzani 40 hari. (lihat, Thabaqat As Syafi’iyah Al Kubra, 2/106)

3. Ashab Al Wujuh

Ashab Al Wujuh, yakni mereka yang taklid kepada imam dalam masalah syara’, baik dalam dalil maupun ushul Imam. Namun, mereka masih memiliki kemampuan untuk menentukan hukum yang belum disebutkan imam dengan menyimpulkan dan menkiyaskan (takhrij) dari pendapat Imam, sebagaimana para mujtahid menentukannya dengan dalil. Biasanya mereka mencukupkan diri dengan dalil imam. (lihat Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)

Imam An Nawawi menyebutkan bahwa para ulama As Syafi’iyah yang sampai pada derajat ini adalah ashab al wujuh. Yakni mereka yang mengkiyaskan masalah yang belum di-nash oleh imam kepada pendapat imam. Sehingga, orang yang merujuk fatwa mereka pada hakikatnya tidak bertaklid kepada mereka, namun bertaklid kepada imam. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)

Contoh dari para ulama yang mencapai derajat ini adalah Imam Al Qaffal dan Imam Abu Hamid atau Ahmad bin Bisyr bin Amir, Mufti Syafi’iyyah di Bashrah, sebagaimana disebutkan Syeikh Muhammad bin Sulaiman Al Qurdi (lihat, Mukhtashar Al Fawaid Al Makiyyah, hal.53).

4. Mujtahid Fatwa

Golongan ini termasuk para ulama yang tidak sampai pada derajat ashab al wujuh, namun menguasai madzhab imam dan dalilnya serta melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat dalam madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73)

Perlu diketahui, dengan adanya mufti-mufti yang berada di atas tingkatan ini, dalam madzhab sudah banyak terjadi khilaf, baik antara imam dengan mujtahid madzhab juga disebabkan perbedaan kesimpulan para ashab al wujuh terhadap pendapat imam. Disinilah ulama pada tingkatan ini berperan untuk mentarjih.

Nawawi Al Bantani dan Syeikh Ba’alawi menyebutkan bahwa yang berada dalam tingkatan ini Imam Ar Rafi’i dan Imam An Nawawi yang dikenal sebagai mujtahid fatwa.(lihat, An Nihayah, hal. 7 dan Al Bughyah, hal. 7)

Hal ini nampak dalam corak karya Ar Rafi’i seperti Al Aziz fi Syarh Al Wajiz, juga karya Imam An Nawawi seperti Raudhah At Thalibin dan Minhaj At Thalibin. Sehingga bagi para penuntut ilmu jika ingin mengetahu perkara yang rajih dalam madzhab bisa merujuk kepada buku-buku tersebut.

5. Mufti Muqallid

Tingkatan mufti dalam madzhab yang paling akhir adalah mereka yang menguasa madzhab baik untuk masalah yang sederhana maupun yang rumit. Namun tidak memiliki kemampuan seperti mufti-mufti di atasnya. Maka fatwa mufti yang demikian bisa dijadikan pijakan penukilannya tentang madzhab dari pendapat imam dan cabang-cabangnya yang berasal dari para mujtahid madzhab. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)

Ibnu Hajar Al Haitami,  Imam Ar Ramli dan As Subramilsi termasuk kelompok mufti Muqallid, walau sebagian berpendapat bahwa mereka juga melakukan tarjih dalam beberapa masalah. (lihat, Nihayah Az Zain, hal. 7 dan Bughyah Al Mustarsyidin, hal 7)

Jika tidak menemui nuqilan dalam madzhab, maka ia tidak boleh mengeluarkan fatwa, kecuali jika mereka memandang bahwa masalahnya sama dengan apa yang nash madzhab, boleh ia mengkiyaskannya. Namun, menurut Imam Al Haramain, kasus demikian jarang ditemui. (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/73).

Namun tentunya tidak boleh berfatwa dengan semua pendapat tanpa melihat mana yang rajih menurut madzhab. Syeikh Ba’ alawi menilai orang yang demikian sebagai orang yang bodoh dan menyelisihi ijma. (lihat, Bughyah Al Mustarsyidin, hal. 9)

Jika demikian, para mufti yang berada di jajaran ini akan banyak berinteraksi dengan karya-karya para mujtahid fatwa, yang telah menjelaskan pendapat rajih dalam madzhab.

Penutup

Imam An Nawawi menyebutkan bahwa para mufti selain mufti mustaqil, yang telah disebutkan di atas termasuk mufti muntasib, dalam artian tetap menisbatkan diri dalam madzhab. Dan semuanya harus menguasai apa yang dikuasai oleh mufti muqallid. Barang siapa berfatwa sedangkan belum memenuhi syarat di atas, maka ia telah menjerumuskan diri kepada hal yang amat besar! (lihat, Al Majmu’ fi Syarh Al Muhadzdzab, 1/74)

Tentu, amat tidak mudah untuk masuk jajaran mufti di atas hatta mufti muqallid jika orang sekaliber Ibnu Hajar Al Haitami dan Imam Ar Ramli masih dinilai berada dalam tingkatan itu! Namun ironisnya banyak anak-anak muda yang baru mencari ilmu dengan tanpa beban menyesat-nyesatkan siapa saja yang bertaklid. Kemudian menyerukan untuk mentarjih pendapat sesuai berdasarkan dalil yang ia pahami seakan-akan ia setingkat dengan Imam An Nawawi, atau bahkan menggugurkan pendapat mujtahid mustaqil dengan berargumen, idza shahah al hadits fahuwa madzhabi, seakan-akan ia satu level dengan Imam Al Muzani! Padahal yang bersangkutan belum menghatamkan dan menguasai kitab fiqih yang paling sederhana sekalipun dalam madzhab.

Mudah-mudahan kita terlindung dari hal-hal yang demikian. Dan tetap bersabar untuk terus mencari ilmu, hingga sampai kepada kita keputusan Allah, sampai dimana ilmu yang mampu kita serap dan kita amalkan.
******* akhir kutipan *******

Dalam perkara membaca qunut ketika sholat Subuh banyak nash yang menjelaskan dan menetapkan bahwa Rasulullah membacanya dan yang ditinggalkan adalah qunut dengan melaknat 

Dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bila bangun dari ruku’-nya pada shalat shubuh di rakaat kedua, beliau mengangkat kedua tanggannya dan berdoa: Allahummahdini fii man hadait…dan seterusnya.” (HR Al-Hakim dan dishahihkan)

Dari Ibnu Abbas ra. berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengajari kami doa untuk dibaca dalam qunut pada shalat shubuh. (HR Al-Baihaqi)

Dengan adanya beberapa hadits ini, maka para ulama salaf seperti Imam Asy-Syafi’i, Al-Qasim, Zaid bin Ali dan lainnya mengatakan bahwa melakukan doa qunut pada shalat shubuh adalah sunnah.

Tersebut dalam Al majmu’ syarah muhazzab jilid III/504 sebagai berikut :“Dalam madzab Imam Syafi’i disunnatkan qunut pada waktu shalat subuh baik ketika turun bencana atau tidak. Dengan hukum inilah berpegang mayoritas ulama salaf dan orang-orang yang sesudah mereka. Dan diantara yang berpendapat demikian adalah Abu Bakar as-shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin affan, Ali bin abi thalib, Ibnu abbas, Barra’ bin Azib – semoga Allah meridhoi mereka semua. Ini diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang shahih. Banyak pula orang tabi’in dan yang sesudah mereka berpendapat demikian. Inilah madzabnya Ibnu Abi Laila, Hasan bin Shalih, Malik dan Daud.”

Dalam kitab al-umm jilid I/205 disebutkan bahwa Imam Syafi’i berkata :“Tidak ada qunut pada shalat lima waktu selain shalat subuh. Kecuali jika terjadi bencana, maka boleh qunut pada semua shalat jika imam menyukai”.

Imam Jalaluddin al-Mahalli berkata dalam kitab Al-Mahalli jilid I/157 :“Disunnahkan qunut pada I’tidal rekaat kedua dari shalat subuh dan dia adalah “Allahummahdinii fiman hadait….hingga akhirnya”.Demikian keputusan hukum tentang qunut subuh dalam madzab Imam Syafi’i.

Ada orang yg berpendapat bahawa Nabi shallallahu alaihi wasallam melakukan qunut satu bulan saja berdasarkan hadith berikut,

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Abdurrahman telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Qatadah dari Anas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan doa qunut selama sebulan, beliau mendo’akan kebinasaan terhadap sejumlah penduduk dusun arab, setelah itu beliau meninggalkannya. (HR Muslim 1092)

Hadits tersebut kita akui sebagi hadits yang sahih dan terdapat dalam kitab Bukhari dan Muslim. Akan tetapi yang menjadi permasalahan sekarang adalah kata “thumma tarakahu” , “setelah itu beliau meninggalkannya”

Apakah yang ditinggalkan oleh Nabi itu ?

Untuk menjawab permasalahan ini marilah kita perhatikan baik-baik penjelasan Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ jld.3, hlm.505 maksudnya: “Adapun jawaban terhadap hadits Anas dan Abi Hurairah r.a dalam ucapannya dengan (thumma tarakahu) maka maksudnya adalah meninggalkan doa melaknat kepada orang-orang kafir itu saja. Bukan meninggalkan seluruh qunut atau meninggalkan qunut pada selain subuh. Pentafsiran seperti ini mesti dilakukan karena hadits Anas di kesempatan yang lain adalah ’sentiasa Nabi qunut di dalam solat subuh sehingga beliau meninggal dunia’ adalah shahih lagi jelas maka wajiblah menggabungkan di antara kedua-duanya.”

Imam Baihaqi meriwayatkan dan Abdur Rahman bin Madiyyil, bahwasanya beliau berkata, maksudnya: “Hanyalah yang ditinggalkan oleh Nabi itu adalah melaknat.” Tambahan lagi pentafsiran seperti ini dijelaskan oleh riwayat Abu Hurairah ra yang berbunyi, maksudnya: “Kemudian Nabi menghentikan doa kecelakaan ke atas mereka.”Dengan demikian dapatlah dibuat kesimpulan bahwa qunut Nabi yang satu bulan itu adalah qunut nazilah dan qunut inilah yg ditinggalkan, bukan qunut pada waktu sholat subuh.

Sedangkan dalam perkara membaca "bismillah", sebagai kaum muslim kita berprasangka baik bahwa imam membaca "bismillah" namun dengan sirr (tidak dikeraskan membacanya)  karena Imam Ishak bin Rahuwiyah pernah ditanya tentang seseorang yang meninggalkan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Maka dia menjawab; “Siapa yang meninggalkan ba’, atau sin, atau mim dari basmalah, maka shalatnya batal, karena Al-hamdu (Al-Fatihah) itu tujuh ayat”. (Hal ini akan ditemukan pada kitab Sayr A’lam Al-Nubmala’ [XI:369] karangan Ad-Dzahabi).

Diriwayatkan dari Ummu Salamah ra. bahwa, “Rasulallah shallallahu alaihi wasallam membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim dalamn shalat, dan beliau menganggapnya sebagai satu ayat…”. (HR.Abu Dawud dalam as-Sunan [IV:37], Imam Daraquthni [I:307], Imam Hakim [II:231], Imam Baihaqi [II:44] dan lain-lainnya dengan isnad shahih).

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan Abu Hurairah [ra] serta yang lainnya: “ Bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam  menjaharkan (bacaan) Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim”. (Hadits dari Ibnu ‘Abbas, diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar [I:255]; Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra [II:47] dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar [II:308] dan lain-lainnya ; Al-Haitsami dalam Mujma’ Al-Zawaid [II:109] mengatakan, hadits tersebut di riwayatkan oleh Al-Bazzar dan rijal-nya mautsuuquun (terpercaya)

Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Al-Mujmir seorang Imam, Faqih, terpercaya termasuk periwayat hadits Shohih Enam sempat bergaul dengan Abu Hurairah ra. selama 20 tahun : “Aku melakukan sholat dibelakang Abu Hurairah ra., maka dia membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim lalu dia membaca Ummu Alqur’an hingga sampai kepada Wa laadh dhaalliin kemudian dia mengatakan amin. Dan orang-orang pun mengucapkan amin. Setiap (akan) sujud ia mengucapkan Allahu Akbar. Dan apabila bangun dari duduk dia meng ucapkan Allahu Akbar. Dan jika bersalam (mengucapkan assalamu‘alaikum). Dia kemudian mengatakan, ‘Demi Tuhan yang jiwaku ada pada kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku orang yang lebih mirip shalatnya dengan Rasulallah shallallahu alaihi wasallam daripada kalian”. (Imam Nasa’i dalam As-Sunan II:134; Imam Bukhori mengisyaratkannya hadits tersebut dalam shahihnya [II:266 dalam Al-Fath] ; Ibnu Hibban dalam shohihnya [V:100] ; Ibn Khuzaimah dalam shohihnya I:251 ; Ibn Al-Jarud dalam Muntaqa halaman 184 ;Al-Daraquthni [I:300] mengatakan semua perawinya tsiqah ; Hakim dalam Al-Mustadrak [I:232] ; Imam Baihaqi dalam As-Sunan [II:58] dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar [II:371] dan mengatakan isnadnya shahih. Dan hadits itu dishahihkan oleh sejumlah para penghafal hadits seperti Imam Nawawi, Ibn Hajar dalam Al-Fath [II:267] bahkan dia mengatakan bahwa Imam Nawawi membuat bab khusus ‘Menjaharkan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim’, itulah hadits yang paling shahih mengenai hal tersebut) 

Perkataan orang yang menyebutkan bahwa Rasulallah shallallahu alaihi wasallam. kadang-kadang melirihkan dan kadang-kadang menjaharkan (bacaan basmalah), itu tidak benar. Karena mereka juga berdalil dengan hadits-hadits mu’allal yang ditolak. Bahkan sebagiannya hanya disimpulkan dari hasil pemahaman (al-mafhum) yang berlawanan dengan hadits al-manthuq, yang jelas menyatakan adanya menjahar bacaan basmalah. Sedangkan yang manthuq itu harus didahulukan atas yang mafhum, sebagaimana ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih.

Ada pun hadits Anas ra. yang antara lain mengatakan: “Aku melakukan shalat dibelakang Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam., Abu Bakar, Umar dan ‘Utsman. Mereka membuka (bacaan Alquran) dengan Alhamdulillah Rabbil ‘Aalamiin dan mereka tidak menyebut (membaca) Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim baik di awal pembacaannya mau pun di akhirnya”. Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka aku tidak mendengar salah satu di antara mereka membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, yang diriwayatkan Imam Muslim dalam shohih-nya [I:299 no.50 dan 52].

Hadits tersebut mu’allal (hadits yang mempunyai banyak ‘ilat atau yang menurunkannya dari derajat shohih). Diantara ‘ilat atau penyakit yang melemahkan derajat hadits itu adalah, ungkapan terakhir dalam hadits tersebut ‘Mereka tidak menyebut atau membaca Bismillah’. Sebenarnya itu bukan dari perkataan (hadits) Anas, tetapi hanya perkataan salah seorang perawi yang memahami kata-kata Alhamdulillah Rabbil ‘Aalamiin dan tidak bermaksud untuk meniadakan basmalah dari Al-Fatihah.

Begitupula Buya Hamka juga mempergunakan kaidah ushul fiqih “Yang menetapkan lebih didahulukan dari pada yang menidakkan (meniadakan)”

**** awal kutipan *****
Masalah Jahr dan Sirr bacaan Basmalah

Didalam Buku Tafsirnya, Hamka membahas masalah Jahr dan Sirr ini secara panjang lebar pada halaman 122-131 (10 halaman).

Dalil-dalil golongan yang memilih (Madzhab) jahar.

Hadis 1, (Hadis fi’li). Dirawikan oleh jama’ah dari pada sahabat-sahabat, di antaranya Abu Hurairah dan Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Ali bin Abi Thalib, Samurah bin Jundab dan isteri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Ummu Salmah. Bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam men-jahar-kan membaca Bismillahir Rahmanir Rahim.

Hadis fi’li adalah hadis yang menceritakan perbuatan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam

Hadis 2, (bukan Hadis Nabi tetapi Atsar sahabat). Ada pula satu riwayat dari Na’im bin Abdullah Al-Mujmar. Dia berkata: “Aku telah sembahyang di belakang Abu Hurairah. Aku dengar dia membaca Bismillahir Rahmanir Rahim, setelah itu dibacanya pula Ummul Qur’an.

Setelah selesai sembahyang diapun, mengucapkan salam lalu berkata kepada kami: “Sesungguhnya akulah yang lebih mirip sembahyangku dengan sembahyang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Hadits ini dirawikan oleh An-Nasai dan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya. Lalu disambungnya; “Adapun jahar Bismillahir Rahmanir Rahim itu maka sesungguhnya telah tsabit dan sah dari Nabi shallallahu alaihi wasallam

Hadits ini dirawikan pula oleh Ibnu Hibbaan dan Al-Hakim atas syarat Bukhari dan Muslim. Dan berkata Al-Baihaqi: ‘Shahih isnad-nya”.

Hadis 3, (Hadis fi’li). Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi senantiasa memulai sembahyangnya dengan men-jahar-kan Bismillah.

Tentang ini ada riwayat dari Ad-Daruquthni, dan ada juga riwayat dari Al-Hakim.

Adapun yang me-NAFI-kan Jahar dan yang memandang lebih baik SIRR saja, mereka berpegang pula kepada Hadits:

Hadis 4, (Bukan Hadis Nabi tetapi Hadis sahabat). “Dari pada Ibnu Abdullah bin Maghfal: “Aku dengar ayahku berkata; padahal aku membaca Bismillahir Rahmanir Rahim. Kata ayahku: “Hai anakku. Sekali-kali jangan engkau mengada-ada. Dan kata Ibnu Abdullah tentang ayahnya itu:

Tidak ada aku melihat sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan bersama Abubakar, bersama Umar dan bersama Utsman, maka tidaklah pernah aku mendengar seorangpun di antara mereka membaca. Sebab itu janganlah engkau baca akan dia. Kalau engkau membaca, maka baca sajalah Alhamdulillahi Rabbil Alamin”. (Dirawikan oleh yang berlima, kecuali Abu Daud). Hadits ini di Hasankan oleh At-Turmudzi.

Definisi Hadis Hasan menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani adalah : “Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat hapalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung cacat, dan tidak janggal.”

Kemudian Hamka menguraikan kelemahan Hadis ini sebagai berikut:

Hadits inipun diperkajikan orang karena Al-Jariri merawikannya seorang diri, dan setelah tua, fikirannya kacau, sebab itu Hadits yang dirawikannya diragukan. Kemudian Abdullah bin Maghfal, yang jadi sumber pertama Hadits ini. Setengah ahli Hadits mengatakan bahwa dia itu Majhul (seorang yang tidak dikenal).

Kontroversi Hadis Anas bin Malik r.a.

Anas bin Malik r.a. adalah pelayan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam selama 10 tahun dan juga sahabat Nabi yang banyak meriwayatkan Hadis. Beliau meriwayatkan masalah Bismillah ini di 2 Hadis yang saling bertentangan

(1) Hadis Anas r.a. yang men-jahar-kan :

Hadis 5, (Hadis fi’li). “Ditanyakan orang kepada Anas, bagaimanakah bacaan Nabi shallallahu alaihi wasallam maka diapun menjawab: “Bacaan Nabi adalah panjang”

Kemudian beliau baca Bismillahir Rahmanir Rahim; dipanjangkannya pada Bismillah dan dipanjangkannya pula pada Ar-Rahman, dan Ar-Rahim” (Dirawikan oleh Bukhari).

Menurut pendapat yang menjahar : tidak mungkin Anas berkata sejelas itu kalau tidak didengarnya.

(2) Hadis Anas r.a. yang men-sirr-kan.

Hadis 6, (Hadis fi’li). “Dari pada Anas bin Malik, berkata dia: “Aku telah sembahyang bersama Rasululah shallallahu alaihi wasallam, Abubakar, Umar dan Utsman, maka tidaklah saya mendengar seorangpun dari pada mereka yang membaca Bismillahir Rahmanir Rahim. (Dirawikan oleh Ahmad dan Muslim).

Karena kontroversi ini maka ditanyakan kepada Anas r.a. diwaktu beliau sudah tua sebagai berikut:

Hadis 7, (Bukan Hadis Nabi tetapi Hadis Sahabat). Hadits yang dirawikan oleh Ad-Daruquthni dari Abi Salmah, demikian bunyinya. “Aku telah tanyakan kepada Anas bin Malik, apakah ada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membuka sembahyang dengan Alhamdulillah, atau dengan Bismillahi Rahmanir Rahim? Beliau menjawab: “Engkau telah menanyakan kepadaku satu soal yang aku tidak ingat lagi, dan belum pernah orang lain menanyakan soal itu kepadaku sebelum engkau”. Lalu saya tanyakan pula: “Apakah ada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sembahyang dengan memakai sepasang terompah; Beliau jawab: “Memang ada!”.

Setelah membahasnya secara panjang lebar (10 halaman), Hamka menyimpulkan :

(1) Kedua pihak yang men-jahar-kan dan men-sirr-kan tidak membawa Hadis qauli (dimana Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam menyuruh membaca atau tidak membaca Bismillah) melainkan hanya Hadis fi’li (menyaksikan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan/atau sahabat membaca / tidak membaca Bismillah), atau bukan Hadis Nabi melainkan Hadis Sahabat saja.

(2) Karena Hadis Anas bin Malik r.a. adalah Hadis Sahih yang kontroversi maka dipakai Qaidah Ushul Fiqh dan Ilmu Hadits bahwa :

Yang menetapkan lebih didahulukan dari pada yang menidakkan (meniadakan)”.

(3) Maka sandaran pihak yang men-sirr-kan tinggal Hadis Sahabat saja (Hadis nomor 7).

Akhirnya Hamka menganggap bahwa yang dalilnya lebih kuat adalah dari pihak yang men- j-a-h-a-r-kan Bismillah.
**** akhir kutipan ****

Dalam perkara shalat yang merupakan bentuk ibadah yang dipraktekkan maka kitapun dapat bertanya kepada para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah karena mereka mendapatkan pengajaran cara sholat Rasulullah dalam bentuk praktek yang mereka peroleh dari orang tua mereka secara turun temurun tersambung kepada apa yang dipraktekkan oleh sayyidina Ali karramallahu wajhu yang diajarkan secara langsung oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sehingga lebih terpercaya daripada mengikuti pendapat ulama kemudian (khalaf) yang berkesimpulan dari upayanya memahami hadits yang ada bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri dan tidak dikenal berkompetensi sebagai imam mujtahid mutlak.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)

Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?

Syaikh Nashir al-Asad menjawab pertanyaan ini: “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim… Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)

Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.

Dari http://www.facebook.com/photo.php?fbid=364436613697536 ada sebuah pernyataan “mengapa firqah Wahabi hampir tidak pernah menukil pendpat dari Sayyidina Ali ?”

Untuk menjawab mengapa mereka tidak menukil atau berfatwa berdalilkan perkataan atau mengambil hadits yang dirawayatkan oleh Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhu maka kita telusuri apa pendapat Ibnu Taimiyyah terhadap Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhu sebagaimana contoh yang termuat pada http://ustadchandra.wordpress.com/2010/02/13/sosok-dan-pemikiran-ibn-taimiyah/

Jadi berdasarkan contoh informasi dari situs tersebut maka kemungkinannya Ibnu Taimiyyah tidak menukil atau berfatwa berdalilkan perkataan atau mengambil hadits yang dirawayatkan oleh Imam Sayyidina Ali karamallahu wajhu adalah karena  Ibnu Taimiyah beranggapan bahwa Imannya Sayyidina Ali tidak sah, sebab beliau masuk Islam sebelum baligh. Imam Ali ra. menurutnya mempunyai 17 kesalahan. Dan beliau berperang karena cinta kedudukan.

Sedangkan Sayyidina Ali karramallahu wajhu sebagaimana sabda Rasulullah , “Aku adalah kota ilmu, manakala Ali pula pintunya. maka barangsiapa yang inginkan ilmu maka hendaklah datang melalui pintunya (Ali).”

Bahkan Rasulullah bersabda “Wahai Ali sungguh berdusta orang yang mengaku mencintaiku namun membencimu”

Kita dapat menemukan mereka yang meninggalkan para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah karena menganggapnya sebagai kaum syiah sebagaimana contoh tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/12/07/ke-alam-barzakh/

Padahal para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendapatkan pengajaran agama dari dua jalur yakni

1. Melalui nasab (silsilah / keturunan). Pengajaran agama baik disampaikan melalui lisan maupun praktek yang diterima dari orang tua mereka secara turun temurun tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

2. Melalui sanad ilmu ( sanad guru). Pengajaran agama dengan bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang sholeh yang mengikuti Imam Mazhab yang empat yakni para ulama yang sholeh memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat atau para ulama yang sholeh yang memiliki ketersambungan sanad ilmu (sanad guru) dengan Imam Mazhab yang empat yang mengikuti Salafush Sholeh dengan cara bertemu langsung bukan melalui perantaraan mutholaah (menelaah kitab).

Sehingga para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam lebih terjaga kemutawatiran sanad, kemurnian agama dan akidahnya.

Bahkan dapat pula kita temukan orang-orang yang membenci, ahlul bait.  Mereka adalah An-Nawaashib mufradnya naashib atau biasa disebut dengan nashibi adalah orang-orang yang membenci ahlul bait , keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Imam at Tirmidzi dan Imam ath Thabrani meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas ra., ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Cintailah Allah agar kalian memperoleh sebagian nikmat-Nya, cintailah aku agar kalian memperoleh cinta Allah, dan cintailah keluargaku (ahlul baitku) agar kalian memperoleh cintaku.”

Imam Syafi’i ~rahimahullah bersyair, “Wahai Ahlul-Bait Rasulallah, mencintai kalian adalah kewajiban dari Allah diturunkan dalam al-Quran cukuplah bukti betapa tinggi martabat kalian tiada sholat tanpa shalawat bagi kalian.”

Jabir ibnu Abdillah berkisah: “Aku melihat Rasulullah dalam haji Wada` pada hari Arafah. Beliau menyampaikan khutbah dalam keadaan menunggangi untanya yang bernama Al-Qashwa. Aku mendengar beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia! Sungguh aku telah meninggalkan pada kalian dua perkara yang bila kalian mengambilnya, maka kalian tidak akan sesat yaitu kitabullah dan ‘itrati ahlul baitku.” (Hadits diriwayatkan Al-Imam At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3786, kitab Al-Manaqib ‘an Rasulillah , bab Manaqib Ahli Baitin Nabi shallallahu alaihi wa sallam)

Abu Said Al-Khudri dan Zaid bin Arqam meriwayatkan, “Sungguh aku meninggalkan pada kalian perkara yang bila kalian berpegang teguh dengannya niscaya kalian tidak akan sesat sepeninggalku. Salah satu dari perkara itu lebih besar daripada perkara yang lainnya, yaitu kitabullah tali Allah yang terbentang dari langit ke bumi. Dan (perkara lainnya adalah) ‘itrati, yaitu ahlul baitku. Keduanya tidak akan berpisah hingga keduanya mendatangiku di haudl. Maka lihatlah dan perhatikanlah bagaimana kalian menjaga dan memperhatikan keduanya sepeninggalku.” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya 3/14,17 dan At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 3788)

Cara untuk menelusuri kebenaran adalah melalui para ulama yang sholeh yang memiliki sanad ilmu (sanad guru) tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena kebenaran dari Allah ta’ala dan disampaikan oleh RasulNya

Pada asalnya, istilah sanad atau isnad hanya digunakan dalam bidang ilmu hadits (Mustolah Hadits) yang merujuk kepada hubungan antara perawi dengan perawi sebelumnya pada setiap tingkatan yang berakhir kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pada matan haditsnya.

Namun, jika kita merujuk kepada lafadz Sanad itu sendiri dari segi bahasa, maka penggunaannya sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya disebutkan: “Isnad dari sudut bahasa terambil dari fi’il “asnada” (yaitu menyandarkan) seperti dalam perkataan mereka: Saya sandarkan perkataan ini kepada si fulan. Artinya, menyandarkan sandaran, yang mana ia diangkatkan kepada yang berkata. Maka menyandarkan perkataan berarti mengangkatkan perkataan (mengembalikan perkataan kepada orang yang berkata dengan perkataan tersebut)“.

Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32)

Tanda atau ciri seorang ulama tidak terputus sanad guru (sanad ilmu) adalah pemahaman atau pendapat ulama tersebut tidak menyelisihi pendapat gurunya dan guru-gurunya terdahulu hingga tersambung kepada Rasulullah serta berakhlak baik

Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“

Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.

Imam Malik ~rahimahullah berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat) pendidikannya (sanad ilmu) dan dari orang yang mendustakan perkataan manusia (ulama) meskipun dia tidak mendustakan perkataan (hadits) Rasulullah shallallahu alaihi wasallam”

Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”

Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203

Jadi fitnah tanduk syaitan adalah fitnah dari orang-orang yang menjadikan gurunya syaitan karena memahami Al Qur’an dan Hadits bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri sebagimana yang telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2013/10/07/fitnah-tanduk-syaitan/

Ilmu agama adalah ilmu yang diwariskan dari ulama-ulama terdahulu yang tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka” (HR Bukhari)

Hadits tersebut bukanlah menyuruh kita menyampaikan apa yang kita baca dan pahami sendiri dari kitab atau buku

Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan satu ayat yang diperoleh dan didengar dari para ulama yang sholeh dan disampaikan secara turun temurun yang bersumber dari lisannya Sayyidina Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

Oleh karenanya ulama dikatakan sebagai pewaris Nabi.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi” (HR At-Tirmidzi).

Dalam memahami  kalimat “pewaris para Nabi”  kita pahami dahulu arti kata mewarisi

Dalam kamus besar bahasa Indonesia atau contoh penjelasan pada http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/petunjuk_praktis/185 pengertian mewarisi adalah:

1. memperoleh warisan atau
2. memperoleh sesuatu yang ditinggalkan

Jadi ulama pewaris Nabi artinya menerima dari ulama-ulama yang sholeh sebelumnya secara turun-temurun tersambung kepada lisannya Rasulullah shallallahu alaihi  wasallam.

Pada hakikatnya Al Qur’an dan Hadits disampaikan tidak dalam bentuk tulisan namun disampaikan melalui lisan ke lisan para ulama yang sholeh dengan imla atau secara hafalan.

Dalam khazanah Islam, metode hafalan merupakan bagian integral dalam proses menuntut ilmu. Ia sudah dikenal dan dipraktekkan sejak zaman baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Setiap menerima wahyu, beliau langsung menyampaikan dan memerintahkan para sahabat untuk menghafalkannya. Sebelum memerintahkan untuk dihafal, terlebih dahulu beliau menafsirkan dan menjelaskan kandungan dari setiap ayat yang baru diwahyukan.

Jika kita telusuri lebih jauh, perintah baginda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk menghafalkan Al-Qur’an bukan hanya karena kemuliaan, keagungan dan kedalaman kandungannya, tapi juga untuk menjaga otentisitas Al-Qur’an itu sendiri. Makanya hingga kini, walaupun sudah berusia sekitar 1400 tahun lebih, Al-Qur’an tetap terjaga orisinalitasnya. Kaitan antara hafalan dan otentisitas Al-Qur’an ini tampak dari kenyataan bahwa pada prinsipnya, Al-Qur’an bukanlah “tulisan” (rasm), tetapi “bacaan” (qira’ah). Artinya, ia adalah ucapan dan sebutan. Proses turun-(pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan-(transmisi)-nya, semuanya dilakukan secara lisan dan hafalan, bukan tulisan. Karena itu, dari dahulu yang dimaksud dengan “membaca” Al-Quran adalah membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri qalbin).

Dengan demikian, sumber semua tulisan itu sendiri adalah hafalan, atau apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’. Sedangkan fungsi tulisan atau bentuk kitab sebagai penunjang semata.

Oleh karenanya dikatakan sami’na wa ato’na (kami dengar dan kami  taat) bukan kami baca dan kami taat


Wassalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar