Laman

Senin, 04 Agustus 2014

Kebutuhan Sabar


Kebutuhan akan sifat dan sikap sabar berlaku umum dalam segala hal. Karena segala peristiwa yang ditemui oleh seorang hamba dalam hidup ini, tidak lepas dari dua bentuk. Pertama, ia sepakat dengan hawa nafsunya. Kedua, bertentangan dan bertolak belakang dengan hawa nafsunya.

Jika ia mampu menyelaraskan dengan kesenangannya, seperti kesehatan, kesejahteraan, kekayaan, jabatan, kedudukan dan banyak anak. Betapa itu semua sangat membutuhkan sabar. Bila (seseorang) tidak mampu menahan hawa nafsunya, ia akan bersikap congkak bersenang-senang dan selalu mengikuti hawa nafsu; sehingga ia melupakan awal dan akhirnya, ujung dan pangkalnya. Karena itu, para sahabat —semoga Allah meridhai mereka— berkata, “Kami diuji dengan kesengsaraan, maka kami dapat bersabar. Kami juga diuji dengan kesenangan, lalu kami tidak mampu bersabar.”

Itulah sebabnya dinyatakan, “Setiap orang Mukmin mampu bersabar terhadap bencana yang menimpanya, namun tidak dapat bersabar atas kesenangan yang dianugerahkan kepadanya, kecuali orang yang benar (orang yang jujur).”

Bersabar terhadap kemewahan, artinya tidak cenderung kepadanya, dia sadar sepenuhnya bahwa itu merupakan titipan baginya. Anugerah kebahagiaan itu mampu mengantarkannya pada (maqam) kedekatan kepada-Nya. Dia tidak larut dalam kenikmatan dan kelalaian, dia memenuhi hak bersyukur atas nikmat. Untuk itu penjelasannya amat panjang.

Sedangkan sabar, yang bertentangan atau bertolak belakang dengan hawa nafsu ini terbagi menjadi empat macam:

Pertama: Sabar dalam taat.
Nafsu sering berpaling dari sebagian bentuk ketaatan, seperti rasa malas dalam salat, sifat kikir dalam zakat; dan rasa malas serta kikir secara bersamaan, dalam haji dan jihad. Bersabar dalam taat, merupakan suatu perbuatan yang sangat berat dan sulit.

Seorang yang taat membutuhkan kesabaran dalam tiga hal:
Mengawali ibadat dengan rasa ikhlas, bersabar dari kotoran-kotoran riya’, tipudaya setan dan tipudaya nafsu.

Ketika beramal, atau di tengah-tengah melaksanakan ibadat, diperlukan kesabaran. Agar tidak malas untuk mewujudkan segala rukun dan sunnah-sunnahnya. Dilaksanakan dengan tata aturan yang benar disertai dengan adab dan kehadiran hati serta membuang was-was.

Setelah melaksanakan ibadat, ia hendaknya bersabar untuk tidak menyebutkan dan menyebarluaskan amaliahnya, baik itu dengan niatan riya’ ataupun agar didengar orang lain (sum’ah).
Semua itu merupakan sikap yang sangat berat untuk mengalahkan nafsu.

Kedua: Sabar terhadap maksiat.
Rasulullah Saw. telah bersabda, “Seorang pejuang adalah orang yang memerangi hawa nafsunya, dan orang yang hijrah itu adalah orang yang meninggalkan keburukan.”

Bersikap sabar terhadap maksiat lebih berat dan sulit lagi, apalagi terhadap maksiat yang sudah menjadi watak kebiasaan. Sebab, pasukan yang muncul untuk menghadapi dorongan-dorongan keagamaan di sini terdiri dari dua lapisan; pasukan hawa nafsu dan pasukan watak kebiasaan.

Bila keduanya dianggap sepele, maka yang dapat bersabar terhadap kebiasaan tersebut hanyalah orang yang berlaku benar (as-shiddiq). Maksiat lisan misalnya, mudah dan sepele, seperti ghibah, dusta, percekcokan, dan berbangga diri. Ini semua sangat membutuhkan ragam sabar yang paling tangguh.

Ketiga: Sabar terhadap hal yang tidak berkaitan dengan ikhtiar hamba, namun dia berikhtiar pula dalam menangkal dan memperbaikinya.

Seperti gangguan dari orang lain, baik itu dengan tangan atau lisan. Bersabar terhadap hal tersebut, dilakukan dengan tanpa membalas. Sikap tersebut kadang-kadang wajib dan terkadang juga sunnah.

Sebagian sahabat berkata, “Kami tidak menganggap keimanan seseorang itu sebagai keimanan, bila dia tidak dapat bersabar terhadap gangguan orang lain.”

Allah Swt. berfirman:
“Dan kami sungguh-sungguh akan bersabar terhadap gangguan-gangguan yang kamu lakukan kepada kami. Dan hanya kepada Allah saja orang-orang yang bertawakal itu berserah diri,” (Q.s. Ibrahim: 12).

“janganlah kamu hiraukan gangguan mereka dan bertawakallah kepada Allah.” (Q.s. Al-Ahzab: 48).

“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang sujud (salat).” (Q.s. Al-Hijr: 97-8).

Ke empat: Sabar terhadap peristiwa yang awal dan akhirnya, yang tidak masuk kategori ikhtiar.
Seperti halnya aneka ragam musibah, meninggalnya beberapa orang tercinta, musnahnya harta-benda, sakit dan penyakit, kehilangan sebagian anggota badan, dan berbagai petaka lainnya. Bersabar terhadap hal tersebut merupakan derajat yang tertinggi.

Ibnu Abbas berkata, “Sabar dalam Al-Qur’an terdiri dan tiga tingkatan (maqam): Bersabar dalam melakukan kewajiban-kewajiban, memiliki tiga ratus derajat; bersabar terhadap larangan-larangan Allah memiliki enam ratus derajat; dan bersabar terhadap musibah, ketika goncangan pertama, memiliki sembilan ratus derajat.”

Rasulullah Saw. bersabda, ”Allah Swt. berfirman, ‘Bila Aku memberi cobaan kepada hamba-Ku dengan suatu musibah, lalu dia bersabar dan tidak mengadukan kepada para penjenguknya, maka Aku menggantikan baginya daging yang lebih baik dari dagingnya, dan darah yang lebih baik dari darahnya. Jika Aku menyembuhkannya, Aku menggantinya dan dia pun tidak punya dosa, dan jika Aku mematikannya, maka dia berpulang ke rahmat-Ku’.”

Rasulullah Saw juga bersabda, ”Allah Swt. berfirman, Apabila Aku hadapkan kepada salah seorang hamba-Ku suatu musibah pada tubuhnya atau pada hartanya, atau pada anaknya. Kemudian dia menerimanya dengan kesabaran yang simpatik, baik, maka pada hari Kiamat Aku malu untuk menegakkan timbangan amal baginya atau untuk nembentangkan sebuah catatan untuknya’.”

Rasulullah saw. bersabda, “Menunggu kelapangan dengan sabar adalah ibadat.”

Sabdanya pula, “Di antara bentuk pengagungan Allah swt. dan pengenalan terhadap hak-Nya adalah, kalian tidak mengadukan sakit kalian dan tidak menyebutkan musibah yang menimpa diri kalian”

Anda telah paham, bahwa diri Anda membutuhkan kesabaran kapan saja. Dengan demikian, sabar itu adalah setengah dan iman, sedangkan setengahnya lagi berkaitan dengan amal perbuatan, yaitu syukur.

Rasulullah Saw. telah bersabda, “Iman itu terdiri dan dua bagian: Bagian pertama adalah sabar, bagian kedua adalah syukur”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar