Laman

Senin, 04 Agustus 2014

Syukur

Al-Ghazali
Allah Swt. telah berfirman: ”Dan sedikit sekali dan hamba-hamba-Ku yang berterima kasih.” (Q.s. Saba’: 13), “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu.” (Q.s. Ibrahim: 7).

Ketika bertahajjud Rasulullah Saw. menangis, lalu Aisyah r.a. bertanya, “Apa yang menyebabkan Rasulullah menangis, bukankah Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda yang terdahulu dan yang akan datang?”

Rasulullah Saw. Menjawab, ”Apakah aku tidak akan menjadi hamba yang bersyukur?”
Rasulullah Saw juga bersabda, ”Pada hari Kiamat diserukan kepada orang-orang yang suka memuja Allah, agar bangun. Maka bangkitlah segolongan manusia, lalu ditegakkan sebuah panji bagi mereka, kemudian mereka masuk surga.” Ditanyakan kepada beliau, “Siapakah orang-orang yang suka memuji itu?” Beliau menjawab, “Mereka yang selalu bersyukur kepada Allah setiap saat.”
Sabdanya, “Pujian itu merupakan pakaian Yang Maha Pengasih.”

Maqam Syukur
Syukur termasuk maqam yang tinggi. Maqam syukur lebih tinggi dari sabar, khauf, zuhud dan maqam-maqam lainnya yang telah disinyalir sebelumnya. Sebab, maqam-maqam itu tidak diproyeksikan untuk diri sendiri, tapi untuk pihak lain. Sabar misalnya, ditujukan untuk menaklukkan hawa nafsu, khauf merupakan cambuk yang menggiring orang yang takut menuju maqam-maqam yang terpuji, dan zuhud merupakan sikap melepaskan diri dari ikatan-ikatan hubungan yang bisa melupakan Allah Swt. Sedangkan syukur itu dimaksudkan untuk diri sendiri, karenanya, ia tidak terputus di dalam surga. Sedangkan maqam-maqam lainnya, tobat, khauf, sabar dan zuhud tidak ada lagi di surga. Maqam-maqam itu telah terputus dan habis masa berlakunya. Beda dengan syukur, ia abadi di dalam surga. Itulah sebabnya Allah Swt. berfirman:
“Dan penutup doa mereka (penghuni surga) ialah, ‘Alhamdulillahi Rabbil Alaamiin (Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam)’.” (Q.s. Yunus: 10).

Anda akan mengetahui hal tersebut, jika Anda telah mengerti tentang hakikat syukur itu sendiri yang terdiri dari tiga rukun: Ilmu, tingkah laku dan amal.

Rukun pertama: Ilmu
Ilmu dalam konteks ini berarti mengetahui dan mengerti tentang nikmat dari Dzat Pemberi nikmat. Seluruh nikmat berasal dari Allah Swt, Dia-lah Yang Maha Tunggal. Seluruh perantaranya merupakan obyek yang ditundukkan. Pengetahuan dan pengertian semacam ini ada di belakang penyucian dari tauhid. Keduanya masuk dalam kategori syukur; bahkan tahap pertama dalam pengertian atau pengenalan iman adalah penyucian (taqdis).
Jika telah mengenal Dzat Yang Qudus, Anda telah tahu bahwa Yang Qudus itu tiada lain hanyalah Dzat Yang Esa, maka inilah yang disebut tauhid.
Kemudian, jika Anda telah mengerti bahwa seluruh yang ada di alam semesta ini merupakan hal yang diciptakan dan bersumber dari Yang Maha Tunggal itu, dan seluruhnya merupakan nikmat dari-Nya, maka itulah yang disebut pujian (al-hamdu).

Dengan struktur sedemikian rupa, diisyaratkan dalam sabda Rasulullah Saw: “Barangsiapa mengucapkan Subhanallah (Maha Suci Allah), baginya sepuluh kebaikan, dan barangsiapa mengucapkan La Ilaha Illallah (tiada Tuhan selain Allah), baginya duapuluh kebaikan, dan barangsiapa mengucapkan Alhamdulillah (segala puji bagi Allah), maka baginya tigapuluh kebaikan.”

Yang demikian itu, karena penyucian dan pentauhidan, sekaligus masuk dalam lingkup pujian terhadap Allah Swt. Derajat-derajat itu dikriteriakan dengan pengetahuan tentang struktur tersebut. Sementara keutamaan gerak ucapan, bergantung pada titik tolak peluncurannya dan pengetahuan atau bergantung sejauhmana ucapan itu mampu memperbaharui akidah dalam kalbu. Sebab, mulut merupakan sarana untuk menafIkan kelalaian agar pengaruh kealpaan itu bisa musnah.

Jika Anda berkeyakinan, bahwa ada pihak lain selain Allah mempunyai peran dalam nikmat yang tercurah kepada Anda, maka pujian Anda tidak sah dan tidak benar, sehingga ma’rifat dan syukur Anda tidak sempurna.

Anda serupa dengan orang yang memperoleh hadiah dari raja. Orang itu melihat bahwa dalam pemberian hadiah tersebut terdapat campur tangan seorang menteri. Karena turut mempermudah dan mempercepat pemberian hadiah tersebut. Semua itu merupakan dualisme dalam nikmat. Ketika menerima nikmat itu, rasa gembira anda mendua; kepada si perantara dan kepada Sang Maha Pemberi.

Benar, jika Anda misalnya, melihat bahwa anugerah hadiah kepada Anda karena penandatanganan sang raja dengan penanya, maka pena itu jangan sampai mengurangi kadar syukur Anda. Sebab, Anda tahu bahwa pena tersebut tunduk dan ditundukkan oleh-Nya.
Jadi, pena tersebut tidak ikut campur tangan dan melakukan intervensi apa pun dalam nikmat. Sebab itu, janganlah kalbu Anda mendua, mengarahkan rasa gembira pada pena dan mengarahkan rasa syukur kepada sang raja. Karena itu pula, kadang-kadang tidak menoleh kepada bendahara dan wakilnya, yang dia tahu bahwa mereka berdua tunduk dan terpaksa memberi setelah adanya perintah. Keduanya tertundukkan atau tertaklukkan. Namun keduanya tidak berperan serta (turut campur tangan) dalam penganugerahan nikmat atau hadiah.

Begitu pula bila matahati seseorang telah terbuka. Ia tahu bahwa matahari, bulan dan bintang-bintang ditundukkan dengan perintah Allah Swt, seperti halnya pena, kertas dan tinta ketika dibuat penandatanganan. Hati manusia adalah perbendaharaan ilmu Allah, kunci-kuncinya ada di tangan Allah Swt. Lalu Allah membuka perbendaharaan tersebut dengan menundukkan beberapa perantara yang pasti, hingga yakin bahwa kebaikan perbendaharaan itu terdapat dalam penyerahan, misalnya. Ketika demikian, penyerahan itu tidak bisa ditinggalkan. Karena itu, ia terdesak dan perlu memilih faktor-faktor ikhtiar tersebut, sebab tidak seorang pun memberi sesuatu kepada Anda, kecuali untuk tujuan pribadi, yaitu untuk suatu keuntungan tertentu di masa yang akan datang dan untuk mendapatkan pujian pada saat itu pula, atau tujuan-tujuan lainnya. Dan andaikata dia tidak tahu, bahwa keuntungan dirinya tiada bermanfaat bagi diri Anda, dia tidak akan memberi sesuatu kepada Anda. Jadi, dia itu bukanlah pemberi nikmat atau anugerah kepada Anda, sebab dengan pemberian itu ia mempunyai rencana dan usaha tersendiri bagi kepentingan dirinya. Pemberi nikmat yang sebenarnya kepada Anda itu adalah, yang mampu menundukkan seluruh faktor atau sebab kepadanya. Dia juga menyatakan pada dirinya, bahwa tujuannya bergantung pada penunaian dan pemberian nikmat.

Jika Anda telah paham dan mengerti tentang persoalan di atas, Andalah seorang yang bertauhid dan bersyukur, bahkan pemahaman dan pengertian semacam ini merupakan inti syukur.
Nabi Musa as. dalam munajat beliau pernah berkata, “Tuhanku, Engkau menciptakan Adam dengan tangan-Mu sendiri, kemudian Engkau kerjakan, Engkau kerjakan sendiri. Lalu jika demikian, bagaimana mensyukuri-Mu?”
Allah Swt. menjawab, “Dia cukup tahu bahwa hal itu berasal dari Ku, pengertiannya merupakan syukur (kepada-Ku).”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar