Laman

Senin, 04 Agustus 2014

Sabar

Setiap orang Mukmin mampu bersabar terhadap bencana yang menimpanya, namun tidak dapat bersabar atas kesenangan yang dianugerahkan kepadanya, kecuali orang yang benar (orang yang jujur)

Allah Swt. berfirman:
“Dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.s. Al-Anfal: 46)

Ada beberapa hal yang dikaruniakan untuk orang-orang yang sabar, dan tidak diberikan kepada selain mereka.
Allah Swt. berfirman:
“Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.s. Al-Baqarah: 157).

“Dan sesungguhnya Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dan apa yang telah mereka kerjakan.” (Q.s. An-Nahl: 96).

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar.” (Q.s. As-Sajdah: 24).

Firman Allah Swt, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Q.s. Az-Zumar: 10).

Allah Swt. menyebutkan kata “sabar” dalam Al-Qur’an lebih dari tujuh puluh tempat.

Rasulullah Saw. bersabda, “Sabar itu separo dari iman.”
Rasulullah Saw. juga bersabda, “Di antara yang terbatas (paling sedikit) yang diberikan kepada kalian adalah keyakinan dan kesabaran yang kokoh. Barangsiapa mendapatkan bagian dari kedua hal tersebut, dia selalu memperhatikan bangun malam dan puasa siang.”

“Sabar merupakan salah satu simpanan dari simpanan-simpanan surga.”

Pada suatu kesempatan Nabi Muhammad Saw. ditanya tentang iman, beliau menjawab, “lman itu adalah sabar.”

Nabi Isa as. pernah bersabda, “Sungguh, kalian tidak akan mengetahui apa yang kalian senangi, kecuali dengan kesabaran kalian atas apa yang kalian benci.”

Esensi Sabar
Esensi sabar adalah, keteguhan yang mendorong hidup beragama, dalam menghadapi dorongan hawa nafsu. Itu adalah salah satu karakteristik manusia yang terkomposisi dari unsur malaikat dan unsur binatang. Binatang hanya dikuasai oleh dorongan-dorongan nafsu birahi, sedangkan para malaikat tidaklah dikuasai oleh hawa nafsu. Mereka semata-mata diarahkan pada kerinduan untuk menelusuri keindahan hadirat ketuhanan dan dorongan ke arah derajat kedekatan dengan-Nya.

Mereka bertasbih menyucikan Allah Swt. sepanjang siang dan malam tiada henti. Pada diri mereka tidak terdapat dorongan-dorongan hawa nafsu. Sementara pada diri manusia dan binatang tidak terdapat sifat sabar, bahkan manusia itu cenderung dikuasai oleh dua macam pasukan yang saling menyerang dan berebut untuk menguasainya. Salah satunya, pasukan Allah dan para malaikat-Nya, berupa akal pikiran berikut seluruh instrumennya. Yang kedua, dari pasukan setan, yaitu hawa nafsu dan seluruh instrumennya, setelah adanya informasi unsur pendorong agama dan akal. Sebab, pandangannya terpaku pada akibat-akibat sesudahnya.

Serangan dimulai dengan memerangi pasukan setan. Jika pendorong agama lebih kuat dalam menghadapi pendorong hawa nafsu, hingga dapat mengalahkannya, maka berarti telah mencapai tingkatan sabar. Sabar itu tidak akan pernah terwujud, kecuali setelah terjadinya perang antara kedua pendorong tersebut. Hal ini identik dengan kesabaran saat meneguk obat pahit yang didorong oleh dorongan-dorongan akal pikiran, namun dicegah oleh dorongan-dorongan hawa nafsu. Setiap orang yang dikalahkan oleh hawa nafunya, tidak akan menelan obat pahit tersebut, sebaliknya orang yang akal pikirannya dapat mengalahkan hawa nafsunya, ia mampu bersabar dengan rasa pahit obat itu agar bisa sembuh. Separo keimanan itu akan terpenuhi dengan kesabaran, karena itulah Rasulullah Saw. bersabda, “Sabar itu separo dan iman.”

Karena keimanan itu dikaitkan pada pengetahuan dan perbuatan sekaligus. Sedangkan seluruh amal perbuatan yang membentangkan dua sisi; preventif dan ekspresif penyucian dan penghiasan diri hanya bisa tuntas dan sempurna dengan kesabaran. Sebab sejumlah perbuatan iman selalu berhadapan dengan dorongan hawa nafsu. Karenanya, perbuatan iman tidak dapat sempurna, kecuali dengan peneguhan pendorong agama dalam menghadapi hawa nafsu. Itulah sebabnya, Rasulullah Saw. bersabda, “Puasa itu adalah separo dari kesabaran.”

Karena sabar itu kadang-kadang berhadapan dengan dorongan-dorongan hawa nafsu dan terkadang pula berhadapan dengan dorongan-dorongan amarah; sedangkan puasa berfungsi sebagai penghancur dan pemusnah hawa nafsu.

Derajat Kesabaran

Ditinjau dan kuat dan tidaknya, kesabaran itu terdiri atas tiga tingkatan:
Tingkatan tertinggi adalah terkekangnya seluruh dorongan hawa nafsu hingga tidak memiliki kekuatan sama sekali untuk kontra. Hal ini dicapai dengan kesabaran yang kontinyu dan mujahadah yang terus-menerus. Mereka itu termasuk dalam golongan yang disinyalir (dalam Al-Qur’an):

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami adalah Allah,’ kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka,” (Q.s. Fushshilat: 30, Al-Ahqaf: 13).

Kepada golongan tersebut Sang Penyeru berseru:
“Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas dan diridhai-Nya.” (Q.s. Al-Fajr: 27-8).

Tingkatan terendah adalah kokohnya dorongan-dorongan hawa nafsu dan tersisihnya dorongan agama. Hawa nafsu memenangkan kompetisi ini, sehingga kalbu pun menyerah pada pasukan setan, Mereka yang demikian itu termasuk dalam golongan yang disinyalir oleh Al-Qur’an:
”Akan tetapi, telah tetaplah perkataan (ketetapan) dari padaKu, ‘Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama’” (Q.s. As-Sajdah: 13).

Ada dua indikasi dalam hal ini, yaitu:
Pertama, seseorang selalu berkata, ”Aku sangat butuh dan rindu tobat, namun itu sangat menyulitkan bagiku. Karenanya, aku tidak bersikeras untuk tobat.”
Orang yang demikian adalah orang yang putus asa, dan dia adalah orang yang binasa.

Kedua, dalam dirinya tidak terdapat rasa rindu untuk tobat, namun ia berkata, “Allah Maha Mulia, Maha Dermawan lagi Maha Pengasih. Dia tidak butuh tobatku, sehingga surga yang luas itu tidak akan jadi sempit dan ampunan masih sangat luas bagiku.”

Orang yang demikian adalah orang yang patut dikasihani. Akal pikirannya menjadi tawanan hawa nafsunya, digunakan semata untuk menyiasati pengetrapan hawa nafsu, sehingga akal pikirannya menjadi seperti seorang Muslim yang dikepung dan ditawan oleh orang-orang kafir, mereka menghina dan mencemoohnya di kandang babi.

Dapat Anda bayangkan, bagaimana kira-kira nasib seorang budak bila diambil oleh anak tuannya yang paling keras, kemudian diserahkan kepada musuhnya yang paling bengis, hingga ia mencemooh dan menghinakan si budak tersebut?

Begitu pula keadaan dan nasib si alpa yang benar-benar lalai, karena mengabaikan Allah. Na’udzubillah dari situasi seperti itu!

Tingkatan pertengahan adalah orang yang tidak bersungguh-sungguh melakukan penyerangan. Dalam peperangan itu, kemenangannya silih berganti. Adakalanya dia menang, tapi pada saat lain dia kalah. Inilah para mujahid yang disebut:

”(mereka) mencampur-baurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk...” (Q.s. At-Taubah: 102).

Indikasinya, dia mampu meninggalkan hawa nafsu yang terlemah, namun tidak mampu mengalahkan hawa nafsu yang paling kuat. Mungkin, pada suatu saat ia mampu mengalahkan dan menang, tapi saat lain tiada berdaya dan kalah.

Dalam segala hal, ia sangat letih karena ketidakberdayaannya, terus melakukan perlawanan, untuk berjuang dan mengenyahkannya. Itulah sebenarnya yang merupakan jihad akbar atau perjuangan besar.

Sepanjang dia bertaqwa dan membenarkan adanya pahala terbaik (surga), maka Allah kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.

Dengan demikian, ia tidak mampu mengalahkan unsur kebinatangannya; kekuatan akal pikirannya tidak mampu melawan hawa nafsunya. Padahal ia telah didukung oleh akal pikiran, dan unsur kebinatangannya diharamkan.

Karena itulah, Allah Swt. berfirman, “Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (Q.s. Al-A’raaf: 179).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar