Laman

Jumat, 01 Mei 2015

Tukang Yang Seteguh Batu


Abdullah Ibn Faraj Al-Abid mencari tukang batu untuk memperbaiki rumahnya. Di satu sudut pasar, tempat mangkal para tukang, dia melihat seorang pemuda berkulit kuning, berjubah dan bersarung wool warna putih. “Apa kamu sedang lowong?” tanya Abdullah. “Ya,” jawab pemuda itu. “Berapa upah yang kau minta?” “Satu dirham. Tapi aku ada syarat.” “Apa itu?” “Kalau azan zhuhur berkumandang, aku akan keluar, berwudlu dan shalat berjama’ah di masjid. Begitu pula kalau azan asar terdengar.” “Baik, aku setuju.”
Abdullah, seorang ulama ahli ibadah yang hidup awal abad kedua, mengajak pemuda itu ke rumahnya. Dia bekerja nyaris tanpa berkata-kata. Ketika terdengar azan zhuhur, dia berucap, “Tuan Abdullah, mu’azin memanggil.” “Silahkan, silahkan shalat,” kata Abdullah.
Pemuda itu keluar menuju masjid. Beberapa saat kemudian, seusai shalat berjam’ah, dia datang lagi. Tanpa banyak bicara, dia sudah larut dalam pekerjaannya, hingga terdengar azan asar. Dia melakukan hal yang sama seperti tadi, keluar masjid, lalu datang lagi dan bekerja sampai waktu yang di tentukan.
Bebeberapa hari kemudian, Abdullah membutuhkan tukang. Ada bagian lain rumahnya yang perlu perbaikan. Dia datang ketempat mangkal para tukang batu. Maksudnya hendak mencari pemuda dulu, tapi ia tak berhasil menjumpainya. “Oh, dia hanya datang pada hari Sabtu.” kata seseorang. Karena sudah terlanjur cocok, dia datang lagi di hari Sabtu. Pemuda itu tampak di antara para tukang. “Apa kamu ada kerjaan?” “Tidak. Tuan sudah paham dengan upah dan syarat saya, kan.” “Aku hanya memohon pilihan pada Allah.”
Si pemuda pun bekerja seperti dulu nyaris tanpa banyak bicara, beristirahat di awal waktu shalat zhuhur dan asar. Hasilnya pun memuaskan. Habis itu, Abdullah memberinya uang lebih dari satu dirham. Aneh, pemuda itu menolak. Ketika dia di paksa, dia malah meninggalkan Abdullah. Rupanya, dia teguh memegang kesepakatan. Dia hanya mau menerima setelah di beri satu dirham.
Beberapa waktu kemudian, Abdullah datang ke tempat mangkal para tukang batu di hari Sabtu. Kali ini dia gagal memjumpai pemuda tersebut. Ternyata dia sedang sakit keras. Abdullah mendatangi rumahnya, seperti yang di tunjukkan orang-orang. Pemuda itu tergolek lemah di sebuah rumah tua, milik seorang yang sudah lanjut. “Apa yang bisa ku bantu? Katakan apa saja yang engkau minta dariku.” kata Abdullah setelah memberi salam. “Jika Tuan mau menerima,” kata pemuda itu. “InsyaAllah, aku bisa terima.” “Bila aku meninggal, juallah alat-alat ini. Cucilah sarung dan jubah woolku, kafanilah aku dengannya. Bukalah kantong jubahku karena di dalamanya ada sebuah cincin. Tunggulah saat Khalifah Harun Ar-Rasyid lewat dan hentikan dia. Tunjukkanlah cincin ini. Tolong laksanakan ini setelah aku di kebumikan.”
Abdullah menyanggupi. Tak lama kemudian, pemuda itu meninggal. Abdullah melaksanakan semua pesanannya.
“Amiral Mu’minin, ada titipan untuk Baginda,” kata Abdullah ketika bertemu dengan Harun, sembari memberikan cincin si pemuda. “Siapa kamu?” “Abdullah Ibn Faraj.” “Dari mana kamu dapatkan cincin ini?”
Abdullah menceritakan pengalaman dengan pemuda pemilik cincin tersebut.
Harun kontan menangis, “Dia adalah putraku…” katanya “Bagaimana itu bisa terjadi, Baginda? Tanya Abdullah “Ia lahir sebelum aku menjadi khalifah. Ia tumbuh dengan baik. Dia mempelajari ilmu agama dan mendalami Al Qur’an. Ketika aku menjadi khalifah, dia meninggalkanku dan tida mau mengambil hartaku sedikit pun. Aku menyerahkan cincin ini kepada ibunya, Yaqut. Sembari berpesan ‘Berikan cincin ini padanya dan suruhlah ia menyimpannya. Suatu saat, mungkin dia butuh uang, cincin ini bisa di jual.’ Anak itu sangat berbakti kepada ibunya, hingga ibunya wafat. Setelah itu, aku kehilangan kontak dengannya, sampai engkau datang menemuiku.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar