Laman

Sabtu, 30 Desember 2017

Arif akan nafs, ‘Arif akan Tujuan Penciptaan Diri


Masing-masing manusia mempunyai sebuah fungsi spesifik, sebuah peran yang harus dilakukannya atas nama Allah, yang menjadi alasan penciptaannya. Dengan kata lain, untuk tugas itulah seorang manusia diciptakan. Dan, jika ia berhasil menemukan tugasnya itu—yang pengetahuan tentang ini ada dalam jiwanya—maka ia akan menjadi yang terbaik dalam bidang tugasnya tersebut. Tugas tersebut, atau amal tersebut, atau tepatnya—pelaksanaan pengabdian tersebut—akan Allah mudahkan baginya.
Dari Imran r.a., saya bertanya, “Ya Rasulullah, apa dasarnya amal orang yang beramal?” Rasulullah SAW menjawab, “Tiap-tiap diri dimudahkan mengerjakan sebagaimana dia telah diciptakan untuk (amal) itu.” – H.R. Bukhari no. 2026
“…(Ya Rasulullah) apakah gunanya amal orang-orang yang beramal?” Beliau SAW menjawab, “Tiap-tiap diri bekerja sesuai dengan untuk apa dia diciptakan, atau menurut apa yang dimudahkan kepadanya.” – H.R. Bukhari no. 1777
Dan tempuhlah jalan Rabb-mu yang telah dimudahkan bagimu. – Q.S. An-Nahl [16]: 69
“Tiap-tiap diri”, sabda Rasulullah SAW. Spesifik. Setiap orang. Dengan mengetahui fungsi spesifik kita masing-masing, maka kita mulai melaksanakan ibadah (pengabdian) yang paling hakiki, yang sesungguhnya, yang sesuai dengan fungsi kita diciptakan. Sebagai contoh, shalatnya seekor burung ada di dalam bentuk membuka sayapnya ketika ia terbang, dan shalatnya seekor ikan ada di dalam kondisi saat ia berenang di dalam air. Masing-masing kita pun memiliki cara pengabdian yang spesifik, jika kita berhasil menemukan fungsi untuk apa kita diciptakan-Nya.
أَلَمْ تَرَ‌ أَنَّ اللَّـهَ يُسَبِّحُ لَهُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْ‌ضِ وَالطَّيْرُ‌ صَافَّاتٍ ۖ كُلٌّ قَدْ عَلِمَ صَلَاتَهُ وَتَسْبِيحَهُ ۗ وَاللَّـهُ عَلِيمٌ بِمَا يَفْعَلُونَ
Tidakkah engkau mengetahui bahwa sesungguhnya ber-tasbih kepada Allah siapa pun yang ada di petala langit dan bumi, dan burung dengan mengembangkan sayapnya. Sungguh setiap sesuatu mengetahui cara shalatnya dan cara tasbih-nya masing-masing. Dan Allah Maha Mengetahui terhadap apa yang mereka kerjakan. – Q.S. An-Nuur [24]: 41
Inilah pengabdian hakiki seorang hamba pada Rabb-nya: melaksanakan pengabdian dengan cara menjalankan fungsi spesifik diri kita, sesuai dengan untuk apa kita diciptakan-Nya sejak awal. Fungsi diri yang spesifik inilah yang disebut dengan “misi hidup’ atau “tugas kelahiran”.
Kebaktian tertinggi seorang ‘abid adalah dengan menggunakan kemampuan terbaik yang dimilikinya—melaksanakan tujuan penciptaannya dengan segala perangkat yang telah diletakkan Allah dalam jiwanya—untuk menjalankan peran khususnya atas nama Allah Ta’ala. Ia menyampaikan khazanah Rabb-nya bagi alam semestanya.
Inilah fungsi hakikinya sebagai manusia: menjadi “perpanjangan tangan Allah” untuk memakmurkan alam semestanya sendiri. Inilah makna sesungguhnya dari kata “khalifah”: pemakmur, bukan semata-mata penguasa.
‘Arif akan nafs, sesungguhnya sama artinya dengan memahami alasan penciptaan kita dan amal tertinggi kita: untuk tugas dan peran apa kita diciptakan. ‘Arif terhadap nafs sama dengan memahami sepenuhnya misi hidup kita dan melaksanakannya.
Jadi, itulah makna “Man ‘Arafa Nafsahu”: siapa yang ‘arif akan nafs-nya, pada dasarnya sama artinya dengan “siapa yang memahami tujuan penciptaannya”.
Ksatria
Kebaktian tertinggi seorang ‘abid adalah dengan menggunakan kemampuan terbaik yang dimilikinya, melaksanakan tujuan penciptaannya dengan segala perangkat yang telah diletakkan Allah dalam jiwanya—untuk menjalankan peran khususnya atas nama Allah Ta’ala.
Ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh At-Thabrani tentang ke-’arif-an seorang mukmin:
Sahabat Anas bin Malik meriwayatkan, suatu ketika Rasulullah SAW sedang berjalan-jalan. Beliau bertemu dengan seorang sahabat Anshar bernama Haritsah al-Anshari r.a.
Rasulullah SAW bertanya: “Bagaimana keadaanmu pagi ini, ya Haritsah?”
Haritsah menjawab, “Pagi ini hamba telah menjadi mu’min yang haqq (mu’min haqqan)”.
RasulullahSAW menjawab, “Pikirkanlah dulu apa-apa yang akan engkau katakan, sebab segala sesuatu ada hakikatnya (fa inna likulli syay’in haqiqatan). Lalu apa hakikat [yang Allah tampakkan sebagai bukti] dari keimananmu itu (fa ma haqiqatu imanika)?”
Jawabnya, “Jiwa hamba sudah lepas dari dunia. Hamba berjaga di malam hari (untuk beribadah), dan hamba kehausan di siang hari (karena berpuasa). Dan sekarang hamba melihat arsy Rabb hamba dengan nyata. Dan sekarang hamba melihat para ahli surga saling mengunjungi, dan hamba melihat para ahli neraka menjerit-jerit di dalamnya.”
Dan berkata Rasulullah SAW “Engkau telah ‘arif (‘arafta), ya Haritsah. Maka jagalah keadaanmu itu.”
– H. R. At-Thabrani
Faqad ‘Arafa Rabbahu
Lalu apa hubungan ‘arif akan nafs dengan ‘arif akan Rabb?
Makna “Rabb” tidak otomatis sama dengan kata “Allah”. Sedikit berbeda dengan makna Allah sebagai “ilah” (sembahan, tempat penghambaan), makna Rabb adalah pangkat, peran Allah Ta’ala dalam memelihara—menjaga, memberi rizki, melindungi, memakmurkan—seluruh semesta alam-alam. Pendek kata, “Rabb” adalah sebutan bagi Allah dalam fungsi rububiyah-Nya. ‘Arif akan Rabb adalah ‘arif akan peran Allah Ta’ala dalam menghadapkan wajah-Nya pada makhluk.
Ketika seorang hamba telah menemukan tujuan penciptaan dirinya, lalu melaksanakan hal terbaik yang bisa dilakukannya sebagai sebuah pengabdian kepada Allah dan atas nama Allah, maka pada hakikatnya ia sedang menolong Allah dengan hal terbaik yang bisa ia lakukan. Dan barangsiapa yang menolong Allah, maka Allah pun pasti akan menolongnya pula.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن تَنصُرُ‌وا اللَّـهَ يَنصُرْ‌كُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu. – Q.S. Muhammad [47]: 7
Apa pertolongan Allah yang terbesar pada seorang hamba? Yaitu dengan senantiasa memberi petunjuk pada si hamba tanpa henti-hentinya, baik diminta ataupun tidak. Dengan demikian, si hamba menjadi termasuk ke dalam golongan orang-orang Al-Muflihun (orang-orang yang beruntung).
أُولَـٰئِكَ عَلَىٰ هُدًى مِّن رَّ‌بِّهِمْ ۖ وَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb-nya. Merekalah Al-Muflihun. – Q.S. Al-Baqarah [2]: 5
Petunjuk yang tiada henti-hentinya ini adalah untuk mengukuhkan si hamba tetap dalam shirath Al-Mustaqim, jalan yang lurus, jalannya “orang-orang yang diberi nikmat”. Dengan demikian, si hamba memperoleh apa yang selalu diminta dalam setiap rakaat shalatnya.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
اهْدِنَا الصِّرَ‌اطَ الْمُسْتَقِيمَ
صِرَ‌اطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ‌ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
Hanya kepada-Mu kami mengabdi, dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan: tunjukilah kami ke Shirath Al-Mustaqim, jalan mereka yang kepadanya Engkau anugerahkan nikmat, bukan jalannya mereka yang sesat. – Q.S. Al-Fatihah [1]: 5-7
Setelah si hamba kukuh menapaki shirath Al-Mustaqim-nya, maka barulah ia akan mengenal Rabb-nya, karena sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an,
إِنَّ رَ‌بِّي عَلَىٰ صِرَ‌اطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Sesungguhnya Rabb-ku di atas Shiratim-Mustaqim. – Q.S. Huud [11]: 56
Inilah makna kalimat Rasulullah SAW “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu”: barangsiapa yang berhasil memahami tujuan penciptaannya (yang pengetahuan itu tersimpan dalam nafs-nya), maka ia akan Allah tetapkan di dalam shirath Al-Mustaqim-nya (sehingga ia akan mengenal Rabb-nya sejak di dunia ini, karena Rabb ada di atas Shirath Al-Mustaqim).
Resume
Barang siapa mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya. Barangsiapa yang berhasil memahami tujuan penciptaannya, maka ia akan Allah tetapkan di dalam Shirath Al-Mustaqim-nya {sehingga ia akan mengenal RABB-NYA}

Tidak ada komentar:

Posting Komentar