Laman

Sabtu, 30 Desember 2017

Penunggang Kuda


Secerdas-cerdasnya dan seindah-indahnya jasad seseorang, pada hakikatnya itu hanya seperti kecerdasan dan keindahan seekor kuda jika dibanding kecerdasan dan keindahan jiwa, sang pengendaranya.
Tentu, langkah awal untuk mengenal jiwa adalah dengan membebaskannya dulu dari waham, dari timbunan dosa, dari kungkungan sifat-sifat jasadi maupun dominasi syahwat dan hawa nafsu atas jiwa kita. Dalam bahasa agama, langkah ini disebut sebagai memulai perjalanan taubat—perjalanan kembali kepada Allah Ta’ala. Taubat berasal dari kata “taaba”, yang artinya kembali.
Sementara, alih-alih ‘arif akan jiwanya sendiri, sebagian besar manusia bukan saja belum mengenal jiwanya. Mereka bahkan belum bisa membedakan hawa nafsu dengan jiwanya sendiri, karena jiwanya sangat jauh terkubur dalam dosa dan sifat-sifat kejasadiahannya sendiri. Jiwanya sudah terlalu lemah karena tertimbun dosa-dosa membuatnya lumpuh, buta dan tuli, sehingga tak kuasa lagi untuk mengambil alih kendali atas kendaraannya sendiri—jasadnya. Pada umumnya, manusia sudah tidak lagi mampu membedakan mana suara hati nurani, mana kehendak hawa nafsu, mana keinginan syahwat, mana bisikan setan maupun mana kehendak jiwa. Semua terdengar sama saja di hatinya.
Tujuan Penciptaan Manusia
Terkait dengan tujuan penciptaan manusia, kita biasanya selalu merujuk pada ayat berikut,
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Dan tidaklah Aku telah menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk mengabdi kepada-Ku. – Q.S. Adz-Dzariyat [51]: 56
Hanya sayangnya, kata “ya’bud” di sana biasanya hanya diterjemahkan sebagai “untuk beribadah”, dalam pengertian untuk melakukan shalat, puasa, zakat, haji dan semacamnya. Tujuan penciptaan kita seakan-akan hanya untuk melakukan ibadah ritual formal. Dengan memahami makna kata “ya’bud” hanya seperti ini, maka pada akhirnya tujuan hidup manusia dipahami hanya sebatas untuk mengumpulkan pahala sebanyak-banyaknya dalam rangka seleksi untuk memasuki surga atau neraka saja.
Padahal, kata “ya’bud” di sana berasal dari kata ‘abid, kata benda yang bermakna hamba, budak, atau seorang abdi. Ya’bud, kata kerja, bermakna “menjadikan diri sebagai hamba”, atau tepatnya adalah “mengabdi”. Itulah tujuan penciptaan kita: untuk melaksanakan sebuah pengabdian—bukan sekadar untuk beribadah.
Mengabdi, dalam tataran pengertian yang paling luar dan paling sederhana, bagi umat Rasulullah Muhammad SAW adalah melakukan apa saja yang diperintahkan dalam koridor syariat yang dibawa oleh Beliau. Kita melakukan shalat, puasa, zakat dan semacamnya—kita “beribadah”. Namun, dalam tataran yang lebih dalam, yang dimaksud “ya’bud” (mengabdi) di sini bukan semata-mata sekadar ritual ibadah formal.
Mengabdi, sebagaimana apa yang dilakukan seorang ‘abid, adalah melaksanakan perintah tuannya. Dan kebaktian yang tertinggi seorang ‘abid pada tuannya, adalah menjalankan perannya untuk tuannya, sesuai dengan hal terbaik yang mampu dilakukannya. Seorang hamba akan mempersembahkan kemampuan dan karyanya yang terbaik untuk tuannya—atau tepatnya, melakukan hal terbaik yang bisa dilakukannya atas nama tuannya. Inilah inti dari menjadi seorang hamba: melaksanakan sebuah pengabdian untuk tuannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar