Laman

Sabtu, 30 Desember 2017

Man ‘Arafa Nafsahu, Faqad ‘Arafa Rabbahu


Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat.
– Q.S. Asy-Syuura [42]: 11
MAN ‘Arafa Nafsahu, Faqad Arafa Rabbahu. “Siapa yang mengenal dirinya, akan mengenal Rabb-nya”. Begitulah kurang lebih makna dari sabda Rasulullah SAW tersebut.
Kata-kata itu sangat masyhur di kalangan para penempuh jalan penyucian jiwa. Meski begitu, tidak semua orang meyakini kata-kata tersebut adalah sabda Rasulullah SAW. Sebagian bersikeras bahwa itu bukan hadits. Sebagian lagi mengatakan hadits itu dha’if, bahkan palsu.
Walau jarang terdapat di kitab-kitab hadits sunni, namun hadits ini—dengan teks yang sama—bisa kita dapatkan di kitab Misbah Syari’ah dari cicit Rasulullah SAW, Ja’far as-Shadiq. Rasulullah SAW menyampaikan kata-kata agung tersebut kepada sahabat Ali r.a., dan hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Ja’far as-Shadiq, yang memperolehnya dari jalur kakeknya, Ali r.a. Lisan agung Rasulullah SAW pernah menyampaikan kalimat itu pada sahabat Ali r.a., yang disebut Rasulullah SAW sebagai “gerbang dari ilmu-ilmu Rasulullah SAW”.
Apa maksud presisi kalimat tersebut? Seperti apa “mengenal diri” itu? Dan, bagaimana bisa dengan mengenal diri sendiri lalu menjadi mengenal Rabb? Apakah diri ini adalah Rabb? Apakah ini terkait dengan pantheisme—menyatunya wujud Tuhan dan wujud manusia?
Mari kita perhatikan sabda Beliau SAW tersebut. “Man ‘arafa nafsahu”. Siapa yang ‘arif akan nafs-nya—jiwanya. Sebenarnya bukan sekadar mengenal, tapi ‘arif. ‘Arif akan jiwanya. ‘Arif kurang lebih bermakna “sangat memahami”, “paham dengan sebenar-benarnya”.
Sedangkan dalam “faqad arafa rabbahu”, kata “faqad” berarti “maka pastilah”, atau “sudah barang tentu”. Ada kadar kepastian yang tercakup di sana, jauh lebih pasti derajatnya dari sekadar “akan”. “Faqad ‘arafa rabbahu”, berarti “maka pastilah akan ‘arif tentang Rabb-nya”.
“Siapa yang ‘arif akan jiwanya, maka pastilah akan ‘arif tentang Rabb-nya”, begitu kira-kira maknanya. Apa maksudnya?
Diri Kita yang Sejati
Diri kita yang sejati sesungguhnya bukan diri kita yang bisa dibedah dengan pisau bedah atau dengan berbagai teori psikologi kepribadian oleh para psikolog. Diri kita yang ini—yang jasadnya kita gunakan dalam interaksi, dalam bekerja, dalam berhubungan sosial dengan orang lain—sesungguhnya merupakan bentukan dari lingkungan, orangtua, pemikiran, norma, tren, atau paradigma yang ada di zaman kita masing-masing. Dengan kata lain, diri kita yang ini adalah hasil bentukan, dari dinamika lingkungan luar yang berinteraksi dengan aspek jasadi dan aspek psikis kita. Paduan komposisi dari semua itulah yang membentuk diri kita yang “jasadi”. Diri kita yang ini, meski unik, adalah diri yang semu. Ini bukan diri kita yang sesungguhnya, sebenarnya.
Sementara, yang dimaksud dan dipanggil Allah sebagai “diri” pada manusia, sejatinya adalah yang Dia sebut sebagai “nafs” dalam Al-Qur’an. Nafs, dalam bahasa kita, adalah “jiwa”.
Nafs-lah (jamak: anfus, jiwa-jiwa) yang dipanggil dan disumpah Allah untuk mempersaksikan bahwa Allah adalah Rabb-nya.
وَإِذْ أَخَذَ رَ‌بُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِ‌هِمْ ذُرِّ‌يَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَ‌بِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَا ۛ أَن تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَـٰذَا غَافِلِينَ
Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa-jiwa mereka: “Bukankah Aku ini Rabb-mu?” Mereka menjawab: “Betul, sungguh kami bersaksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang tidak ingat terhadap ini.” – Q.S. Al-A’raaf [7]: 172
Nafs kita sudah ada bahkan sebelum alam semesta ada. Ia juga yang terus akan melanjutkan hidup di alam barzakh dan alam-alam berikutnya setelah kelak jasad kita dengan pikiran, hafalan dan semua gagasan yang menyertainya—dan semua dinamika psikis yang terkait dengannya—akan mati, lenyap, hancur terurai menjadi tanah.
Itulah sebabnya, akan sangat berbahaya jika kita memahami agama hanya berupa hafalan dalil dan konsep di kepala, namun tidak terpahami secara mengakar hingga ke jiwa. Seiring dengan hancurnya otak kita, maka semua konsep di dalamnya pun akan lenyap, sementara jiwa kita melanjutkan perjalanannya dengan tidak membawa apa-apa.
Nafs sendiri berbeda dengan hawwa nafs, atau yang biasa kita sebut hawa nafsu. Sebagaimana namanya, hawa nafsu adalah “hawa dari nafs”: hanya sekadar “hawa keinginan” dari jiwa. Hawa nafsu sesungguhnya adalah nafs yang palsu, karena keinginan-keinginannya sama-sama berasal dari dalam diri kita, sehingga kehendak hawa nafsu tidak mudah dibedakan dari kehendak jiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar